My Confusion
Aku menyukai setiap gerak indahnya. Aku menyukai setiap senyumnya. Aku menyukai tiap ekspresinya. Aku menyukai tawanya. Aku menyukai tangisnya bahkan amarahnya. Aku menyukai perkataannya yang menyebalkan. Aku juga menyukai tiap ejekannya. Aku menyukai tiap kali ia terlihat bodoh karna kehilangan sesuatu. Aku menyukai tiap raut wajahnya terlebih saat mengomel. Aku menyukai wajah sedihnya. Aku menyukainya. Segala yang ada padanya.
Tapi..
Ia membenciku. Tiap tatapannya selalu menusukku. Kata-katanya selalu menghujamku. Raut wajah ketidaksukaannya meruntuhkan kepercayaanku. Tawanya hanya untuk mengecilkanku. Senyumnya hanya untuk mencibirku. Ejekkanya untuk merendahkanku. Omelannya untuk menyingkirkanku. Amarahnya untuk membunuhku. Wajah sedihnya untuk menyalahkanku. Ya, ia membenciku. Segala yang ada pada diriku. Ia bahkan seringkali menganggap aku tak pernah ada dalam dunianya. Ia juga seringkali memperlakukan aku sebagai makhluk luar angkasa.
Tapi..
Tuhan berkehendak lain. Karna kami ditakdirkan untuk bersama dalam suka maupun duka. Walaupun duka lebih dominan menerpaku dan suka hanya akan selalu berpihak padanya. Kami dijodohkan oleh keadaan yang memaksa dan ia menyalahkanku untuk segalanya-perbuatan kami-dimasa lalu.
Tapi..
Keadaan berkata lain. Waktu berjalan seakan menggerogotiku sampai keakar terdalam. Aku ingin terus memilikinya tapi ia tak ingin memilikiku ataupun menjadi milikku. Pihak lain mengganggu kami dan menjauhkannya dariku. Aku berusaha menjaga apa yang menjadi hakku tapi gagal. Tuhan yang berkehendak dan itulah takdir yang ia ciptakan untukku.
Kemudian..
Bertahun lewat dengan hampa mengisi relungku. Tak ada semangat dalam kehidupanku. Segalanya tampak monoton. Aku mulai merindukan tiap makiannya yang sudah kuanggap seperti pujian. Aku mulai mengasihi kebenciannya padaku yang kuanggap sebagai rasa kagum. Aku memikirkannya dan Tuhan pun mendengar keputus asaanku. Tidak. Aku tak berniat mengakhirinya. Ini hanya sebuah keputusasaan karna kesepian. Takdir yang mulai ku anggap sebagai musuh bertahun belakangan ini secara terpaksa mempertemukan kami lagi. Ia terbaring lemah tanpa seorangpun disisinya. Dinding putih ynag mengelilinginya menjadi saksi bisu permohonannya untukku.
Ia menginginkaku kembali dengan keadaanya yang berbeda.
Kemudian..
Kami kembali bersama. Aku tak peduli dengan kondisinya. Aku sudah terlanjur menginginkannya. Aku sudah terlanjur mencandunya. Tak ada yang dapat menghalangiku bahkan Takdir sekalipun. Aku memakai kemampuanku untuk memulihkannya. Rasa sakit yang dideritanya juga menjadi sakitku. Penderitaan akibat kemotrapi menegarkannya juga menegarkanku. Hari itu ia mengatakan hal yang hampir membuatku melayang kesurga. Ia mengatakan ia mencintaiku. Sungguhkah? Atau hanya ilusi? Dan yang sebenarnya adalah ini kehendak yang telah direncanakan Tuhan.
Musim semi pertama yang menjadi rencana kebahagiaan kami kembali, yang seharusnya bertabur bunga mawar dan bunyi lonceng kini tergantikan dengan taburan bunga tulip dan melodi kematian. Aku menangis lagi karnanya. Bukan karna tersakiti olehnya. Tapi aku menangis karenanya. Aku menangisi kepergian yang paling kukasihi dari dunia ini.
Kini..
Aku akan merawat sebagian dari dirinya dan-diri yang lain- yang menyatu menjadi bentuk dirinya yang lebih kecil. Mereka begitu mirip. Aku dapat melihatnya tiap kali memandang diri kecilnya. Aku tetap akan mencintainya meskipun tak ada bagian diriku dalam diri kecilnya. This is my lullaby.
FIN
