~RajiFict 11th Episodes~

~Opening: Tezuka Kunimitsu - Niji~

Aiko: Minna! Tadaima! Kembali dengan penulis yang awesome ini~ (elu mah, aweful, ko) mari kita dengarkan RajiFict!

~Opening again~

Aiko: Minna~ saya pulang mudik nih. Dan sialnya, dalam perjalanan mudik, anak pecicilan ini pun masih saja diberkahi pekerjaan. Walhasil inilah jadinya, satu fanfic yang ditulisnya dalam perjalanan mudik.

Jaa! Singkirkan dulu tentang liburan konyol saya. Mari kita sambut guest star kita kali ini di RajiFict! Momoshiro Takeshi!

Momo: Doumo, minna!

Aiko: Jaa, senpai, arigatou sudah datang ke acara ini.

Momo: Terima kasih sudah diundang.

Aiko: Kali ini, tolong temani saya membalas dan merekap review-review dari pembaca sekalian.

Momo: Yosha~! Hajimemashoo ka?

Aiko: Dou~zo!

Momo: Hai'! Mazu wa, Frejahimitsu-san kara. Douzo, sensei.

Aiko: Arigatou ne, Momo-senpai. Yomimashoo...

"Ah, daijoubu. Gak apa-apa. Kita masing-masong punya pairing favorite lah... :3 Ah, Fic buatan Acha-san juga gak kalah bagusnya kok... :D

Arigatou untuk semangatnya ya~"

Momo: Ne, sensei, kenapa kau tidak membuat fic tentang diriku?

Aiko: Kan sudah.

Momo: Itsu?

Aiko: Lha, di 'Itsumademo', itukan fic dirimu, senpai~

Momo: Lha itu kan fic sensei sama Tezuka~ #pundung

Aiko: Sugi ni, Aoyagi-senpai de gozaimasu.

"Doumo, atas reviewnya. Kenapa gak panjang-panjang? Karena saat itu saya sudah ditodong untuk mudik. Jadi gak bisa pikir panjang langsung MAK!JLEB! selesai... " *dihajar massa*

Momo: Doumo. Sugi wa, Kriezt-san kara.

Aiko: Hai. Kotaetemasho.

"Ho... silahkan untuk refrensinya... Tapi, bayar royalti sama say- *buagh!* Arigatou, terima kasih~ sama-sama. Happy Idul Fitri Day yaa~~" *telat*

Momo: Soshite, Kiriyama-san kara.

Aiko: Kiri-senpai~! X3

"Heheheh... iya. Kan ditodong waktu. Jadinya harus ekstra super cepat menyelesaikannya. Maaf senpai, kali ini bibirnya Niou buat Yagyuu. Besok buat saya... besok buat aspal... besok buat... *dicelupin ke empang*

Wakattemasu~ Arigatou..."

Momo: Toshite wa, Aoryuu-san kara.

Aiko: Hai' dari Aoi-senpai.

"Ini One-Shot senpai. Jadi gak ada lanjutannya. Gomenne. Tapi saya akan terus berusaha! Mohon dukungannya~!" *bows*

Momo: *bows* Hai' sugi de, Ai-san kara.

Aiko: Shirakawa-san desu ka?

"Yah, untuk urusan siapa yang sekelas dengan Niou, tolong jangan di ambil sajalah. Soalnya itu dibikin dengan ilmu sotoy saya. Kheheheheheh... "

Momo: Soshite ima, Yuiri-san kara.

Aiko: Yuiri-senpaaaii~~ Maaf sampai sekarang saya belum bisa menyelesaikan PerfectPairnya~! ;A; Mereka terlalu perfect buat saya~ Maka, dengan sangat menyesal, saya mengundurkan diri dari request yang itu. Senpai boleh rikues dengan pairing yang lain kok...

Arigatou atas review-nya. Itu bibir Niou biar adil, saya yang merawanin... XD *disate warga*

Momo: *manyun*

Aiko: Naze, Momo-senpai? Mau saya perawanin? (^3^) *ditabok*

Saigo wa, applecoffeecake-san kara.

"Yah, doumo untuk reviewnya. Dan mohon ditunggu aja fic rated M nya... *ketawa setan*"

Momo: Jaa, sensei, apa yang bisa kita rekap di sini?

Aiko: Hai', Mazu... Pada bilang ceritanya menggantung (dikira baju?)

Momo: Silahkan dijelaskan.

Aiko: Saya benar-benar gak bermaksud untuk menggantung cerita itu, terlebih menggantung Niou *ditabok Niou* Tapi, mau dilanjutkan pun saya gak punya ide... Mau kayak gimana? Kalau para readers sekalian mau memberi ide, douzo! Saya tampung~ XD

Sampai sini pun saya mohon bantuannya... *bows*

Momo: Sugi de...

Aiko: Yang kedua~ masalah kelas Yagyuu-Niou-Bunta.
Memang saya lihat dari cerita (abal-abal) saya, mereka bertiga sekelas, walau pada kenyataannya, 'ya' Yagyuu dengan Sanada dan Niou dengan Bunta. Tapi heeeyy~~ Ini penpik, kawan.
Nikmati saja... XD *ditabokin wajan*

Momo: Hai', itulah recap dari reviewnya. Sekarang, tolong ulas sedikit mengenai story yang baru ini.

Aiko: Hai'. Ini pertama kalinya saya membuat 'crack-pairing' yang puji-tuhan tidak sulit. Request dari Kiri-senpai yang berusaha saya wujudkan dengan sekuat tenaga. Dan ini fic request pertama yang saya belah menjadi dua chapter.

Terinspirasi oleh tag-note dari seorang teman yang menceritakan tentang ketegaran seorang istri. Maka itu minna-minna sekalian, silahkan di nikmati.

Momo: Ada kendala saat membuat fic ini, sensei?

Aiko: Ada. Tentunya. Mulai dari pulsa habis, batre habis, nyuksruk sana-sini karena saya bikin cerita ini di jalur Purwakarta-Cirebon yang asdfghjkl naik-turunnya. Maka itu semuanya, silahkan dinikmati dan dihujat. Dimaki-maki deh~

Momo: Hai', owarimasu ka?

Aiko: Hai', owari. Jaa, Minna, RajiFict to iu koto de.

Momo: Sugi no FanFic ni...

Aiko: Mata aimasho!

Momo&Aiko: Jaa nee~!

~Closing: Ibu Shinji - Can See The Light~


Title: Bitter and Sweet

Writer: Takigawa Aihara

Disclaimer: TeniPuri milik Opah Konomi yang kemarin lupa saya kasih sayur ketupat *dilempar bom molotov* dan 'Bitter and Sweet' milik saya selaku penulis

Theme Song: HY - 366 Nichi

Note: Fem Bunta, Married Story. Kisah cinta diantara keduanya yang penuh rintangan. Akankah berhasil pada akhirnya. Pengalihan nama anak-anak Rikkai! Siapa saja? Chect them out! XD

Warning: Gaje, Abal, salah ketik, bahasa yang lebay, dan lain-lain yang pantas untuk dihujat.

OTANOSHIMI NI KUDASAI!


もうそれでもいい
[Tidak apa...]

"Dengan cincin pernikahan yang telah diberkati ini, maka kunyatakan kalian sebagai sepasang suami-istri..."

それでもいいと思える恋だった
[Tidak apa selama itu adalah cinta...]

"Kau boleh mencium mempelai wanita-nya..."

~Bitter and Sweet~

—Mei, Musim Semi—

"Aku pulang..." terdengar pintu rumah kediaman Yukimura terbuka, lalu tertutup beberapa saat kemudian.
Begitu mendengarnya, Bunta—istri—langsung berlari menuju ruang tamu—ruangan pertama rumah mereka.
Dan didapati olehnya sang suami yang baru saja pulang kerja.

"Selamat datang," ucapnya membalas salam sang suami.
Seiichi—suami—pun menoleh. Dilihat Bunta-nya yang manis sudah rapi dan tengah memakai apron—tengah membuat makan malam rupanya.

Seiichi tersenyum penuh arti. Dihampirinya sang istri dan didekapnya erat, "Bun-chaa~nn~ bagaimana kalau kita pergi kencan malam ini?"
"Hee?" Bunta terkejut.
"Ne? Kenapa?" Seiichi melepaskan dekapannya demi melihat sang istri.
"Ah, tidak... Tapi... Apa kau tidak lelah?" dengan ujung jemarinya, Bunta menyisiri rambut biru sang suami.
Seiichi tertawa, "lelahku langsung lenyap saat melihatmu~" tanpa permisi, dibawa-nya Bunta dengan gaya 'bridal-style'.
"KYAAAAA~! Mau kemana diriku kau bawa?" jerit Bunta.
"Ke kamar~"
"HEE? Tunggu! Itu! Aku masih memasak di dapur~!"
"Biarkan sajalah~"

Kisah rumah tangga yang hangat oleh cinta, dan kisah pertemuan mereka yang romantis. Bunta dan Seiichi akhirnya dipersatukan di depan altar pada awal Juni ini.
Seiichi, yang tadinya merupakan senior gadis berambut merah itu, langsung menikahi sang emkouhai/em yang berbeda 5 tahun darinya saat lulus kuliah di universitas yang sama.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini?" tanya Bunta saat mereka duduk berdua di meja makan. Acara kencan malam ini batal karena Bunta menolak mentah-mentah atas alasan makanannya bisa mubazir kalau mereka kencan di luaran.

Seiichi menghentikan sejenak aktivitas mengunyah-nya. Matanya mengadah ke atas—mem-flashback kejadian-kejadian hari ini, "wah, seperti biasa... Kerjaan yang bertumpuk, dokumen yang menggunung, list yang berderet..." Seiichi bercerita dengan gaya khas-nya; mengayunkan sumpitnya ketika ia berbicara.
Bunta hanya tertawa kecil melihat kelakuan sang suami.

"Ne, Bun-chan... Sudah 'berisi' lagi kah?" tanya Seiichi sembari menatap dalam-dalam kedua mata sang istri.
Bunta langsung terdiam. Kedua tangannya tak lagi mampu mengangkat sumpit yang tengah dipegangnya. Perlahan kelopak matanya turun, seiring telapak tangannya menempel di papan meja makan.

Suasana menjadi hening. Sangat hening. Sampai akhirnya Bunta menggeleng pelan. Ia menggigit bibir bawahnya.

"Aku tidak tahu..." jawab sang istri lirih.

Seiichi mengulum senyumnya. Ia lalu bangkit dan menghampiri sang istri. Dipegangnya kedua bahu Bunta.
"gak apa... Jangan terburu-buru kalau Bun-chan belum siap,"
Bunta tersenyum tipis. Hatinya tenang dengan dukungan sang suami.
Ditempelkannya dagu Seiichi pada ubun-ubun Bunta.

Ia mengerti. Tak mudah bagi Bunta untuk hamil lagi. 2 kali pengalaman kegugurannya dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, mungkin membangkitkan trauma dalam benaknya. Padahal, yang diinginkannya, memiliki anak tanpa paksaan...

Agustus, Awal Musim Gugur — 9 bulan yang lalu...

"Bun-chan, apa kau punya waktu luang sabtu ini?" tanya Seiichi saat sang istri tengah membuatkan sarapan paginya.
"Tentu saja iya. Memangnya kenapa?"
"Aku ingin mengajakmu ke rumah Ibuku..."

Bunta meletakkan kopi pagi sang suami diatas meja makan, "iya ya? Kau belum mengenalkanku pada keluargamu..."

Pernikahan mereka 2 bulan lalu hanya dihadiri beberapa anggota keluarga keduanya saja. Sang Ibu dari Seiichi tak dapat hadir karena alasan kesehatan.

"Jaa, dandanlah yang cantik di hari sabtu nanti,"

~OoOoOoOoO~

"Jadi... Ini istri-mu?" Hiroko—Ibu Seiichi—menatap sinis menantu yang tengah duduk disamping anak laki-lakinya—di hadapannya.

"Oh, kukira kau akan menikahi Sanako..." Hiroko memaksudkan gadis yang menjadi teman masa kecil sang anak.
"Kaa-san~! Sanako hanya teman kecil-ku. Tidak lebih," sanggah Seiichi demi menjaga perasaan sang istri.
"Tapi rasanya aku lebih merestui dengannya ketimbang dengan perempuan ini," lagi, Hiroko melempar pandangan sinis pada menantu yang baru menyandang nama keluarga mendiang suami-nya.

"Kaa-san!" Seiichi tak lagi dapat menahan intonasi bicaranya.
"Toh kalau hanya teman kecil, mengapa kau jadi emosi seperti itu?"
"Sudah... Sudah," bisik Bunta sambil menahan lengan sang suami untuk tidak bangkit dan meladeni emosi-nya lebih jauh.
"Jika kau dapat memberikanku cucu secepatnya, mungkin pandanganku akan berubah..." Hiroko meninggalkan sang anak dengan istrinya diruang tamu.

"Bun-chan... Maafkan Kaa-san tadi ya..." Seiichi menarik kepala Bunta ke atas pundaknya.
"Tidak... Tidak apa-apa kok," senyum Bunta miris, "... tapi..."
"Apa?"
"Permintaan cucu dari Ibu-mu itu..."
"Kenapa?"
Seketika itu juga, padamlah wajah Bunta, "a... aku gugup..."
"Hee?"
"M... Mungkinkah... kita... 'melakukannya' setiap... malam?" Bunta mengerahkan seluruh keberaniannya untuk menyampaikan unek-uneknya.

Seiichi tertawa dengan kepolosan sang istri, "tentu saja tidak,"
Bunta menghela nafas.
"Tapi jika kau begitu ingin cepat-cepat, mungkin kita akan 'melakukannya' setiap malam..."
"KYAAA~!"

—End of Flashback

"Seicchan, belum tidur kah?" Bunta mendapati sang suami yang tengah asyik membaca buku diatas ranjang mereka.
"Aku menunggu dirimu selesai mencuci piring," senyum Seiichi sembari menutup lembaran buku bersampul cokelat itu.

Sebuah kurva membentuk di bibir Bunta. Dihampirinya sang suami dengan gerak langkah yang cepat. Dengan satu lompatan, mampirlah Bunta di pelukan sang suami.

"Rambutmu wangi..." gumam Seiichi saat menyisiri rambut merah sang istri.
Bunta tak merespon. Hanya saja ia semakin menenggelamkan wajahnya dalam dekapan Seiichi.
Dibawanya tubuh sang istri ke samping, tanpa melepaskan se-inchi pun dekapannya.

"Ne, sudah malam. Tidurlah..." bisik Seiichi.
"Kau juga."

Seiichi mengatupkan matanya sekali—tanda menyetujui.
Dibelainya rambut Bunta, lalu dimatikan standing lamp yang ada disisi kanannya.

"Ne, Bun-chan~"
"Hm?"
"Aku cinta Bun-chan..."
"Aku juga..."
"Selamat tidur..."

Seiichi langsung menutup matanya. Hari ini terlalu lelah baginya untuk terus terjaga walau ingin menikmati waktu berdua dengan sang istri. Bunta, ia malah menatapi wajah tertidur sang suami lekat. Perasaan di hatinya tak dapat membuatnya mengantuk. Ia terlalu memikirkan hari itu...

~Awal November, Musim Dingin—6 Bulan Lalu~

Sebagai seorang istri yang berbakti, Bunta dengan setia menunggui sang suami pulang di rumah. Hanya di rumah. Diam. Tak pergi kemanapun.
Karena takut mati karena bosan, akhirnya Bunta memutuskan untuk menonton TV.

"Rasanya lebih afdol kalau sambil makan cake," pikirnya sambil melangkah menuju kulkas.
Ditemuinya seonggok cake strawberry yang ranum tengah diliputi asap dingin kulkas.
Ditariknya kue yang tinggal sepotong itu, lalu dibawanya ke ruang TV. Diambilnya sepotong kecil, dan dimasukkannya ke dalam mulut mungilnya.

Melelehlah selai strawberry yang dingin dipadu dengan dinding cake yang lembut dan padat, dalam mulut Bunta. Bercampur dengan serpihan strawberry.

Tapi tiba-tiba saja, Bunta menutup mulutnya. Ada perasaan mual ketika ia menelan suapan pertama. Mual. Berlarilah Bunta menuju wastafel yang terletak disamping pintu masuk kamar mandi mungilnya.

Bunta berusaha memuntahkan sesuatu. Namun tak bisa. Ada sesuatu yang menahannya untuk tidak mengeluarkan isi perutnya.
Ia menatap cermin lekat-lekat. Terlihatlah wajah dirinya yang begitu pucat.

"Jangan-jangan..."

—Sementara itu di kantor Yukimura—

"Kantoku-san," tiba-tiba seorang bawahannya memasuki ruang kerja Seiichi yang mungil.
"Ya?" respon Seiichi tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen yang tengah 'dijinakkannya'.
"Ada telepon dari istri anda di line4,"

Begitu mendengar kata 'istri', alias 'Bunta', Seiichi pun langsung geratakkan mencari-cari pesawat teleponnya.

"Ya? Ada apa Bun-chan?" tanya Yukimura panik.
"Sei-chan... Aku..." jawab Bunta gugup.
"Ya? Bun-chan kenapa?"
"Ta... Tadi, aku mual-mual, lalu... lalu..."
"Lalu kenapa, Bun-chan?"
"... lalu... wajahku pucat..."
Seiichi terdiam—mencerna perkataan sang istri yang cuma sepotong-sepotong.
"Aku... aku... AKU DEMAM, SEI-CHAN~!" jerit Bunta dari seberang line telepon.
"HEE? Kalau begitu, kenapa tidak ke rumah sakit saja?"
"Tidak mau..." terdengar nada bicara Bunta yang sudah putus asa.
"Kalau tidak mau..."
"... TIDAK MAU KALAU TANPA SEI-CHAN~~!"

Seiichi menghela nafas. Mengalah pada keinginan sang istri.
"Bun-chan diam saja dirumah. Jangan kemana-mana dulu. Jika ada apa-apa, hubungi aku. Aku akan pulang cepat hari ini,"

~OoOoOoOoO~

"Bun-chan? Bun-chan?" Seiichi memanggil-manggil nama sang istri begitu pintu rumah dilewatinya.
"Sei-chan~!" Bunta langsung menggabruk sang suami begitu melihatnya dari dalam rumah.
"Ayo! Kita ke rumah sakit sekarang!"
"Tidak mau..."
"Apalagi Bunta sayang? Aku sudah disini, dan apalagi yang kau tunggu?"
"Aku... tidak mau pergi ke Rumah Sakit," Bunta ngedumel dalam dekapannya, "... aku... aku takut jarum suntik..."

~OoOoOoOoO~

"Permisi, suster..." tanya Seiichi pada salah satu karyawan wanita yang memakai seragam putih tersebut.
"Ya? Ada yang bisa kami bantu, pak?"
"Ruangan Dokter Umum dimana ya?"

Seiichi berhasil menyeret paksa sang istri menuju Rumah Sakit untuk memeriksakan dirinya.

"Oh. Anda tinggal jalan mengikuti koridor ini, lalu belok kanan, dan ruangan Dokter umum ada di pintu ke 2 dari koridor nanti,"
"Sei-chan~! Aku tidak mau~!"
"Terima kasih atas petunjuknya, suster,"

~OoOoOoOoO~

"Hasil pemeriksaan menunjukkan... istri anda memang demam,"

Bunta berhasil (dipaksa) melalui serangkaian pemeriksaan.
Dapat dipastikan mimik Seiichi saat ini sangat cemas, mimik Bunta yang cemberut.

"Namun, itu semua adalah gejala-gejala awal kehamilan..."
"HEE?" Seiichi pongo.
"Eh?" Bunta cengo.
"Yak. Selamat! Istri anda tengah mengandung saat ini. Dapat diketahui dari hasil tes urine tadi. Untuk lebih lengkapnya, silahkan bawa surat rujukan ini ke departemen Ginekologi,"
"Tapi, tapi, tapi..."
"Ya?"
"Sungguhkah?"
Si Dokter malah tertawa, "sungguh. Namun untuk lebih mengetahui berapa usia kehamilannya, silahkan bawa istri anda, dan surat rujukan ini ke Department Ginekologi,"

~OoOoOoOoO~

"AKU AKAN MENJADI PAPA~!" teriak Seiichi kegirangan setibanya mereka dirumah.
"Sei-chan! Tenanglah sedikit. Tetangga-tetangga bisa mendengar kita!" hardik Bunta dengan setengah berbisik.
"Bagaimana aku bisa tenang, Bun-chan~? Aku terlalu bahagia~!" tanpa peringatan apapun, dipeluknya Bunta.

Bahu Seiichi yang terlalu tinggi untuknya, menyangga dagu Bunta sehingga wajahnya mengadah.
Dapat dirasakannya kedua telapak tangan Seiichi yang besar tengah melingkupi janin kecilnya.
Bunta menangis bahagia. Sama bahagianya dengan sang suami. Perlahan, dikaitkan kedua tangannya di leher Seiichi-membalas kehangatan yang di berikan.

"Aku akan selalu menjagamu... Selalu..."

—End of Flashback

Bunta kembali membuka matanya. Sejenak mengingat-ingat masa itu. Manis. Juga bahagia.
Dipandanginya wajah Seiichi yang sudah tertidur. Disingkirkannya rambut biru ikal yang menutupi dahi sang suami. Begitu tenang saat mereka berbaring berdua seperti ini.

"Aku juga..." bisik Bunta, "aku juga sangat mencintaimu..."

~OoOoOoOoO~

~Desember — 5 Bulan Lalu~

"Bun-chan~ bagaimana kalau kita kencan malam ini?" ajak Seiichi saat acara makan malam di rumah mungilnya akan berlangsung.
"He? Malam-malam begini?" Bunta memandang sang suami tak percaya.
"Ayolah, kabarnya arena bermain dekat stasiun itu buka sampai tengah malam~ dan hanya sampai hari ini saja, Bunta sayaaang~" rajuk Seiichi.

Memang sih. Sejak mereka menikah, kesibukan Seiichi meningkat, walau ia pulang setiap malam ke rumah. Iba juga melihat sang suami yang butuh hiburan selain dirinya ini. Yah, hitung-hitung, kembali ke masa pacaran.

"Baiklah," Bunta mengalah, "akhirnya kita bisa jalan-jalan berdua lagi ya?"
"Bertiga!" Seiichi menyela, "kali ini bertiga,"
"He? Dengan siapa?"
"Dengan anak kita," senyum Seiichi polos.
"Ya... Ya... Terserah Sei-chan lah..."

~OoOoOoOoO~

"Bun-chan, ayo kita berangkat~" teriak Seiichi dari lantai bawah.
"Tunggu~" balas Bunta.
Seiichi tertawa. Ia hapal betul kalau sang istri paling benci jika ditinggal pergi.

Tak lama kemudian, terdengar suara derap langkah kaki dari lantai atas.
"Bun-chan~ jangan buru-buru,"
Namun tak terdengar balasan dari sang istri. Nampaknya ia tengah sibuk mencari-cari sesuatu.
"Bun-chan~~?" sekali lagi Seiichi memanggil panggilan kesayangannya pada sang istri-memastikan apakah ia masih hidup buat tidak *ditabok Bunta*
"Ya, aku datang~"
Seiichi langsung stand-by di ujung tangga—menanti Bunta.

—DRRTT~ DRRTT~

Terdengar bunyi getaran ponselnya yang diletakkan di atas meja. Seiichi pun berjalan menuju meja yang berjarak 7meter tersebut.
Baru saja saat tangannya hendak menyentuh ponsel-nya...

"Sei-chan~! Jangan tinggalkan aku!" teriak sang istri.
"Tidak, aku hanya mengambil ponsel-ku saja,"
"Sei-chan~~ tung..."

—BUUKKH!

Terdengar bunyi hantaman yang cukup keras. Seiichi pun menoleh pada ujung anak tangga yang berada tak jauh darinya.

"BUNTA!"

~OoOoOoOoO~

Bunta terbangun saat itu juga. Nafasnya menderu. Ia baru saja bermimpi akan hari itu...
Setelah agak tenang, dilihatnya sang suami yang masih terlelap.

"Hngh!"

Bunta langsung merangsek masuk dalam dekapan Seiichi yang tengah memejamkan mata—tak mengerti apa-apa.
Seiichi langsung bangun ketika tubuhnya terguncang dengan hantaman sang istri.

"Ada apa, Bun-chan? Apa yang salah?" Seiichi menenangkan Bunta yang selayaknya baru melihat hantu.
Bunta tak mengeluarkan suara apa-apa. Tubuhnya menggigil ketakutan.
"Bun-chan, beri tahu aku..." jemari Seiichi terus menyisiri helaian merah rambut Bunta—berusaha untuk memenangkannya.
"... takut..." suaranya gemetar, "... aku takut... takut..." hanya itu yang diucapkan Bunta berulang-ulang.

Memang Seiichi tak dapat menerjemahkan pikiran sang istri. Namun pada akhirnya ia mengerti kalau Bunta baru saja mendapat mimpi buruknya.
Ditariknya kepala sang istri dalam pelukkannya.

"Tidak apa... Aku ada di sini... Semua akan baik-baik saja..."

あの時 私 忘れたらよかったの?
[Bukankah sebaiknya aku melupakan waktu itu?]

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" hari ini Hiroko berkunjung ke kediaman anak tunggalnya.
"Baik, kaa-san..." dapat didengar Bunta jawab suaminya saat dirinya di dapur—membuatkan minuman dan kudapan bagi sang Ibu mertua.

"Lalu... bagaimana dengan istri-mu? Apa dia sudah memberikanmu momongan—setidaknya calon anak?"

Bunta langsung berhenti mengaduk gula dalam teh hangat yang akan dihidangkannya.

"Sejujurnya, aku tak ingin buru-buru memiliki anak, Kaa-san..." jawab Seiichi dengan nada yang agak dikeraskan—untuk menenangkan hati sang istri.
"Jangan berkilah. Jika sudah keguguran 2kali, pasti ada yang tidak beres. Mengapa tidak coba cari yang lain?"

—PRAAANG!

Seketika itu juga, nampan yang tengah dibawa Bunta terjatuh. Tepat dihadapan Ibu mertua dan sang suami.

"Bun-chan, kau tidak apa-apa?" tanya Seiichi yang lalu menghampiri sang istri dan membantunya mengumpulkan pecahan gelas yang mewarnai lantai rumah mereka.
"Tidak. Ung... Aku akan membuatkan yang baru," Bunta segera bangkit.
"Tidak usah. Aku masih ada urusan lain. Aku pergi," Hiroko segera beranjak dari tempat duduknya.
"Aku akan mengantarkan sampai depan pintu," Bunta segera bangkit. Namun...

"AH!"

Bunta kembali tersungkur. Wajahnya tertunduk menahan sakit. Telapak kakinya sukses menginjak pecahan beling.
"Tidak usah. Tidak ada guna-nya juga kau mengantarku walau sampai depan rumah," lalu Hiroko menghilang dibalik pintu.
"Bunta... jangan paksakan dirimu..." Seiichi segera memeriksa luka sang istri ketimbang melihat sang Ibu menghilang dibalik persimpangan.
"Tapi..."
"Sudahlah. Kau lebih baik diam, dan jadilah ratu-ku," senyum Seiichi yang menumbuhkan semburat merah di kedua pipi sang istri.

Dibawanya sang istri ke atas sofa.

"Untungnya pecahan kaca itu tidak menancap," gumam Seiichi sembari mengamati belahan daging yang terbuka itu.
Bunta terus meringis. Mendesah pelan. Perih.
"Kalau begini ceritanya, kau harus beristirahat selama seminggu," diagnosa Seiichi bak dokter.
"SEMINGGU?" Bunta mengulangi perkataan sang suami.
"Seminggu. FULL." jelas Seiichi.
"Ta... tapi... Seminggu? Aku tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah kalau dengan kaki sepert ini!"
"Maka itu, kau harus beristirahat, Bunta sayang~"
"Tapi... pekerjaannya?"
"Biar kukerjakan,"
"Pekerjaanmu?"
"Yaa... Kukerjakan..."

~OoOoOoOoO~

~Akhir Desember~

"Sepertinya, perbannya bisa dibuka sekarang," Seiichi mengendurkan simpul perban pada kaki sang istri yang dijalinnya tiga hari yang lalu.
"Sudah kering kah?" tanya Bunta sembari berusaha melihat telapak kakinya.
"Sudah. Tapi harus menunggu 4 hari untuk hasil sempurna," gumam Seiichi panjang lebar.
"Tapi..."
"Apa Bun-chan?"
"3hari lagi kan festival tahun baru..." sungut Bunta dengan bibir maju beberapa centi.
"Lalu?"
"Aku jadi tidak bisa memakai geta... Aku tidak bisa pergi ke festival denganmu..."

Seiichi tersenyum simpul, "Bun-chan tetap bisa datang kok,"
"Mustahil. Bagaimana caranya?"
"Aku akan membawamu di punggungku," kedua mata Seiichi mengatup.
"HEEH?"
"Atau mau 'bridal-style'?"
"SEI-CHAN~!"

~2 Hari Sebelum Festival~

"Ne, Bunta, maafkan aku ne?" Seiichi berkali-kali menundukkan kepala dihadapan sang istri.
"Yah, apa boleh buat..." Bunta menghela nafas. Kecewa.

Sepulang kerja hari ini, Seiichi langsung mengadu pada sang istri. Tugas 2 minggu ke Niigata menjadi penghalang festival tahun baru mereka berdua.

"Tapi aku janji, kita akan segera liburan berdua, sepulangku dari tugas," Seiichi menyilangkan hatinya—tanda berjanji.
"Ya, terserah dirimu. Tapi jangan paksakan dirimu jika itu terlalu melelahkan,"
Seiichi mengecup kening Bunta, "kau memang pengertian," senyumnya.
"Tidak juga..." Bunta menggembungkan pipinya.
"Hee?"
"Sejujurnya aku kecewa berat..." Bunta melirik sang suami yang sudah speechless, "tapi ini demi kebaikan kita berdua. Toh, saat-saat berduaan kita tidak selalu waktu festival kan?"
Seiichi memandang istrinya lekat. Sekali lagi. Didekapnya Bunta dalam tubuhnya—sehingga sang istri dapat mendengar simfoni detak jantungnya, "inilah mengapa aku sangat mencintaimu, Bun-chan~"

~Awal Januari~

Awal tahun kali ini sepi. Sangat sepi bagi Bunta. Ditengah euforia semarak bunyi-bunyian, ia malah mengubur diri dengan selimut hangatnya di atas kasur yang biasa ditidurinya dengan sang suami.
Bahkan, obrolannya dengan sang suami beberapa saat lalu pun, tak mampu menambal kehampaan hatinya.
Ia begitu membutuhkan sang suami di sisinya sekarang juga.

Saat Bunta tengah mencumbui langit-langit kamarnya, tiba-tiba, dirasakannya perasaan mual dari dalam perutnya.
Berlarilah Bunta menuju kamar mandi untuk memuntahkan penyebab mualnya tersebut. Namun, seperti kehamilan pertama-nya—tidak ada apapun yang keluar melewati kerongkongannya.
Bunta menatap diri di cermin. Menyadari sesuatu, ia bergegas mengambil test-pack yang disimpannya di meja samping tempat tidur.

Bunta menganga dengan hasil yang ditunjukkan oleh alat mungil tersebut—dua strip merah yang tergurat.

"Positif..." bisiknya.

Namun, tak mungkin ia segera memberi tahu Seiichi saat ini juga. Bunta mengerti kalau sang suami pasti sudah lelah. Diputuskannya untuk memberitahu Seiichi keesokkan harinya...

~OoOoOoOoO~

Pagi yang cerah di awal tahun. Bunta segera bangun dari tidurnya dan membereskan rumah—tugas Ibu Rumah Tangga.
Ia bersiap-siap untuk menceritakan kabar bahagia ini pada sang suami yang masih ada di Niigata.

—KRIIIING~!

Namun, telepon rumahnya berbunyi duluan.

"Pasti Sei-chan... Tumben sekali ia menelpon sepagi ini..." pikir Bunta sembari mengangkat gagang telepon.

"Ya, dengan kediaman Yukimura," sapa Bunta.
"Ah, ini dengan nyonya Yukimura kah?"

Namun ternyata, itu orang lain.

"Ya..." jawab Bunta ragu-ragu.
"Kami dari Rumah Sakit Niigata, mengabarkan bahwa..."

~OoOoOoOoO~

Bunta sabar menanti perjalanan yang sangat panjang menurutnya. Tidak ada penerbangan, hanya kereta ekspress. Namun Bunta terus gelisah.
Telepon pagi ini mengabarkan bahwa sang suami tengah dirawat di Rumah Sakit karena kecelakaan yang dialaminya.

"Sampai saat ini, kesadarannya belum pulih,"

Kata-kata itu terus terngiang-iang dalam pikirannya. Membuatnya ingin menangis. Namun tidak bisa—tidak bisa sebelum melihat keadaan Seiichi yang sebenarnya.

"Pemberhentian terakhir, stasiun Niigata. Harap seluruh penumpang segera..."

Bunta segera mengambil tas yang ditaruhnya di dekat jendela, berlarilah dirinya menuruni kereta.
Dengan sekali menaiki taksi, tibalah Bunta di Rumah Sakit—yang diinformasikan tempat Seiichi dirawat.

"Yukimura-san sudah dipindah ke ruang 56 kemarin," jelas Receptionist yang memberikan informasi pada Bunta.
"I... Itu... Di mana?"
"Dilantai 5 ruang 6, nyonya,"

Tanpa sempat berterima kasih, Bunta segera pergi menuju lift yang masih terbuka.

~OoOoOoOoO~

Jemarinya mendorong pelan pintu ruangan yang dimaksud, sesampainya Bunta di lantai 5.
Dapat terlihat dari celah yang dibuatnya, Seiichi tengah menutup matanya—tertidur sepertinya.
Bunta melangkah pelan menuju ranjang
yang tengah ditiduri sang suami.

"Sei-chan..." Bunta duduk di sisi Seiichi. Dokter itu benar. Seiichi belum sadarkan diri...

~OoOoOoOoO~

"Terjadi benturan hebat di bagian belakang kepalanya. Dan menyebabkan kelumpuhan pada kedua kakinya..."

Bunta lemas. Seketika, ia tak lagi mampu duduk tegak.

"Namun, ini hanya bersifat sementara. Ia hanya membutuhkan istirahat yang banyak," jelas si dokter lagi.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan?"
"Dampingilah ia. Selalu..."

~OoOoOoOoO~

Bunta memutuskan untuk tinggal beberapa hari di Niigata.
Sudah 2 hari ini pula Seiichi belum juga membuka matanya.

"Semuanya, 27 yen,"

Bunta menyerahkan beberapa lembar uang yang nominalnya mendekati jumlah yang disebutkan kepada kasir minimarket dekat Rumah Sakit tersebut.

"Mungkin, jika sudah membuka matanya nanti, Sei-chan ingin segera makan. Yang manis-manis mungkin," gumam Bunta sembari mengecek belanjaanya kembali.

Dilewatinya sebuah florist.
"Ah! Mungkin verbenna akan mempercantik ruangan," Bunta pun kembali mampir.

~OoOoOoOoO~

"Sei-chan pasti menyukainya. Ini kan, warna kesukaannya," gumam Bunta riang sembari terus mengamati Verbenna ungu yang baru saja dibelinya.

Saat ia membuka pintu...

Nampaklah sang Ibu mertua dengan seorang gadis berambut hitam yang tidak dikenalnya, duduk mendampingi Seiichi yang sudah...

"Bun-chan?"

... membuka matanya.

Ingin sekali Bunta menghampiri sang suami saat ini juga. Memeluknya, dan menumpahkan kerinduannya. Namun melihat sang Ibu mertua-dan gadis itu, tumbuh rasa ragu dalam perasaannya.

Namun, isyarat Seiichi dengan lambaian tangannya, membuat Bunta tak mempedulikan apapun lagi.
Segera Bunta mendekati Seiichi—yang diyakininya belum sehat benar, didekapnya dan diresap aroma tubuhnya.
Bunta menangis dalam pelukan itu.

"Bun-chan kenapa?" tanya Seiichi khawatir.
Bunta tetap terisak.
"Bun-chan sakit?" Seiichi mengusap kepala sang istri.
"Aku... aku... kangen... Kangen Sei-chan..." Bunta berusaha memintal kata ditengah-tengah tangisannya.
"Aku juga kangen Bun-chan..." jawab Seiichi dengan tawa yang tipis.

"Aku pikir, aku tak lagi dapat bertemu denganmu..."

"Sudah, sudah, Seiichi butuh istirahat," Hiroko segera menginterupsi kemesraan keduanya.
Seiichi tak dapat berkata apa-apa. Tubuhnya terlalu lemah bahkan untuk sekedar berbicara—terlebih Bunta yang tak kuasa melawan.
"Nah, Bunta, mama ingin berbicara. Sanako, jaga Seiichi," Hiroko membawa sang menantu keluar ruangan—meninggalkan Seiichi berdua dengan gadis yang dipanggilnya Sanako.

"Jadi, itu teman masa kecil suamiku?"

~OoOoOoOoO~

"Bunta, mama minta, tolong jangan menjenguk Seiichi," ujar Hiroko tanpa basa-basi.
"He? Kenapa, Kaa-san?" Bunta bingung jadinya.
"Pokoknya, tidak usah. Kau hanya tunggu Seiichi pulang ke rumah. Itu saja," Hiroko tak memberikan alasan yang jelas.
"Tapi kenapa, Kaa-san? Aku bingung,"
"Kau jangan membantah mama. Sekarang, cepat kau pulang ke Kanagawa,"
"He? Tapi, Kaa-san..."
"Tidak ada tapi-tapian! Sekarang juga!"
"Setidaknya izinkan Bunta pamit pada Seiichi, Kaa-san,"
"Tidak perlu. Sekarang juga, pulang. Mama sudah siapkan tiket kereta-nya," Hiroko menyodorkan sebuah tiket putih dengan tujuan Kanagawa.
"Kaa-san..."
"PU-LANG, sekarang juga,"

~OoOoOoOoO~

Bunta menangis sepanjang perjalanan pulang.
Tak secara kasar, tapi sang Ibu mertua telah menyakiti hatinya-dengan tak membiarkan dirinya untuk sekedar pamit pada sang suami.

"AKH!"

Bunta berjengit, perutnya terasa sakit. Sesaat, ia baru menyadarinya. Kabar kehamilannya belum sampai pada sang suami.

"Maafkan mama sayang..."

Bunta mengelus perutnya yang sama sekali belum terbentuk. Ada perasaan hangat yang dirasakannya hingga ke hati—naluri.

~OoOoOoOoO~

Sore menjelang ketika Bunta kembali ke rumah yang ditinggalinya bersama Seiichi.

"Pada akhirnya, aku terlalu lemah untuk menjaga cinta kita..."

"Ano, Bunta-san~" seorang tetangganya memanggil namanya ketika Bunta baru saja hendak melangkahkan kaki-nya ke dalam rumah.
"Ya, ada apa Fujiko-san?" Bunta mengurungkan langkahnya, dan menghampiri tetangga samping rumahnya itu.
"Ini, kemarin ada yang mengirimkan surat ini ke rumahmu, namun, saat itu Bunta-san tidak sedang ada di rumah. Jadi, surat ini dititipkan padaku," ujar Fujiko sembari menunjukkan sebuah amplop putih besar yang masih tersegel.
"Ah, apa ini?" Bunta menerima surat itu dengan ragu.
"Maaf, aku tidak mengetahuinya, hanya dititipi surat ini, tak lebih," ujar Fujiko.
"Terima kasih, ne, Fujiko-san, aku pulang dulu,"
"He? Tidak mampir ke rumahku dulu? Ada cake dan teh loh," tawar Fujiko.
"Ah, tidak terima kasih atas tawarannya. Maaf, merepotkan..."
"Tidak apa," Fujiko melepas kepergian tetangganya itu sampai pagar, "Oia, Bunta-san~"
"Ya?" Bunta menoleh.
"Cepat sembuh untuk suami-mu ya~"
"Terima kasih atas perhatiannya..."

~OoOoOoOoO~

"Kanagawa University"

Terpampang tulisan yang di-bold tersebut di bagian letter-head surat yang baru ditariknya dari dalam amplop—nama universitas yang dulu meluluskannya sebagai sarjana sosiologi.

"Tumben sekali ada surat dari kampus... Apa ya? Undangan reunian kah?" tanya Bunta pada dirinya sendiri sembari membentangkan kertas yang ditujukan untuknya itu.

"Kepada Marui Bunta,

Pengajuan Beasiswa-mu telah diterima pihak Dekan dan Rektor, untuk melanjutkan kuliah ke 'New York University'. Adapun perihal..."

itu adalah sepenggal kalimat yang membuat Bunta terbelalak tak percaya.
Pengajuan Beasiswa ke Amerika yang diikutinya secara asal-karena dikabarkan Seiichi pun mengikuti beasiswa ini, kini menjadi kenyataan.

Bahagia. Tentunya. Kuliah gratis dan menaikkan taraf pendidikan ke luar negeri merupakan impian mayoritas penduduk dunia.
Sedih. Mutlak perasaan itu ada. Ia mendapat kabar gembira ini saat Seiichi tengah terbaring lemah di ranjang Rumah Sakit.
Bingung. Apa yang harus dilakukannya?


Aiko no Gaje-Gaje Koto:

Minna! Kembali lagi dengan saya~ Did you miss me? *ditabokin panci*

Kali ini tentang Yukimura-Marui. Cukup menyenangkan membuat karakter keduanya yang pas. Mungkin cerita ini memang tidak cocok di SanaYuki, namun Cocok di YukiMaru. Keren-keren~

Saya ucapkan terima kasih untuk teman yang telah men-tag saya di sebuah note FB yang sangat berharga.

Untuk kelanjutannya, mohon ditunggu yang sabar.

Minna de, otanoshimini~

~Aiko~