The Secret of Frankfurt town
Yoo~ Minna!!! Saya Sarugaki Sacchi yang lagi menelusuri berbagai macam fandom di FF ini. *pake baju lusuh, rambut acak-acakan en kotor, ngedip-ngedip innocent*
Berhubung lagi kena demam Digimon, gara-gara teman saya mengirimkan lagunya Wada Koji ke HP adek saya. Kesambet setan Digimon langsung nih, en pengen bikin fic Indonesianya. (Yang English udah bikin, Cuma kayaknya gak laku deh… XDDDDD)
Tema cerita ini sebetulnya diambil dari original story buatan saya, tokoh utama yang perannya diambil oleh Taichi ini punya 3 nama mancanegara dalam nama panjangnya (Yaitu Indonesia, Spanyol, Jepang. Akibatnya, saya pernah memberinya nama "Supriyadi", namun dibatalkan karena tidak sesuai dengan tampangnya yang imut-imut kayak Lee Jianliang. –sedeng-)
Taichi: Gak usah basa-basi lagi deh, cepetan mulai!!! *ngupil*
Sacchi: *menoleh dan tak percaya melihat kedatangan Taichi* Ka…kamu??!!!!
Taichi: *terkejut* Hah?? Kenapa??? Ada apa emangnya??
Sacchi: Kamu… YANG KEMARIN STRIPTEASE DITENGAH ODAIBA PARK ITU 'KAN???? –dihajar-
Taichi: *Melemparkan sebuah pukulan mantap ke wajah Sacchi hingga Sacchi babak belur* Sial amat lu… *ninggalin Sacchi sambil diikuti Agu(s)mon dari belakang –dihajar-*
Sacchi: Ampun Taichi….. –telat-
Disclaimer: Akiyoshi Monggo…Eh, Hongo. Gomennasai ne~!!!*sujud sembah ke Hongo-sensei + cium-cium kaki*
Mulai dari fic ini, sebagian fic Indonesia saya bakal pake system POV. (Nyokap pernah mergokin saya bikin fic basa Inggris, lalu komentar "Ini malah mirip naskah drama kayaknya.". Setelah itu, saya mulai perlahan menyetujui pendapatnya.) Begitulah….
A/N: Setting-nya bukan di Odaiba, tapi di Eropa. Trus, semua Digimon dicampur… Biar banyak karakternya gitu…
Enjoy Reading!!!!
BRAKK!!!!!
"Cukup sudah!!!! Kami akan pergi dari sini, kami sudah tidak tahan!!!!"seruku sambil menarik keluar koperku yang beratnya bagai sekarung semen. Hikari yang masih berdiri didekat pintu masuk pun langsung kutarik; untuk apa ia berlama-lama di sana??? Itu hanya akan membuatnya semakin menderita. Perlahan air matanya mengalir, aku memeluknya dan mengusap-usap pundaknya.
"Sudahlah, kita akan pindah ke tempat yang dikatakan ayah dan ibu. Kalau kita menetap di rumah paman dan bibi, mereka hanya akan terus menyiksa kita sambil meraup harta ibu dan ayah sampai habis."bisikku ditelinganya. Hikari mengangguk dalam pelukanku, kemudian menusap air matanya.
"Kau benar, terima kasih… Onii-chan.."ucapnya serak. Nafasnya agak tersendat-sendat karena menangis.
Ini memang bukan suatu hal baik, seorang kakak beradik yang sudah sebatang kara meninggalkan rumah saudara jauhnya; apalagi kalau tak punya tujuan. Tapi, aku rasa tindakan yang kuambil ini adalah sesuatu yang tepat. Karena… Yang benar saja!!!???? Setelah ayah dan ibu meninggal beberapa bulan yang lalu, kami dikirim kesana. Awalnya mereka (paman dan bibi), menyambut kami begitu ramah. Hanya saja aku merasakan sesuatu yang janggal dari tingkah laku mereka. Benar saja, semakin lama mereka semakin kasar kepada kami. Rasanya tiada hari tanpa mendengar atau terkadang melihat sendiri sebuah tamparan melayang ke pipi Hikari dan caci makian yang ditujukan padaku. Setelah itupun, aku baru sadar seiring dengan mendadak bertambah kayanya mereka; mereka mengambil harta warisan milik orang tua kami. A..apa-apaan itu?!!! Kami berdua sudah seperti pembantu saja; tidur di loteng berdebu, terkadang tidak diberi makan sampai 2 hari (akibatnya aku harus menyusup keluar jendela ditengah malam untuk membeli makanan kecil), disiksa setiap hari tanpa alasan, disuruh mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang tak ada habis-habisnya. Dan mereka dengan enaknya selalu pulang membawa uang yang lebih dari penghasilan seorang pengusaha industri kecil!!!! Saat kutanyakan pada mereka dari mana mereka mendapatkan itu semua, mereka menjawab "Dari bank.". Aku tahu itu dari bank, hanya saja setahuku mereka tidak mempunyai tabungan sebesar itu mengingat ibuku yang pernah bercerita pada kami kalau mereka adalah keluarga yang boros. Suatu hari kutanyakan kembali pada mereka, "Aku tahu itu bukan milik kalian, darimana kalian mendapatkannya???" dengan agak kasar. Mendengar pertanyaan tersebut, mereka malah tersenyum enteng dan berkata "Oh, maaf. Orang tua kalian telah memberikannya pada kami." Sambil berlalu dan tertawa keras.
Lama kelamaan aku semakin tidak tahan, sampai tibalah kesempatan untuk pergi; yaitu pada hari ini, dimana mereka semua sedang jauh dari rumah. Saat aku dan Hikari sudah selesai mengepak barang masing-masing, pamanku yang baru saja pulang dari kantornya berlari kearah kami dan mencegah kami untuk tidak pergi. Cih, jangan pikir aku mau menuruti perkataannya lagi, aku benar-benar sudah muak dengan semua ini, maka dari itu, sebelum kami berdua mati seperti binatang terbuang, lebih baik kami segera pergi dari sini. Akupun membanting pintu dan berteriak padanya, kemudian pergi.
Hikari dan aku sekarang duduk bangku taman kota, termenung dan tak tahu harus kemana. Hikari menundukkan kepalanya dan menyelipkan kedua jarinya diantara jari-jariku, kemudian ia bersender pada pundakku.
"Onii-chan, apa kau masih menyimpan surat yang diberikan ayah untuk kita?"tanyanya dengn suaranya yang lembut. Itu dia!!! Syukurlah Hikari mengingatkanku, aku langsung mengambil tas ranselku dan membuka resleting yang paling depan, mencari-cari sebuah kertas berwarna kelabu yang sudah hampir sobek. Akhirnya kutemukan, akupun mengambilnya keluar dan membuka lipatannya.
"Uhuk!"aku agak terbatuk karena mengingat ada banyak abu dan debu yang menempel disana. Kertas itu kuambil dari tempat pembakaran sampah yang terletak di rumah lamaku, tak ada yang memberitahu kami soal surat tersebut setidaknya sampai Koushiro menemukannya lalu direbut oleh orang tak dikenal dan dibakar. Aku mulai meneliti tulisan pudar diatasnya, lalu menyipitkan mataku agar dapat melihatnya lebih jelas.
"Frankfurt????"gumam Hikari, aku meliriknya, alisnya mengerut, ia menyelipkan dagunya diantara ibu jari dan jari telunjuknya, layaknya detektif ketika berpikir.
"Itu 'kan agak jauh dari Hanover, tempat kita sekarang. Lalu, bagaimana agar kita bisa sampai kesana tanpa uang sedikitpun?"tanyanya sambil menatapku heran. Aku terdiam sebentar; memikirkan jawaban untuk pertanyaannya. Tiba-tiba sebuah ide tercetus dipikiranku, aku menjentikkan jariku sambil menyeringai lebar kesenangan sementara Hikari menatapku heran sambil menaikkan satu alisnya.
"Bagaimana, onii-chan???"
Pertanyaannya menyadarkanku dari kesenanganku yang berlebihan, aku menoleh kearahnya dan tersenyum.
"Daisuke, ia tinggal di dekat sini. Bagaimana kalau kita meminta tolong padanya???"tanyaku sambil terus mempertahankan seringaianku. Hikari diam sesaat; mempertimbangkan jawabanku (sepertinya). Setelah itu ekspresi yang sama denganku pun memancar dari wajahnya. Ia bangkit dari kursi, kemudian menegakkan kopernya. Akupun melakukan hal yang sama.
"Ayo, jangan buang waktu kita!!! Nanti mereka telanjur menemukan kita!!!"katanya padaku, setelah itu berlari ke jalan raya yang berada tepat di depan mata kami. Aku mengikutinya dari belakang, setelah itu, kami berdua berhenti; menunggu lampu hijau bagi pejalan kaki. Setelah itu kami langsung berlari menyebrangi jalan, tepat didepan kami terdapat sebuah gang kecil yang merupakan sebuah jalan pintas yang tercepat menuju tempat Daisuke berada. Kami langsung berlari memasukinya, saat masuk kedalamnya, tak kusangka semuanya berubah hampir 100% setelah hampir 3 tahun tidak melewatinya; tempatnya menjadi agak sempit sampai kami berdua harus memiringkan koper, kedua dinding yang menghimpitnya terasa seperti menggencet tubuhku perlahan, aku terus berjalan maju karena melihat jalan kecil diujung sana.
Usaha kami tidak sia-sia, tepat disebelah kiri terdapat sebuah apartemen yang cukup besar. Karena aku tak punya ponsel, jadi aku mencari Telepon Umum terdekat, sesampainya di sana aku langsung menghubungi Daisuke. Ia bilang ia sedang dalam perjalanan pulang, maka terpaksa kami harus menunggu di depan gedung sampai ia pulang.
Tepat sekitar 10 menit kemudian, sebuah mobil jeep berhenti di depan kami, bunyi mesinnya yang amat berisik itu amat menggangguku, sesekali aku harus menutup telinga karenanya. Seorang pemuda berambut coklat memakai google keluar dari mobil tersebut dan menghampiri kami. Ia merogoh sesuatu di kantong celana ripped-jeansnya (model celana jeans yang sedang nge-trend di kalangan anak muda Hanover, hanya saja aku tak tertarik untuk menggunakannya karena terlihat tak nyaman) setelah itu mengeluarkan sekotak rokok yang agak besar (karena kulihat rokoknya tebal-tebal), ia menyodorkan kotaknya padaku, matanya terlihat seperti menawarkan, aku menggeleng sambil tersenyum padanya. Aku tak pernah diajarkan untuk merokok, maka aku tidak mau melakukannya. Kemudian memasukkannya kembali ke kantung, diganti dengan sebuah korek api yang dilapisi oleh stainless steel, ia menutupnya dan lalu memasukkan ke kantungnya lagi. Ia menghisap roko tersebut sesaaat, aromanya menyebar kemana-mana, dan itu sepertinya Capuccino. Setelah itu menghembuskan asapnya keluar, Hikari menutup hidungnya dengan tangannya kemudian sedikit terbatuk, aku merangkulnya dan memegang pundaknya.
"Jangan lakukan itu didepannya, ia punya penyakit Asma."ucapku pada Daisuke, ia buru-buru mengambil rokoknya dan menyembunyikan di belakangnya.
"Maaf, aku tidak tahu."balasnya. Kali ini ia mengambil sesuatu dari balik jaket kulit berwarna hitam dan menyerahkan sekumpulan kunci padaku.
"Naiklah duluan ke kamarku, yang gantungannya berbentuk clover-lah kuncinya."ujarnya, setelah itu berbalik dan kembali ke mobilnya. Aku dan Hikari masuk ke dalam apartemen dan mencari lift kemudian naik ke lantai 3, di sana, kami tidak langsung masuk, hanya membuka kuncinya dan duduk di depan kamar. Daisuke yang tiba 2 menit setelah kami langsung mencibir kesal saat melihat kami berdua duduk di depan kamarnya.
"Huh, ini dia yang kubenci darimu, Taichi-senpai… Kau terlalu sering merendahkan diri!"ucapnya sambil berkacak pinggang dan menggelengkan kepalanya. Aku hanya tersenyum seolah tak bersalah padanya, kemudian ia masuk dan meminta kami juga ikut dengannya. Karena lama diperlakukan seperti pembantu, akhirnya kami menjdai seperti apa yang Daisuke katakan; merendahkan diri, bahkan pada teman sendiri. Sudahlah, itu tidak penting. Yang penting kami harus segera meminta Daisuke untuk mengantar kami ke kota yang bernama Frankfurt tersebut!
"Ehm, Daisuke… Apa aku boleh minta tolong padamu?"tanyaku ragu-ragu sambil mengusap kepalaku. Daisuke berbalik ke arahku, ia menggerakkan bola matanya kearah barang-barang yang kami bawa; ransel dan koper.
"Kalian mau pindah?"tanyanya, aku dan Hikari saling bertatapan, kemudian mengangguk. Daisuke menarik sebuah kursi yang terletak di dekat bar kecilnya, kemudian mempersilahkan kami duduk di mana saja. Diberi pilihan seperti itu, maka kami duduk di lantai. Daisuke bersandar pada tembok sambil menopang satu kakinya dengan kakinya yang lain.
"Rasanya, aku seperti seorang kakek yang hendak berdongeng pada cucunya. Ah, sudahlah! Sekarang, apa yang mau kalian lakukan dengan barang-barang tersebut?"tanya Daisuke, ia mengambil sesuatu dari kulkas, sebuah kaleng berwarna hijau, sepertinya itu bukan soft drink, melainkan bir. Aku khawatir kalau ia mabuk, ia akan mengganggu Hikari, aku menatapnya yang terus berjalan, ia balas menatapku, sepertinya ia tahu apa yang dipikirkan olehku, ia langsung menaikkan sebelah tangannya sambil meneguk minuman tersebut.
"Tenang saja, hanya teh bersoda!!!!"ujarnya mengingatkan, Hikari tertawa kecil melihat sikap over-protektifku padanya. Kemudian suasana kembali hening. Aku membuka mulutku untuk berbicara.
"Uhm, begini... Kami memang benar akan pindah, atau kabur tepatnya."kataku, sekejap Daisuke langsung membeku, tatapannya kosong, ia buru-buru menaruh kalengnya diatas sebuah laci kecil disebelahnya.
"Kabur??? Apa yang telah paman dan bibi kalian perbuat sampai kalian ingin kabur???"tanya Daisuke penuh rasa keingintahuan. Aku termenung sesaat, beberapa teman kami sudah mengetahui kejadian yang telah menimpa kami ini. Hanya saja, paman dan bibi selalu membantah jika diminta untuk mengaku. Aku berbisik memanggil Hikari, ia melirikku, aku memintanya untuk melepas cardigannya sebentar, aku ingin menunjukkan sesuatu pada Daisuke.
"Astaga! Kejam sekali mereka!"Itulah yang keluar dari mulutnya setelah melihat lengan Hikari yang penuh memar, juga luka bakar. Ia mengepal tangannya erat, kemudian memukul laci kecil yang ada disebelahnya.
"Walau aku agak tidak merelakan kepindahan kalian ini, tapi ini harus segera dilakukan sebelum mereka menemukan kalian!!!!"ucapnya, kemudian bangkit dan berjalan ke arah pintu, tiba-tiba ia berbalik kearah kami.
"Atau…. Kalian mau pergi besok???"tanya Daisuke, aku menggeleng; tidak usah mengulur waktu selama hari belum gelap. Daisuke mengangkat kedua bahunya, kemudian melangkah keluar kamar. Kami berdua langsung mengikutinya.
--
"Frankfurt? Rasanya aku pernah mendengarnya…"komentarnya setelah kutunjukkan surat wasiat itu padanya. Ia mengemudikan mobil jeep besarnya menerobos keramaian di pasar.
"Hei, kenapa kau mengendarai mobil di sini dasar anak nakal!!!!"Caci maki terdengar dimana-mana, kiri, kanan, depan, belakang.
"Daisuke, bisakah kau ambil jalan lain??? Kelihatannya mereka tidak senang dengan caramu mengambil jalan pintas, lagipula kau memang tidak boleh mengemudi di tempat seperti ini!"ujarku padanya dari balik jok-nya. Ia tetap santai dan menggerutu.
"Taichi-senpai, kalau kau mau tahu, didepan sana ada sebuah daerah kosong yang bisa mencapai berbagai kota di Eropa Barat ini, seperti Munich, kau tidak perlu menghabiskan setengah hari, cukup dengan menaikkan kecepatanmu menjadi maksimal, dan kau akan sampai di kantor walikota dalam waktu 30 menit. Atau bahkan aku pernah tersesat hingga Amsterdam, hanya 200 km dan 3 jam cukup untuk sampai kesana. Kalau kau mau ke Frankfurt, cukup lurus dari sini, aku pernah melewati gerbang kota itu, hanya saja aku tak pernah menyempatkan diri untuk singgah di sana sebentar."jelas Daisuke panjang lebar. Wow, tak kusangka ia bisa mengetahui banyak hal seperti itu. Yah, jiwanya memang jiwa petualang, setelah di drop-out dari sekolah, ia tidak menyerah, setiap hari ia keliling Jerman untuk mencari sekolah, dan kudengar ia sekarang bersekolah di Hamburg. Syukurlah, setidaknya ia batal menjadi seorang idiot.
Kami memasuki sebuah hutan besar dengan akar gantung dimana-mana, kabut tebal, awan kelabu, nyaris tak ada cahaya matahari disana, suasananya sunyi dan itu cukup mencekam bagiku. Hikari melirik kesana kemari, tubuhnya gemetaran; ia ketakutan. Aku menggeser tempat dudukku dan menepuk pelan punggungnya.
"Tenang saja, setidaknya kita masih punya tempat untuk disinggahi…"bisikku padanya. Hikari melirikku, tatapannya masih menunjukkan kekhawatiran.
Kami akhirnya keluar dari hutan itu, dan melihat sebuah papan bertuliskan "Frankfurt".
"Nah, ini dia tempatnya. Hmm… Menarik juga, mungkin aku bisa bermain kemari sesekali, apalagi sepulang sekolah!!!"gumam Daisuke sambil melirik keseluruh kota, tak ada banyak hal, hanya rumah-rumah tingi yang menjulang seperti kastil zaman sekarang; catnya juga tidak berwarna yang lazim, hanya hitam dan putih, lalu, tak ada tanda-tanda kehidupan karena tak adanya lampu di rumah-rumah penduduk yang menyala satupun. Kota apaan ini?? Bagaimana Ayah dan Ibu bisa bertahan tinggal disini???!!! Kulihat dari kejauhan, sekitar 30 m kearah barat daya, ada sebuah kota kecil yang kelihatannya jauh lebih menarik daripada kota ini.
"Rasanya, tak ada seorangpun yang tinggal disini."kataku sambil turun dari mobil dan kemudian menurunkan koperku, juga Hikari. Daisuke menggeleng, tangannya menunjuk kearah bayangan hitam tebal yang berada di depan mata kami. Terlihat dua orang pemuda berambut biru sedang berbicara, wajah mereka cukup mirip satu-sama lain, yang satu rambutnya panjang dan diikat, juga tinggi, yang satu lagi berambut pendek dan sedikit lebih rendah daripada yang pertama.
"Oi, kalian!"panggil Daisuke dari kejauhan, keduanya menoleh kearah kami. Sesaat aku merasakan keinginan yang amat sangat untuk pergi meninggalkan tempat ini, masalahnya, mereka tidak terlihat seperti manusia; kulit berwarna abu-abu tipis, bibir berwarna putih, mata biru mereka tidak lazim. Daisuke memaksa kami berdua untuk menghampiri mereka. Saat melihat wajah mereka dari dekat, aku sadar kalau mereka tidak menggunakan pakaian seperti yang sering kulihat di Hanover; mereka seperti bangsawan abad ke 16, dengan kemeja putih panjang dan celana panjang berwarna gelap juga sepatu tinggi.
"Ada perlu apa kau kemari?"tanya yang berambut panjang, suaranya berat dan serak, namun terdengar seperti Dewa Apollo sedang berbicara, hanya saja nadanya tidak bersahabat. Yang satu lagi tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya yang putih dan sempurna.
"Aku, Taichi Yagami dan ini adikku Hikari Yagami, kami kemari untuk mencari rumah bekas Mr dan Mrs Yagami."ujarku memperkenalkan diri. Setelah mendengarkan ucapanku tadi, yang berambut pendek tersenyum semakin lebar, matanya yang menakutkan itu membuatku semakin bergidik.
"Oh, jadi kalian toh! Sudah berbulan-bulan kami menunggu kehadiran kalian, ayo ikut kami!!!"ajaknya. Aku diam membisu tak tahu harus mengikutinya atau tidak, yang berambut panjang menyikutnya.
"Oh, maaf! Lupa memperkenalkan diri, aku Kouichi Kimura. Dan ini saudara kembarku, Koji Minamoto! Kami berdua ditugaskan untuk menerima kedatangan kalian dan kemudian menunjukkan rumah yang ditinggalkan oleh Tuan Ray untuk kalian!!!"ucapnya bersemangat, suaranya riang dan ringan. Membuat dirinya terkesan ramah, dan itu membuatku tenang.
--
Aku melambaikan tangan pada Daisuke saat kami berdua berjalan meninggalkannya, mengikuti si kembar Koji dan Kouichi. Mereka berdua berjalan begitu anggun seolah bukan melangkah, melainkan terbang; aku tak tahu mereka berjalan atau tidak sehubungan dengan panjangnya jubah yang mereka kenakan. Kami berhenti pada sebuah rumah yang lain daripada rumah-rumah penduduk disini; dicat selayaknya rumah zaman sekarang, tidak begitu besar dan menjulang ke angkasa, ada cerobong asap (rasanya kami bisa menghangatkan diri ditengah kota yang dinginnya menembus kulit dan memeluk tulang ini).
Koji mengeluarkan kunci antik dari balik jubahnya, kemudian memasukkannya kedalam lubang kunci. Setelah beberapa kali diputar, pintunya terbuka. Koji mempersilahkan kami untuk masuk terlebih dahulu, kamipun melangkah masuk dan terkejut meihat isinya. Penampilan luarnya sangat menipu sekali; di luar, rumah ini tampak tua, tapi di dalamnya terlihat amat nyaman. Hikari langsung berlari kecil menaiki tangga, ia berhenti sesaat, melirik kearah si kembar.
"Apa di lantai atas ada kamarnya?"tanya Hikari sopan pada mereka, Koji membalasnya dengan gumaman, Kouichi mengangguk sambil tersenyum lebar.
Terdengar bunyi gemerisik antara roda koper dengan lantai kayu diatas, walau aku baru pertama kali tiba, rasanya aku bisa dengan cepat menyesuaikan diri disini. Aku mempersilahkan mereka untuk duduk di sofa, akupun ikut duduk bersama mereka. Mereka terus menatap pintu seolah menunggu kehadiran seseorang, tak lama kemudian datanglah seorang anak laki-laki yang umurnya sekitar 15 tahun, sama seperti mereka, rambutnya juga warna biru, hanya saja kulitnya agak coklat seperti kulitku, tatapannya tajam, ia datang membawa beberapa bungkus plastik.
"Apa itu?"tanyaku ragu, aku agak mengkhawatirkan balasan yang akan datang darinya, sepertinya ia seorang anti-sosial. Tatapan pemuda itu melunak saat melihatku, ia tersenyum ramah.
"Ini persediaan kebutuhan kalian untuk beberapa hari, aku baru saja membelinya dari toko di kota sebelah."ujarnya. Sial, lagi-lagi aku tertipu wajahnya. Tapi setidaknya itu menimbulkan sedikit rasa nyaman tinggal di kota yang aneh ini. Ia berjalan ke dapur dan menaruh semua bungkusan plastic itu, lalu mengeluarkan isinya dan menyusunnya dengan rapi di tempatnya masing-masing.
"Ah, kau tak perlu melakukannya bi─"Koji menahan tubuhku yang hendak bangkit, ia tersenyum jahil.
"Tak perlu, kami yakin kalian pasti lelah setelah melalui perjalanan jauh kemari."katanya, aku membalas senyumannya kemudian menggeleng. Ia mengangkat alisnya heran.
"Sebenarnya kami tidak berjalan, salah seorang teman kami dengan senang hati mengantarkan kami kemari."jelasku, Koji mengangguk mengerti. Setelah itu ia melepaskan pegangannya padaku dan merebahkan dirinya ke sofa tempat Kouichi duduk.
"Maaf lupa memperkenalkan diri, aku Lee Jianliang. Senang bertemu denganmu, Taichi Yagami."ucapnya sambil mengulurkan tangannya padaku, aku menerimanya dan kemudian menjabat tangannya. Aneh sekali, apakah kedatangan kami merupakan sesuatu yang paling ditunggu-tunggu oleh penduduk kota ini???; Semua yang kutemui disini sudah tahu namaku.
"Kyaaaaaaaaaaaa!!!!!!"terdengar teriakan Hikari dari lantai atas, otomatis aku bangkit, tapi Koji menahanku lagi. Aku menatapnya tajam, tapi aku langsung membeku begitu ia membalas tatapanku dengan tatapan yang lebih tajam bahkan menusuk.
"Ia. Baik. Baik. Saja."ucapnya, sepertinya ia memahami sifatku yang agak siscom ini. Hikari turun bersama seorang gadis berambut coklat gelap dengan highlight pirang di beberapa helai rambutnya, gadis itu begitu cantik, anggun dan gemulai, ia mengenakan kemeja dan celana; seperti yang si kembar juga Lee kenakan. Sepertinya, ia gadis tomboy.
"Tuh 'kan, kubilang juga apa?! Adikmu baik-baik saja!!!"ujar Koji kesal sambil mengerucutkan bibirnya, Kouichi tertawa kencang mendengarnya. Gadis berambut coklat itu memegangi Hikari pelan-pelan.
"Adikmu ini, lukanya cukup parah yah. Butuh waktu yang agak lama bagiku untuk mengobatinya, sekitar 3 menit."ucapnya. Lee yang sedari tadi bersender pada pintu masuk langsung mencibir mendengar perkataannya.
"Huh, Ruki… 3 Menit itu lama bagiku, disini hanya kau yang bisa melakukan pengobatan secepat itu. Ngomong-ngomong, kalau Hikari sampai teriak seperti tadi, kau bersembunyi dibalik tirai lagi ya????"tanya Lee penasaran. Gadis yang bernama Ruki itu tersenyum dan mengangkat bahunya.
"Tidak juga, aku menempel di langit-langit hari ini. Matahari agak terang hari ini, dan itu mengganggu."ucap Ruki. Hikari sudah duduk disebelahku, tangannya diperban, aku bersyukur ia mendapat perawatan setelah cukup lama menahan rasa sakit tersebut; aku tahu rasanya.
"Oh iya, kalian pasti haus yah. Biar aku buatkan minuman."ujarku menawarkan, mereka langsung terlihat tertarik mendengarnya, Kouichi menyeringai amat lebar, Koji mengeluarkan senyum setengah, Lee tersenyum ramah, dan Ruki mengeluarkan senyum yang kelihatannya dipaksakan karena terlihat aneh.
"Yaaaaaay!!!! Waktunya 'minum'!!!!!"serunya kegirangan, aneh.. Sebegitu tertarikkah ia dengan apa yang akan kusajikan, rasanya ia berpikir macam-macam soal itu. Aku bangkit dan berjalan ke dapur, betapa kagetnya aku saat melihat begitu banyak persediaan makanan yang dibawa Lee tadi. Rasanya ia hanya membawa 2 atau 3 bungkus, tapi semua yang ada disini terasa lebih dari itu semua, dan aku ingat betul kalau sebelum kedatangannya, semua lemari di dapur ini kosong!!! Entah kenapa, rasanya anak-anak ini punya kebiasaan atau kemampuan aneh….
"Apa kalian mau Lemon hangat?"tanyaku dari arah dapur, terdengar erangan tak setuju dari mereka; khususnya Kouichi yang agak berlebihan dalam hal ini.
"Maaf bung, tapi aku tak suka Lemon. Yang lain saja, seperti tomat!!!!"balasnya menyarankan dari ruang tamu. Aaku mendengar Lee menyetujinya, disusul oleh Koji dan Ruki. Ya sudah, kalau memang itu mau mereka.
Aku mulai memotong tomat pelan, aku mulai sedikit terampil dalam hal memasak, mengingat beberapa bulan belakangan ini aku sering membantu Hikari. Aku bisa membuat Lasagne, tapi aku lebih suka membuat Omelet atau Sandwich. Setelah semuanya telah kupotong, aku memasukkannya kedalam blender. Tak pernah kupikirkan kalau peralatan elektronik yang kubutuhkan sudah tersedia disini tanpa harus dibeli, terima kasih Ayah…. Ibu…..
--
"Silahkan diminum…"ujarku sambil menaruh beberapa gelas jus tomat. Tanpa basa-basi mereka langsung menyambar dan menghabiskannya dalam beberpa tegukan. Aku benar-benar mulai merasa aneh dengan mereka.
"Aah! Ini enak sekali, terima kasih Taichi!! Kau memang tahu apa yang kusuka, walaupun ini masih belum cukup…"kata Kouichi, Koji menyikutnya; menyuruhnya diam. Lee mengembangkan senyum ramahnya padaku.
"Terima kasih atas minumannya, aku benar-benar lelah berlari seharian dari kota sebelah. Apalagi matahari disana benar-benar terik… Fuh…"ucap Lee sambil menghela nafas, ini benar-benar aneh!!! Aku tidak melihat asap tipis putih keluar dari hidungnya walaupun aku mendengarnya menghela napas, padahal aku dan Hikari sangat kedinginan sekarang.
"Oi, Taichi. Kau ini seperti perempuan saja ya, bisa membuat jus tomat, apa jangan-jangan kau bisa memasak?"tanya Ruki. Aku tersenyum mendengarnya, memangnya tidak boleh ya, anak laki-laki bisa memasak? Chef di hotel bintang lima itu 'kan sebagian besar pria!!!
"Tidak juga, belakangan ini aku sering membantu Hikari memasak, maka perlaha-lahan akupun bisa memasak."jawabku, Koji mengangguk melihatku. Tiba-tiba Ruki menatapku curiga, entah pertanyaan apa yang mulai bermunculan dikepalanya.
"Hikari memasak? Memangnya kemana Tuan Ray beserta Istrinya?"tanya Ruki. Agak berat bagiku untuk menjawabnya, kulirik Hikari, samar-samar air matanya mengalir, Ruki melihatnya menangi, matanya terbelalak kaget dan membuang mukanya, aku melihat tubuhnya gemetaran seperti menahan sesuatu.
"Oh, mereka…. Sudah meninggal dunia beberapa bulan yang lalu…"jawabku singkat, semua yang ada disana kecuali Hikari, terbelalak kaget dan mereka melakukan hal yang sama seperti dilakukan Ruki.
"Jadi, mereka….."Lee berbisik pada Koji, Koji mengangguk. Tiba-tiba si kembar bangkit dari tempat duduknya dan berjalan kearah pintu.
"Kalau begitu… Sampai jumpa besok di sekolah yah, gedung berada di ujung jalan ini kok. Jadi kau tak perlu repot-repot mencari peta kota dulu."kata Kouichi sambil melambaikan tangannya padaku dan Hikari, kami berdua sama-sama membalasnya. Setelah itu ia pergi.
Malamnya aku tidur di sebernag kamar Hikari, tempat yang jauh lebih nyaman daripada tempatku di Hanover. Tempat tidurnya amat empuk dan membuatku cepat melayang ke Alam Mimpi.
TOK TOK TOK
"Onii-chan, bangun!! Sudah pagi, nanti kita terlambat ke sekolah!!! Ayolah, ini hari pertama kita!!! Jangan sampai kita mengecewakan guru-guru yang ada disana!!!"seru Hikari dari luar kamar. Ia mengetuk pintu pelan; karena jarinya masih begitu sakit akibat diinjak dan diremas oleh paman dan bibi brengsek itu. Dengan malas aku bangun dan duduk sebentar, aku melihat-lihat keadaan sekitar, rasanya kamarku jauh lebih terang daripada langit diluar yah… Apakah kota ini selalu seperti ini setiap hari???
Aku merapikan tempat tidurku pelan-pelan, sudah lama tidak melakukannya, jadi rindu… Hahahaha…. Kemudian aku mandi dan sarapan bersama Hikari dilantai bawah.
"Onii-chan… Kira-kira, akan ada yang kita kenal disana tidak yah?"tanya Hikari padaku, aku berpikir sebentar, kemudian menangguk. Tentu saja, Kouichi yang memberitahukan letaknya padaku, maka ia pasti bersekolah disana. Hikari diam tidak membalas anggukanku.
--
Kalau di Hanover aku termasuk dalam barisan orang biasa saja, disini, Frankfurt, kami sudah bagai artis saja; kemanapun kami pergi, apapun yang kami lakukan, pasti selalu ada yang memperhatikan kami. Namun mereka tidak menunjukkan sikap tidak suka, mereka justru seperti telah menerima sesuatu yang telah lama ditunggu-tunggu. Tak ada alasan untuk ditindas disini. Saat aku memasuki lorong, seseorang dengan topi berbulu besar melambaikan tangannya padaku. Aku menyipitkan amta untuk menyelidiki siapa dia. Oh, itu Kouichi.
"Yo, Taichi!!!! Kau satu kelas denganku!!! Sedangkan adikmu, biarkan Yamato yang mengantarnya."kata Kouichi. Hah?? Yamato?? Siapa dia?? Bagaimana Kouichi bisa tahu apakah seseorang yang bernama Yamato itu bisa membantu adikku ke kelasnya yang beberapa tingkat lebih rendah dariku??? Kouichi merangkulku dan tersenyum.
"Tenanglah bung, Yamato teman sebangkumu, dan ia mempunyai adik yang mungkin satu tingkat dengan adikmu. Jadi ia kuminta untuk menemani Hikari."ucapnya sambil membawaku berjalan ke sebuah kelas yang sederhana, berbeda dengan yang ada di Hanover, disini sedikit lebih sederhana, lantai kayu, tak ada AC, Meja dan Kursi dibuat dari kayu yang dipotong kemudian dihaluskan, ukiran-ukiran yang unik membuatku tertarik untuk segera duduk diatasnya. Kouichi menunjukkan tempat dudukku yang ada disebelah seorang pemuda berambut pirang, kulitnya berwarna terang, mulus dan sempurna, matanya bagai batu berlian yang menyala-nyala, duduk sambil menopang dagu, angin yang lewat dan menerbangkan rambutnya membuatnya seperti ukiran patung dewa yang nyata. Aku menaruh tasku diatas meja dan duduk disebelahnya, ia sedikit melirik kearahku, tersenyum setengah. Akupun tertarik untuk memperkenalkan diri padanya, lagipula ini hari pertamaku disini, aku harus bisa berteman dengan murid-murid sekolah ini.
"Halo, aku Ta─"sebelum aku selesai bicara, ia menyelaku, ia mengulurkan tangannya padaku.
"Tak usah, aku saja!!! Aku Yamato Ishida, senang berkenalan denganmu!!!! Ngomong-ngomong, adikmu cantik juga yah Taichi Yagami!!"ucapnya santai sambil menjabat tanganku. Tak kusangka ia cukup agresif dalam hal ini, syukurlah… Aku beruntung mereka mau berteman denganku…
Hari ini kulalui tanpa masalah, kecuali rasa canggung luar biasa ketika seorang senior bernama Joe Kido, Osamu Ichijouji dan Shinya Kanbara memintaku untuk memberi tanggapan mengenai presentasi mereka tentang sastra Jerman yang akan mereka kembangkan. Otakku seperti mau dikuras rasanya… Boleh kukatakan, pendidikan disini memang agak berbeda, mengingat semua murid kelas 1 diajar hanya oleh senior mereka (tak ada guru disana), dan itu satu-satunya sekolah yang ada dikota ini. Ada beberapa hal yang tak kumengerti dalam pelajaran seperti bahasa Prancis juga menulis prosa lama Jerman, maka Yamato menawarkan diri untuk datang kerumahku dan mengajarinya.
"Taichi~~"seseorang memanggilku dari luar rumah, sepertinya ia tidak tahu kalau ada tombol untuk bel disebelah pintu, atau karena kota ini agak tertinggal?? Maksudku, lihat saja dari pakaian yang mereka kenakan dan pelajaran yang mereka pelajari. Aku turun dari lantai atas dan membukakan pintu untuknya, ia kaget melihatku memakai bekas seragam sepak bolaku di sekolahku yang dulu, ia menunjuk kearahnya dan kemudian berkata.
"Apa yang kau pakai itu?"tanyanya sambil mengerutkan alisnya. Nah, apa kubilang!!! Kota ini benar-benar tertinggal, jelas-jelas ini adalah seragam sepak bola, namun ini malah terlihat janggal dan tak lazim dimata mereka. Aku tak mau membuang waktu begitu banyak, maka aku langsung menyuruhnya masuk dan duduk di ruang tamu.
"Jadi, apa yang kau tidak mengerti dari pelajaran ini?"tanya Yamato sambil membolak-balikkan buku pelajaran, amtanya bergerak pelan menelusuri setiap huruf yang tercetak disana. Aku membalikkan badanku, dan berkacak pinggang menghadapnya.
"Jujur saja, aku tak mengerti apa yang buku itu katakan. Aksen bahasanya agak berbeda dengan yang sering kupelajari dulu. Bahasanya rumit, dan berat. Aku sampai tak kuat membacanya walau hanya setengah halaman pun…."ujarku jujur padanya. Yamato terdiam dan menatapku, seketika itu juga ia tertawa kecil dan lama kelamaan menjadi lepas dan lantang, namun merdu. Mendengar serak didalamnya, aku yakin ia sedang haus. Sebagai anak yang baik… Hahaha… Aku harus memberinya minum!!!
Aku agak heran dengan anak-anak yang kemarin datang kemari, kenapa mereka tidak suka Lemon, padahal Lemon itu segar karena asa. Aku selalu minum Lemonade setiap malam tahun baru, tapi itu dulu…. Aku memeras lemonnya dan kemudian membuang bagiannya yang airnya sudah habis, setelah itu menaruh beberapa buah es batu. Dan berjalan keluar dari dapur, meletakkannya disebelah Yamato. Sama seperti anak-anak kemarin, ia langsung menyambarnya, namun ia tidak menghabiskannya dalam satu tegukan, baru ia meneguk sedikit sekali, sudah ia muntahkan lagi.
"Ada apa???? Apa aku salah membuatnya????"tanyaku panik, aku takut perbuatanku ini akan berkesan buruk baginya. Ia mengeleng, kemudian mengusap mulutnya dengan lengan bajunya yang seperti Ksatria abad 16 atau pada zaman Putri Marie Antoinette.
"Ini Lemon ya???"tanyanya kembali padaku. AKau mengangguk, kemudian ia terkekeh pelan.
"Huh, pantas saja… Aku, tidak suka Lemon, rasanya terlalu asam dan seperti membakar tenggorokanku…"ujarnya. Aku memutar bola amtaku dan melihat kesekeliling, kemudian meliriknya lagi.
"Oh, begitu… Maaf, aku tidak tahu kalau kau tidak suka Lemon."ucapku, ia menggeleng. Kira-kira, apa yang akan dikatakannya??
"Bukan hanya aku, semua orang disini tak ada yang menyukai Lemon. Jadi, apa kau punya minuman yang lain???"tanya Yamato, aku mengangkat satu alisku, apa mungkin ia mau Jus Tomat???
"Tidak, bukan Jus Tomat. Apa kau punya……Ehm….."Ia mulai memikirkan kembali apa yang ia inginkan.
"Apa?"tanyaku penasaran, ia melirikku dan tersenyum.
"Apa kau punya darah Ayam atau hewan????'tanya Yamato santai. Aku terbelalak kaget, tanpa sadar menjatuhkan gelas yang masih penuh dengan Lemon tersebut.
"Darah….Hewan…Katamu????"aku mengulang pertanyaannya, dan ia mengangguk.
Chapter 1
-END-
Yoho!!!!!! Yamato mau darah Ayam!!!! Kira-kira dia siapa yah??? Ampe minta darah begono… Hmm… Tunggulah di chap berikutnya.
Gomennasai minna, saya kebiasaan nulis panjang-panjang nih… Tapi tolong review kalo udah baca yah… Saya amaaaaaaaaaaat mohon!!! *sujud sembah*
REVIEW!!!! TT0TT
