Thigh Gap
by: NatashAurel

Naruto (c) Masashi Kishimoto

SasuSaku Highschool!AU

Time setting: 17/18 tahun (The Last)


Summary:

Apa yang terjadi ketika si idola nomor satu sekolah punya sebuah fetish? Katastrof. Semua gadis berbondong-bondong memilikinya. Termasuk Sakura, yang merasa dirinya tak punya thigh gap yang di-fetish-kan oleh Sasuke. / ANGSTY Humored Romance, tapi kutaruh di romance aja / beware, plot sangat twist.


Thigh gap: spasi di antara paha dalam kondisi berdiri tegap. Secara, keadaan dimana paha dalam tidak saling menempel saat lutut samping bersentuhan. Atau juga bisa diartikan sebagai bukti "tubuh ideal" menurut beberapa kalangan.


.

.

TAP!

"Delapan puluh sembilan."

.

TAP!

"Ugh. Sembilan puluh."

.

TAP!

"Sembilan puluh satu. Arghh."

Sakura lemas. Sudah sekitar 40 menit berlalu dan dia belum sampai di hitungan ke seratus.

.

TAP!

"Sembilan puluh dua."

"Kau sebaiknya berhenti, Jidat." Suara seorang gadis menyahut dari seberang ruangan, mengingatkan.

Bagai angin lalu, Sakura tidak menggubrisnya. Ia tetep kekeuh dengan hitungannya.

TAP!

"Sembilan puluh tiga."

"Kau berlebihan, serius. Kau seharusnya tidak melakukan squat jump sebanyak itu."

TAP!

"Ini semua demi thigh gap! Sembilan puluh empat."

"Asal kau tahu, squat jump membuat paha lebih besar karena latihan ini membentuk—"

TAP!

"Pahaku isinya lemak, Ino! Sembilan puluh lima."

Ino pasrah. Sakura terlalu ambisius.

"Well, jujur saja kamu sudah punya—"

TAP!

"Berhenti membohongiku! Sembilan puluh enam."

"Aku tidak—"

TAP!

"Sembilan puluh tujuh!"

"Oh ayolah, Jidat.."

TAP!

"Sembilan puluh delapan!"

"Jangan lupakan aku disini!"

TAP!

"Sembilan puluh sembilan!"

"DEMI APA KAU MELAKUKAN SEMUA INI HAH?!"

TAP!

"UCHIHA SASUKE. SERATUS!"

BRUK!

Dan Sakura ambruk. Terengah-engah di samping Ino yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah.

"Kau membuatku melakukannya lagi, Jidat."

"Amarahmu semangatku, Pig."

Gadis yang bernama Ino itu kemudian beranjak dan duduk di atas kasur yang menghadap ke arah Sakura. Melihat sobat karibnya tergeletak berkeringat di dalam kamarnya bukanlah hal yang ia inginkan sepulang sekolah, dan mau tahu kenapa semua ini terjadi?

Uchiha Sasuke.

Si idola sekolah, entah sengaja atau tidak, mengirim hal mengejutkan di akun twitternya dua minggu lalu. Ia me-retweet foto dari pacar kakaknya—Izumi—yang menunjukkan foto paha yang ber-gap, disertai komentar 'ini baru cantik'.

Serentak seluruh sekolah, yap seluruh sekolah mem -follow Sasuke—kecuali yang tidak punya, pastinya—langsung beranggapan bahwa Sasuke memiliki fetish terhadap paha yang kecil, yang mempunyai jarak antara satu sama lain.

Entahlah bagaimana sebuah tweet bisa mempengaruhi sahabatnya, Sakura, selama dua minggu ini. Oh ayolah, Sasuke tidak mengatakan itu secara langsung! Dan dengan sekejap Sakura gila, Ino terpaksa mengorbankan rumahnya dijadikan tempat untuk berolahraga oleh Sakura, setiap hari, sepulang sekolah, termasuk hari Minggu.

"Jidat, move on saja."

"Ini masih bisa diperjuangkan, Pig."

Ino menghembuskan nafas, "Contohlah aku, Jidat. Cari anak keren lainnya yang tidak banyak peraturan."

"Sudah habis. Tidak ada yang lebih keren dari Sasuke."

"Gaara?"

"Mantan."

"Oh iya."

"Pig, kau harus berhenti berpikir Gaara keren karena nanti Sai akan cemburu."

"Tapi jujur, kau sudah punya thigh gap. Ehm.. aku tahu pahamu besar, tapi tetap ada spasinya, serius." Ucap Ino sembari matanya mengekor ke arah paha sobatnya—mengalihkan pembicaraan tentunya.

Sakura mendengus lelah lalu membangkitkan dirinya. Sekarang ia duduk bersandar di dinding menghadap ke Ino. Seragam sekolahnya lusuh karena keringat, dan rambut pink -nya yang ia ikat tinggi mulai terurai keluar dari jeratan karet.

"Masih kurang."

"Hei, kau adalah pelari tercepat di sekolah dan kau sedih karena pahamu besar? Berikan aku candaan yang lebih bagus."

"Aku hanya.. hanya ingin mencoba, Pig."

Dahi Ino mengerut perih mendengar isi hati Sakura. Oh dilema remaja dilanda cinta. Mencoba dan berjuang.

"Asal kamu tahu, Jidat, kulitmu sudah bagus dan postur tubuhmu ramping—terlihat ideal maksudku, mukamu cantik dan rambutmu enak dipegang, kau hanya perlu mendekatinya dan voila!" Jelas Ino sambil bergaya bak melempar confetti.

"Tidak semudah itu, Pig. Masa lalu kami bukan pondasi yang bagus. Ada Karin, dan aku tidak punya.."

"Apa?"

"Dada." Jawab Sakura hopeless sembari memegang dadanya.

"Aku tidak pernah dengar Sasuke suka yang berdada."

"Begitu pula aku tidak pernah dengar Sasuke suka dengan hal yang kau sebut tadi, Pig."

Hening menyelimuti ruangan Ino. Dia tahu Sakura sudah sangat jatuh hati pada Sasuke. Ino turut prihatin dengan keadaan sahabatnya, bukannya tak peduli tapi ia ingin Sakura mulai jauh dari Sasuke, karena sepertinya Sasuke juga sudah mulai jauh dari hal yang bersirobok dengan roman, karena mereka sudah berada di penghujung waktu di Konoha Highschool, jadi mereka akan lulus tahun ini, artinya mereka harus lebih mengedepankan aspek akademik daripada aspek sosial yang kurang penting. Hah.

"Fokus belajar saja sana."

Sakura melirik Ino sekilas, menghela napas, kemudian menjawab sambil mengambil pena Ino dan menggoyangkannya bak menggerakkan tongkat, "Always."

Ino terdiam sejenak. Matanya menyipit. Dadanya nyeri. Oh. Dan sebuah bantal mendarat manis di muka Sakura. "Berhenti mengutip Proffesor Snape, kau membuatku sedih."

"Tapi aku selalu, Pig. Serius." Kemudian dipindahkannya bantal dan pena itu di alas.

Melihat pembicaraan mereka yang mulai tidak ada gunanya, Ino berpikir sebaiknya Sakura segera kembali ke rumah, mendinginkan pikiran, juga sekarang sudah hampir larut. Toh besok juga masih masuk sekolah, kalau mau lanjut ngobrol, sih.

"Ya sudahlah. Sebaiknya kau pulang sekarang, ini sudah pukul enam sore."

Dan dengan itu Sakura berdiri, berjalan memungut tas dan jumper yang ia letakkan asal di lantai kamar, lalu melenggang pergi setelah berpamitan dengan Ino.

Setelah mengantar Sakura sampai ke depan pagar, Ino kemudian kembali ke kamarnya, mengambil bantal yang tergeletak kempis lalu memaparkan dirinya di atas kasur sambil memeluk bantal itu, menatap langit-langit kamar beserta lampu bohlam yang menyala terang.

Sejenak ia ingat sesuatu yang ia lupa untuk lakukan.

.

.

.

"Bloody hell, aku lupa nyontek PR Sakura."

.

.

.

Jarak antara rumah Ino dan kediamannya tidak terlalu jauh sebenarnya, tapi setelah melakukan squat jump seratus kali, kaki siapa yang tidak kebas?

Sakura berjalan gontai memapah langkahnya menapaki jalan setapak. Sambil ditemani tas di punggung dan jumper yang diikat di pinggang. Potret keadaannya saat ini dapat membuat orang berspekulasi bahwa dia adalah anak yang disiksa sekolah. Tumpukkan tugas mengantre dan sebagainya.

Banyak tetangga sempat bertanya tentang keadaannya, ia hanya tersenyum dan menjawab bohong. Bagaimana juga ia menjawabnya? Aku kelelahan squat jump seratus kali untuk mendapatkan thigh gap yang disukai oleh idolaku. Hm, tidak bagus.

Akhirnya setelah melewati lautan pertanyaan (yang sebenarnya membuat Sakura senang karena banyak orang peduli padanya) ia sampai rumah. Mengambil kunci dari saku kemudian membuka pintu.

Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak, lalu berjalan ke kamarnya. Sesegera mungkin ia mandi dan berkeramas dengan air hangat untuk melemaskan otot kemudian kembali ke kamarnya dan berpakaian.

Setelah ritual 'pulang ke rumah' selesai, Sakura menidurkan diri di kasur dengan pose bintang laut. Merenggangkan anggota tubuhnya untuk melancarkan sirkulasi darah—nasihat ibunya.

Ia melamun dalam diam mengamati tempel-tempelan benda langit berwarna hijau di atap yang ia beli saat kecil, yang dulu saat lampu dimatikan akan bersinar terang, dan yang sekarang sudah mulai redup karena kandungan fosfor yang terkikis waktu.

Kembali Sakura memikirkan saran Ino untuk tidak terlalu peduli pada Sasuke. Tapi sekeras-kerasnya ia membuang hal itu, pada akhirnya ketika berpapasan atau bersinggungan pasti akan kembali melekat erat di relung hati.

Mungkin Ino menganggap bahwa Sakura tidak akan mampu menggaet Sasuke, karena dulu Sakura sudah pernah mengungkapkan perasaannya dan dibalas dengan 'Ehmm, uh, baiklah aku berterima kasih atas perasaanmu, namun aku tidak dapat membalasnya, tapi aku harap kita masih berteman..'

Dan dengan demikian jawabannya mengguncang Sakura—Ino juga, sebagai sahabat Sakura yang sudah move on dari Sasuke.

Itu terjadi saat kelas sepuluh. Jadi sudah sekitar dua tiga tahun yang lalu. Ino merasa Sasuke adalah orang jahat, tapi Sakura tidak. Sakura menganggap Sasuke adalah seorang bad boy yang keren dan sangat pintar, sangat tampan dan dermawan. Tidak yakin untuk yang terakhir.

Sakura benar-benar tidak menganggap Sasuke jahat, karena dulu saat sekolah menengah pertama mereka pernah bersahabat, bersama Naruto, dan tentu itu membuatnya paham sikap, watak dan lakon kawannya.

Namun ya, semuanya berubah ketika pengakuan itu dideklarkan. Hubungan mereka menjadi awkward dan Naruto yang saat itu suka kepada Sakura juga mulai menjauh dan mendekati gadis lain, sehingga mereka pecah. Sakura jadi lebih sering bersama Ino, dan Naruto tetap bersama Sasuke (Sakura sangat bersyukur Naruto tidak marah kepada Sasuke).

Sebenarnya Sakura merasa bodoh bila sedih pada hal ini. Prestasinya bagus, ia rajin belajar dan menjadi murid kesayangan guru-guru. Sosialnya bagus, ia bersobat dengan Ino si cheerleader, ia wakil ketua klub karate dan sekretaris di PMR. Juga berteman sangat baik dengan Hinata yang notabene adalah kekasih Naruto, tidak ada masalah dengan hidupnya. Masih berbincang dengan si jabrik pirang walau tak sering. Tetap menyapa si pujaan bila mata bertatapan.

Benar-benar normal.

Namun ia merasa rindu dengan kenangan masa lalu berbarengan bertiga melakukan banyak hal, yang pada awalnya hanya kelompok tiga orang jangka panjang bisa menjadi kawan yang selalu pergi bersama-sama.

Memiliki satu dua pacar juga tak membantu banyak. Dulu kelas sepuluh—lima pekan setelah insiden itu—ia mencoba pacaran dengan kakak kelas bernama Toneri, tapi perasaannya tak berganti sehingga mereka putus. Lalu kelas sebelas ia di-PDKT dan ditembak Gaara via media sosial, ia terima saja atas saran Ino. Namun karena ada banyak hal dilakukan tanpa didasarkan oleh perasaan maka hubungan itu berakhir juga.

Dan sekarang, kelas dua belas, Sakura jomblo. Tidak berbangga pun tak menyesal juga.

Kalau dilihat, Sakura sudah beruntung. Toneri pintar, tampan, juga lumayan kaya—kata Ino—sangat sia-sia, Gaara sebagai kans kedua juga memiliki kriteria sama seperti Toneri dan seangkatan—lebih sia-sia lagi. Kesempatan tidak datang sesering kamu mendapat PR.

Lalu apa yang ia inginkan?

So simple yet so difficult. Hanya Sasuke. Uchiha Sasuke. Perasaannya tak berubah. Tidak bisa. Keinginannya sangat sederhana, tapi sulit dikabulkan. Ingin ia raih hati itu atau minimal kembali sebagai sahabat, bukan seperti sekarang yang sekadar kenalan saja. Karena memori lama itu ia patri pada batu, bukan ia lukis di pasir pantai.

Ia rindu, sungguh. Sudah tiga tahun. Ia berteman dengan mereka seolah melupakan seisi dunia. Ia ingin berteman dengan mereka berdua atau ingin bersejoli dengan Sasuke pun ia tak tahu. Sakura hanya ingin merasakan hal yang sama seperti dirinya di tiga tahun yang lalu, dikelelingi kepribadian Sasuke dan Naruto yang menarik adalah hal yang menakjubkan. Dan dirinya menginginkan itu untuk kembali, entah dalam bentukan apa.

Sakura pun tak tahu bagaimana jika tak ada Ino di hidupnya. Akankah ia tak berteman dengan siapa-siapa? Menjadi terbelakang? Uh, mana tahu? Dia terdengar seperti zombie.

Hah sudahlah, ia lelah. Sakura terlelap.

.

.

.

Sakura bangun dari tidur dengan bau gurih mentega yang menguar dari dapur.

Sembari mengumpulkan nyawa, ia melirik ke jam di atas nakasnya. Pukul enam pagi. Ia lelah dan ketiduran lagi. Sekitar dua minggu ini ia pasti tidur dibawah pukul sembilan. Entah itu bagus atau tidak, yang pasti itu bukan siklus tidur yang normal baginya. Well, hidupnya tidak pernah normal semenjak Sasuke beranjak dari status sahabat menjadi kenalan.

Setelah terbaring bangun selama beberapa waktu, ia pun bangkit untuk mandi. Kembali masuk ke kamar untuk bersiap-siap dan berjalan menuju arah dapur.

Ia mendapati sepiring nasi bermentega, hangat dengan telur yang digoreng matang, disertai memo bewarna jingga yang ditempel di bibir piring. Pesannya singkat, "Makan ini dan cuci piringnya sendiri ya, sayang, Ayah dan Ibu harus pergi sangat pagi. Kami mencintaimu."

Inilah alasan mengapa Sakura selalu ke rumah Ino. Orang tuanya bekerja dari pagi buta sampai tengah malam. Istirahat di rumah mungkin hanya tiga empat jam. Kesempatan bertemu dalam seminggu hanya sekitar dua tiga kali. Jujur saja Sakura kesepian, ia tahu ini bukan karena orang tuanya tidak suka bersamanya, tapi ini demi masa depannya. Ia pun relakan.

Ia memakan sarapan sambil melamun. Seketika kembali memikirkan kedua orang tuanya. Perbincangan serius mereka tahun lalu terukir kembali. Perihal melembur untuk mendapat tambahan biaya—jaga-jaga bila Sakura tidak dapat undangan atau beasisw a—katanya. Keluarganya memang bukan keluarga yang kekurangan, namun juga bukan yang sangat berkecukupan untuk membiayai perguruan tinggi, apalagi bila berlanjut ke jenjang-jenjang atas mengingat betapa cemerlangnya Sakura. Otak, bukan jidat.

Ino ikut turut masuk ke pemikirannya. Tentang fokus belajar saja dan melupakan Sasuke. Semuanya campur aduk.

Dia sudah berusaha keras untuk prestasinya, pemikirannya mapan dalam bidang ilmu, hal-hal berkaitan tentang undangan dan beasiswa universitas serta trik-triknya sudah ia kuasai, ia optimis mendapatkannya. Tapi bukan berarti pasti, kan?

Ranking satu dipegang Uchiha, rangking dua dipegang Nara, rangking tiga barulah ia. Sakura pun tak yakin bila ketekunannya dapat mengalahkan Sasuke dan Shikamaru. Baginya itu belum mencapai target aman.

Dalam kental perawangannya, ia menemukan satu hal yang solid.

Mungkin.. mungkin memang sudah waktunya untuk menggeser prioritas.

.

.

.

Baru pagi tadi ia mengucap janji pada sepiring nasi telur—dan memo jingga—untuk melupakan kehidupan cinta, dan sekarang ia kembali masuk ke dalamnya. Tidak genap sepuluh menit kakinya menapak di ubin koridor sekolah hal itu sudah luluh. Terbuang ke sudut bumi. Menguap pergi entah sampai lapisan atmosfer ke berapa.

Ketika dilihatnya tiga orang berambut kontras berjalan di sampingnya. Berdekatan dan bercengkrama dengan hangat. Hitam, pirang dan merah. Sasuke, Naruto dan Karin.

Mendadak dadanya ngilu. Janji terlupakan, dan rasa yang baru saja berada di recycle bin bak di-restore kembali ke hatinya.

Ia selalu tahu kalau Sasuke dan Naruto adalah frienemy abadi. Perlu ada yang menengahi di antara mereka. Sakura tahu itu semenjak hari pertama mereka dijadikan satu tim. Dan sekarang posisinya tergantikan. Oleh perempuan yang pribadinya sebelas dua belas dengannya.

Rasanya sakit, tapi ini bukan yang pertama kali.

Ia tahu Karin jadi substitusi posisinya dari Ino. Saat itu awal kelas sebelas. Mereka bertiga andil dalam mengurusi tetek bengek kompetisi basket tahunan yang menjadi agenda tetap sekolah—Sasuke dan Naruto adalah anggota basket, dan Karin adalah kapten cheers. Data diri, izin-izin, surat tes kesehatan dan sejenisnya adalah salah satu urusan anak basket dan cheers dalam mempersiapkan kompetisi, biasanya antara kelas sebelas dan dua belas.

Tentu tak ada yang aneh, malah sudah banyak yang tahu pasti kalau mereka bertiga akan andil. Merekalah yang teraktif melakoni kerjanya.

Ino tidak ikut banyak karena ia tidak punya alasan untuk merepotkan dirinya ketika ada Karin yang dengan senang hati mengurus semuanya.

Lalu lewatlah masa-masa itu, selesailah tugas mereka dalam kompetisi yang telah terselenggara. Selesai sudah otot Sasuke dan Naruto berkiprah di lapangan, selesai pula kaki dan tangan Karin menari di lapangan yang sama. Namun keseharian mereka tidak berubah. Berjalan bersama kemana-mana, bertiga, seperti Sakura dulu bersama mereka. Bedanya, Sakura seperti itu selama delapan bulan, sedangkan Karin bertahan selama setahun lebih—meskipun sebagian memang kewajiban. Dari awal tahun kelas sebelas sampai awal tahun kelas dua belas yang berlanjut sampai sekarang bulan kedua jenjang akhir mereka.

Sakura mengerti pula kalau Karin menaruh rasa yang tidak dangkal pada Sasuke—itulah yang membuatnya tetap lengket dengan mereka—tapi ia bukanlah gadis yang buruk. Ia cerdas juga dewasa. Tipikal yang pas untuk melengkapi Sasuke si jenius dan Naruto si dungu yang kekanakan. Ditambah pula ia sepupu dari Naruto, tidak ada alasan untuk membenci sepupu yang saling bersama, kan? Walau ingin.

Jadi disimpannya rapat-rapat itu di dalam hatinya yang paling dalam. Ino pun tak akan berkata banyak bila pembicaraan mereka menyerempet ke Karin, karena Karin pun dianggapnya sebagai perempuan yang tidak layak untuk dipandang negatif.

Oh ayolah, memang kadang satu dua kali Karin berbuat sesuatu yang sepertinya disengaja untuk memancing emosi Sakura, namun sebelum semua meledak dan tumpah ruah, bak benteng beton, Naruto pasti langsung menyeretnya pergi, sambil tak lupa mengucap maaf. Memang, Naruto yang dewasa kala itu. Tapi tentu tidak setiap sikap Karin berlakon demikian.

Malah bukan kelakuan memancingnya yang ia kesali, melainkan keeratan Karin bersama dua ex-nya. Bagaimana mereka bercanda gurau sambil menyortir dokumen di meja kantin, atau ketika mereka berolahraga bersama sebelum kompetisi, dimana Sakura melihat mereka berlatih hingga sore ketika ia baru keluar dari perpustakaan. Dua sisi yang berbeda antara mereka dan dirinya.

Iri. Mungkin kata yang pas.

Dan sekarang di sanalah mereka berjalan beriringan menuju kelas yang sama dengan Sakura.

Mencoba menghindar, ia berkamuflase dalam setelan hoodie jumper-nya. Poninya ia lepas dari jepitan telinga, menutupi setengah mukanya. Merasa aman yet noticeable, satu hal yang paling tidak bisa disembunyikan dari Sakura.

Well, sepertinya semenjak duo NaruSasu itu beranjak dari hidupnya, Sakura mengalami penumpulan otak.

"Oh, halo Haruno, selamat pagi. Rambut merah mudamu bagus seperti biasanya." Sapa perempuan berkacamata itu. Merujuk ke satu dua untai rambut yang meleset keluar dari hoodie Sakura.

Matanya yang tertutup rambut mengedip beberapa kali sebelum ia menyadarinya. Oh ya tentu, yang berambut pink di sekolah ini hanya Sakura. Ingin ia hantamkan jidat lebarnya ke tembok terdekat, tapi ia hanya berangan saja.

Dengan sigap ia menurunkan hoodie -nya dan menyingkap poni yang menutup matanya. Mencoba mengatur mimik wajah agar terlihat tidak kenapa-kenapa. Lalu mata hijaunya melirik, terpancar jelas dari sana, bertemu dengan ketiga pasang mata beda warna yang kompak menatapnya. Perasaan itu kembali membanjiri seisi hatinya. Aura yang berkeliling di sekitar membuat Sakura keringat dingin. Ia gugup. Ia panik. Namun tak tahu mengapa demikian. Semuanya normal, kan?

Ya, normal.

"Halo, Karin, dan Naruto, Sasuke-kun juga."

"Pagi juga, Sakura-chan."

"Hn, pagi."

Dan seperti biasa pula, hari itu ia mulai dengan hati yang berdenyut nyeri.

.

.

.

Pagi hari Sakura di dalam kelas di awali dengan essay biologi. Kemudian dilanjut dengan pelajaran Asuma-sensei mengenai sejarah. Lalu bel istirahat berbunyi.

Dan dengan sekejap Ino sudah mengklaim meja Sakura dengan buku tugas matematika. Ia memajukan tubuhnya sehingga wajah mereka bertatapan jelas.

"Jidat, kemarin aku lupa nyontek." Ucap Ino cepat dengan puppy eyes dan tangan yang terkatup memohon.

Mata Sakura menyipit, ia ingat kemarin Ino memperlakukannya dengan sedikit baik pasti ada alasannya, oh rupanya. Ia terlihat menimbang-nimbang apa yang harus ia perbuat temannya satu ini. Kemarin Kakashi-sensei memberi mereka tugas rumah untuk dikumpulkan di jamnya nanti, mendengar jatuh tempo yang dekat Sakura langsung mengerjakannya setelah kaki Kakashi beranjak dari kelas.

Dan sekarang disinilah temannya meminta. Apakah harus diberi secara cuma-cuma?

Well, Sakura memutuskan untuk bersenang-senang sedikit.

"Pig. Kau terlambat masuk tadi dan ini hal pertama yang kau katakan padaku? Oh sungguh sobat yang baik."

"Maafkan aku, Sakura."

"Hmph!"

"Oh, baiklah, baiklah. Selamat pagi Sakuraku sayang~"

"Kau terdengar seperti lesbi."

"Aku bangga bila pasanganku dirimu, muach!" Ino dengan seksinya memasang muka 'minta diserang' sambil melempar kecup basah ke udara.

Bulu kuduk Sakura berdiri, ia tidak bisa membayangkan. Apakah ini yang dirasakan Kiba saat dirinya menyebut pemuda itu homo bersama Shino? Menakutkan. Mungkin memang benar jika Ino telah menjadi mutan setelah tercebur ke sesuatu yang disebut 'jatuh cinta kepada Shimura Sai'. Aneh bin binal.

"B-Baiklah, ambil ini." Sakura kemudian mengeluarkan buku tugas miliknya dan segera diambil oleh Ino.

Ino menang.

"Terima kasih Cakuyaa~!"

Setelah menyelami beberapa waktu pemulihan dari tindakan Ino yang sangat mencengangkan, Sakura kembali normal.

"Ckckck. Kau bahkan tidak memanggilku Jidat, kau memang pandai berakting Ino." Ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Terima kasih atas komplimenmu, Jidat. Aku menghargainya."

"Sangat cocok dengan Sai."

"Terima kasih untuk yang itu juga."

Lalu keadaan kembali hening dalam diri Sakura. Dirinya sekarang ditemani suara goresan pensil Ino di atas kertas buku dan riuhnya suara murid di jam istirahat.

Sakura mengamati Ino menyalin pekerjaannya ke buku tugas. Dalam posisi berdiri. Ia bisa melihat paha dan kaki Ino dengan jelas. Meski tertutup dengan rok tiga perempat paha, Sakura masih bisa mengetahui dengan jelas kalau Ino tidak punya thigh gap. Dan gadis itu pun tak memikirkannya. Karena memang sudah lama Ino move on dari Sasuke dan pindah menyukai Sai.

Bisakah ia menjadi seperti Ino? Menemukan pria keren lainnya dan melupakan semua hal bodoh ini? Atau memang Sakura yang hanya peduli dengan tampilan orang sehingga tak menyadari adanya magnet-magnet lain yang siap membuatnya terpikat?

Pun lagi-lagi Sakura tak tahu apa jawabnya.

Perasaannya kuat dan itu kepada Sasuke. Hanya padanyalah hati itu berlabuh. Belum ada samudra atau dermaga lain yang ingin ia tuju. Belum ada orang lain yang ingin ia capai.

Belum berjalan lanjut lamunan itu, jidatnya terhantam oleh sesuatu yang sangat keras. Tangan Ino menampar keras dahinya yang lebar.

"Ow! Apa-apaan itu, Pig!" Tolaknya sambil mengusap-usap bekas tamparan Ino. Panas menjalar di setiap syaraf sensorik kepalanya.

"Istirahat sudah selesai. Aku juga sudah rampung menyalin dan kudapati kau mengamati pahaku, siapa yang lesbi sekarang, hah?" Ucap Ino angkuh.

"A-Aku tidak menatap pahamu!"

"You did."

"Tidak!"

"Iya!"

"Tidak!"

"Iya!"

"TIDAK!"

"IYAA!"

Dan guru matematika mereka pun masuk. Berdeham sebentar. Kakashi menengok ke arah dua remaja putri yang berbincang secara tidak wajar. Ketika siswa lainnya sudah duduk diam menunggu pelajaran, dua itu malah bertatapan dengan ganas. Menghela napas malas Kakashi mulai bersuara. Well, waktunya menjadi guru yang bijak.

"Wah, aku mendapat sambutan meriah dari Sakura dan Ino, boleh dihentikan sekarang?"

Seketika itu pula keduanya berhenti dan kembali fokus ke kelas.

.

.

.

Menutup diktatnya keras, Kakashi memungut spidol dan map absensi guru dari meja.

"Baiklah itu tadi sudah cukup, kurasa. Oh ya, tolong kerjakan tugas tujuh di halaman 281 sebagai PR."

Diikuti suara desahan—mengeluh—para siswa, Kakashi berjalan keluar pintu. Namun sebuah ingatan menyergap masuk dan menghentikannya. Ia berbalik dan melihat para siswa pria sudah sembarang membuka baju dan berganti di satu ruangan yang sama dengan siswi-siswi yang sepertinya pun tidak terlalu peduli. Wajar sih, sehabis ini pelajaran mereka adalah olahraga.

"Ehm.. aku lupa sesuatu, anak-anak."

"Kakashi-sensei pasti akan menambahkan tugas, kan?!" Teriak Naruto.

"Kau sangat jahat, sensei." Tambah Tenten.

"Jangan siksa kami, kumohon, aku bahkan tidak paham aljabar, sensei!" Sahut Kiba.

Komentar terakhir sukses membuat pembuluh darah di kepala Kakashi melebar. Berusaha tenang, akhirnya ia bersuara.

"Aku ingin menyampaikan pengumuman."

Seketika kelas pun hening. Para siswa yang sedang melepas bajunya berhenti dan menyisihkan waktu untuk mendengar gurunya.

"Ada sebuah hal yang harus sekolah lakukan kepada kalian. Ya seperti yang kalian tahu, tes psikologi kita yang terakhir tidak membuahkan hasil yang akurat karena banyak dari kalian sudah terkontaminasi dengan tes itu. Guru-guru dan para spesialis psikologi sudah berunding mengenai ini. Maka kami tim guru akan mengadakan penilaian sikap berdasarkan perilaku kalian kepada teman kalian—"

"Lho, sensei—"

"Aku belum selesai bicara, Tenten. Kalian disini berjumlah tiga puluh anak kan? Kalian akan dibagi menjadi lima kelompok. Jadi setiap kelompok beranggotakan enam anak. Masing-masing anak akan diberi buku yang berukuran folio, yang nantinya harus kalian isi dengan tindakan, pendapat atau perasaan kalian terhadap kelima anggota kalian yang lain sehari-hari, sampai akhir tahun kalian nanti. Mungkin simpelnya seperti buku harian, tapi dinilai dan diperiksa."

Sesudah Kakashi selesai bicara, seisi kelas meledak mengajukan opininya masing-masing. Semuanya terbang sendiri-senditi tak teratur. Telinga Kakashi tidak mampu memuat semuanya, namun ada satu yang terselip masuk, dan itu bukan opini, melainkan pertanyaan.

"Lalu, bagaimana penentuan kelompoknya, sensei? Tidak sesuai nomor absen, kan?"

"Pertanyaan bagus, Ino. Kelompok kalian sudah ditentukan secara objektif oleh staf penanggung jawab yang terdiri dari wali kelas kalian semenjak di bangku kelas sepuluh sampai sekarang. Daftarnnya sudah ada di anganku. Mungkin di antara kelompok nanti ada yang memiliki hubungan baik maupun kurang baik. Kami para guru tidak hanya mengajar di sekolah ini, kami juga mengamati perkembangan mental kalian. Dari yang bermusuhan jadi bersahabat atau sebaliknya, akan kami tempatkan untuk penilaian."

"Interupsi, sensei!"

"Ada yang ingin ditanyakan lagi, Ino?"

"Bukankah lebih baik, apabila kami ditempatkan bersama orang yang kami kenal dengan dekat? Kurasa itu akan melancarkan sistem penilaiannya."

"Kelancaran sistem penilaian bukanlah prioritas kami, kami pun juga tak cari aman. Kami mencari keakuratan dari subjek yang bersifat awam. Coba aku beri contoh seperti ini, misal aku memasangkanmu dengan Shikamaru dan Chouji, yang sudah berkawan lama, menurutmu bagaimana hasil yang kau tulis dalam buku itu nanti? Aku bisa menebak jika kau akan menulis halaman-halaman tentang kemana kalian pergi bersama dimana itu selalu sama setiap harinya, lalu shoji, lalu kemana kalian pergi makan siang, dan keseharian lainnya? Kami tidak mendapat apa yang kami inginkan dari hal itu. Apa aku salah?"

"Ti-tidak, sensei."

"Alasan lain kami menempatkan enam orang yang bermacam-macam nanti adalah mencari hasil dari sudut pandang yang berbeda. Penilaian dari kawan, lawan atau sekadar kenalan tentu tidak akan sama, bukan? Dan tolong lakukan hal ini dengan serius, ini masuk ke dalam penilaian sikap yang turut menentukan kelulusan kalian. Juga bisa memperbaiki hubungan kalian satu sama lain, mengingat ini adalah tahun terakhir kalian disini."

Skakmat. Tidak ada yang bertanya lagi.

Dan penjelasan panjang lebar itu pun secara (tidak) mengejutkan berakhir dengan tepuk tangan para audiens. Bak seperti menyoraki pembina upacara seusai memberikan amanat—yang biasanya dilupakan dua menit kemudian.

Sakura sebenarnya lelah mendengar guru satu itu berbicara panjang, namun isinya memang padat untuk pertanyaan yang diajukan. Meskipun ia masih bisa merangkumnya jadi seperti ini:

"Akan dibentuk kelompok penilaian psikologi beranggota enam orang. Orang di dalamnya dipilih secara spesial dengan mempertimbangkan kondisi sosial. Penilaian ini masuk ke dalam standar kelulusan. Dan mungkin memperbaiki hubungan satu sama lain karena sebentar lagi akan berpisah."

Itu yang Sakura tulis di buku tugas matematikanya. Dan sekarang jam olahraga sudah terpotong seperempat bagian oleh ocehan Kakashi—yang sebenarnya penting, sih.

"Itu cukup jelas, kan anak-anak?"

"Jelas~!"

"Baik, sekarang aku akan membagi kelompoknya. Ingat, ini tidak main-main."

Kadar oksigen perlahan menipis, beberapa siswa menarik napas berat.

Ya juga mungkin otak Sakura mengalami kemunduran, karena harusnya ia panik mengingat bahwa dirinya memiliki hubungan yang sangat tidak baik dengan—

"Kelompok pertama; Sakura, Ino, Karin, Naruto, Gaara dan Sasuke."

Keenamnya mengejang seketika. Terutama Sakura. Oh lihatlah, sisi baiknya ia bersama sobatnya, Ino, dan sisi buruknya ia bersama Naruto—em, tidak buruk juga sih—lalu Karin, serta Gaara dan Sasuke. Gaara dan Sasuke.

"Se-sensei! Tunggu dulu, kami—"

"Aku sudah bilang tadi, Sakura, akan ada yang senang dan yang tidak, tapi kelompok kalian adalah kombinasi yang bagus untuk penilaian ini, kurasa masing-masing kalian sudah paham, kan?"

Dengan bibir yang mengerucut dan muka yang tertekuk Sakura menjawab, "Kami paham, sensei." Ini parah, pikirnya.

"Baiklah, untuk kelompok dua; Kiba, Shino, Shikamaru, Chouji, Sai, dan Hinata."

Sejenak diam dan meledaklah emosi Naruto.

"SENSEI! Kau tidak bisa menempatkan satu perempuan dengan lima laki-laki!"

"Naruto, ini tidak seperti mereka akan selalu berada di atap yang sama. Ini hanya penilaian, gender sama sekali tidak berpengaruh."

Penjelasan yang diberikan Kakashi sudah jelas, namun belum cukup menenangkan temper Naruto.

"AKU INGIN IA DIPINDAH KEMARI!" Paksa Naruto, keras.

"Baiklah kalau itu maumu, lalu siapa yang ingin kau tukar dengan dirinya?" Kakashi balas bertanya dengan tenang.

Naruto pun hening diam. Menimbang-nimbang bila memang ada yang bisa ia tukar dengan belahan hatinya. Untuk Sasuke, Karin dan Gaara tentu ia simpan karena ia dekat dengan mereka, mungkin Sakura atau Ino. Tapi bila ia mengeluarkan yang satu dan menyimpan yang lain untuk diganti jadi Hinata apa yang akan terjadi? Sakura—sobat lamanya—dan Hinata memang berkawan baik, tapi Naruto merasa Sakura tidak akan kuat berada diantara dirinya dan Sasuke bila tanpa Ino. Ino pun akan menjadi stranger apabila Sakura didepak dari sini, karena sepupunya pun hanya kenalan dalam tim dengan Ino.

Membayangkan semuanya dapat menjadi kacau, Naruto menggeleng.

"Tidak, tidak jadi, sensei."

"See. All was well. Semua ditata sesuai porsinya. Aku memang sengaja menaruh Kiba dan Shino bersama Hinata untuk menjaganya, juga menaruh Hinata disana untuk menjaga Sai. Disana Shikamaru dan Chouji juga bisa belajar bagaimana mengerti Sai. Shikamaru juga bisa lebih paham dengan pribadi Kiba dan Shino, juga barangkali masakan Hinata bisa menenangkan mereka semua, bukan begitu?"

Itu pun disetujui oleh keenamnya.

"A-Aku tidak apa-apa kok, Naruto-kun." Ujar Hinata sambil melempar senyum ke arah pacarnya. Dibalas dengan senyuman lembut khas Naruto.

Setelah suasana kembali normal, Kakashi membacakan kelompok ketiga, keempat dan terakhir kelima. Melihat semuanya sudah jelas, Kakashi memutuskan ini sudah waktunya ia hengkang mengingat waktu mengajar Gai-sensei sudah ia boikot sebagian.

"Yah kurasa itu saja yang dapat kusampaikan. Buku itu dapat kalian ambil di ruang guru setelah kalian pulang sekolah. Tapi.. untuk penilaiannya, bisa kalian mulai dari sekarang. Baiklah, selamat siang anak-anak. Tidak perlu cemas, ini hanya seperti tim tiga orang jangka panjang kelas sepuluh lalu, namun sekarang jumlahnya enam orang, haha. Semoga harimu menyenangkan."

Dan dengan demikian guru bermasker itu pergi dari kelas, menyisakan beberapa murid yang kembali mengganti baju dan beberapa yang masih membatu syok.

Juga Sakura yang pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Sakura, kuatkan imanmu."

"Kamu juga, Ino."

.

.

.

Rupanya pelajaran olahraga tidak berbeda jauh dari matematika. Semua guru terlihat sumringah menyambut sistem penilaian psikologi ini. Termasuk Gai -sensei yang ternyata malah membahas mengenai hal itu.

Setelah berbincang-bincang tidak perlu—menurut Sakura—beliau juga menyarankan untuk setiap kelompok setidaknya meluangkan waktu untuk bersama-sama, misal mengerjakan tugas atau sekadar berjalan-jalan di akhir pekan. Untuk penilaian tentunya.

Mungkin nanti sekali dua kali dalam seminggu kelompoknya akan mengerjakan tugas bersama atau berjalan ke kantin bersama. Hm, ke kantin bersama-sama? Oh, kenangan itu menyerang kembali. Berkata jujur, ia ingin tidak ada Garino (Gaara, Karin, Ino) saat ia bersama dengan NaruSasu. Egois memang, mengingat buruknya hubungan mereka sekarang. Pun dia tak akan kaget bila ada yang darah tinggi nanti, tensi diantara mereka begitu mencekam, salah bicara sedikit mungkin sudah melukai hati orang, atau malah Sakura disini yang paling mudah terluka? Entahlah, tapi seharusnya itu baik-baik saja—ada Ino.

Sebelum Sakura sempat mengeluh mengenai nasibnya, Gai-sensei sudah mengambil waktu untuk bicara lagi.

"Ah ya anak-anak, aku rasa ngocehku tadi kebanyakan. Waktu yang tersisa sampai pulang sekolah nanti hanya sekitar setengah jam. Hari ini aku perlu nilai, kita akan melakukan penilaian yang cepat saja. Lari dua ratus meter, skor diambil dari waktu yang ditempuh. Semakin cepat semakin tinggi nilainya."

Lalu mereka pindah ke trek lari sekolah sementara Gai-sensei mengambil stopwatch, peluit dan lembar hijau dimana semua data nilai nanti tertulis.

Sesampainya di trek mereka otomatis melakukan pemanasan, menyiapkan otot kaki untuk berlari.

Tidak lama kemudian Gai-sensei kembali dan segera memulai.

"Untuk yang pertama; Lee, Naruto, Sasuke, Sakura, Neji dan Tenten silahkan bersiap-siap di lapangan dan lari sprint sampai ke finish di trek ketika peluit dibunyikan."

"Pasti Sakura-san jadi yang tercepat lagi kali ini! Semangat masa mudamu begitu membara! Aku jadi ikut semangat!" Sorak Lee penuh semangat dari trek lari bernomor satu di ujung paling dalam lapangan.

"Lee-san jangan terlalu memujiku, semangat juga!" Jawab Sakura balik sembari mengikat rambut pendeknya tinggi. Dengan senyuman dari trek lari keempat ia memandang Lee, bermaksud menyampaikan senyum terima kasih atas pujiannya, namun tak dipungkiri bahwa saat ia menengok ke arah kiri sedikit serong ke belakang membuat penampakan Naruto dan Sasuke terlihat jelas. Naruto turut menatap Sakura. Juga Sasuke yang tepat berada di kiri belakangnya.

Memutus tatap-tatapan, Sakura berangsur memasang start jongkok. Gai-sensei yang melihat semuanya sudah siap, segera memulai.

"Bersedia."

"Siap."

PRIIITT!

Lalu keenamnya melesat bak kilat.

Urutan nomor satu dipegang Sakura, tapi itu tidak bertahan lama karena selangkah kemudian diambil oleh Sasuke. Lari sprint memerlukan dua aspek paling utama, yaitu stamina dan kecepatan. Sakura beruntung karena kedua aspek itu tinggi dan seimbang dalam dirinya. Tapi sepertinya Sasuke pun berkondisi demikian.

Posisi nomor satu berpindah-pindah antara Sasuke dan Sakura, menyisakan empat orang lainnya yang sedikit tertinggal di belakang.

Naruto dan Lee memang memiliki stamina hebat namun massa tubuh dan gaya yang dikeluarkan mereka mempengaruhi percepatannya sehingga ada satu nomor dibawah Sasuke dan Sakura, begitu juga Neji dan Tenten.

Tempat pertama diperoleh Sasuke selama beberapa detik sebelum Sakura kembali menyabetnya. Mengerahkan seluruh ototnya untuk menegang dan memberi dorongan tenaga pada telapak kakinya. Melawan gravitasi dan menghabiskan seluruh energi yang ia punya.

Angin yang berhembus diantara tubuh Sakura membuat keringatnya terasa dingin. Lidahnya kelu.

Apa yang terjadi?!

Mendadak badannya terasa tidak enak digerakkan. Pandangannya memburam, tubuhnya perlahan lemas. Perutnya terasa perih lalu Sakura pun jatuh tersungkur.

.

.

.

TBC


Author Note:

Tada... (?)

Halo semua, saya author baru di fandom Naruto Indonesia :D mohon bimbingannya ~

Maafkan diriku apabila kalian tidak kerasan sama fic satu ini, karena awalnya ini mau saya buat jadi OS eh endingnya jadi macam gini :' (ada banyak plot hole, duh) Cerita terinspirasi dari beberapa keadaanku di sekolah, yah begitulah hehe..

Should I continue? Let me know your answer!

Sekian bacotnya, and thanks for your time reading this trash DX

NatashAurel