Halo semuanya! Ini cerita pertamaku di akun baru ini! Udah lama nggak buat cerita. Haduh dag-dig-dug kembang kuncup gini euy *dihajar readers karena bacot*
Kali ini aku mau bikin cerita tentang Fullmetal Alchemist! Yeeeey *back sound*
Pertama-tama mari kita panjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas ke-rida-annya kita bisa berkum–"Oi! Ini buka acara syukuran! Udah buruan!" –Readers. Oke. Dari pada mala-mala–"Lama-lama!" –Readers. Ah, iya, lama-lama lebih baik kita mulai saja ceritanya.
I don't own anything. Cerita ini milik Arakawa Hiromu-sensei. Aku hanya meminjam karyanya, jadi jika beliau tidak suka aku akan menghapusnya. Maka dari itu aku minta doa restu supaya aku tidak menghapus cerita ini *plak.
Warning :
Rated : T (untuk keamanan bersama), ada sedikit unsur Shonen Ai (sepertinya).
Cerita ini bisa mengakibatkan kebutaan sementara dan permanen, bisa membuat anda tidak berhenti buang air, membuat anda mual dan muntah-muntah, anda juga bisa terjangkit penyakit cacar, kanker kulit, infeksi pernafasan, gagal jantung dan lain sebagainya. Maka dari itu saya peringatkan, TIDAK SUKA? JANGAN BACA!
Note :
Adventure, fiksi, (sedikit) romance, AU, OOC, garing, basi, gak jelas, aneh, dan kawan-kawannya(?).
.
ALCHEMY ACADEMY
Chap 1 : Kota nomer satu se-Amestris
.
"Apa!? Kamu mau sekolah di Central!?" seru Winry ketika mendengar penjelasan Edward tentang rencananya.
"Ya. Habisnya kota ini miskin ilmu pengetahuan sih. Kalau aku tetap di sini, bisa-bisa aku mati bosan," yakin Edward dengan wajah sok gantengnya.
Mulut Winry makin menganga mendengar alasan Edward. Dia memalingkan wajahnya ke arah Alphonse seolah meminta dukungan. "Menurutku apa yang dikatakan nii-san benar. Kita tidak mungkin terus-menerus tinggal di sini kan?" bukan sebuah dukungan yang keluar dari mulut Alphonse, melainkan sebuah pemberontakan bagi Winry.
Dengan wajah kesal Winry menatap wajah Edward tajam-tajam. "Hanya orang bodoh yang akan mati bosan di tanah kelahirannya sendiri," sindir Winry sambil memalingkan mukannya.
Edward tidak mau kalah. Dia juga memalingkan mukanya sambil berkata, "Hanya orang tolol yang tidak mengambil kesempatan untuk pergi dan menjadi lebih baik."
Setelah mendengar kata-kata Edward, Winry meninggalkan ruangan itu sambil membanting pintu ruangan tersebut. Alphonse menatap Edward seolah berkata 'bukankah seharusnya nii-san mengejar Winry', Edward balik menatap 'biarkan saja dia. Nanti juga balik lagi'.
Edward menghela nafas. "Kenapa sih si Winry itu. Protes aja mulu. Emang salah kalau kita sekolah di Central? Padahal nenek tua itu saja setuju," gerutunya kesal karena sikap Winry.
"Yah, aku mah nggak peduli kamu mau kemana juga. Ke ujung dunia pun silahkan, asalkan jangan tambah pendek saja," sindir Pinako sambil menyeruput teh hitamnya.
Tatapan Edward berubah ketika mendengar kata 'pendek'. "Hei, hei, bukankah nenek tua kita ini juga pendek?" katanya sambil tersenyum dengan terpaksa. Auranya berubah menjadi aura pembunuh.
Sang nenek menatap anak teman minum-minumnya itu dengan tatapan yang tak kalah mengerikan. "Hoo… setidaknya dulu aku pernah tinggi, CEBOL," kata sang nenek dengan penekanan di akhir kalimat.
Mendengar perkataan sang nenek, Edward jadi naik pitam. "Aku juga akan tinggi kok, dasar nenek tua bau tanah!" serunya dengan murka. "Hei, cebol, diem aja deh!" dan akhirnya perkelahian yang tak bisa dihindari itu pun di mulai.
-oOo-
Sinar mentari memasuki ruangan yang gelap itu. Membuat sang pemilik kamar terpaksa bangun dari mimpi indahnya. Ketika sang pemilik kamar bangun wajahnya berubah pucat. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Rambut emasnya yang panjang dia biarkan terurai, membuat wajahnya tampak anggun dan cantik. Anak berambut emas itu menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan (ah, tentu saja dari mulut, bukan dari belakang *digebuk reader*). "Mimpi apa barusan? Rasanya tadi aku seperti mau mati," gumamnnya.
Anak lelaki itu, yang kita sudah tahu bahwa namanya adalah Edward Elric, turun dari ranjangnya yang empuk. Dia masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, kemudian mandi.
Setelah semuanya siap, dia keluar dari kamarnya menuju ruang makan. Di sana sudah ada sang adik, Alphonse, sang nenek, Pinako, dan gadis yang menurutnya cerewet, Winry.
"Setelah selesai makan kita akan langsung berangkat ke Central," kata Edward sambil menarik kursinya kemudian duduk di situ. Dia mengambil beberapa lembar roti, memberinya selai kemudian memakannya.
Alphonse mengangguk tanda mengerti. Setelah itu terjadi keheningan yang menyusahkan hati.
"Jawab aku. Kenapa kamu ingin sekali sekolah di Central? Kalau memang untuk belajar kamu bisa sekolah di kota selatan, kan?" tanya Winry memecah keheningan.
Untuk beberapa detik tidak ada jawaban. "Kenapa harus setengah-setengah? Kalau memang niat belajar, langsung saja ke ahlinya," jawab Edward dengan tenang.
Setelah itu keheningan kembali terjadi. Kali ini benar-benar tidak ada yang bicara, sampai akhirnya Edward bangkit dari kursinya dan mengajak Alphonse untuk berangkat ke Central.
"Tunggu," kata Winry yang menghentikan langkah kedua saudara itu. Duo Elric berbarengan berbalik ke belakang. Menatap Winry yang mengantar kepergian mereka. "Semoga kalian berhasil!" seru Winry. Dengan sebuah senyum lebar di kedua wajah kakak-beradik itu, mereka mengacungkan jempol seolah berkata 'siap' sambil berseru.
Duo Elric pun melanjutkan perjalanannya menuju Stasiun Resembool. Mereka harus menunggu untuk naik kereta menuju Central.
Alphonse melirik ke arah Edward yang sedang memainkan resleting tasnya. "Ada apa?" tanya Edward yang sadar kalau Alphonse memperhatikannya.
Alphonse terdiam sejenak, seolah sedang merangkai kata-kata. "Kalau kita sudah sampai Central, bagaimana?" tanyanya.
Edward terdiam seperti sedang berfikir. "Hm… mungkin kita harus cari penginapan dulu," jawabnya dengan nada ragu.
Wajah Alphonse terlihat kaget mendengar jawaban sang kakak. "Nii-san belum merencanakannya?" tanyanya sedikit berteriak.
Edward memutar bola matanya. "Yah, kau kan tahu aku belum pernah ke sana," jawabnya datar.
"Lalu kita akan sekolah dimana?" tanya sang adik ragu. Sang kakak membuka tas ranselnya. Memasukan tangannya seolah sedang mencari sesuatu. Wajahnya berubah cerah ketika dia menemukan apa yang dia cari. Dia mengeluarkan selembar kertas kemudian menunjukannya pada sang adik, "Di sini!" serunya dengan gembira.
Kertas itu membuat mulut sang adik terbuka lebar. "ALCHEMY ACADEMY!?" seru sang adik kaget. Suaranya menggelegar sehingga membuat para burung kabur entah kemana. "Nii-san nggak bercanda, kan?" tanya sang adik memastikan.
Sang kakak memegangi telinganya yang berdengung karena teriakan adiknya. "Emang aku keliaan boong ya?" tanyanya dengan wajah bingung.
Sang adik terdiam melihat kelakuan sang kakak yang sedikit OOC (Out Of Character). Dengan sorotan mata benar-kata-Winry-sepertinya-nii-san-sedikit-bodoh itu, sang kakak menatap adiknya dengan penuh keseriusan. "Orang yang berhasil adalah orang yang mau mengambil resiko sebesar apa pun resikonya. Karena dia tahu bahwa dia akan mendapatkan hadiah yang lebih besar daripada resiko yang dia dapat," bela Edward untuk mematahkan pola pikir sang adik.
Sang adik terdiam sebentar. "Tapi yang namanya bodoh tetap saja bodoh," kata Alphonse dengan kata-kata yang langsung menusuk hati sang kakak.
Edward memegangi hatinya yang baru saja dirobek oleh kata-kata Alphonse. "Aku nggak bodoh! Ini cara berfikir krisis tau!" serunya berusaha membela diri dan untuk menghibur hatinya sendiri.
Alphonse melihat Edward dengan wajah datar. Kemudian tersenyum dengan penuh keikhlasan. "Oke. Terserah nii-san aja. Tapi yang pasti, orang bodoh nggak akan ngaku kalau dia bodoh," katanya masih dengan senyum yang sama. Sekali lagi Edward memegangi dadanya yang sakit karena terobek yang ke-dua kalinya oleh kata-kata Alphonse.
Ketika Edward mau membalas lagi, kereta yang akan mereka naiki datang. Pada akhirnya Edward pun tidak membalas kata-kata Alphonse. Di dalam kereta Edward larut dalam dunianya sendiri. Matanya menatap jauh ke arah pemandangan yang berada di luar jendela.
Alphonse memperhatikan kakaknya yang menurutnya tampak keren. "Pemandangannya bagus ya," gumam sang adik. Dia tidak meminta jawaban dari sang kakak tapi Edward mengangguk lalu berkata, "Ya."
Setelah duduk berjam-jam di kereta, akhirnya mereka sampai di kota Central. Tempat yang mereka idam-idamkan. Wajah Edward berubah cerah. Ketika mereka keluar dari Stasiun Central, sebuah parade menyambut mereka dengan meriah.
Hari ini adalah hari ulang tahun Kota Central. Ada begitu banyak macam balo dengan berbagai macam bentuk. Kota itu dihiasi dengan berbagai macam atribut yang mempercantik kota tersebut.
Edward berlari dengan lincahnya menerobos kerumunan. Wajahnya tampak sangat kagum dengan keindahan kota nomer satu se-Amestris itu. Dia berpindah dari satu etalase ke etalase lainnya. Matanya berbinar-binar melihat berbagai pajangan di etalase itu.
"Ini benar-benar hebat!" serunya girang. Edward memalingkan wajahnya ke arah Alphonse yang sedari tadi hanya mengikuti sang kakak yang mondar-mandir sana-sini. "Al! Lihat! Inilah kota yang akan kita tinggali mulai sekarang! Kota ini… benar-benar keren!" serunya sambil mengangkat kedua tangannya. Dia tidak bisa menahan senyum kegembiraannya.
Alphonse hanya mengangguk. Tak ada satu patah kata pun yang bisa dia ucapkan untuk menunjukan kemegahan dan keindahan kota nomer satu ke-Amestris ini.
Setelah melihat-lihat kota yang indah nan megah itu, Duo Elric mencari penginapan untuk disewa selama semalam, hanya untuk bermalam malam ini saja tentunya.
Di dalam kamarnya mereka saling bercerita dengan riangnya. Menceritakan ketakjuban mereka akan kota tersebut. Beberapa kali mereka tertawa, kaget, bahkan kagum dibuatnya. Mereka terus bercerita sampai akhirnya keduanya lelah dan tertidur.
-oOo-
"Kenapa kamu nggak bangun lebih pagi dari aku?" tanya Edward dengan nada sedikit kesal.
"Lho, kok nii-san nyalahin aku sih!? Kan nii-san sendiri yang nggak bangun!" bantah Alphose yang tidak mau disalahkan.
Kedua kakak-beradik itu sama-sama bangun kesiangan dan telat untuk ujian masuk Alchemy Academy. Mereka melakukannya dengan cepat tapi teliti. Setelah semuannya siap, kedua kakak-beradik itu langsung melesat menuju Alchemy Academy.
Di jalan yang ramai itu, Edward sempat berhenti ketika melihat seseorang tersenyum padanya. Dia membalik ke balakang untuk melihat siapa itu, tapi dia tidak melihat siapa pun. Dia juga tidak tahu seperti apa wajah orang yang tersenyum padanya itu.
"Nii-san, kalau berhenti di situ tambah telat lho!" teriak Alphonse yang sudah berada jauh di depan Edward. Setelah mendengar teriakan itu, Edward langsung berlari menyusul adiknya.
Sesampainya di Alchemy Academy, kedua kakak-beradik itu berpisah. Alphonse ke gedung SMP atau kalau bahasa ingrisnya mah Junior High School, sedangkan Edward ke gedung SMA atau kalau bahasa ingrisnya mah High School. Di dalam cerita ini Alphonse kelas 3 SMP kalau Edward kelas 1 SMA. Jadi… Alphonse mah pindah sekolah kalau Edward mah menempati jenjang yang lebih tinggi. Nah–"Udah! Bacot!" –Readers. Maaf. Oke ayo kita lanjutkan saja.
Di gedung SMA…
Edward yang telat sempat dimarahi tapi kemudian dia diperbolehkan untuk mengikuti ujian. Dia mengisi datanya dengan sangat hati-hati. Kemudian mejawab semua pertanyaan itu dengan jawaban yang benar menurut dia.
Di gedung SMP…
Jantung Alphonse berdegup kencang. Sekarang dia sudah ada di depan pintu ruang kepala sekolah. Alphonse menarik nafas dalam-dalam. Dia membuka pintu itu perlahan.
Dilihatnya seorang lelaki tua nan gagah yang sedang berdiri menghadap jendela. Lelaki itu berbalik menatapnya. Sebuah penutup mata menutupi mata kirinya. Rambutnya hitamnya disisir sangat rapih. Kumisnya yang tebal seolah memperkuat kegagahan yang sudah ia miliki.
"Selamat datang. Aku sudah menunggumu dari tadi," kata lelaki itu sambil tersenyum ka arah Alphonse.
-oOo-
Terima kasih sebelumnya karena sudah mau membaca. Kalau banyak yang suka, cerita ini akan aku update sebulan sekali, itu pun kalau tidak ada halangan. Sekali lagi terima kasih. Aku butuh review kalian untuk memperbaiki diri! Maaf kalau misalnya banyak typo.
