AN: setelah berbulan-bulan, akhirnya fic ini selesai juga diketik! Terimakasih banyak untuk Mellz, Aquilaa, dan eleamaya, yang telah memberikan ide dan semangat, sampai akhirnya fic ini selesai. Maklum terlalu sering kena penyakit 'M' (males :P)
Tujuanku menulis fic ini adalah untuk meramaikan fandom Z/R Indonesia. Karena sebagai seorang yang mengaku fans berat mereka, aku kok belum pernah menyumbangkan apapun, meskipun sebetulnya aku bukanlah penulis (aku lebih senang baca :P)
Fic ini sebenarnya one shot, tapi karena terlalu panjang, aku bagi jadi 3 chapter, supaya yang bacanya tidak sakit mata XD
Fic ini juga bercerita dalam 2 sudut pandang: Zoro dan Robin, mudah-mudahan tidak membingungkan. O, ya, sebelumnya aku minta maaf, karena fic ini terfokus pada Zoro dan Robin, maka kru yang lain hanya akan disebut sepintas saja.
Akhir kata, selamat membaca!
Disclaimer: Sudah jelas kan? Kalo aku yang punya OP, Robin-lah tokoh utamanya, dan bukan Luffy :P
"bicara"
'bicara dalam hati'
berpikir
Di tengah hutan yang tidak terlalu lebat pepohonannya, tampak Roronoa Zoro sedang berlari-lari kecil mengikuti jalan setapak di depannya. Sesekali matanya melihat ke arah langit mendung di atas kepalanya dan menggerutu di dalam hatinya. Ya, Zoro memang bukan ahli navigasi di kru Topi Jerami, tetapi siapapun pasti dapat menduga, dengan melihat awan hitam tebal yang menggantung berat di langit disertai tiupan angin yang kencang, bahwa sebentar lagi pasti akan turun hujan badai.
Beberapa tetes air hujan jatuh mengenai wajah Zoro. "Ah, sial. Sudah mulai gerimis" gerutunya. Dia pun mempercepat langkah kakinya, sambil matanya mencari dengan cepat, menyapu daerah di sekelilingnya, berusaha mencari tempat untuk berteduh.
Tiba-tiba dari sudut matanya, dia menangkap adanya bayangan bangunan. Segera dia mengubah arah larinya dan menuju ke tempat itu.
Ternyata memang ada bangunan yang tampaknya telah lama ditinggalkan oleh penghuninya. Hal tersebut tampak dari kondisi bangunan itu: dinding kayu yang sudah mulai tidak utuh di sekelilingnya, beberapa kaca jendela yang pecah, dan daun pintu yang sudah tidak terkunci lagi. Zoro pun memilih untuk berteduh di sisi bangunan tersebut.
Tidak berapa lama, hujan badai turun dengan derasnya disertai tiupan angin yang kencang, kilat yang menyambar-nyambar dan guntur yang menggelegar. Tiupan angin kencang tersebut memaksa pendekar aliran tiga pedang itu untuk masuk ke dalam bangunan tua yang tampak rapuh tersebut, apabila dia tidak ingin basah kuyup.
"Permisi" ucapnya sambil mendorong pintunya, karena biar bagaimana juga, masuk begitu saja ke dalam tempat seseorang tetaplah tidak sopan. Bangunan tersebut tidak terlalu besar, mungkin hanya sebesar ruang makan Sunny Go. Di dalamnya tampak beberapa barang yang mungkin tadinya adalah kursi, meja, dan lemari. Semuanya dalam keadaan rusak. Atapnya pun banyak yang bocor. Zoro berjalan mencari tempat yang bisa dia pakai untuk beristirahat sejenak, sambil menunggu hujan badai tersebut berhenti.
Tiba-tiba, lantai tempatnya berpijak runtuh, dan ia terperosok ke dalamnya tanpa sempat bereaksi maupun menghindar.
"GUAAAHH!"
BRUAK!
"Adu..." Zoro mengerang sambil mengusap-usap bagian belakang tubuhnya, sambil memandang ke atas. Ternyata dia jatuh cukup dalam. Sungguh ia sangat menyesali kecerobohannya. Seharusnya dia berjalan lebih hati-hati, terlebih setelah mengetahui bahwa kondisi bangunan itu sudah sangat rapuh, pasti termasuk lantainya!
'Ah! Menyesal sekarang tidak ada gunanya!' batin pria berambut hijau itu. 'Tapi, kenapa bisa ada lubang di tengah-tengah ruangan begini ya?' pikirnya lagi.
Perlahan dia berdiri sambil meraba dinding dari lubang tersebut.
Tanah.
Lubang itu sendiri berdiameter kira-kira 1,5 meter saja.
'Jangan-jangan... ini lubang WC?... ah.. bukan-bukan...' Zoro menggelengkan kepalanya dengan cepat, untuk menghilangkan pikiran aneh tersebut.
'Mungkin terbentuk secara alami. Tapi itu tidak penting. Aku harus bisa keluar dari tempat ini dengan cepat.' Pikirnya lagi.
Melompat keluar jelas tidak mungkin. Dia sempat berpikir untuk menancapkan pedangnya ke dinding, dan menggunakannya sebagai alat bantu untuk naik. Tetapi hujan lebat telah membuat kondisi tanah tersebut lembab dan bahkan basah, sehingga tidak mungkin cara tersebut akan berhasil. Tindakan tersebut malah mungkin membuat lubang tersebut roboh. Kalau dia menunggu air mengisi lubang tersebut hingga dia bisa berenang ke permukaan, pasti butuh waktu yang lama sekali.
Ketika Zoro sedang memikirkan berbagai macam cara untuk keluar, tiba-tiba terdengar bunyi barang jatuh. Tidak lama kemudian, dia bisa merasakan tetesan-tetesan air hujan di atas kepalanya.
'Waduh, gawat... jangan-jangan bangunan ini...' Zoro tidak sempat menyelesaikan pikirannya, karena tidak berapa lama, terdengar lagi bunyi barang jatuh dan barang lain yang pecah, disertai semakin derasnya tetesan hujan yang terasa olehnya. Bangunan tersebut tidak akan bertahan lama!
Membayangkan kemungkinan dirinya dapat terkubur hidup-hidup, membuat adrenalin Zoro mengalir dan dengan sedikit panik pendekar itu berusaha untuk melompat, menggapai, memanjat, dan melakukan berbagai macam cara lain untuk segera keluar dari lubang tersebut, yang sayangnya gagal. Di saat yang sama, dia tetap berusaha untuk memfokuskan indra pendengarannya, agar dapat mengira-ngira berapa lama lagi bangunan tersebut dapat bertahan.
Suara guntur, sesuatu yang terlempar, barang pecah, tetesan hujan, desiran angin, pohon patah, langkah kaki, sesuatu yang...
'Eh? Tunggu dulu... Langkah kaki?'
Zoro menghentikan sejenak usaha sia-sianya, dan berkonsentrasi untuk lebih menajamkan lagi indra pendengarannya.
Pcyak...pcyak...pcyak...
Betul! Itu suara langkah kaki di tanah yang becek. Dan suara tersebut terdengar dekat!
"WOOII! TOLONGG! AKU ADA DI SINI!" Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan bantuan, Zoro mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berteriak.
Dia benar-benar berharap, suaranya dapat terdengar di tengah-tengah suara guntur yang bersahut-sahutan di tengah hujan badai. "WOOOIII!" Berulang-ulang dirinya berteriak sekuat tenaga, sampai suaranya mulai terdengar serak. Langkah kaki itu terhenti sejenak, sebelum kemudian terdengar berjalan mendekat. Harap-harap cemas, Zoro menunggu seseorang itu muncul.
Tak lama kemudian, tampaklah siluet kepala seseorang melongok dari mulut lubang itu. Ia pun menarik nafas lega.
"Hei! Tolong bantu aku keluar dari tempat ini!" pinta Zoro.
"Kenshi-san?"
'Hah? Suara itu... jangan-jangan...'
Deretan lengan yang tiba-tiba muncul di dinding lubang untuk membentuk pijakan, membuktikan dugaannya. Pendekar itu tidak bisa menahan senyum leganya. Segera dia memanjat keluar dari lubang dengan bantuan lengan-lengan tanpa badan tersebut. Sebentar kemudian Zoro muncul dan kembali menjejakkan kakinya di permukaan tanah.
"Terimakasih banyak, Robin!"
"Kenapa kau bisa ada di dalam lubang?"
"Ah... itu... sebenarnya..." belum selesai Zoro bicara, tiba-tiba dia merasakan bahwa sesuatu sedang melayang jatuh ke arah mereka. Secara reflek dia melompat dan menubruk Robin, sehingga mereka jatuh ke tanah beberapa meter dari tempat mereka semula berdiri.
BRUAAKK!
"Ha...ha... apa itu?" tanya Zoro dengan tersengal-sengal, saking kagetnya, sambil melihat ke arah sesuatu yang jatuh tersebut. Tampak sebuah palang kayu yang rubuh, dan meruntuhkan lubang tempat dia tadi berada.
"Tampaknya itu palang atap" kata Robin.
"Atap? Oh, tidak... sebaiknya kita segera keluar dari sini." Zoro segera berdiri, dan kemudian mengulurkan tangan untuk membantu temannya berdiri.
"Benar. Kalau tidak mau terkubur hidup-hidup" jawab Robin dengan santai, sebelum dia berlari keluar.
Zoro menatap punggung arkeolog berambut hitam itu dengan tatapan tidak percaya, sebelum menggelengkan kepalanya, dan segera berlari mengikutinya keluar. Terkadang dirinya heran, bagaimana bisa Robin begitu santainya mengucapkan hal-hal seram seperti itu, terlebih lagi ketika beberapa saat sebelumnya Zoro sendiri hampir benar-benar terkubur hidup-hidup, andai dia tidak datang.
Mereka baru saja berjarak kurang lebih 5 meter dari bangunan tersebut, sebelum bangunan tersebut benar-benar rubuh, rata dengan tanah. Zoro menarik nafas panjang dan memandang sekelilingnya. Tidak ada lagi tempat bagi mereka untuk berteduh sekarang. Dan karena berlari keluar di tengah hujan lebat, sekarang mereka berdua sudah terlanjur basah kuyup.
"Jadi sekarang sebaiknya kita..."
"Kembali saja ke kapal," sambung Robin, "Karena kita sudah terlanjur basah kuyup. Lagipula, bila kita berdiri di bawah pohon-pohon di saat hujan badai begini..."
Tiba-tiba tampak kilat menyambar satu pohon di kejauhan. Pohon tersebut langsung terbakar hangus dan tumbang.
"Ya..." wanita itu menyambung kalimatnya, "Kita bisa saja tersambar petir dan hangus seperti itu"
"Oh... hentikan..." sahut Zoro sambil memutar matanya, sebelum dia mulai berjalan pergi.
"Kenshi-san"
"Apa lagi? Katanya kita harus segera pergi dari tempat ini?"
"Iya. Tapi ke arah sini."
"Oh..."
~OoOoOoO~
Hujan badai telah mereda, menyisakan rintik-rintik gerimis saja. Langit pun mulai tampak kembali, dan adanya semburat jingga menandakan hari sudah mulai sore. Robin berjalan melintasi padang rumput, sambil sesekali menengok ke belakangnya, memastikan bahwa temannya masih mengikutinya. Ia tertawa kecil dalam hatinya. Memang tiap-tiap orang pasti memiliki kelemahan, tetapi kelemahan pendekar rambut hijau yang satu ini agak keterlaluan. Selama 20 tahun pengembaraannya, Robin belum pernah bertemu dengan orang yang buta arahnya separah Zoro. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali pria itu tersesat dan berakhir di tempat yang aneh-aneh. Seperti yang baru saja terjadi ini.
Sunny Go merapat sejenak di sebuah pulau kecil yang tidak ada di peta. Pulau tersebut bahkan tidak memiliki medan magnet yang kuat, sehingga tidak tertunjuk oleh log pose Nami. Mereka hanya kebetulan saja melintas di dekatnya saat hendak melanjutkan perjalanan ke pulau duyung. Memutuskan berhenti sejenak untuk menambah perbekalan mereka, karena di Grand Line ini tidak pernah ada yang bisa menduga apa-apa yang bisa terjadi, Nami sedikit menyimpangkan kapal mereka dari arah tujuan semula. Sebelum berlabuh, Usopp telah memantau dengan teropong snipingnya, bahwa pulau tersebut hanya memiliki beberapa desa kecil saja, dan tidak ada tanda-tanda adanya angkatan laut. Kemudian mereka pun merapat pada sebuah teluk yang sepi dan terlindungi bukit kecil, sebelum menjatuhkan jangkar Sunny Go.
Begitu merapat, masing-masing kru Topi Jerami memutuskan untuk melakukan kegiatan santai masing-masing. Sebuah kesempatan yang langka, mengingat sekarang semua kru Topi Jerami telah memiliki harga buruan atas kepala mereka. Nami dengan semangat pergi untuk memetakan pulau kecil yang hanya berdiameter kurang lebih lima kilometer saja itu. Sanji dan Brook ditugaskan untuk mencari bahan makanan tambahan. Luffy, Usopp, dan Chopper langsung pergi untuk memulai petualangan kecil mereka, tanpa perduli dengan segala nasihat Nami. Franky dengan teriakan 'Super'nya memulai perawatan kapal dan sempat berbagi sedikit tentang keinginannya untuk menambahkan beberapa inovasi terbaru untuk Sunny Go. Sedangkan Zoro katanya hendak pergi berlatih.
Robin sendiri memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi pulau, untuk melihat dan mencari, siapa tau ada peninggalan-peninggalan bersejarah di pulau kecil itu. Ketika ia sedang meneliti kondisi tanah, bebatuan, dan tanaman pada hutan di ujung pulau yang letaknya bersebrangan dengan tempat merapatnya Sunny Go, tiba-tiba turun hujan deras, yang disertai dengan petir dan tiupan angin yang cukup kencang. Okay, seharusnya dia tidak perlu terjebak di tengah hujan badai, kalau saja tidak terlalu asik dengan kegiatannya, sampai-sampai tidak memperhatikan perubahan cuaca yang terjadi di sekitarnya.
Lalu saat wanita berambut hitam itu sedang berlari-lari mencari tempat berteduh, sayup-sayup terdengar suara orang yang berteriak-teriak. Suara tersebut memang kalah keras dengan suara petir yang bersahut-sahutan, tetapi Robin yakin sekali kalau itu adalah suara orang, yang mungkin saja sedang membutuhkan bantuan. Secara perlahan, dia menelusuri asal suara itu. Tidak berapa lama, dia menemukan sebuah pondok, yang kondisinya sudah tampak memprihatinkan. Beberapa dinding dan atapnya sudah terlepas terkena tiupan angin kencang. Sebentar lagi pasti akan roboh. Tetapi, suara tadi terdengar makin jelas, yang artinya, orang tersebut sedang terjebak di dalamnya. Tau bahwa dia tidak akan memiliki waktu lama, Robin segera masuk dan mencari sumber suara tersebut.
Betapa terkejutnya Robin ketika akhirnya dia menemukan sumber suara tersebut, yang ternyata adalah Zoro yang sedang terjebak di dalam lubang.
Tetapi ketika ditanyakan bagaimana ia bisa sampai tersesat ke dalam lubang seperti itu, pendekar itu bersikukuh bahwa dirinya tidak tersesat dan hanya berlatih di sekitar Sunny Go. Dia memang sempat berenang di sungai yang ada di dekat situ, tetapi ketika dia selesai berenang, Sunny Go sudah tidak ada lagi di tempatnya. Zoro malah berpikir bahwa Franky menjahilinya dengan memindahkan posisi Sunny Go, jadi dia berniat kembali dengan memotong jalan melalui hutan yang ada di depannya tanpa pikir panjang. Tidak lama kemudian, dikarenakan hendak berteduh dari hujan badai, masuklah dia ke dalam bangunan tersebut, dan kemudian dia terperosok ke dalam lubang itu.
Robin tertawa kecil mendengar ceritanya.
"Apa itu? Kau tidak percaya padaku?" Zoro menatapnya dengan kesal. "Berapa kali harus kukatakan, bahwa ini pasti..."
"Iya.. iya... aku percaya kok" potong Robin sambil tersenyum. Tapi wanita itu tau pasti, kondisi sebenarnya sangat sederhana. Pendekar ini pasti tersesat saat sedang berenang. Itu saja.
Tidak berapa lama, hujan pun berhenti sepenuhnya. Bintang-bintang mulai tampak di langit cerah, yang sudah mulai gelap. Angin malam pun mulai bertiup sepoi-sepoi. Dikarenakan bajunya yang masih basah, Robin sempat menggigil ketika terkena tiupan angin itu.
"Hei... kau kedinginan?"
Robin menoleh, sedikit terkejut. Karena rasanya dia tidak menggigil terlalu kuat, dan di tempat yang mulai gelap ini, akan sulit menangkap gerakan seringan itu. Tapi sekali lagi, orang yang berjalan di belakangnya ini, bukan orang biasa. Kemampuan observasinya jelas tidak bisa diremehkan. Dan sebagai orang yang sering diawasi oleh pendekar tersebut, terutama ketika dia baru pertama kali bergabung, Robin tau betul akan hal ini.
"Ah, tidak... ini hanya karena baju yang basah" jawabnya sambil tersenyum, "Lagipula, sebentar lagi juga bisa kuganti dengan baju yang kering" lanjutnya. Zoro menaikkan satu alisnya, tanda dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh arkeolog itu.
"Lihat..." ujar Robin sambil menunjuk ke arah Sunny Go yang telah tampak di kejauhan. Rupanya mereka telah tiba di puncak bukit kecil, yang melindungi Sunny Go dari pandangan orang-orang di pulau.
Robin memperhatikan, bahwa setelah melihat Sunny Go, yang berarti mereka hampir sampai ke tujuan mereka, Zoro terlihat senang. Ya, memang tidak ada tempat yang lebih nyaman selain rumah sendiri.
Rumah...
Robin terhenyak sebentar. Akhirnya setelah 20 tahun, dia memiliki tempat yang bisa dia sebut rumah.
'Setelah Ohara...'
Wanita itu tersenyum sedih. Memang sekarang dia telah memiliki teman-teman yang dia anggap keluarga, tetapi ada saja saat-saat di mana dia teringat akan Ohara, kenangan-kenangan bersama Profesor Clover dan teman-teman arkeolog, ibunya, Saul... Apalagi sejak...
"Hei! Ngapain bengong di situ?"
Suara Zoro membuat Robin tersadar dari lamunannya. Sunny Go telah tampak semakin dekat, dan dia sedang berjalan lurus ke arahnya.
'Tapi, ke mana Zoro?' ia memandang sekelilingnya.
"Hei! Ayo cepat! Jangan bengong saja!"
'Ah! Itu dia! Ya ampun, tinggal berjalan lurus saja kenapa dia bisa berada jauh di sebelah kanan seperti itu?'
"Kenshi-san!"
"Ya, ayo cepat. Nanti kutinggal lho!"
"Ke sebelah sini!"
"HAH? ... Lho, kenapa Sunny dipindahkan lagi?"
Robin menggeleng pelan sambil tertawa kecil, 'Zoro...Zoro...'
Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan agak cepat. Tidak berapa lama, mulai terdengar suara dari teman-temanya.
"Usopp! Chopper! Ayo kita lanjutkan petualangan kita! Sanji, bekal! Brook, mainkan lagu-lagu petualangan"
"Ayo… ayo….."
"Yohoho…. Petualangan yang mendebarkan hati…. Meskipun aku sudah tidak tidak punya hati! Skull joke! Yohohoho…."
"Gyahahaha! Oke… ayo kita…"
"Tunggu! Mau ke mana kalian? Ini sudah gelap!"
"Tapi Nami… tadi kan petualangan kita sempat terhenti."
"Lagipula, kita harus mencari Zoro dan Robin yang sedang ditawan oleh naga kepala dua"
"Iya betul Nami…. Kalau sampai terlambat, mereka bisa-bisa dimakan oleh naga!"
"AAHH… TIDAAKK…. Robin-chuaaann…. Awas saja naga jelek! Akan ku…."
"Berisik! Sanji-kun, siapkan makan malam!"
"Ough…. Baik Nami-swann…."
"Kalau kalian masih bersikeras ingin main di luar, silakan….."
"Assiikkk….. kita kemping!"
"EH? Bagaimana dengan Zoro dan Robin dan naga?"
"Tapi tidak ada makan malam!"
"HAA? Tapi Nami….."
"Yohohoho….. waktunya untuk musik... "
Ketika mendengarnya, Robin tidak bisa menahan senyumnya. Ya, dia sekarang memiliki keluarga yang sangat ramai. Tiga orang yang merengek ingin main dan jalan-jalan pasti trio Luffy, Usopp, dan Chopper, sementara suara yang melarang mereka pasti Nami. Aroma masakan yang menerbitkan air liur itu pasti olahan Sanji. Sayup-sayup terdengar alunan melodi biola yang tentunya dimainkan oleh Brook.
Robin dan Zoro lalu menaiki tangga Sunny, dan berjalan menuju ruang makan. Teriakan "SUUPPERR!" yang terdengar dari bawah dek, menandakan Franky masih mengerjakan apapun yang sedang dia rencanakan dan kemungkinan besar berhasil baik.
Keributan di dalam ruang makan masih berlanjut sampai mereka berdua tiba di depan pintu, dan berhenti seketika saat Robin membuka pintu.
"Apa yang sedang kalian ributkan?" tanya Robin sambil tersenyum.
"OOHH! Robiiinn… Zooorooo…. Kalian selamat!" Chopper berlari dan memeluk Robin erat-erat.
"Ha? Memangnya kami kenapa?" tanya Zoro bingung.
"Usopp bilang…."
"Sudah pasti itu bohong!"
"EEEHHH?"
"Berisik! Dari mana saja kalian? Basah begitu lagi!" tanya Nami.
"Kami terjebak hujan, dan berencana untuk berteduh, tapi gagal" jawab Robin santai.
"Ooh… malangnya, Robin-chan… biar kuberikan kehangatan…." Sanji masih menggunakan celemek dan memegang sendok masak, mendekat ke arah Robin. Tampaknya sebelah matanya berubah menjadi hati.
"Hmph…." Sambil masuk Zoro mendengus.
"Apa maksudmu marimo jelek? Bisa-bisanya kau membiarkan Robin-chan basah kuyup?"
"Sudah kering lagi kok!"
"Apa kau bilang?"
"Sudah! Sanji-kun lanjutkan masak!"
"Tentu saja Nami-sann…."
Robin tertawa kecil, "Baiklah, aku mau mandi dan ganti baju dulu sebentar."
"OK!" kata Nami, "Jangan lama-lama ya, sebentar lagi mau makan."
Robin menangguk lalu pergi.
