Perkenalkan, saya Miyuki. Ini adalah fanfic pertama saya. Fanfic ini terlahir dari obrolan tidak jelas dengan seorang teman yang telah berjasa mengenalkan saya pada dunia fanfiction. XD Arigatou ne, isashikijun-senpai.. ^^ Cerita kami saling berkaitan, tapi punya saya lebih fokus pada Miyuki. Cerita tentang tokoh yang lain bisa dibaca di karya isashikijun-senpai.. XD Mohon maaf kalau masih banyak kekurangan ya.. ^^ OK, karakter DnA punya Terajima Yuuji, tapi cerita ini punya saya. Don't like, don't read. ^^
† † †
Pairing:
Miyuki Kazuya x OC
Isashiki Jun x OC
† † †
"Hah, panas sekali di luar." Suara seorang lelaki yang baru saja masuk ke sebuah ruang kerja yang tertata rapi. Kemudian dia duduk di sofa dan sedikit merebahkan badan sambil menutup mata.
Di atas meja kerja lelaki itu terdapat papan nama bertuliskan nama dan pangkatnya, Miyuki Kazuya – Pimpinan. Ya, dia adalah Miyuki Kazuya yang itu. Sekarang mantan catcher SMA Seidou itu selain meneruskan bisnis keluarga, Miyuki Steel, juga menjalankan usaha di bidang kuliner dengan membuka sebuah café yang menyediakan berbagai macam kue dan minuman pelengkapnya, Diamond Café. Ketika waktu makan siang tiba, café ini juga menyediakan menu makan siang. Café ini jarang menyisakan tempat kosong pada hari kerja. Di akhir pekan bisa-bisa pelanggan harus mengantri untuk mendapatkan tempat kosong. Apalagi lokasi café ini sangat strategis dengan berada di pusat kota dan dekat dengan sekolah maupun stasiun kereta. Karena itu, pemandangan yang tak asing lagi jika banyak sekali remaja yang memilih tempat itu untuk menghabiskan waktu luang, entah bersama sahabat ataupun teman spesial.
Tempat yang strategis bukan satu-satunya alasan café itu begitu ramai. Cita rasa kue dan menu lainnya yang disajikan di sana memang tak perlu diragukan lagi. Hampir semua resepnya adalah hasil kreasi sang pimpinan bersama partner-nya, yang beberapa kali menolak tawaran dari restoran-restoran ternama. Miyuki sangat payah dengan makanan manis, sehingga tanggung jawab kue dan minuman dia serahkan pada partner-nya. Sedangkan tanggung jawab Miyuki sendiri adalah membuat menu makan siang.
Tidak sejak awal café itu menyediakan menu makan siang. Awalnya mereka hanya menyajikan kue, snack, dan minuman pelengkapnya saja. Tapi Miyuki mengusulkan untuk menambahkan menu makan siang. Karena itu biasanya dia hanya ada di café saat siang saja untuk mengurus menu itu. Kata Miyuki hal itu untuk bersantai sejenak dari kesibukannya di Miyuki Steel. Selebihnya urusan café menjadi tanggung jawab partner-nya. Karena sebenarnya café ini pun adalah ide dari partner Miyuki.
Tapi siapa si partner itu?
Dia adalah Miyuki Eri. Ya, perempuan yang tujuh belas tahun lalu dipaksa Miyuki untuk menerima sematan cincin di jari manis tangan kanannya. Perempuan yang tangguh. Tak jarang Miyuki membuatnya naik darah. Ada-ada saja tingkah jail Miyuki yang berhasil membuatnya kehabisan stok kesabaran. Tapi tanpa lelaki ini, dia bagai mayat hidup tanpa tujuan. Terlalu berlebihan memang, tapi begitulah kebenarannya. Eri sudah pernah merasakannya, dulu saat mereka belum terikat janji suci pernikahan. Jadi tak pernah terpikirkan olehnya untuk berpisah dengan Miyuki (lagi). Apalagi sekarang mereka tidak hanya hidup berdua. Ada orang lain yang membutuhkan kasih sayang mereka. Miyuki Akihiro dan Miyuki Akihiko, buah hati mereka yang terpaut usia sekitar lima menit saja. Bayi mungil mereka yang lahir enam belas tahun lalu itu sekarang sudah duduk di bangku kelas 1 SMA. Waktu memang berjalan begitu cepat.
"Sudah kembali?" Suara Eri membuat Miyuki membuka mata. Eri datang membawa jus mangga dan beberapa cookies di atas nampan lalu dia letakkan di atas meja di hadapan suaminya. Dia sendiri duduk di depan Miyuki.
"Hemm." sahut Miyuki singkat lalu meneguk jus itu hingga tinggal setengahnya. Sepertinya dia benar-benar kehausan.
"Kenapa membeli ikan banyak sekali? Ingin memasak apa?" tanya Eri sedikit heran. Tadi staf di dapur memberitahunya bahwa Miyuki membawa sekantong besar ikan dan menyuruhnya untuk menyimpan kantong itu ke dalam freezer.
"Malam ini kita makan malam di rumah Jun-san. Kita bawa ikan-ikan itu ke sana." Miyuki berkata sambil mengambil cookies di hadapannya. Isashiki Jun, senpai Miyuki di club baseball SMA Seidou yang menempati posisi outfielder itu akhirnya menjadi suami kakak sepupu Miyuki, Isashiki Yuuko.
"Ada acara apa di rumah Jun-san?" tanya Eri kembali. Karena dia tidak mendengar kabar apapun dari istri Isashiki. Biasanya Yuuko akan mengabarinya sekaligus meminta bantuan untuk menyiapkan makanan kalau keluarga itu sedang ada acara.
"Tidak ada. Aku hanya ingin kita makan malam bersama saja." Miyuki menjawab sambil memperlihatkan senyum yang – Oh, kalau saja kau melihatnya. Eri mendapatkan firasat buruk saat melihat senyum itu. Dia sudah hafal dengan kebiasaan suaminya.
"Apa yang kau rencanakan, Kazuya?" Eri mencoba membuktikan firasatnya, berharap itu tidak benar.
"Apa? Ini hanya makan malam bersama keluarga. Hal yang biasa, kan?" 'Tapi senyummu itu yang tidak biasa.' batin Eri. "Sudahlah, lebih baik kau segera bersiap. Tadi aku sudah bilang kalau kita akan membantu mereka memasak. Kita serahkan urusan menutup café pada Kuramochi." lanjut Miyuki lalu beranjak dari sofa menuju meja kerjanya. Terlihat dia menandatangani beberapa berkas dan membereskannya.
Eri akhirnya beranjak membereskan makanan dan minuman di atas meja lalu keluar menuju dapur. Apapun rencana yang ada di kepala Miyuki, Eri berharap itu tidak akan berhasil.
‡ ‡ ‡ ‡ ‡
Setelah makan malam bersama, Ruang keluarga Isashiki
Setelah makan malam, mereka semua duduk santai di ruang keluarga. Saat itu acara televisi sedang menayangkan sekilas berita tentang penculikan dan pelecehan yang dialami seorang gadis SMA oleh pemuda yang baru dikenalnya. Kejadian semacam itu memang sedang marak saat ini. Saat melihat berita itu, Isashiki melirik ke arah putrinya, Isashiki Kouri.
"Kau dengar itu?! Kau harus berhati-hati! Banyak orang jahat sekarang. Jangan sembarangan bertemu dengan orang yang baru kau kenal! Oi, anak muda! Dengarkan Touchan-mu yang sedang bicara, KORRAA!" Isashiki menjadi sedikit geram karena Kouri terlihat hanya mendengarkan peringatannya dengan setengah hati. Padahal Kouri mendengar dengan jelas apa yang dikatakan ayahnya.
Begitulah sifat Isashiki. Dia sangat sensitif jika menyangkut putri semata wayangnya. Hal seperti itu sudah (sangat) sering didengar Kouri, bahkan sepanjang ingatan pertamanya sebelum dia mengenal dunia sekolah. Tidak jarang Kouri bosan mendengar nasehat ayahnya. Tapi ibunya selalu berhasil membuatnya memahami maksud yang ingin disampaikan ayahnya. Kata-kata Isashiki memang selalu tegas dan sering terdengar keras. Orang-orang bahkan sering salah menilainya sebagai amarah. Tapi begitulah cara Isashiki menunjukkan perhatian dan kasih sayang kepada keluarganya, terutama pada putrinya.
"Baiklah, aku mengerti. Aku ke kamar dulu, ada tugas yang harus kukumpulkan besok. Aku permisi." Kouri segera paham akan isyarat ibunya tadi yang menyuruhnya masuk ke kamar. Bukan bermaksud tidak menghormati Isashiki, tapi Yuuko tahu jika obrolan semacam itu diteruskan malah akan seperti pertengkaran yang sulit diakhiri.
"Hai, aku belum selesai bicara! Dengar dulu apa yang kukatakan!" Isashiki berusaha menghentikan putrinya.
"Sudahlah, Jun.. Kouri sudah dewasa sekarang dan kau tidak lupa selalu menasehatinya. Aku yakin dia akan selalu berhati-hati. Aku tahu maksudmu baik tapi cobalah berikan dia kepercayaan, ne?" Yuuko berusaha menenangkan suaminya yang selalu seperti cacing kepanasan bila menyangkut putrinya itu.
"Ck. Dasar anak zaman sekarang, membuatku lelah saja." keluhnya pada sang istri. Sementara Yuuko hanya bisa mengulum senyum melihat suaminya yang sangat hobi mengomel, melebihi ibu-ibu pada umumnya.
'Waktu yang tepat.' pikir Miyuki. Saat itulah Eri melihat suaminya menyeringai dan dia semakin yakin pada firasat buruknya.
"Eri-chan, mau melihat kamar bayi kami? Kami baru saja selesai meyiapkan kamar untuk adik Kouri-chan." Senyum Yuuko memperlihatkan dia sangat bersemangat untuk memperlihatkan kamar itu pada Eri. Eri sebenarnya ingin terus berada di dekat Miyuki. Sekilas ia lirik lagi suaminya. Benar, lagi-lagi dia melihat seringai jail Miyuki. Dia khawatir dengan apa yang sudah direncanakan Miyuki.
"Ah iya, Neechan. Ayo.." Eri tidak mau melihat Yuuko kecewa. Akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti ajakan Yuuko melihat kamar bayi anak kedua pasangan Isashiki itu dengan perasaan was-was.
‡ ‡ ‡ ‡ ‡
Sepeninggal Eri dan Yuuko, kini hanya tinggal Isashiki dan Miyuki di ruang keluarga. Sekali lagi terlihat Miyuki menuangkan sake ke dalam gelas kecilnya dan meminumnya dalam sekali teguk. Dia melirik Isashiki yang sedang mengganti channel televisi.
"Jun-san.. Kenapa kau begitu protektif kepada putrimu? Dia sudah dewasa sekarang." Miyuki memulai pembicaraan yang entah akan kemana arah tujuannya.
"Tentu saja. Dia anakku satu-satunya, setidaknya sampai adik Kouri lahir." Bisa ditebak jawaban yang dilontarkan Isashiki.
"Tapi sekarang dia sudah delapan belas tahun. Dia pasti bisa menjaga diri." Miyuki tersenyum bak malaikat. Padahal seandainya kau tahu apa yang sudah dipikirkannya sedari tadi.
"BAKA! Justru itu aku semakin mengkhawatirkannya. Pokoknya dia tidak boleh bergaul dengan sembarang orang!" Kembali Isashiki menegaskan peringatan yang sudah seringkali dia sampaikan pada Kouri.
"Berarti sekarang kau benar-benar harus mengawasi putrimu, Jun-san. Terutama dengan siapa saja dia akhir-akhir ini." Kali ini senyum malaikat itu telah sirna, berganti kembali menjadi seringai iblis.
"Apa maksudmu?! Memangnya apa yang dilakukannya?!"
"Ah, tidak. Aku hanya memperingatkanmu untuk lebih mengawasi putrimu saja."
"Kalau kau bicara begitu berarti kau tahu sesuatu, Kazuya. Cepat katakan!" Kini Isashiki benar-benar telah masuk dalam rencana Miyuki. Miyuki tidak bisa menyembunyikan seringainya lagi.
"Baiklah, tidak perlu berteriak begitu. Kemarin aku melihat Kouri-chan di café-ku. Dia tidak sendiri, bersama seorang pemuda, hanya BERDUA." Dia sengaja menegaskan kata berdua, kemudian melanjutkan "Ah, tapi mungkin itu hanya teman sekolahnya. Kulihat seragam mereka sama. Tapi baru kali ini aku melihat hal itu. Seorang Isashiki Kouri mengobrol berdua dengan seorang pemuda." Miyuki telah melancarkan serangannya.
"Apa katamu?! Siapa pemuda itu?!" Isashiki tersentak mendengar cerita Miyuki.
"Aku tidak tahu. Sebenarnya aku tidak mau mencurigai Kouri-chan. Tapi sikapnya kemarin sangat aneh."
"Aneh? Memangnya apa saja yang dilakukannya dengan pemuda itu?! Cepat katakan, BAKAZUYA!"
"Baiklah, baiklah. Aku tidak tahu apa yang mereka berdua lakukan. Karena selama berada di café-ku, kulihat Kouri-chan ada di tempat duduk pojok yang sedikit tersembunyi. Wah, kira-kira apa ya yang mereka lakukan.. Sampai-sampai Kouri-chan tidak menempati tempat duduk favoritnya di dekat jendela, padahal kemarin tempat itu kosong. Dia malah memilih tempat yang seperti itu. Atau jangan-jangan dia memang tidak ingin terlihat olehku agar aku tidak tahu apa yang mereka lakukan?" Miyuki menunjukkan raut wajah seolah berpikir keras karena mengkhawatirkan keponakannya.
Isashiki terlihat semakin terkejut dan wajahnya semakin memerah karena marah. Tentu saja dia terkejut. Dia tahu betul putrinya jarang mengobrol dengan lelaki, apalagi hanya berdua. Kouri memiliki sifat yang mirip dengan ibunya, mereka berdua tipe orang yang tidak banyak bicara. Tapi kemarin dia berkunjung ke café bersama seorang pemuda dan memilih tempat yang tidak terlalu mencolok.
Miyuki membuyarkan lamunan Isashiki dengan melanjutkan ceritanya, "Tapi, Jun-san, aku sedikit mendengar pembicaraan mereka kemarin. Pemuda itu bilang ingin menyampaikan sesuatu dan memperkenalkan diri padamu. Dia juga bilang waktunya sudah mendesak dan kau harus segera tahu sebelum semuanya terlambat. Kau bisa menangkap maksudku, Jun-san?"
"Apa?! Maksudmu pemuda itu ingin….." Isashiki sangat terkejut. Pikirannya sedang dipenuhi rasa penasaran dan khawatir juga amarah, sehingga dia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya. "Akan kutanyakan padanya."
"Tunggu, Jun-san! Jangan seperti itu."
"Apanya yang jangan begitu?! Ini menyangkut Kouri, BAKA!"
"Sebaiknya kau jangan langsung menanyakan hal itu padanya. Apalagi sekarang kau sedang emosi. Bicarakan dulu dengan Yuuko-neechan. Biar dia yang menanyakannya, kau itu selalu bicara keras." Untuk hal itu memang benar apa yang dikatakan Miyuki. Alih-alih menunjukkan kekhawatirannya, Isashiki lebih mirip orang marah.
"Kalau begitu aku akan….." belum sempat Isashiki meyelesaikan kalimatnya, Miyuki sudah bicara lagi, "Sekarang Yuuko-neechan sedang asyik bersama Eri, biarkan dulu mereka. Kulihat tadi neechan begitu semangat menunjukkan kamar itu pada Eri. Kau tidak ingin merusak mood istrimu yang sedang hamil tua, kan? Lebih baik kau temani aku minum sake lagi." Sebenarnya alasan itu hanya digunakan Miyuki untuk mengulur waktu, menunggu saat yang tepat. Kalau begitu apa yang sedang ditunggu-tunggu Miyuki?
Lagi-lagi Isashiki berpikir benar juga yang dikatakan Miyuki. Saat ini dia sudah sangat ingin membicarakan masalah Kouri dengan istrinya. Tapi istrinya sedang begitu bersemangat, dia tidak mau merusaknya. Dia takut hal itu bisa mempengaruhi emosi istrinya dan mengganggu kehamilannya.
Oh, Isashiki memang sangat memperhatikan kandungan istrinya. Mungkin lebih dari Yuuko sendiri. Walaupun dia orang yang sering berbicara keras, sebenarnya dia mudah sekali merasa khawatir dan iba. Itulah yang menyebabkan baru sekarang, setelah anak pertamanya berusia delapan belas tahun, Isashiki baru menyetujui untuk punya anak lagi. Dia masih trauma dengan proses kelahiran Kouri.
Pikirannya kembali pada delapan belas tahun yang lalu. Kelahiran Kouri bisa dibilang sangat menegangkan. Yuuko tampak sangat kesakitan saat proses persalinan, ditambah lagi terjadi pendarahan yang hebat. Yuuko adalah tipe orang yang pandai menyembunyikan perasaan, termasuk rasa sakit agar orang-orang di sekitarnya tidak khawatir. Tapi kali ini, air matanya sampai membanjiri wajah cantiknya. Isashiki yang selalu mendampingi istrinya, merasa sangat bersalah karena tidak bisa melakukan apa-apa kecuali memegangi tangan istrinya dan terus berdoa. Dia tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun saat itu. Semua kata-katanya seakan tercekat di tenggorokan, tidak ada kata yang sanggup keluar. Dan hal itu membuatnya sangat frustasi. Namun akhirnya, semua itu terbayarkan oleh tangisan pertama putri mereka yang lahir melalui persalinan normal. Saat dokter meletakkan Kouri kecil ke atas dada Yuuko, pasangan Isashiki itu hanya bisa meneteskan air mata. Perasaan lega, haru, dan bahagia bercampur menjadi satu. Tapi tetap saja, bagi Isashiki pengalaman mendampingi persalinan sangat menakutkan. Dia tidak ingin melihat istrinya kesakitan lagi.
"Ah, sake-nya sudah kau habiskan semua." terdengar suara Miyuki membuyarkan lamunan Isashiki.
"Akan kuambilkan lagi."
"Oke. Aku mau ke kamar mandi sebentar." Miyuki melirik sekilas jam dinding yang ada di ruangan itu dan berpikir 'Ya, seharusnya sebentar lagi dia tiba.'
Isakhiki kemudian beranjak ke dapur. Dia langsung menunju lemari yang ada di pojok ruangan. Setelah dia mengambil dua botol sake, dia kembali ke ruang keluarga. Miyuki masih di kamar mandi rupanya. Isashiki membuka sebuah botol sake selagi menunggu Miyuki kembali. Saat dia sedang bersiap meneguk sakenya, terdengar bunyi bel rumah.
'Ada tamu? Siapa yang datang malam-malam begini?' gerutu Isashiki dalam hati, tapi dia juga penasaran. Dia sudah akan beranjak dari sofa yang didudukinya saat mendengar pintu kamar mandi dibuka kemudian ditutup kembali. Ah, Miyuki sudah selesai.
"Kazuya.. Lihat siapa yang membunyikan bel rumah. Datang berkunjung selarut ini." terdengar gerutu Isashiki dari ruang keluarga.
"Baiklah." sahut Miyuki sambil menunju ruang tamu. Kamar mandi tamu memang terletak lebih dekat dengan ruang tamu. Jadi jika ada tamu yang ingin menggunkannya tidak perlu terlalu jauh masuk ke dalam rumah, membuang-buang waktu saja pikir Isashiki.
Miyuki memeriksa layar LCD kecil di dekat ruang tamu untuk memastikan apakah orang yang dari tadi ditunggunya sudah tiba. Tapi siapa orang itu? 'Oh, sudah datang? Ini akan menarik sekali..' Miyuki sedang membayangkan apa yang akan terjadi. "Pupupu…" kini terdengar suara tawa jailnya.
Setelah memastikan orang itu yang tiba, Miyuki tidak langsung membukakan pintu. Dia malah berjalan menuju ruang keluarga tempat Isashiki berada. Kembali terdengar bunyi bel rumah untuk kedua kalinya. "Jun-san.." orang yang dipanggil menoleh ke arah suara. "Kenapa kau malah di sini, Kazuya? Siapa yang datang? Kenapa tidak kau bukakan pintu? Dia masih membunyikan bel rumah." Isashiki melontarkan serentetan pertanyaan pada Miyuki.
"Jun-san, sebaiknya kau saja yang membukakan pintu."
"Hah! Kau balik menyuruhku?!"
"Kau mungkin tidak akan percaya ini. Tapi orang yang baru saja kita bicarakan sekarang sedang membunyikan bel rumahmu, pemuda itu. Lihatlah, berani sekali dia. Setelah kemarin dia mengajak putrimu bertemua berdua, sekarang dia berkunjung ke rumahmu. Dia ingin menyampaikan sesuatu padamu dan menemui Kouri-chan lagi mungkin. Tapi malam-malam begini? Wah, dia sungguh pemberani atau mungkin…..kurang ajar."
Kata-kata Miyuki kembali membuat amarah Isashiki yang mulai mereda kini tersulut kembali, malah semakin membuncah. Miyuki yang menangkap perubahan raut wajah Isashiki merasa berhasil dengan rencananya. "Hhahaha…" tawa iblisnya kembali terdengar lirih. Tapi Isashiki yang sedang dipenuhi amarah tidak mendengar suara itu. Dia segera beranjak dari sofa ruang keluarga. Berjalan dengan langkah mantap menuju pintu depan rumahnya diikuti Miyuki yang berjalan beberapa langkah di belakangnya. Bel rumah kembali berbunyi untuk ketiga kalinya saat Isashiki memegang gagang pintu untuk membukanya dan pintu terbuka seketika.
Ayunan daun pintu yang tiba-tiba membuat orang yang berada di sisi luar begitu terkejut. Dia sampai tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. Dia sudah pernah mendengar tentang pemiliki rumah ini, yang menurut cerita sedikit keras. Tapi bertemu dengannya secara langsung ternyata sangat berbeda, lebih mengerikan. Dia masih menatap sang pemilik rumah. Aura yang terpancar dari orang itu sempat membuatnya ingin langsung berbalik saja. Tapi dia tahu, tindakan seperti itu sangat tidak sopan. Karena sang pemilik rumah masih terdiam, dia memutuskan untuk memperkenalkan diri dulu.
"Berani-beraninya kau datang kemari, anak muda?! Besar juga nyalimu." Tepat saat pemuda itu akan membuka mulut, Isashiki telah lebih dulu mengeluarkan suara.
"Gomenasai, Paman.. Saya….." Belum sempat kalimatnya selesai, Isashiki sudah berbicara lagi, "Kau! Kau tahu apa yang kau lakukan, anak muda?! Kau benar-benar ingin menantangku, hah!" Suara keras Isashiki membahana ke dalam rumah. Bahkan Kouri yang berada di kamarnya di lantai dua dan Yuuko beserta Eri di dalam kamar bayi pun bisa mendengarnya. Kouri seperti tersadarkan akan sesuatu. Dia bergegas turun menunju asal suara ayahnya. Begitu pula dengan Yuuko dan Eri, mereka pun segera keluar dari kamar bayi, penasaran dengan apa yang terjadi hingga membuat Isashiki begitu marah. Sedangkan Miyuki yang dari tadi berada di belakang Isashiki malah tertawa tanpa suara. Seakan-akan memang hal itulah yang dia tunggu-tunggu dari tadi.
Suara keras Isashiki ternyata terdengar hingga ke luar rumah, melewati halaman rumahnya dan menembus pintu mobil yang kini terpakir menyala di depan rumah. Dua orang yang ada di dalam mobil itu pun saling berpandangan heran. Salah seorang dari mereka yang sedang memegang setir mobil memutuskan untuk turun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Setelah dia mematikan mesin mobil, dia mengangguk kepada orang yang duduk di kursi penumpang di sampingnya. Anggukan itu dimengerti oleh si penumpang sebagai isyarat untuk ikut bersamanya.
Di ruang tamu kini semua orang sudah berkumpul. "Ada apa, Jun?" Yuuko begitu penasaran dengan penyebab kemarahan suaminya. "Dia….. Anak muda ini benar-benar tidak sopan! Dia telah..…" saking emosinya Isashiki sampai tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Mereka yang di dalam rumah tidak bisa melihat pemuda yang sedang dibicarakan Isashiki karena terhalang tubuhnya yang tinggi besar. Ya, walaupun tidak bisa melihat siapa yang berdiri di depan pintu, Miyuki dan Kouri tahu betul siapa yang berada di sana.
"Sebaiknya kau cepat pergi, anak muda! Atau aku akan memaksamu! Cepat pergi dan jangan temui Kouri lagi." Kini mata semua orang yang berada di belakang Isashiki tengah memandang heran pada Kouri. Kouri melirik sekilas ke arah Miyuki. Benar sekali, dia mendapati pamannya itu sedang menyeringai. Itulah sebabnya Kouri mencari tempat duduk di pojok yang tidak begitu terlihat saat di café Miyuki kemarin. Dia tidak ingin Miyuki mengetahuinya dan menimbulkan masalah seperti ini.
Kouri menghela napas panjang, "Touchan, dia ke sini untuk….." Isashiki yang tengah dikuasai amarah tidak membiarkan putrinya menyelesaikan kalimatnya, "Kau diam dulu, Kouri! Kita akan membicarakan masalah ini di dalam. Tapi anak muda ini harus pergi dulu dari sini SEKARANG!" kata-kata itu jelas ditujukan kepada pemuda yang tengah berdiri kebingungan itu.
'Sepertinya kedatanganku tidak diharapkan. Mungkin Kouri-san belum menceritakan tentangku. Ayah Kouri seharusnya bisa mengerti jika hal itu sudah disampaikan padanya. Sebenarnya aku sangat berharap bisa segera menyampaikan apa yang menjadi tanggung jawabku ini sekarang juga. Karena waktunya semakin mendesak, ayah Kouri harus tahu sebelum semuanya terlambat. Ternyata memang tidak mudah untuk bertemu dan berbicara pada ayah Kouri-san.' Pemuda itu bisa sedikit melihat Kouri di belakang ayahnya. Saat mata mereka bertemu, dia melihat Kouri menggelengkan kepalanya. 'Hah, sepertinya aku harus pulang dulu untuk saat ini.'
Saat pemuda itu membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan kediaman Isashiki, kedua orang yang tadi berada di dalam mobil sudah berada di sampingnya. Kedua orang itu sedikit tertutup tembok di dekat pintu dan menyebabkan orang yang berdiri di sisi dalam pintu tidak dapat melihatnya. Entah sejak kapan mereka berada di sana, mungkin mereka sudah mendengar semua yang dikatakan Isashiki. Orang yang tadi menyetir mobil akhirnya maju selangkah agar bisa berhadapan langsung dengan orang yang berdiri di sisi dalam.
Betapa terkejutnya Isashiki melihat orang itu. "Ke..kenapa bisa ada di sini? Ada apa ini?" Isashiki benar-benar terkejut.
"Lama tidak berjumpa, Jun-san. Bagaimana kabarmu?" Orang itu menyapa Isashiki dengan senyum tersungging di bibirnya, senyum manis bak iblis. "Kalian memang belum pernah bertemu ya.. Nah, kenalkan.. Dia adalah putraku. Dia ke sini untuk menyampaikan ini." lanjut orang itu seraya memberikan secarik kertas yang tadi dipegang pemuda itu yang dia akui sebagai putranya.
Isashiki yang menerima kertas itu dan membacanya tentu saja sangat terkejut. "Apa?! Bagaimana bisa?!" Isashiki masih tidak percaya dengan apa yang baru dilihat dan didengarnya. "Kazuya bilang….." Isashiki tidak bisa meneruskan kalimatnya karena masih terlalu sulit mencerna semua hal ini. Dia sedikit mebalikkan badannya dan menunjuk Miyuki yang ada di belakangnya.
Miyuki yang tadi tidak bisa melihat orang itu dan masih tersenyum jail, kini terpaku saat Isashiki sedikit menghidar dari pandangannya. Sekarang dia bisa melihat siapa orang yang baru bergabung itu dengan jelas. Senyum jailnya kini telah sirna, berganti dengan wajah pucat pasi. Dia tidak menyangka akan seperti ini jadinya. "Apa kabar, Miyuki? Aku tidak tahu apa yang sudah kau ceritakan padanya, tapi sepertinya aku tahu ini semua adalah ulahmu. Seperti biasa, kau masih belum berubah ya, Miyuki.." Orang itu kini menyapa Miyuki sambil memperlihatkan senyum psikopat-nya.
"Ah, paman penjaga kasir.." Terdengar suara pemuda itu setelah ia bisa melihat orang yang ada di belakang Isashiki. Kini Miyuki tengah menjadi pusat perhatian, kecuali Eri dan Yuuko yang sudah tidak heran lagi dengan kelakuannya. Miyuki sedikit memandang kea rah Kouri. Tapi gadis itu hanya memperlihatkan wajah datarnya. Tapi tanpa disadari semua orang, sudut bibirnya sedikit terangkat membentuk senyum tipis.
- TBC -
Jadi, siapa sebenarnya orang itu dan pemuda yang diakuinya sebagai anak? Kenapa Miyuki sampai begitu terkejut? Tunggu kelanjutan ceritanya di chapter selanjutnya.. Arigatou.. ^^
