Naruto © Masashi Kishimoto
.
Prolog
.
Pertama kalinya sang psikolog pirang menemukan wanita berambut indigo itu adalah, ketika dirinya masih menjalani pendidikan doktor di München, Jerman.
Naruto menemukan sosok itu ketika baru memasuki pintu kafe yang ramai pengunjung. Wanita indigo itu terlihat perfek dalam balutan hem kotak-kotak dengan celana jin hitam yang sederhana. Secara implusif yang muncul akibat magnet ketertarikan, psikolog pirang tersebut menghampiri, tepat di meja bernomorkan angka 04 dengan kursi berjumlah sama namun hanya diisi satu saja. Ia berniat menjadi pengisi kedua, harap-harap cemas sang wanita indigo tidak keberatan atasnya.
"kann ich hier sitzen?"
Dengan logat Jerman yang masih kental dialek Jepangnya, ia mengajukan pertanyaan. Wanita indigo tersebut menoleh, tersenyum ramah kemudian menundukkan badannya sedikit.
"saya juga orang Jepang."
Si psikolog pirang tercengang imajiner –sporadis sekali ada orang yang menyadari bahwa dirinya bukan darah orang-orang kulit putih –melainkan darah Japanese tanpa rambut-rambut pirang seperti miliknya. Atau warna kulitnya yang tan eksotis layaknya bule-bule berjemur, wanita indigo ini memiliki disparitas tersendiri dibandingkan orang-orang kebanyakan.
"ah –anu, kenapa anda bisa tahu saya orang Jepang?"
Kalimat tanya tanpa kelancaran itu mengudara, gugup menguasai si psikolog pirang tanpa aba-aba. Sekali lagi wanita indigo itu tersenyum kepadanya, tangan-tangan lentiknya terlihat ekstra sedang meremat taplak meja yang sejenak membuat sang psikolog pirang merenung.
Sedang bimbang? Atau wanita indigo ini merupakan konseli?
"logat."
Dijawab sepadat mungkin, sangat berbobot dan menyebabkan impase atas obrolan mereka yang baru berjumlah beberapa biji percakapan. Padahal sebenarnya si pirang sendiri sangat menaruh minat untuk memperpanjang durasi dialognya, spekulasi bahwa wanita indigo di hadapannya sedang dilanda pemikiran berlebih tersirat dalam benak. Rematan jemari wanita itu pada taplak meja semakin menguat, sangat tidak sinkron dengan wajahnya yang nampak teduh-teduh saja, seperti menyimpan sejuta misteri yang tidak bisa dikuak begitu mudahnya.
Sebagai pikolog, tentu si pirang bisa menyimpulkan, atau setidaknya mengenali, tentang gestur-gestur wanita di hadapannya. Ada beberapa kemungkinan ketika seseorang meremat benda-benda di sekitarnya ; gugup, cemas, atau berusaha untuk tenang dan tetap pada emosi yang stabil.
Gestur wanita indigo ini tepat sasaran pada kasus ketiga; berusaha tenang dan tetap pada emosi yang stabil. Orang dengan tipe seperti ini biasanya tidak akan mudah gusar atas hal-hal sepele; jikalau memang gusar, maka akan ada sesuatu yang memang benar-benar tidak bisa ia antisipasi, hingga mempengaruhi refleks gesturnya tanpa sadar meskipun berusaha ditutupi dengan wajah tenang dan wibawa.
Psikolog adalah mereka yang mengamati dan memahami; Naruto cukup paham, namun belum sepenuhnya paham hingga ia perlu bertanya –namun mereka masih asing, dan si pirang butuh interaksi lebih agar rasa penasaran yang mulai tumbuh dalam benaknya dapat terpuaskan.
Atau lebih ke ketertarikan sebagai lawan jenis?
"nah, jadi –maaf, nona. Sepertinya kau sedang dilanda badai. Ada yang bisa saya bantu? Saya siap mendengarkan."
Wanita indigo itu menatap, iris amethyst nya sejenak berkilap karena pantulan air kopi pada cangkir yang sedang digenggamnya. Bibir tipisnya tersenyum, rambut indigo itu berjatuhan dengan halus kearah samping ketika lehernya dimiringkan; Naruto bungkam.
"tepat sekali, tuan psikolog."
Pernah merasakan aura bahaya dari gestur sederhana seseorang?
Naruto ikut meremat taplak meja tempat mereka berhadapan.
.
.
.
Tbc
.
.
.
Danke, Tchüß!
Ore
