Fict pertama di Fandom ini dengan OC. Kuharap tidak menyebalkan.
Warning : OC, kekurangan disana-sini.
.
.
"Mereka adalah pahlawan yang mengalahkan Kau-Tahu-Siapa." Dia memberikan jeda " Atas kekalahan rezim Kau-Tahu-Siapa itulah yang menghapuskan berbagai status darah penyihir."
Seorang wanita tengah baya menceritakan beberapa kisah masalalu kepada siswa dan siswi berusia tujuh tahun di panti asuhan khusus anak yatim piatu penyihir.
"Madam Gillu," seorang anak laki-laki mengangkat tangannya ke udara.
"Ada apa Nak?"
"Apakah orangtua kami akan pergi ke syurga karena telah melawan Kau-Siapa-Tahu?"
Beberapa anak tertawa menyadari kalimat rancu yang diucapkan anak itu. Madam Gillu tersenyum "Ya, bisa dikatakan seperti itu."
Seorang gadis kecil ikut mengangkat tangannya ke udara tanpa bersuara. Madam Gillu yang melihatnya segera bertanya "Ya, Suri kau mau bertanya apa?"
Gadis kecil itu tersenyum lalu berkata "Berapa persen kemungkinan orangtua kami masih hidup? Madam Gillu."
Madam Gillu tidak terlalu terkejut dengan pertanyaan gadis kecil itu. Dia sudah terbiasa menghadapi pertanyaannya yang sedikit tidak wajar bila dilihat dari usia-nya yang baru menginjak tujuh tahun.
Namun sebelum Madam Gillu menjawab, gadis kecil yang lainnya mulai menjawab pertanyaan Suri "Suri, kau ini bodoh ya? Kalau orangtua kita masih hidup, tidak mungkin kita tinggal disini."
"Aku tidak bodoh," ucap Suri.
Tidak Nak, Ibumu masih hidup. Hanya saja dia tidak menerima kenyataan bahwa kau anak dari seseorang yang tidak diinginkan. Madam Gillu memandang Suri dengan raut wajah sedih.
.
Harry Potter © JK. Rowling
Will you be My Parents? © Saitou senichi
.
Stasiun King's Cross.
Peron 9 9/4.
Kutatap lagi surat dari madam Gillu. Beliau mengatakan tidak bisa mengantarku karena pergi ke Skandinavia untuk mengantar Vincent. Vincent mendapatkan surat dari sekolah sihir Drumstrang. Meskipun begitu, sebelum berangkat madam Gilliu sudah mempersiapkan segala kebutuhanku saat disekolah. Bukankah ini hebat? Kami penghuni terakhir panti asuhan mendapatkan surat dari sekolah sihir tebaik dan terhebat didaratan Eropa.
"Mum, kami pasti akan merindukanmu."
Aku menoleh ke asal suara. Mereka keluarga yang heboh dengan rambut merah mereka. Kecuali wanita itu.
"Kalian hanya merindukan Mum? Tidak merindukan Daddy?" pria menggelikan itu memasang raut begitu terluka, pasti hanya dibuat-buat. Lalu mereka tertawa bersama.
Wanita yang disebut Ibu itu tersenyum. Entah kenapa aku pun ikut tersenyum. Dengan menggerakan bibir lamat-lamat aku berbisik "Mum, aku berangkat."
NGUONGGG
Aku tersentak mendengar suara gemuruh berasal dari cerobong kereta itu, aku pun merutuki perbuatan aneh ku. Aku bergegas masuk kedalam kereta dan mencari kompartemen yang kosong. Tapi sudah beberapa menit aku mencari tapi semua tempat sudah penuh.
"Hey."
Aku menoleh ke asal suara.
"Kau belum mendapatkan tempat?" tanya pria bermata coklat itu, yang dijawab olehku hanya dengan anggukan pelan.
"Baiklah, ikuti aku."
Pria ini baik hati sekali. Aku taksir dia adalah seorang senior yang memiliki jabatan khusus di Hogwarts. Dia berhenti disalah satu kompartemen lalu berkata "Kau disini saja―" dia membukakan pintu "―Mereka adalah saudara-saudara ku."
Pemandangan pertama yang tersaji dihadapan mataku adalah dua orang berambut merah tadi dan seorang anak laki-laki.
"Aku harus kembali berpatroli, semoga kalian akur." Pria itu pergi sesudah menutup pintu.
"Oh, hai namamu siapa? Aku Rose Weasley―" dia memperkenalkan diri sambil tersenyum, lalu menunjuk laki-laki disebelahnya dan dihadapannya "―ini Hugo Weasley dan ini Albus Potter."
"Suri. Namaku Suri."
Hugo sebelah alisnya terangkat "Suri? Hanya Su―Ah! Rose kenapa kau memukulku!"
"Tak sopan bila kau bertanya seperti itu," Rose mendesis.
"Tak apa, aku sudah terbiasa," aku memilih duduk disebelah laki-laki yang bernama Albus, dia tidak berkata apa-apa hanya tersenyum. Mata hijaunya sungguh indah.
Selama perjalanan menuju kastil kami tidak berbicara atau lebih tepatnya aku tidak berbicara pada mereka. Mereka terlalu berbeda dengan ku, selain Potter tentunya. Bukankah mereka anak dari trio emas itu dan aku hanyalah anak dari panti asuhan. Tentu saja aku dan mereka berbeda. Tak terasa aku sudah berada didepan kastil Hogwarts.
"Anak-anak jangan sampai terpisah," pria dengan rambut lebat dan tinggi besar itu menuntun kami kedalam aula besar.
Pria itu begitu besar, apakah dia keturuna Troll? Entahlah aku tidak peduli.
Aku kembali sadar dari lamunanku ketika semua siswa tahun pertama berdecak kagum. Aku mendongak. Pantas saja mereka bilang Hogwarts adalah sekolah sihir terbaik didunia. Tempatnya begitu mewah. Langit-langit aula besar itu penuh dengan lilin yang berterbangan, suasananya begitu hangat.
"―Penyeleksian adalah upacara yang sangat penting. Karena saat kalian berada disini, kalian akan menjadi seperti sebuah keluarga di Hogwarts. Kalian akan mengikuti pelajaran, tidur, dan menghabiskan waktu luang di ruang rekreasi dalam asrama kalian."
Aku sama sekali tidak menghiraukan kalimat yang diucapkan oleh kepala sekolah. Aku terlalu sibuk memperhatikan ruangan ini. Beberapa meja dengan siswa yang berbeda seragam disana. Menatap kami dengan berbagai macam pandangan.
"GRYFFINDOR!"
Sebuah suara dan beberapa riuh tepuk tangan membuyarkan lamunanku yang kesekian kalinya. Mataku melihat Rose berjalan menuju meja dengan orang-orang berseragam merah emas. Apakah aku terlalu lama melamun? Bahkan penyeleksian sampai urutan 'R', Suri membatin.
Kau harus masuk Slytherin.
Aku tersentak mendengar bisikan yang entah dari mana. Pandanganku menyapu keseluruh sudut aula. Berharap menemukan siapa yang membuat suara itu yang masuk kedalam kepalaku. Tiba-tiba seseorang mengguncang pelan bahuku.
"―ri?"
"Hn?"
"Namamu Suri? Kan."
"Iya."
"Giliran kamu sekarang."
Setelah menyadari tatapan aneh orang-orang aku bergegas naik ke podium lalu duduk. Sebelum topi aneh dan lusuh itu diletakan diatas kepalaku, topi itu tertawa. Topi yang aneh.
"Hohohow lihat lihat," suaranya benar-benar mirip kakek-kakek.
"Kau memiliki sifat keberanian dan kesetiaan― " entahlah aku tak yakin dengan kedua sifat itu.
"―Kenapa tidak yakin? Hm," hey topi ini licik! Dia membaca pikiranku
"―Hahaha itu kemampuanku," itu terdengar seperti pertanyaan daripada pernyataan.
"―Benarkah?" ayolah topi, kau harus meneriakan salah satu nama asrama yang aku tempati. Mereka mulai melihatku dengan tatapan aneh.
"Kalau begitu kau mau masuk kemana? Selain memiliki kesetiaan dan keberanian kau pun cerdik dan idealis," topi itu balik bertanya.
Slytherin, Nak.
Suara asing tersebut kembali berbisik padanya, Slytherin? Suri bergumam.
"SLYTHERIN!" Topi itu berteriak, disusul tepuk tangan dan siulan beberapa siswa asrama Slytherin.
"Eh?"
Sebelum topi itu diangkat, benda kerucut itu berkata didalam fikiran Suri "Itu pilihanmu Nak."
Kau memang Anak'ku.
Suara itu kembali terngiang, Suri mengerenyit Anakmu? Ayah? Apa kau Ayahku? Suri mencoba berkomunikasi dengan suara asing tersebut, namun tidak ada jawaban.
Aku berjalan menuju meja milik Slytherin. Tanpa membalas beberapa sapaan padaku.
"Aku senang kita satu asrama," sebuah suara cukup familiar memasuki pendengaranku.
"Aku lumayan takut jika tidak mempunyai teman di asrama ini," dia melanjutkan kalimatnya.
"Potter?" ucapku tak percaya.
"Aku pun tidak percaya aku masuk Slytherin. Jadi jangan tanyakan," ia mengangkat bahu tanda tak mengerti "Tapi sebelum berangkat Ayahku berkata, meskipun sikap licik dan angkuh melekat pada Slytherin, tapi Slytherin pun menghasilkan beberapa siswa yang memiliki sikap gagah berani," dia memberi jeda "Jadi kau tidak usah takut."
Aku mendengus "Itu tidak seperti mencoba menenangkanku―" aku melirik padanya mencoba menangkap ekspresi raut wajahnya "―Tapi terdengar seperti menenangkan dirimu sendiri."
"Kau benar," dia berkata dengan nada dibuat ketakutan.
Beberapa detik kemudian kami tertawa.
"Kita belum berkenalan secara langsung'kan?" dia menyodorkan tangannya "Namaku Albus."
Kedua alisku terangkat, kenapa ia tidak mengatakan nama keluarganya? Aku menggenggam tangannya lalu berkata "Suri."
Dia tersenyum "Suri, kau bisa memanggilku dengan sebutan Al―" dia memasang wajah serius "―Tapi jangan pernah sekali-kali kau memanggilku dengan sebutan 'Bus', aku tidak mau disamakan dengan transportasi."
Aku tertawa sungguh Albus itu orang yang menyenangkan "Tidak akan, aku tak akan tega memanggilmu seperti transportasi Muggle."
Tidak terlalu buruk berteman dengan salah satu anak dari trio emas itu. Tidak terlalu buruk.
.
"Hei! Suri," Rose memanggil sembari menepuk pelan bahu ku "Hei! Al."
Sebenarnya aku tidak terlalu nyaman dengan Weasley yang berisik, tapi setidaknya dia baik padaku. Hari ini kelas Pemeliharaan Satwa Gaib oleh Proffesor Troll. Sebenarnya nama professor itu Rubeus Hagrid, aku panggil saja dengan sebutan proffesor Troll, itu mudah diingat. Hari ini juga kelas Gryffindor dan Slytherin, dan disinilah mereka merebut Albus dariku.
"Kau butuh partner?" aku menoleh.
Mataku mengerenyit "Siapa kau?"
"Scorpius, jadi?"
Aku kembali memperhatikan Albus. Dia masih fokus terhadap Weasley dan melupakanku. "Boleh."
Kau boleh menggunakan Crucio kepada seseorang yang tidak kau sukai.
Suara itu kembali hadir. Aku tidak membalasnya. Untuk apa membalas ucapan dari seseorang yang tidak terlihat, bahkan Baron Berdarah pun masih bisa terlihat meskipun tembus pandang.
"Semuanya jangan jauh dariku, kita akan memasuki Hutan Terlarang."
Kami berjalan sesuai kelompok. Scorpius bukanlah orang yang berisik, dan aku mensyukuri itu.
"Ini adalah seekor Unicorn," proffesor itu tidak mengelus apalagi mendekat pada kuda dengan tanduk itu "Ada yang bisa menjelaskan?"
Ini mudah Suri membatin lalu mengangkat lengannya diudara "Unicorn adalah satwa ghaib suci yang sangat peka. Tidak mau berdekatan dengan sosok manusia yang telah 'berbaur', maksud saya tidak lagi perawan atau perjaka."
Semua murid terkikik geli, adapula yang menunduk malu.
"Ya, sepuluh poin untuk Slytherin. Unicorn memang sangat peka terhadap hal suci..."
"Coba kita lihat apa kau― Slytherin bisa menyentuh Unicorn?" seorang siswa dari Gryffindor mengejek Suri "Aku kira kau― Eh?!"
Seekor Unicorn mendekati Suri. Setelah merasa nyaman makhluk mistis tersebut mengendus lengan Suri.
"Wow!"
"Sepertinya dia menyukaimu, Nak." Proffesor tersenyum padaku.
"Dan kita tahu dia masih perawan," terdengar bisik-bisik dari beberapa orang.
Aku menyukai hewan mistis. Dan disini aku sedang mengelus hewan menakjubkan dihadapanku. Sementara Scorpius mulai mencatat. Semuanya berjalan lancar ketika salah satu Unicorn mulai terlihat gusar dan menghentak-hentakan kakinya.
"Anak-anak menjauh dan mundur kebelakangku," proffesor Troll mengintruksikan kami agar berdiri dibelakangnya.
"Tenang nak, apa yang terjadi?" proffesor Troll mencoba mengelus kepala Unicorn tersebut, namun Unicorn tersebut semakin gusar dan mulai menggeram.
"Proffesor lihat! Itu di kaki ada ular!" seseorang berteriak.
Aku melihat seekor ular melata berwarna coklat merayap kearah kami, namun instingku berkata dia mengarah padaku dan menatapku dengan pandangan tunduk.
"Ssshh― Nona sudah lama ―Ssshh ―kami menunggumu― sshhh" ular itu berkata sesuatu. Mataku terbelalak tidak percaya, ku lempar pandanganku kepada Scorpius.
"Scorpius, kau dengar?"
"Apa?"
"Ular itu bisa berbicara."
Scorpius hanya memandangku dengan tatapan aneh, "Tidak, ular itu hanya mendesis," jawabnya.
"Mereka ―ssshh ―tidak akan bisa― Ssshh ―mengerti bahasa kita ―Ssshh." Sebelum mendekat kearah kami proffesor Troll memerintahkan kami bergegas meninggalkan hutan terlarang.
Ucapan ular tersebut masih mengiang dikepalaku. Kita? KITA?! Apakah itu berarti aku sama dengan hewan melata itu? Atau apakah aku ini sebenarnya Dewi Ular?! Itu tak mungkin. Sebenarnya siapa aku? dan berasal darimana bisikan itu.
.
.
TBC
.
.
A/n : Mungkin chapter-chapter berikutnya udah mulai aku jelasin beberapa hal yang aneh disini.. oh iya ada yang tau Suri Cruise? Hehehe bayangin aja muka Suri Cruise kalo ada scene si suri dalam fict ini.
Terimakasih sudah membaca.
Review?
