Happy Halloween all. Ficnya agak aneh setelah baca ulang. Terlalu fantasy kayanya. Yah, namanya juga FantasyFiction. Hohoho...
Disclaimer: Hoshino Katsura
Rate: T
.
.
.
.
TAK! TEK! TAK! TEK!
Suara berisik yang ditimbulkan oleh tekanan jari pemuda berambut putih ke keyboard komputernya. Beradu dengan rintik hujan di luar sana.
"Hei! Rajin amat sih bikin skripsi, Moyashi?" tanya seorang pemuda berambut hitam di sofa, berhadapan dengan TV.
"Biarin. Kau juga sebaiknya buat skripsi biar ngga ketuaan untuk lulus, Kanda," ejek Allen yang memunggungi Kanda.
"Bicara lagi, nanti aku hack tuh komputer biar ngga bisa lanjutin skripsi!" ancam Kanda.
"..." Allen tak berani menjawab.
CKRAAKK!
Suara pintu terbuka. Lelaki berambut merah memasuki ruang santai, tempat Kanda dan Allen saat ini. Dengan jas hitamnya, kain yang diikatkan di leher, serta gigi taring, ia lebih mirip seorang 'drakula' dari pada seorang 'Bookman'.
"Hohoho. Aku drakula masa depan. Takutlah padaku. Hohoho," kata Lavi mencoba menakut-nakuti temannya.
"Kau lebih mirip dengan Santa Claus dengan tawamu yang 'hohoho' itu," ejek Kanda. Lavi mengernyitkan dahi.
"Kalian yakin tidak ikut ke kampus? Pesta Halloween pasti menyenangkan, loh," kata Lavi.
"Tidak!" jawab Kanda dan Allen kompak.
"Oh, iya. Anak-anak sekitar sini kan banyak. Mereka pasti mengetuk tiap pintu rumah untuk dimintai permen. Di kamarku ada banyak permen. Berikan nanti pada mereka. Tapi... Mungkin kalian akan menemui sarang setan di kamarku. Hihihi," jelas Lavi yang diikuti cekikikan mirip kuntilanak.
"Aku tak sudi," kata Kanda.
"Oh, jangan takut. Tidak seram kok, untuk laki-laki menyeramkan sepertimu," kata Lavi yang langsung dilempar remote oleh Kanda.
"Sudah, pergilah, Lavi. Kalau kalian lama-lama dalam satu ruang, bisa-bisa malah mengganggu konsentrasiku," kata Allen.
"Ya sudah, aku pergi. Bye," kata Lavi keluar menuju ruang tamu dan pergi menuju garasi.
Allen, Lavi, dan Kanda adalah tiga pemuda yang mencari universitas yang sama, tetapi jauh dari asal mereka. Mereka bertemu karena takdir dan sepakat mengumpulkan uang bersama dan membeli sebuah rumah, karena menurut mereka, rumah lebih menguntungkan dari apartemen. Mereka mendapatkan rumah yang bagus dan murah. Sejak saat itu mereka bersahabat dan sering dipanggil 'tiga serangkai'.
"Hah! Jari-jariku hampir putus," keluh Allen merebahkan diri di sebelah Kanda.
"Udah selesai?" tanya Kanda. Allen hanya menggeleng.
TOK TOK TOK!
Pintu luar terketuk.
"Buka saja, mungkin anak-anak yang minta permen," kata Allen. Kanda berjalan menuju pintu yang menghubungkan tempat mereka dan dunia luar.
"Trick or treat?" kata seorang anak berpakaian penyihir dengan membawa dua teman.
"Tidak ada permen! Cari di tempat lain sana!" bentak Kanda. Kanda memang tidak suka dengan anak kecil. Mereka menghela nafas dan pergi. Kanda menutup pintu dan berjalan kembali ke ruang santai.
"Siapa, Kanda?" tanya Allen mematikan komputernya.
"Anak-anak Halloween," kata Kanda merebahkan diri di sofanya.
"Namanya siapa? Dikasih permen?" tanya Allen kembali ke sisi Kanda.
"Aku tak hafal nama anak-anak sekitar sini. Tapi aku yakin salah seorang dari mereka bernama Louis. Mereka bertiga. Aku tak mau mengambil permen di kamar Lavi. Kamarnya pasti seperti sarang setan," kata Kanda.
"Oh, kau takut?" goda Allen.
"Tidak mungkin! Hanya saja banyak perangkap di sana," kata Kanda.
TOK TOK TOK!
"Aku yang buka," kata Allen menuju pintu yang diketuk. Allen membuka pintu.
"Trick or treat?" kata anak-anak yang berjumlah tiga orang itu. Allen bergegas ke kamar Lavi dan keluar dengan selamat sambil membawa permen. Kanda yang melihat menyimpulkan bahwa anak-anak yang lain datang meminta permen.
"Loh, Louis? Kamu ke sini lagi?" tanya Allen setelah memberikan permen.
"Tidak. Baru saat ini kami ke sini," kata Louis yang memakai kostum vampire.
"Ya, kami habis berburu di bagian utara sana," kata Jhon yang memakai kostum penyihir.
"Baiklah. Terima kasih," kata mereka lalu pergi. Allen masih bingung. Ia berjalan menuju ruang santai.
"Kanda, tadi yang datang Louis dan kawan-kawan loh," kata Allen duduk di sofa. Kanda menyemburkan minuman yang ia minum.
"Masa? Tadi Louis..."
"Salah orang mungkin. Kamu kan tidak suka dengan anak-anak kecil di daerah sini," kata Allen.
"Entahlah. Mungkin karena wajahnya tertutup make up vampire. Atau dia meminta lagi dengan harapan bisa dikasih permen," kata Kanda.
"Iya, Louis memakai kostum vampire juga. Tapi dia bilang baru selesai berburu permen di bagian utara," kata Allen.
"Aku tak mau memikirkannya," kata Kanda.
PRAAANGG!
"Apa itu?" tanya Allen.
"Dari arah jendela," kata Kanda menunjuk jendela yang dekat dengan mereka.
"Wah, mereka menjahili kita dengan melempar batu ke jendela," kata Allen.
Mereka bergegas menuju jendela dan membuka korden yang menutupinya. Terlihat bagian kaca yang pecah tepat di depan mata Kanda. Di bawah pecahan itu tertulis dengan tinta merah.
'Trick or treat?'
"Anak-anak itu iseng sekali," kata Kanda menunduk memandang tulisan itu.
"Kalau mereka menulis dari luar, kenapa tulisan itu tidak terbalik dari sudut pandang kita?" tanya Allen.
"Mungkin mereka sengaja menulis terbalik, supaya kita bisa membaca tidak terbalik. Anak-anak yang baik," bantah Kanda. Allen menyentuh huruf 'T' pada kata 'Trick'. Hilang!
"Ka... Kanda! Ini ditulis dari dalam," kata Allen mendekatkan jarinya pada hidung. "Bau anyir. Jangan-jangan darah," kata Allen.
"Mungkin darah binatang. Itu kerjaan Lavi pasti. Trus yang lempar batu itu pasti Louis dan temannya," elak Kanda.
"Tapi tulisan ini basah. Buktinya bisa kuhapus. Ini baru ditulis," kata Allen.
"Cukup! Jangan-jangan kau bekerja sama dengan mereka saat mereka datang ke sini untuk kedua kalinya. Kau berniat mengerjaiku dengan ini, kan? Hah?" teriak Kanda.
"Kanda! Kau! Kau sampai mencurigaiku?" kata Allen tak percaya.
"Dari tadi kau terus berbicara seolah-olah hal ini tak mungkin dilakukan manusia!" ujar Kanda.
"Tapi, aku berkata sesuai pikiranku," kata Allen mencoba tenang.
"Sudah, Allen. Aku tak suka orang berbohong! Aku benci anak-anak," teriak Kanda. Ia berjalan menuju kamarnya dan...
BLAAMM!
Kanda membanting pintu. Allen hanya memandangi pintu kamar Kanda.
"Aku tahu, Kanda memang emosional. Tapi untuk pertama kalinya, dia marah dan memanggil namaku, bukan 'Moyashi'. Dia serius sedang marah," gumam Allen. Ia mengalihkan pandangannya dari pintu kamar Kanda ke jendela yang pecah itu.
"A... Apa? Kacanya kenapa tidak pecah? Lalu kemana tulisan 'trick or treat' itu?" tanya Allen pada dirinya sendiri. Allen berjalan menuju kamarnya dalam kebingungan. Takut.
.
Drrrtt. Drrttt.
Handphone Allen bergetar. Allen menyadari adanya telepon masuk dan menerima telepon itu.
"Halo?"
"Halo, Allen!" kata seseorang di seberang.
"Ooh, Mr. Tyki. Ada apa?" tanya Allen.
"Jangan panggil 'Mister', aku merasa tua. Kau tak datang ke pesta di kampus? Lavi datang, kan?" tanya Tyki.
"Kau memang lebih tua, kan. Lagi pula, kau memang senior," kata Allen. Walau tak bisa dilihat Allen, Tyki memasang wajah cemberut. "Aku tadi sedang mengerjakan skripsi. Lagi sibuk, tak bisa datang," lanjut Allen.
"Ayolah, datang. Aku tak ada teman nih," pinta Tyki.
"Bukankah di sana ramai?" tanya Allen.
"Hah, aku malas sama mereka. Ngga seru. Minum dikit aja udah mabok. Oh, iya, Allen. Hati-hati loh. Di rumahmu, dulu sekali ada yang meninggal saat Halloween. Mungkin dia akan menggentayangimu," kata Tyki.
"Ja... Jangan nakut-nakutin dong, Senior," kata Allen gemetar.
"Beneran kok. Kebetulan penghuni sebelumnya adalah pamanku. Karena merasa takut digentayangi terus tiap Halloween, dia menyuruhku untuk menjualkan rumah itu. Lalu kau datang dan memohon supaya aku menjualnya padamu," kata Tyki yang diikuti dengan cekikikan.
"Ja... Jahat," kata Allen.
"Makanya ke sini. Takut, kan? Road juga menanya-nanyaimu nih," kata Tyki.
"Ngga mau. Ta... Tapi. Tapi pintu rumah terkunci," kata Allen sweatdrop saat coba membuka pintu keluar. "Gimana?" tanya Allen takut.
"Tenanglah. Hantunya anak kecil. Kalau dia muncul dihadapanmu, dekati dia dan beri permen," kata Tyki masih cekikikan.
"A... Aku tak yakin kau jujur," kata Allen.
"Serius. Apa ada anak kecil mengetuk pintumu dan berkata 'trick or treat'?" tanya Tyki.
"I... Iya. Hal itu wajar terjadi di hari Halloween, kan?" jawab Allen.
"Kau beri dia permen?"
"Saat kubuka, aku beri permen. Tapi tidak saat Kanda yang membukanya."
"Apakah ada kaca pecah dan tulisan aneh dengan darah?"
"I... Iya."
"Apakah alat yang digunakan memecahkan kaca adalah batu?"
"Aku tak tahu. Aku tak mencarinya," kata Allen.
"Cari!" suruh Tyki. Allen beranjak dari ruang tamu menuju ruang santai dan mencari benda yang dimaksud. Ia menemukan batu yang dimaksud di dekat komputer.
"A... Aku sudah menemukannya," kata Allen merasakan firasat buruk.
"Sekarang ada dua pilihan. Batu itu akan kau simpan, tetapi kau akan kena sial dan dapat melihat setan seumur hidup, atau sekarang kau lempar batu itu keluar tetapi akan diganggu setan semalam?" tanya Tyki.
"Pilihan yang buruk. Apa tak bisa kusimpan dulu saat ini dan kubuang besok?" tanya Allen.
"Batu itu akan mengikutimu," kata Tyki.
"Y... Yang benar? Ta... Tahu dari mana?" tanya Allen.
"Salah temanmu itu tidak memberi permen pada anak-anak yang datang. Aku pernah menjelajahi rumah itu sebelum kujual padamu dan menemukan ruang bawah tanah. Aku menemukan perpustakaan besar di sana. Dan membaca tentang hal ini," kata Tyki.
"Akan aku rundingkan dengan Kanda dulu," kata Allen.
"Oke, see ya, Allen. Kasian juga kalau pulsaku habis," kata Tyki mengakhiri telponnya. Allen mengetuk kamar Kanda dan menceritakan semua yang dikatakan Tyki.
"Kau percaya? How stupid are you!" kata Kanda yang tak mempersilahkan Allen masuk ke kamarnya.
"Ini kata-kata dari senior loh," kata Allen.
"Kau mau mengerjaiku la... Hei!" teriak Kanda yang ditarik Allen memasuki ruang santai.
"Lempar batu ini ke jendela!" suruh Allen.
"Tidak!" Kanda kembali ke kamarnya. Allen bingung. Ia mengambil hp untuk menghubungi Tyki.
"Tidak! Aku akan selesaikan masalah ini sendiri," kata Allen memasukkan hp-nya ke saku celana. Ia menarik nafas dalam-dalam dan melempar batu itu keluar melalui jendela yang dibuka.
"Apa yang akan terjadi?" tanya Allen pada diri sendiri.
SIIGGGHH!
"Nothing happens," kata Allen, merasa dibodohi oleh Tyki. Sweatdrop.
"Arrrggghhh!" teriak Kanda dari kamarnya. Allen meluncur ke kamar Kanda. Dibukanya pintu kamar Kanda. Kanda menggeliat di atas kasurnya dengan memegangi kepala. Bau darah mengganggu penciuman Allen. Tapi dari ujung ke ujung, tak ditemukan darah setetes pun. Kanda melirik Allen.
"Mo... Moyashi! Permainanmu sungguh keterlaluan!" bentak Kanda. Allen berlari ke kamar Lavi, mengambil apa yang bisa diambil. Permen jika setan anak kecil muncul, bawang untuk drakula, peluru perak untuk vampire, dan tak lupa kalung salib milik Lavi. Ia kembali ke kamar Kanda.
"Kita siap berperang!" kata Allen menyodorkan benda-benda aneh ke wajah Kanda.
"A... Apa ini? Kau mau perang denganku?" tanya Kanda yang masih memegangi kepalanya.
"Ti... Tidak. Bukan begitu maksudku. Berperang dengan setan. Itu maksudku," kata Allen memasukkan semua benda ke dalam tas Kanda.
"Konyol. Aku ngga ikutan," kata Kanda.
"Kau ini..." kata Allen terpotong. Lampu mati. Hujan yang sejak sejam yang lalu sudah reda, kembali bermain di atas ketakutan Allen dan Kanda. Bersama petir yang seakan sebagai tanda kutukan. Dan keributan angin kencang turut menonton permainan bloody Halloween.
BLAAMM!
Pintu terbanting keras.
"Pasti pengaruh angin kencang," kata Allen coba menenangkan diri. "Kanda. Kau masih di situ?" tanya Allen.
"Keluarlah! Aku ingin tidur," kata Kanda.
"Kanda! Aku..."
"Keluar!" teriak Kanda. Menyaingi gelegar petir malam. "Suasana ini. Seperti malam itu," Kanda menuruni kasur, berniat ke kamar mandi.
"Uaarrgghh!" teriak Kanda. Kaki Kanda ditarik sesuatu dari bawah ranjang. Kanda lenyap.
"K... Kanda!" teriak Allen. Allen menaiki kasur Kanda. Melihat Kanda di sana beberapa detik yang lalu. Allen memeluk lutut. Satu-satunya yang bisa dilakukan Allen hanyalah bertanya pada Tyki.
"Halo? Allen? Are you okey? Kenapa menelpon?" tanya suara di seberang yang pasti suara Tyki.
"Mati lampu. Kanda berjalan. Lenyap. Kasur. Hujan. Petir," kata Allen bingung.
"Tenang. Ceritakan singkat saja," kata Tyki.
"Kanda hilang ditelan kasurnya!" kata Allen mencoba mengatur nafas.
"Hahahaha. Kau bakat ngelawak ya," kata Tyki tertawa.
"Aku serius! Kanda ditarik ke bawah kasur dan saat aku..."
"Lalalala lalala, lalala, lalala, lalalala lalala, la la lala," terdengar suara nyanyian dengan nada 'London bridge is falling down'. Allen menoleh ke sumber suara. Sofa dekat jendela. Cahaya bulan tak mampu menerangi wajah orang yang membuat Allen penasaran. Hanya terlihat rambutnya yang panjang, dan Allen menyimpulkan Kanda yang sedang memainkan tape recorder. Allen tersenyum senang.
"Allen? Allen!" teriakan Tyki tak mampu mengalihkan pandangan Allen pada sosok di depannya. Tiba-tiba ekspresi senang berubah menjadi takut, saat kilat datang, memperjelas wajah si penyanyi. Seorang gadis berambut panjang dengan senyum sampai ke pipi, menatap Allen tanpa berkedip.
BRAKKK!
Terdengar sesuatu yang jatuh di belakang Allen. Reflek Allen menoleh ke belakang. Ia mendapati lantai yang memang sejak awal sudah berantakan. Ia tak tahu, benda apa yang jatuh. Saat pandangan Allen menuju sofa tadi, ia kehilangan sosok itu. Allen melempar bantal Kanda agar bisa menyandarkan diri pada tembok.
"M... Mr. Tyki. Tadi ada perempuan..."
"Hei, kau! Kau tidak menghargai orang teriak-teriak! Aku dari tadi memanggilmu!" marah Tyki.
"Ma... Maaf."
"Ada apa?" tanya Tyki.
"Aku melihat sosok mengerikan di... Hmpph!"
"Allen! Kau kenapa?" tanya Tyki.
"Kakak. Ayo minum dong!" kata Jasdero yang mabuk merangkul Tyki. Tyki menjauh dari keramaian.
"Allen! Aku ke rumahmu sekarang, ya?" tanya Tyki.
"Tidak usah! Aku membekap mulut Allen agar berhenti bicara yang tidak-tidak. Aku Kanda," kata orang diseberang.
"Hah? Kanda? Yang benar?" tanya Tyki.
"Iya, aku Kanda! K-A-N-D-A!" ejanya. Lalu ia mematikan telepon itu.
"Galak amat," gumam Tyki memandangi hp-nya lalu kembali ke pesta.
.
Di tempat Allen saat itu juga. Mulut Allen dibekap, tangan melingkar di perut Allen. Orang itu mematikan hp Allen.
'Benarkah dia Kanda? Kenapa bau parfumnya beda? Lalu jika satu tangannya menutup mulutku, satu lagi melingkar di badanku, lalu tangan siapa yang merebut hp-ku dari tanganku?' pikir Allen. 'Pasti ini permainan Kanda dan Lavi! Ini ulah mereka!' batin Allen mencoba menjelaskan pada dirinya, menenangkan dirinya. Namun detak jantung Allen tetap saja mengalahkan suara rintik hujan. Tangan itu melepas pegangannya pada perut Allen. Memegang pisau yang kemudian dilemparnya ke kaca jendela.
PRANGGG!
Suara itu terus menggema, membuat nyali Allen semakin ciut. Allen takut, tapi ia coba merogoh kantongnya, mengeluarkan tiga bungkus permen dan disodorkan ke belakang. Ia merasakan tangan itu mengambil permen Allen.
3 detik.
30 detik.
1 menit.
Berlalu. Allen merasakan kesunyian. Ia yakin sosok dibelakangnya telah pergi. Allen memberanikan diri untuk menoleh.
"Lenyap!" kata Allen mulai tenang. Tiba-tiba ada kertas terbang ke wajah Allen.
"Apa ini?" tanya Allen melihat isi kertas tersebut.
'He was held in the basement. Let's solve the case'
"Hah? Ruang bawah tanah yang dikatakan Tyki kah?" gumam Allen. Entah kenapa ia penasaran dengan kertas dibaliknya.
'Kitchen'
.
"Ngga ada yang spesial di dapur," kata Allen. Allen mencoba menekan tombol-tombol yang ada, atau menarik setiap benda dari raknya, dan menggerakkan beberapa barang.
"Nothing happens," kata Allen kesal. Allen teringat isi surat aneh itu.
"Nah! Let's solve the case maksudnya pasti disuruh pecahin kotak. Kupikir maksudnya kasus," kata Allen mencoba memecahkan semua kotak di ruang itu.
.
Lima menit kemudian.
"Dapur malah kacau kaya gini. Bodohnya aku membuat hipotesis seperti itu," kata Allen. Allen melihat kotak di atas lemari. Ia coba mengambilnya dan memecahkannya.
"Hah? Remote control?" Allen coba menekan tombol 'Open'.
"Waaa," kaget Allen saat lemari yang digunakannya bersandar tergeser. Ternyata memang jalan menuju bawah tanah. Dibalik lemari itu.
"Kanda," gumam Allen.
To Be Continued
Maaf, ga detail amat ditulis keterangannya. Soalnya author males ngetik. +plakkk+. Kalo ada salah ketik, dimohon bantuannya ya. Review?
