Our Secret
.
Naruto © Masashi Kishimoto
.
SasukexSakura alternate universe fanfiction for Nenek Immortal, Senju Airin Nagisa.
.
Romance, family, little bit humor, maybe?
.
OOC, typo(s), bad diction, failed humor, and etc. Please red summary first then-
.
-if you don't like, don't ever try to read.
.
Enjoy~
.
Chapter 1 : Married?! What?!
"-ra."
"-kura."
"Sakura!"
Haruno Sakura membuka kedua kelopak matanya secara perlahan saat ia mendengar sebuah suara yang memanggilnya. Gadis musim semi tersebut mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha beradaptasi dengan sinar ultraviolet yang masuk melalui ventilasi kamarnya. Mengeluh pelan, ia menoleh ke samping dan mendapati ibunya tengah berkacak pinggang.
"Bangun, dasar pemalas! Lihatlah sudah jam berapa ini!" Sakura termenung sejenak, ia masih sangat mengantuk. Namun matanya seketika melotot saat melihat jam dinding di kamarnya.
"APA?! SUDAH JAM TUJUH?!" teriaknya heboh. Gadis itu langsung saja panik dan segera mengambil sehelai handuk, ia mengusir ibunya dan bergegas mandi. Setelah mandi, ia bergerak cepat untuk memakai pakainannya. Tidak cukup tiga puluh menit saat dia sudah siap untuk kesekolah, membuat ibunya berdecak takjub.
"Sarapan lah sebelum kau berangkat, Sakura," ucap ibunya. Namun sepertinya gadis itu tak menghiraukan perintah ibunya. Ia hanya mengambil selembar roti yang telah diolesi dengan selai strawberry dan melenggang pergi.
"Aku pergi dulu!" teriaknya. Yang ia dapat lihat saat ia menyempatkan diri untuk menengok ke belakang hanyalah ibu Sakura yang menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat tingkah anak gadisnya.
.
.
.
"Kau terlambat!" tuding Ino ketika Sakura sudah sampai di kelasnya dengan nafas ngos-ngosan.
"Hah? Dimana Kurenai-sensei?" Tanpa memedulikan tudingan Ino, ia menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari gurunya. Sedangkan Ino hanya tertawa renyah.
"Kurenai-sensei tidak dapat hadir sekarang. Jadi … kita bebaaass!" teriak Ino senang. Sedangkan Sakura hanya cengo sekaligus kecewa. Percuma ia berlari secepat kilat tadi, bahkan ia tak sempat mengucapkan salam pada ayahnya.
Ayah. Mengingat kata itu, membuat Sakura menunduk sedih. Tiga bulan yang lalu, ayah Sakura meninggal dunia akibat sakit, dan hal itu tentu saja membuat ibunya serta Sakura terpukul. Untuk mengatasi kerinduannya dengan ayahnya, ia memasang foto ayahnya di ruang keluarga dengan ukuran besar. Ia selalu menyapa ayahnya, ia yakin ayahnya akan mendengar sapaannya dari alam sana.
"Hei! Jangan melamun!" Ino menepuk punggung Sakura. Sakura hanya dapat terlonjak kaget seraya menatap Ino dengan tatapan sebal.
"Haruno Sakura!" Ino, Sakura, dan seluruh teman sekelas Sakura terbengong kaget ketika Guy-sensei datang ke kelas mereka dengan tatapan panik. Sakura mengangkat sebelah alisnya dan berdiri. Ia menghampiri guru dengan alis tebal tersebut dengan tatapan bertanya
"Haahh … haahh … ibumu …" Nafas Sakura tertahan saat mendengar ucapan gurunya itu yang didampingin dengan nafas yang ngos-ngosan, firasat gadis itu mulai memburuk. "Ibumu … kecelakaan!"
Emerald Sakura membelalak, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berlari keluar dari kelasnya tanpa membawa tasnya. Ia terus berlari kencang tanpa peduli tatapan orang-orang. Yang terpenting saat ini, yang ia pikirkan saat ini, yang ia khawatirkan saat ini…
.
.
.
"IBU!" Sakura berteriak kencang, sekerumunan orang yang mengerumuni ibunya memandangnya dengan ekspresi masing-masing. Sakura segera menghampiri ibunya yang tergeletak tak berdaya di jalan raya. "Ibu! Ibu! Bertahanlah!"
Kelopak mata ibu Sakura perlahan-lahan terbuka. Liquid kental berbau anyir melumuri tubuh ibu Sakura saat ini, membuat Sakura tak kuasa menahan air mata yang merembes paksa dari matanya. Dengan lemah, ibu Sakura mengangkat tangannya untuk mengelus pipi gadis semata wayangnya tersebut. "Maaf…" lirih wanita paruh baya tersebut dengan pelan.
"Jangan berbicara! Ambulans akan datang sebentar lagi!" Sakura berucap dengan nada cemas sekaligus panik, gadis berambut khas bunga musim semi tersebut hanya dapat berdoa agar ambulans datang secepatnya untuk menyelamatkan nyawa ibunya.
"K-kau … aku mohon bersabarlah, Sakura … ibu mohon … jangan bersedih …"
"Jangan berbicara!" Ibu Sakura tak memedulikan bentakan Sakura, ia tersenyum lemah.
"Uchiha …" Sakura mengerutkan keningnya. Uchiha? "Datang-hhh … datanglah ke rumah Fugaku dan Mikoto Uchiha … temui mereka …"
"Iya! Iya! Aku akan datang ke Uchiblabla apalah itu! Tapi kumohon, Ibu … bertahanlah!" panik Sakura. Air mata gadis itu tak hentinya mengalir. Sungguh, ia tidak menyangka ibunya akan mengalami kecelakaan parah seperti ini, sementara tadi pagi ia melihat ibunya membangunkannya seperti biasa, marah-marah seperti biasa, dan bertingkah laku seperti biasa. Namun, siapa yang menyangka bahwa ibunya akan mengalami musibah seperti ini. Ia sungguh tidak menyangka…
"Nona, ambulance sudah datang," ujar salah satu wanita paruh baya di dekat Sakura. Sakura menghapus air matanya dan mengangguk pelan. Ia hanya memandang sendu ibunya yang dibawa oleh tandu dorong diikuti beberapa petugas ambulance. "Sudahlah, Nona. Aku yakin, ibumu akan baik-baik saja." Sakura mengangguk saat wanita itu memberi ucapan penenang untuknya. Yah, ia hanya berharap ibunya akan baik-baik saja.
.
.
.
"Kami turut berduka atas meninggalnya ibumu, Sakura."
Haruno Sakura memandang peti ibunya dengan pandangan kosong. Ia tak hiraukan ucapan bela sungkawa Sai dan Ino, gadis itu lebih memilih memandang ibunya sebelum diberangkatkan ke pamakaman. Waktu berlalu begitu cepat, saat tiba di rumah sakit ibunya telah dinyatakan meninggal dunia. Sungguh hal itu membuat hati Sakura terpukul. Mulai saat ini, dia mau tinggal bersama siapa? Dia tidak mempunyai kerabat di kota ini. Dan dia juga tidak ingin merepotkan kerabat ibunya, alasan lainnya juga bahwa ia tidak begitu mengenal atau akrab dengan keluarganya yang lain.
"Sakura? Kau Sakura?" Sakura menoleh dan mendapati seorang wanita paruh baya memandanganya dengan tatapan sedih. Sakura tak kenal dengan wanita itu, ia baru pertama kali melihatnya. Teman ibunya kah? "Ah, aku Uchiha Mikoto." Sakura menunjukkan sedikit pergerakan. Uchiha Mikoto? Bukankah itu nama yang sempat disebutkan oleh mendiang ibunya?
"S-Sakura …" ucap gadis itu dengan pelan. Suaranya telah habis karena terisak begitu lama. Tanpa aba-aba, wanita bernama Mikoto tersebut segera memeluk Sakura.
"Jangan bersedih, Sakura …" lirih wanita itu. "Aku akan menjaga dan merawatmu, aku janji." Nah, bagus. Sekarang Sakura tahu di mana ia akan tinggal.
"T-tapi, aku tidak mengenal Bibi," ucap Sakura sedikit mempertahankan sifat tsundere-nya.
"Tenang, aku adalah sahabat ayah dan ibumu. Kau bisa percaya pada kami." Mikoto tersenyum lembut. "Mari kita perbincangkan hal ini setelah pemakaman ibumu."
.
.
.
"Aku, ibumu, ayahmu, dan suamiku adalah teman akrab sedari kecil. Tapi kami kehilangan kontak saat perusahaan suamiku mulai berkembang. Aku sangat menyesal tak mengunjungi ibumu di saat terakhirnya." Sakura duduk dengan canggung di depan Mikoto. Ia tentu saja canggung, ia canggung dengan semua kemewahan di rumah Mikoto. Mulai dari ukuran rumah sampai perabotan, itu semua sangat mewah.
"Warna matamu sama seperti ibumu, namun rambutmu sama seperti ayahmu," timpal Fugaku, suami Mikoto yang terlihat duduk tenang di sebelah istrinya. Walau terlihat seperti orang yang dingin, ternyata pria paruh baya itu cukup ramah juga.
"Tadaima." Sakura, Mikoto, serta Fugaku menoleh ke arah pintu dan melihat seorang pemuda berambut raven dengan pakaian sekolah memandang cuek ke sekelilingnya.
"Ah, Sasuke-kun! Kebetulan sekali!" Oh, jadi namanya Sasuke. Sakura termangu saat melihat pemuda itu, ah, sungguh pemuda yang sangat tampan. Tampang dinginnya memberikan pesona lebih untuk pemuda itu. "Ini anakku, Sasuke. Sasuke, ini Sakura." Wajah Sakura merona. Sial, jangan bilang kalau dia jatuh cinta pada pandangan pertama!
Pemuda itu memandang Sakura dengan cuek dan melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam, namun Mikoto segera menghentikan pergerakan anaknya itu. "Sebentar, Sasuke. Ada yang ingin ibu bicarakan." Sakura mengerutkan keningnya, kenapa hawa di ruangan itu seketika terasa berat? Sasuke yang sempat terdiam akhirnya memutuskan untuk duduk di sofa berwarna putih tersebut. Onyx-nya menelusuri gerak-gerik Sakura. Pemuda itu tidak tahu gadis ini. Mau apa gadis ini datang ke rumahnya?
"Begini …" Mikoto memulai pembicaraan. "Aku ingin merawat Sakura di sini. Namun, tadi malam Itachi menelpon ayah dan berkata bahwa ada kendala di salah satu perusahaan yang ada di Paris." Sakura mengerutkan keningnya. Itachi? Siapa pula itu?
"Itachi adalah anak kami, kakak Sasuke," ucap Fugaku saat melihat kerutan kening Sakura. "Jadi, maka dari itu, kami memutuskan untuk pergi ke Paris bulan depan."
"Untuk berapa lama?" Akhirnya Sasuke membuka suara. Sakura yang baru saja mendengar suara khas pemuda itu langsung melayang, oh … suaranya sangat seksi.
"Untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Kurang lebih, tujuh tahun." WUAT?! Mata Sakura membulat? Tujuh tahun?! Buset!
"Sebenarnya, kami ingin mengajakmu dan Sasuke ikut pindah. Namun sepertinya kau dan Sasuke masih ingin tinggal di sini." Sebentar, sepertinya Sakura mengerti arah pembicaraan ini-
"Maka dari itu, kau dan Sasuke akan tetap tinggal di sini. Sedangkan aku dan Fugaku pindah ke Paris."
"H-hah?! Aku dan … dia? Berdua?" Sakura tak dapat menahan keterkejutannya. Mikoto mengangguk dengan senyum, namun senyum tersebut terkesan aneh di mata Sakura.
"Jangan gila, Ibu." Sasuke juga ikut mengerutkan keningnya dan memandang tak suka pada ibunya. "Apa yang akan orang-orang katakan jika aku dengan gadis bodoh itu tinggal berdua di satu rumah."
"Ya! Benar! Eh- tu-tunggu! Gadis bodoh?!" Sakura memandang tajam pada Sasuke. Ternyata pemuda itu menyebalkan!
"Nah. Tenang saja, demi menjaga nama baik keluarga, menghindarkan gossip yang tidak-tidak, maka aku dan suamiku memutuskan untuk …" Firasat Sakura sangat tidak enak.
"-menikahkanmu dengan Sasuke minggu depan."
Hening.
"HAAAAHHH?!"
"A-APA YANG ANDA KATAKAN?!"
"IBU! IBU BENAR-BENAR SUDAH GILA!"
"T-TIDAK MUNGKIN AKU MENIKAH DENGANNYA! KAMI MASIH SEKOLAH!"
"AKU TIDAK AKAN MENIKAH DENGAN GADIS YANG TERLIHAT BODOH ITU!"
"MEMANGNYA SIAPA JUGA YANG MAU MENIKAHIMU! WEEEEK!"
"H-hei, tenanglah, kalian berdua." Sasuke dan Sakura serempak memandang Mikoto.
"T-tapi Bibi, kami masih seko-"
"-sekolah? Tenang saja, kami akan menyuruh pihak sekolah untuk tutup mulut mengenai ini. Dan juga, bukankah tidak apa-apa menikah sambil sekolah asalkan tidak hamil?" Mikoto menampilkan senyumnya.
"Ibu, aku-"
"-jika kalian tidak setuju …" Mikoto semakin menyunggingkan senyumnya, namun tampaknya senyumnya kali ini benar-benar menyeramkan. "Apakah kalian ingin kalian digosipi para tetangga karena tinggal bersama? Menjadi bahan pembicaraan sehari-hari, hmm?"
"Biarkan aku menyewa apartemen, biarkan dia tinggal sendirian di rumah ini," usul Sasuke.
"Tidak," tolak Mikoto dengan cepat. "Aku sudah berjanji akan menjaga Sakura di depan makam ibunya. Ibu tidak akan pernah menarik kata-kata ibu."
"Cih. Ayah …" Sasuke memandang ayahya. Biasanya ayahnya akan membelanya, namun sepertinya ayahnya juga ikut tersenyum tipis.
"Tidak ada waktu untuk menolak. Undangan telah disebarkan." WUAT?! SECEPAT INI?!
"Kami bahkan telah berbicara kepada pihak sekolah. Mereka berkata akan tutup mulut, selama para murid tidak mengetahui, tidak akan ada masalah. Maka dari itu, kalian hanya boleh mengundang sahabat yang paling dekat saja."
"Yang benar saja! Minggu depan? Undangan tersebar? Omong kosong macam apa ini?!" Sasuke mengepalkan tangannya. Dia harus melepaskan masa lajangnya … sekarang? Haha, lucu sekali.
"Sasuke, kumohon. Ini permintaan ibu satu-satunya untukmu …" Mikoto melancarkan serangan puppy-eyes pada putranya itu. "Ibu menyayangimu, Sasuke-kun~"
.
.
.
Semuanya terjadi begitu cepat. Sekarang Sakura mengetahui bahwa takdir di tangan Tuhan telah terbentuk dengan matang, entah apakah itu adalah takdir buruk atau takdir baik. Yang jelas sebagai hamba Tuhan, ia hanya dapat menerima takdir yang telah digariskan padanya.
"TAPI OMONG KOSONG DENGAN TAKDIR! AAARRGGHH! KENAPA SEMUA TERJADI BEGITU CEPAT?!" Sakura mengamuk di ruang pengantin wanita. Andai saja Mikoto tak berbaik hati untuk menawarkannya tempat tinggal serta kehidupan yang nampaknya lebih cerah, ia akan kabur saat ini juga! Detik ini juga!
"Hei, hei. Sepertinya pengantin wanita kita sedang mengamuk." Ino membuka tirai ruangan serta memandang Sakura dengan senyuman menggoda. Sebenarnya kelihatan manis, namun Sakura yang sedang dalam keadaan kesal menganggapnya sangat jelek.
"Jangan tunjukkan senyum jelekmu padaku, Pig," ucapnya ketus, sedangkan Ino hanya tertawa renyah.
"Nee, kau tahu? Aku tidak berhenti menganga saat mendapat undangan pernikahanmu. Aku bahkan menyuruh Sai menciumku berkali-kali saat menerima undanganmu itu!" Sakura menatap Ino dengan pandangan sweatdrop.
"Kau gila. Mana mungkin kau menyuruh Sai melakukan itu." Ino semakin tertawa.
"Hahahaha! Baiklah, lupakan kalimat terakhir itu. Tapi intinya aku sangat kaget menerima undanganmu dan bahkan menampar diriku sendiri berkali-kali untuk mengetes apakah ini mimpi atau kenyataan!" Ino berucap girang, membuat Sakura tambah kesal. Bisa-bisanya Ino begitu kegirangan sementara Sakura begitu merana saat ini. Lupakanlah kalimat 'sahabat akan menemani suka maupun duka' yang selalu diucapkan banyak orang.
"Ino …" Raut wajah Sakura seketika menjadi serius. "Kumohon jangan bilang pada siapapun mengenai pernikahan ini," pintanya. Ino memandang Sakura bingung.
"Hm? Memangnya kenapa?"
"Aku tidak ingin para siswa tahu bahwa aku sudah menikah."
"Bagaimana kalau para siswa tahu dengan sendirinya? Dan kalau berita ini bocor, apa yang akan kau lakukan?" Sakura terdiam.
"Entahlah, mungkin aku akan dikeluarkan dari sekolah." Ino mangut-mangut, pertanda mengerti dengan perkataan gadis itu.
"Oke! Tidak akan kusebarkan lagi!" Mata Sakura menyipit.
"Lagi?"
"E-eh? Tidak, maksudku tidak akan kusebarkan!" Ino tertawa garing.
"Siapa yang telah kau beritahu mengenai ini?" Mata Sakura semakin menyipit.
"A-aku tidak-"
"Ino."
"Hehe …" Sakura menepuk jidatnya. Ia lupa bahwa Ino itu ratu gossip di sekolahnya. Oh Tuhan, salahkah ia jika ia bunuh diri saat ini juga? "Aku tidak membeberkannya ke siapa-siapa! Hanya Sai! Sumpah!" Alis Sakura terangkat. Sai? Ah, pacar Ino itu pendiam, mana mungkin pemuda itu akan membeberkan rahasia ini. Baiklah, kalau begitu, tak masalah.
Sakura kembali duduk. Ia menatap dirinya di cermin. Bayangan dirinya terkesan cantik dengan gaun berwarna putih bersih, dandanannya juga pas dengan raut wajahnya. Hanya saja, yang terkesan minus adalah raut wajahnya yang dari tadi ditekuk. "Ino … apakah aku akan berdosa kalau aku kabur sekarang?"
"-hah?"
"Kabur. Kabur dari pernikahan ini."
"Siapa yang akan kabur?"
Ino dan Sakura tiba-tiba menoleh dengan kaget ke belakang mereka. Di sana telah berdiri seorang Uchiha Sasuke dengan tuxedo putih dilapisi jas hitam. Wajahnya yang tampan semakin tampan, membuat semua gadis akan terlena dalam pesonanya. Tapi hal itu sudah terlanjur musnah dipikiran Sakura, mengingat bagaimana watak pemuda itu. Dengan langkah pelan, Sasuke menghampiri Sakura.
"Dengar gadis bodoh, jangan sampai kau mempermalukan keluargaku di acara ini." Sakura menatap Sasuke dengan pandangan kesal.
"Aku punya tata karma untuk tidak mempermalukan keluarga orang lain! Pantat ayam menyebalkan!"
"Baguslah," ucap pemuda itu sebelum keluar ruangan. "Apapun yang terjadi, bertingkah lah seolah-olah kau senang dengan pernikahan ini. Awas kau," ancam Sasuke seraya menatap Sakura dengan tajam. Sakura juga ikut melemparkan deathglare-nya pada Sasuke. Sialan, kenapa pemuda itu harus muncul di saat-saat seperti ini?!
"Suamimu tampan yah~" Ino tersenyum menggoda.
"Ih, dasar kau ini! M-memang dia tampan sih, tapi dia menyebalkan! Bagaimana kehidupan rumah tanggaku nanti?! Bagaimana jika aku harus melahirkan anak-anak berwatak sama sepertinya?! Apakah hidupku akan tenang?!"
"Hah? Anak? Kau ini tidak sabaran sekali, Sakura. Kau tidak boleh hamil sebelum kau tamat sekolah, dasar mesum." Wajah Sakura memerah. Benar juga kata Ino, ia baru mengingat bahwa ia masih sekolah.
"Sudahlah Sakura, nikmati saja ke arah mana angin akan membawa kehidupanmu," ucap Ino puitis.
"Huh, dasar lebay."
.
.
.
Sakura menatap para undangan dengan pandangan sedih. Ia sekarang telah resmi menjadi istri Sasuke, namun bukan itu saja yang membuatnya sedih. Ia sedih karena kedua orang tuanya tak dapat mendampinginya, padahal ia dari dulu berharap ibu dan ayahnya akan melihat calon suaminya, serta menimang cucu mereka. Sakura sangat menginginkan hal itu terjadi, mimpi kecil yang tak bisa ia raih. Orang tuanya sudah terlanjur tiada, tidak ada lagi yang mendengar curhatannya, tidak ada lagi yang membimbingnya, tidak ada lagi yang menemani dirinya di saat suka dan duka, tidak ada lagi kebahagiaan dan kehangatan yang ia rasakan dulu, tidak ada lagi rasa kekeluargaan yang akan ia rasakan, semua itu telah menghilang, telah musnah dalam sekejab mata.
Sakura menggigit bibir bawahnya, mencoba untuk tidak mengeluarkan air mata yang sedari tadi ditahannya. Matanya telah berkaca-kaca, ia berharap tak ada yang menyadari raut wajahnya saat ini.
Namun sepertinya Sasuke yang berada di sampingnya melihat gerak-geriknya. "Ada apa?" tanyanya bingung. Sakura menggeleng pelan.
"Aku hanya mengingat kedua orang tuaku. Aku tidak menyangka mereka tidak akan mendampingiku di saat seperti ini …" lirih gadis itu dengan suara serak. Sasuke hanya terdiam, jujur ia bingung harus melakukan apa saat orang-orang berwajah sedih. Menghibur? Tidak, itu bukan sifatnya.
"Aku juga tidak menyangka akan menikah secepat ini," ucap Sasuke dengan nada datar. Sakura menoleh, sebenarnya, penderitaan yang mereka alami hampir sama. Menikah dengan orang yang tidak dicintai di usia dini. "Terlebih, dengan gadis sepertimu." Sakura memanyunkan bibirnya, ucapan Sasuke benar-benar membuatnya tersinggung.
"Aku juga tidak menyangka akan mendapat suami sepertimu, Pantat Ayam jelek!"
"Kau lebih jelek."
"Kamu yang lebih jelek! Sejelek-jeleknya aku, lebih jelek kamu!"
"Hmm?" Menyebalkaaaannn! Sakura menggeram dalam hati, bisa-bisanya ia mendapat suami semenyebalkan ini! Wajah sok ganteng Sasuke seakan-akan meminta Sakura untuk menimpuknya menggunakan higheels yang dipakainya sekarang. "Matamu sudah berhenti berkaca-kaca."
"-eh?" Sakura baru tersadar. Sasuke benar, air matanya yang tadi menumpuk di kelopak mata hilang begitu saja. "B-benar juga." Sasuke tersenyum tipis. Aahhh~ jika saja Sasuke selalu berbaik hati seperti ini, pasti Sakura akan dengan mudah jatuh cinta padanya. Namun, ia belum benar-benar mengenal Sasuke. Siapa yang tahu jika ternyata pemuda itu benar-benar orang yang baik?
"Jangan sedih lagi, bodoh. Wajahmu yang terlihat kecut itu semakin jelek saat sedih." Tuing! Perempatan siku-siku tampak di jidat Sakura.
"K-kau-" Sakura menggeram. "Dasar menyebalkaaaaaaaaaannnn!"
.
.
.
To be Continued
Bwahahahaha! #lha
Aku tidak dapat menahan tawa saat ide gila ini terlintas di kepalaku ==" Sebenarnya, ide ini sudah ada sebelum kak Eir meminta dibuatin fic SasuSaku, nyehehe
Ehem, karena ini baru chapter awal, jadi yah … err … gitu deh #apaan
Pokoknya, aku gak terlalu mendalami perasaan Sakura saat ibunya meninggal, karena perencanaannya fic ini akan lebih ke humor (gagal) begetohhh~
Jadi, well, ehem ehem, semoga suka yah nyehehe
Last, wanna give me any feedback?
Aku mau meminta pendapat para readers mengenai fic ini :3
.
Sign,
.
HanRiver
