Disclaimer: Punya JK Rowling.

Notes: Plotnya disesuaikan sama buku Harry Potter and the Half-blood Prince. Maaf kalo beberapa karakter terkesan OOC. Semoga saya gak keliru sama rate-nya, karena ada beberapa kata-kata kasar. Ditunggu komentarnya :)


BAB 1

Ara terbangun lagi di tengah malam itu. Peluh mengalir di dahinya hingga ke pelipis. Rambut pendeknya awut-awutan karena terlalu sering dijambak tangannya sendiri. Mimpi itu datang lagi dan Ara merasakannya lagi. Perasaan marah dan sedih tanpa sebab kala mimpi itu kembali mengganggu tidurnya. Kendati ia telah terbiasa, tetap saja rasa jengah dan takut itu ada. Bayangkan jika kau bermimpi aneh hampir setiap malam sepanjang musim panas disertai efek rasa marah dan sedih yang datang tiba-tiba seakan kau yang mengalami kejadian-kejadian aneh dalam mimpimu itu. Normalkah? Ara merasa seperti pikirannya terhubung dengan seseorang sehingga membuatnya mengalami mimpi aneh ini. Kendati begitu, Ara selalu meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah mimpi biasa yang tak perlu dipikirkan.

Tak usah dipikirkan..

Tak usah dipikirkan..

Inilah yang paling dibencinya ketika mimpi itu datang. Seterusnya ia tak akan bisa terlelap lagi hingga fajar menjelang. Matanya menghitam dan berkantung karena kurang tidur. Dalam usaha sia-sia memejamkan matanya, Ara kembali teringat mengenai segalanya. Dirinya yang hidup selama empat belas tahun tanpa pernah bertemu orang tuanya.

Ayahnya, Rodolphus Lestrange, Ibunya, Bellatrix Lestrange dan Pamannya, Rabastan Lestrange serta satu orang lagi bernama Barty Crouch Jr. dijebloskan ke Azkaban (penjara bagi para penyihir jahat yang dijaga oleh Dementor) atas tuduhan penganiayaan terhadap pasangan suami-istri Auror pada awal tahun 1982. Ara yang saat itu tengah berusia dua tahun, tentunya tidak mengerti apa-apa (bahkan Ara tidak ingat sama sekali) diserahkan kepada Narcissa Malfoy (adik dari ibunya) untuk dirawat olehnya bersama suaminya, Lucius Malfoy. Dan di sinilah dia, empat belas tahun dibesarkan oleh Paman dan Bibinya bersama sepupu laki-lakinya, Draco Malfoy. Namun semuanya berubah ketika orang tuanya bersama Pelahap Maut lainnya melakukan pelarian besar-besaran Januari lalu dari Azkaban. Pangeran Kegelapan telah memanggil mereka yang masih setia untuk kembali padanya. Sejak itulah takdirnya dimulai.

Ara dibesarkan dengan doktrin bahwa Darah-murni merupakan golongan penyihir yang derajatnya paling tinggi, Muggle hanya makhluk rendahan, dan Darah-lumpur merupakan penyihir yang paling menyedihkan. Kendati ia tak mengerti mengapa begitu toh dirinya menerima. Orang tuanya menyuruhnya bergabung dengan mereka menjadi pengikut setia Pangeran Kegelapan dan Ara bersedia. Menurutnya gagasan Pangeran Kegelapan untuk membasmi para Darah-lumpur memiliki prospek yang bagus. Maka, sejak kepulangannya dari Durmstrang Juli lalu, sebelum Tanda Kegelapan ditorehkan di lengan kirinya, Ara telah memulai latihannya agar menjadi Pelahap Maut yang tangguh.

Pangeran Kegelapan memerintahkannya untuk pindah sekolah ke Hogwarts. Kendati ia tak sepenuhnya setuju, Ara tak bisa menolak. Sebetulnya ia ingin tetap melanjutkan sekolahnya di Durmstrang. Ia sudah betah dan punya banyak teman di sana, ia telah belajar banyak Sihir Hitam di sana, dan satu yang paling penting, tak ada Darah-lumpur. Penyebab ia diperintahkan pindah adalah supaya Ara dapat sering pulang untuk menjalani latihan dan diharapkan dapat membantu Draco dalam menyelesaikan misinya. Misi membunuh Dumbledore.

Ara terbangun pagi-pagi sekali. Namun bukan karena mimpi itu, melainkan Ara merasa suasana di sekelilingnya berbeda sekali dengan biasanya dan ketika matanya melihat ke sekitarnya ia baru sadar kalau ia ada di Hogwarts, tepatnya kamar anak perempuan kelas enam, di asrama bawah tanah Slytherin. Ara mendapati hanya ia yang sudah terjaga, sedangkan Daphne, Pansy, dan Millicent masih berada di alam mimpi.

Ara masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana tatapan tajam menusuk dari mata hijau Harry Potter dilayangkan padanya setelah namanya disebutkan dengan jelas dan lantang saat upacara seleksi semalam. Ara jelas tahu dan paham alasan tatapan seperti itu ditujukan si Kepala-codet Potter untuknya. Ara juga bisa menebak sebuah rencana pembunuhan yang tersusun di dalam otaknya tanpa perlu Legillimency. Dan Ara tahu Potter tak perlu berpikir dua kali untuk mengatakan bahwa Ara seorang Pelahap Maut. Ara membalasnya dengan tatapan yang sama menusuknya seraya menyeringai sangar.

Harry Potter, 'Sang Terpilih'. Ara tak pernah mengerti mengapa semua orang menganggap Potter itu hebat. Ya, dia memang pernah selamat dari kutukan pembunuh yang menyebabkan kejatuhan Pangeran Kegelapan. Tapi Ara tak bisa melihat apa yang hebat dalam dirinya bahkan Ara bisa jamin ia masih lebih pintar dalam sihir daripada Potter. Bahkan Potter masih dikalahkan oleh teman Darah-lumpurnya. Mungkin Pangeran Kegelapan benar bahwa semua itu hanya faktor keberuntungan, karena bantuan dari teman-temannya yang lebih hebat, dan juga hanya sebuah kebetulan. Draco akan segera membereskan Dumbledore yang selama ini selalu menjadi kendala Pangeran Kegelapan, target selanjutnya adalah Potter dan setelah itu tak akan ada lagi yang bisa menghalangi Pangeran Kegelapan beserta para Pelahap Mautnya untuk menguasai Dunia Sihir.

"Di Durmstrang belajar Ilmu Hitam, kan? Belajar apa saja?" kata Daphne Greengrass ketika ketika Profesor Snape berkeliling meja Slytherin untuk membagikan daftar pelajaran kelas enam usai sarapan esok paginya.

"Banyak," balas Ara sambil mengaduk-aduk sarapannya tanpa disantap sedikitpun. Ara tak pernah terbiasa sarapan, maka ia hanya meminum jus labu kuningnya.

"Kutukan Tak-Termaafkan?" kata Daphne tertegun.

"Tidak. Kutukan itu hanya dipelajari di kelas tujuh," jawab Ara. Kendati begitu, Ara sudah menguasai Kutukan Imperius dan Crusiatus melalui latihan-latihannya di rumah. Sekarang Ara sedang dalam tahap pemantapan untuk Kutukan Pembunuh, Avada Kedavra.

Ara memerhatikan daftar pelajarannya. Profesor Snape agak rumit ketika mengurus daftar pelajarannya karena sedikit berbeda, maka ia hanya memilih enam pelajaran untuk dilanjutkan ke NEWT. Transfigurasi, Ramuan, Mantra, Herbologi, Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, dan Arithmancy. Sebetulnya ia merasa sudah cukup jago dalam bidang pertahanan, mengingat Durmstrang mempelajari Ilmu Hitam sekaligus pertahanannya, ditambah latihan-latihan yang ia jalani.

"Oh, aku berharap bisa ikut Ramuan. Tapi lihat," kata Daphne seraya menyodorkan surat yang berisi nilai-nilai OWLnya. Tak ada nilai 'Outstanding' sama sekali. "Aku hanya dapat A dan yang kudengar, Profesor Slughorn menerima minimal E," lanjutnya lesu.

"Jangan begitu hanya karena orang-orang pikir Ramuan itu pelajaran keren atau hanya untuk gengsi," kata Ara dengan nada bosan. "Kalau kau punya minat dan unggul di salah satu pelajaran, maka perdalam pelajaran itu supaya nantinya kau tidak bingung dalam memilih karir."

Daphne memandang Ara dengan pandangan agak malu sekaligus takjub. Kemudian Ara berpaling karena harus menjawab pertanyaan tentang pelajaran apa saja yang diikutinya dari teman-temannya yang lain. Ketika Ara menoleh ke kiri, ada satu anak Slytherin yang menatapnya benci, seperti tatapan Potter padanya. Ara balas menatapnya tak mengerti. Mengapa ia menatap Ara seperti itu?

"Dia siapa?" tanya Ara pada Daphne. Daphne mengikuti arah pandangan Ara.

"Dia Avior Black. Anak kelas enam juga," kata Daphne. "Kenapa dia menatapmu seperti itu?"

Ara mengangkat bahu tak mengerti.

Tunggu dulu, dia seorang Black?

"Dia... anak Sirius Black?" tanya Ara.

"Kudengar sih begitu," jawab Daphne.

Pantas saja. Ara tahu persis kalau ini ada hubungannya dengan Sirius Black. Tiba-tiba hatinya mencelos. Perasaan itu datang lagi, benar-benar aneh. Padahal dia sedang tidak bermimpi tentang itu lagi, tapi mengapa bisa? Ada apa dengannya? Tak mungkin rasa bersalah, kan? Sejak kapan Ara pernah merasa bersalah? Sekalipun Ara tahu ia salah, tapi ia tak pernah perlu untuk merasa bersalah. Tatapan bencinya persis sama seperti tatapan benci Potter padanya, tapi efek perasaan yang timbul dalam hatinya sungguh berbeda. Kalau Potter yang menatapnya ia akan dengan senang hati membalas tatapannya juga, ditambah seringai mautnya. Tapi kalau Black yang menatapnya ia malah merasa sedih dan... bersalah...

Demi Merlin, ini sungguh aneh!

Dalam usaha menghilangkan perasaan itu dalam dadanya, mereka meninggalkan Aula Besar bersama murid Slytherin kelas enam lainnya.

Entah apa hanya perasaannya saja atau memang benar, Ara merasa ia populer di sini, di luar fakta bahwa Ibunya adalah Bellatrix Lestrange yang jadi terkenal karena sering masuk Daily Prophet. Pandangan-pandangan dan bisikan-bisikan datang dari seluruh meja, terutama dari murid cowok. Ara memang cantik sih. Wajahnya bulat dengan mata besar, hidung bangir, bibir tebal, meski dahinya lebar, tapi terlihat pas, cantik, dan menarik. Badannya tinggi dan ramping, badan yang cukup bagus untuk anak enam belas tahun. Kulitnya putih bersih nyaris pucat. Dan rambutnya hitam legam, pendek seleher. Dengan wujudnya seperti itu banyak cowok yang diam-diam putus asa mengharapkannya.

Murid-murid Slytherin juga cenderung mendekatinya dengan cara menjilatnya, tentu saja. Seperti pagi ini, Pansy Parkinson mengoceh tentang dirinya yang punya gaun berbahan sutera terbaik asli dari Paris dan bagaimana keluarganya memperlakukannya seperti putri. Ara menggulirkan bola matanya malas, lalu ia menjawab,

"Ya, gaun itu pernah kubeli dua tahun yang lalu dan sekarang sudah kekecilan, jadi sudah kubuang dan musim panas lalu aku sudah membeli gaun langka yang kainnya berlapis emas murni, bertahtakan berlian telah khusus kupesan dari Italia untuk dikenakan pada pesta ulang tahun temanku di Durmstrang," kata Ara tenang. "Dan tentang keluargamu, tentu saja mereka memperlakukanmu seperti putri kalau statusmu di sana sebagai putri dari orang tuamu. Kalau statusmu di sana sebagai nenek, maka keluargamu akan memperlakukanmu seperti nenek-nenek."

Sontak gelak tawa membahana di ruang rekreasi dari teman-temannya yang mendengarkan. Ara menahan kikikannya saat melihat wajah pug Pansy yang terlihat shock tak percaya. Mulutnya membuka lalu mengatup seperti ikan yang dikeluarkan dari air.

Makan tuh.

Ara bukanlah orang yang mudah dijilat hanya dengan hal-hal seperti itu. Sejujurnya Ara tak suka orang-orang penjilat macam begitu karena dia sendiri juga bukan seorang penjilat, tapi di Slytherin mustahil menemukan orang yang tulus. Namun, menurutnya Daphne agak sedikit berbeda daripada murid Slytherin kebanyakan, maka hanya Daphne yang paling akrab dengannya.

Ara harus berusaha sekuat tenaga untuk tak memedulikan tatapan tajam membunuh dari Potter yang duduk tak jauh darinya dalam pelajaran Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam hari ini. Biasanya Ara selalu bisa untuk tak peduli, namun entah mengapa hari ini tidak. Hawa tidak enak akibat ulahnya membuat Ara tak bisa berkonsentrasi sehingga mantra non-verbalnya kacau. Masa sih ia salah tingkah? Oh, Ara ingin muntah sekarang juga tak percaya dengan apa yang ia pikirkan.

Sial. Ini gara-gara kau, Kepala-codet!

Ara membalas tatapan Potter ketika ia keluar kelas lebih dulu. Ara bisa melihat Potter telah menggenggam tongkat sihirnya erat-erat hingga buku jarinya memutih. Hawa membunuh menguar dari tatapan mereka satu sama lain, sepertinya anak-anak lain juga ikut merasakan kematian ada di dekat mereka jika terjadi pertarungan antara Ara dan Potter.

Mau menyerangku, eh? Silakan kalau bisa. Namun, sebelum kau menggores kulitku, aku telah lebih dulu menghabisimu.

Ara menyeringai. ini membuat Potter tambah geram. Andai di sini tak ada Snape atau si Darah-lumpur Granger yang mencegahnya, mungkin akan terjadi duel yang seru. Sepertinya Ara telah menempati urutan nomor satu dalam daftar musuh besar Potter, menggantikan Draco dan Snape.

Usai istirahat yang Ara habiskan dengan mengerjakan PR dari Snape yang cukup rumit baginya, Ara pergi sendiri untuk mengikuti kelas Arithmancy. Dan untungnya Potter tak ikut pelajaran ini, meski harus melihat si Darah-lumpur itu lagi. Setelah selesai Arithmancy, Ara langsung ke kelas bawah tanah untuk pelajaran Ramuan tanpa ke ruang rekreasi dulu. Hanya ada sekitar empat belas anak yang melanjutkan Ramuan untuk NEWT. Anak Slytherin yang paling banyak, enam orang. Ravenclaw hanya empat orang, Hufflepuff hanya satu orang, dan Gryffindor tiga orang. Ara menggulirkan bola mata ketika melihat Trio Gryffindor itu memasuki ruang kelas. Ia bertemu Potter lagi dan dua teman cecurutnya. Potter langsung menyadari keberadaannya yang duduk di depan bersama Draco dan Blaise. Ara berkata dalam hati untuk tak peduli pada Potter.

Baru saja Ara akan mengeluarkan buku Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut, Profesor Slughorn membuka pintu, perutnya yang besar terlihat lebih dulu memasuki ruangan. Kumis besarnya yang seperti kumis beruang laut melengkung di atas mulutnya yang tersenyum dan dia menyambut Potter dan Blaise dengan antusiasme yang berlebihan.

Ruang bawah tanah itu sudah penuh aroma dan bau yang aneh-aneh. Baunya mengingatkannya sekaligus akan tar karamel, bau kayu gagang sapu, dan bau bunga-bunga yang pernah ia hirup di pekarangan Malfoy Manor.

"Nah, nah, nah," kata Slughorn, sosoknya yang superbesar tampak bergetar di tengah banyak uap aroma yang bergulung. "Keluarkan timbangan, semua, dan peralatan ramuan, dan jangan lupa buku kalian Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut ..."

"Sir?" kata Potter, mengangkat tangannya.

"Harry, Nak?"

"Saya tidak punya buku ataupun timbangan atau apa pun Ron juga tidak kami tidak menyangka kami akan bisa ikut NEWT, soalnya."

"Ah, ya, Profesor McGonagall menyebut itu ... tak perlu kuatir, anakku, sama sekali tak perlu kuatir. Kalian bisa menggunakan bahan dari lemari sekolah hari ini, dan aku yakin kami bisa meminjami kalian timbangan, dan kami punya simpanan setumpuk buku tua di sini, bisa kalian pakai sampai kalian sudah menulis ke Flourish and Blotts ..."

Slughorn berjalan ke lemari di sudut dan setelah mencari-cari sebentar, datang dengan dua eksemplar buku Pembuatan-Ramuan Tingkat Lanjut oleh Libatius Borageyang sudah amat sangat lusuh, yang diberikannya kepada Potter dan Weasley, bersama dengan dua timbangan berkarat.

"Nah," kata Slughorn, kembali ke depan kelas dan menggembungkan dadanya yang sudah menggelembung, sehingga kancing-kancing rompinya nyaris berlepasan, "aku sudah menyiapkan beberapa ramuan untuk kalian lihat, hanya supaya kalian tahu. Ini semua adalah ramuan-ramuan yang mestinya bisa kalian buat setelah menyelesaikan NEWT kalian. Kalian pasti sudah pernah mendengar tentang ramuan-ramuan ini, meskipun belum pernah membuatnya. Ada yang tahu ramuan apa ini?" Dia menunjuk kuali paling dekat meja Slytherin. Ara dapat melihat kuali berisi seperti air putih mendidih dalam kuali itu. Tangan Ara dengan cepat mengacung, dan Granger kalah cepat darinya.

"Itu Veritaserum, Ramuan Kebenaran, Sir," kata Ara mantap. Teman-teman Slytherinnya menyeringai senang padanya, kecuali Black.

"Bagus sekali, bagus sekali," kata Slughorn senang. "Nah," dia melanjutkan, menunjuk kuali paling dekat meja Ravenclaw, "yang ini cukup terkenal ... juga disebutkan dalam beberapa selebaran Kementerian belakangan ini ... siapa yang?"

Tangan Ara terangkat lagi ke atas. Ara tentunya tidak akan memberikan kesempatan pada siapapun untuk menang darinya, terutama pada seorang Darah-lumpur.

"Itu Ramuan Polijus, Sir," katanya.

"Wah, luar biasa. Nampaknya aku melihat persaingan di antara kalian begitu sengit," kata Slughorn melihat adu kecepatan tangan antara Ara dan Granger. Granger yang wajahnya terlihat gusar karena hari ini ada seseorang yang mengalahkannya menjadi merah. "Nah, kalau yang ini?"

Tangan Granger dengan sangat amat cepat sekali terangkat ke atas dengan tidak sabar. Ara terkikik mencemooh padanya. Ara sengaja tidak mengangkat tangan. Bukan karena ia tidak tahu itu ramuan apa, tapi ia kasihan melihat Granger yang kebakaran jenggot karena Ara telah mengalahkannya.

"Itu Amortentia, Sir. Ramuan Cinta," kata Granger masih dengan wajah merah, napasnya naik-turun.

"Nampaknya kau menyerah, Nak?" tanya Slughorn pada Ara menyadari Ara tidak mengangkat tangan.

"Tidak, Sir. Saya hanya kasihan padanya. Jadi, saya memberinya sedikit kesempatan," kata Ara dengan suara agak dikeraskan agar seluruh manusia di kelas itu mendengarnya. Draco dan Zabini terkikik senang, Black hanya diam seperti patung.

"Baiklah, coba bisa kau jelaskan apa kegunaan ramuan ini, Nak?" kata Slughorn.

Ara dengan mantap dan kepercayaan diri tinggi menjawabnya, "Amortentia adalah ramuan cinta paling manjur di seluruh dunia!"

"Betul! Kau mengenalinya, kukira, dari kilaunya yang seperti karang mutiara?"

"Dan uapnya yang membumbung dalam bentuk spiral yang khas," kata Ara bersemangat, "dan baunya berbeda bagi masing-masing orang, tergantung pada apa yang menarik bagi kita, dan saya bisa membaui rumput yang baru dipotong dan perkamen baru, dan.."

"Sudah, sudah. Luar biasa. Slytherin layak mendapat dua puluh poin untuk pengetahuanmu ini, Nak. Dua puluh poin untuk Slytherin," kata Slughorn senang. "Sudah sejak lama Slytherin tidak mempunyai murid sepertimu. Boleh kutahu siapa namamu, Nak?"

"Ara Lestrange, Sir," jawab Ara.

Tiba-tiba wajah Slughorn menjadi terlihat tidak senang. Awalnya Ara bingung, tapi ia segera menyadarinya. Slughorn tidak suka terhadap Pelahap Maut. Sebetulnya Ara tidak peduli siapa yang ia sukai, Ara hanya ingin membuktikan diri bahwa ia tidak bisa diremehkan, apalagi oleh seorang Darah-lumpur.

"Amortentia tidak betul-betul menciptakan cinta, tentu mungkin membuat atau mengimitasi cinta," kata Slughorn agak kaku sambil pergi ke sisi lain, menajuhi meja Slytherin, menjauhi Ara. "Tidak, ini hanya sekadar menimbulkan perasaan tergila-gila atau obsesi yang luar biasa. Ini mungkin ramuan yang paling berbahaya dan paling kuat dalam ruangan ini, oh ya," katanya, mengangguk serius kepada Draco dan Blaise, keduanya sedang menyeringai menyangsikan. "Jika kalian sudah menyaksikan kehidupan sebanyak yang ku saksikan, kalian tidak akan menggangap remeh kekuatan cinta obsesif ..."

"Dan sekarang," kata Slughorn, "sudah waktunya bagi kita untuk mulai bekerja."

"Sir, Anda belum memberitahu kami ramuan apa yang ada dalam kuali ini," kata anak Hufflepuff yang semeja dengan Trio Gryffindor itu, menunjuk sebuah kuali hitam kecil yang nangkring, di atas meja Slughorn. Ramuan di dalamnya memercik-mercik ceria; warnanya seperti warna emas meleleh, dan butir-butir besar melompat-lompat seperti ikan emas di atas permukaannya, meskipun tak setitik pun tercecer.

"Oho," kata Slughorn lagi. Ara yakin Slughorn sama sekali tidak lupa akan ramuan itu, namun sengaja menunggu ditanya supaya efeknya dramatis.

"Ya. Itu. Nah, itu, Saudari-Saudara sekalian, adalah ramuan paling ajaib yang disebut Felix Felicis. Saya kira," dia menoleh, tersenyum, memandang Granger, yang memekik pelan karena kesenangan bahwa Ara tidak diliriknya lagi. Ara menggulirkan bola mata dengan malas.

Dasar guru bego.

Darah-lumpur sialan.

"Kau tahu apa khasiat Felix Felicis, Miss...?"

"Hermione Granger, Sir," kata Granger bersemangat. "Itu cairan keberuntungan," kata Granger bergairah. "Cairan itu membuat kita beruntung!"

Seluruh kelas tampaknya duduk sedikit lebih tegak. Draco memusatkan perhatian penuh pada Slughorn.

"Betul sekali, sepuluh angka untuk Gryffindor. Ya, ini ramuan yang aneh, Felix Felicis," kata Slughorn. "Luar biasa sulit pembuatannya, dan membawa malapetaka kalau keliru. Meskipun demikian, jika dibuat secara benar, seperti yang ini, jika kalian meminumnya, kalian akan melihat bahwa semua usaha kalian cenderung akan berhasil ... paling tidak sampai efeknya pudar."

"Kenapa orang tidak meminumnya sepanjang waktu, Sir?" tanya murid cewek Ravenclaw bersemangat.

"Karena jika diminum berlebihan, ramuan ini bisa menyebabkan pusing, kenekatan, dan kepercayaan diri yang berlebihan," kata Slughorn. "Terlalu banyak hal baik, kalian tahu ... sangat beracun dalam jumlah besar. Tetapi jika diminum dengan hemat dan hanya sekali-sekali..."

"Pernahkah Anda meminumnya, Sir?" tanya murid cowok Ravenclaw dengan sangat tertarik.

"Dua kali sepanjang hidupku," kata Slughorn. "Sekali waktu aku berumur dua puluh empat tahun, sekali waktu aku lima puluh tujuh tahun. Dua sendok makan penuh diminum sehabis sarapan. Dua hari yang sempurna."

Slughorn memandang ke kejauhan dengan pandangan melamun. "Dan ramuan itulah," kata Slughorn, rupanya sudah kembali ke bumi, "yang akan kuberikan sebagai hadiah dalam pelajaran ini."

Kelas hening, membuat setiap gelegak dan deguk di dalam kuali-kuali ramuan seolah dikeraskan sepuluh kali.

"Satu botol kecil Felix Felicis," kata Slughorn, mengeluarkan satu botol kecil mungil bertutup gabus dari dalam sakunya dan memperlihatkannya kepada mereka semua. "Cukup untuk membawa keberuntungan selama dua belas jam. Dari subuh sampai senja, kalian akan beruntung dalam apa pun yang kalian lakukan."

"Aku harus memperingatkan kalian bahwa Felix Felicis adalah barang terlarang dalam kompetisi yang terorganisir ... pertandingan olahraga, misalnya, ujian, atau pemilihan. Jadi, siapa pun yang mendapatkannya nanti, hanya boleh menggunakannya pada hari yang biasa ... dan saksikan bagaimana hari yang biasa menjadi luar biasa!"

"Jadi," kata Slughorn, tiba-tiba menjadi penuh semangat, "bagaimana kalian bisa memenangkan hadiahku yang luar biasa ini? Dengan membuka halaman sepuluh Pembuatan Ramuan Tingkat Lanjut. Kita masih punya waktu satu jam lebih sedikit, jadi cukup waktu bagi kalian untuk mencoba membuat Tegukan Hidup Bagai Mati. Aku tahu ramuan ini lebih rumit daripada ramuan apa pun yang pernah kalian coba buat sebelurnnya, dan aku tidak mengharapkan ramuan sempurna dari siapa pun. Meskipun demikian, anak yang menghasilkan ramuan paling baik akan memenangkan sebotol kecil Felix ini. Silakan mulai!"

Terdengar derit ketika semua anak menarik kuali ke dekat mereka, dan dentang-dentang keras ketika beberapa anak mulai menimbang ramuan, namun tak seorang pun bicara. Semua anak berkonsentrasi penuh. Ara membuka bukunya dengan santai. Tidak berharap memenangkan cairan Felix Felicis itu. Ia tidak sedang menginginkan sesuatu sehingga membuat dirinya harus beruntung hari ini. Jadi, ia mulai membaca instruksi dengan cermat, tapi tetap santai.

Setelah sepuluh menit, ruangan dipenuhi uap kebiruan. Ramuannya sudah cukup mirip seperti cairan berwarna beri hitam seperti yang disebutkan sebagai tahap pertengahan yang ideal.

"Sir, saya rasa Anda mengenal kakek saya, Abraxas Malfoy?" kata Draco. Ara mendongak. Slughorn baru saja melewati meja Slytherin.

"Ya," kata Slughorn, tanpa memandang Draco, "aku ikut prihatin mendengar dia sudah meninggal, meskipun tentu saja itu tidak mengejutkan, cacar naga pada usianya ..." Dan dia berjalan menjauh.

Ara sedang berusaha memotong kacang Sopophorous dengan susah payah. Benar-benar sulit. Ia memikirkan bagaimana cara yang lebih mudah dan cepat. Ia mencoba menggepreknya dengan pisau peraknya. Dia tercengang ketika kacang itu langsung mengeluarkan banyak sekali cairan. Buru-buru Ara memasukkannya ke dalam kuali. Ramuannya langsung berubah menjadi ungu sesuai seperti deskripsi di buku. Ara merasa senang sekali. Kemudian ia membaca instruksi selanjutnya. Menurut buku ia harus mengaduknya berlawanan arah jarum jam sampai berubah menjadi sejernih air. Dan Ara melakukannya. Namun, setelah beberapa lama, ramuannya masih berwarna ungu.

Sial. Bagaimana ini?

Ara putus asa ramuannya tidak berubah warna sejak tadi hingga tanpa sadar ia salah arah mengaduk ramuannya. Namun, hal mengherankan terjadi, ramuannya berubah menjadi merah muda pucat. Ara menyadari cara alternatif ini, tapi ia tidak ingat berapa kali ketika mengaduk berlawanan arah jarum jam. Saat ia sedang berpikir keras, suara Slughorn menginterupsinya.

"Dan waktunya ... habis!" seru Slughorn. "Tolong semua berhenti mengaduk!"

Ara mendengus kesal. Ia belum selesai. Ramuannya masih berwarna merah muda pucat.

Slughorn bergerak pelan di antara meja-meja, mengintip ke dalam kuali. Dia tidak memberi komentar, namun kadang-kadang mengaduk ramuan, atau mengendusnya. Ia memberi senyum tipis dan anggukan setuju pada ramuan Ara. Cukup memuaskan. Ketika ia telah sampai pada meja Potter ia berseru, "Jelas inilah pemenangnya!" serunya ke kelasnya. "Luar biasa, luar biasa, Harry! Astaga, jelas sekali kau mewarisi bakat ibumu, dia pintar sekali membuat Ramuan. Lily hebat sekali! Ini dia, kalau begitu, ini dia sebotol Felix Felicis, seperti yang ku janjikan, dan gunakan ini sebaik-baiknya!"

Ara menggulirkan bola matanya lagi dengan malas. Dan pujian-pujian terhadap Potter terus berlangsung selama pelajaran Ramuan sisa minggu ini, membuat kupingnya panas. Sejak kapan Potter menjadi sejenius itu dalam ramuan?

Jam-jam bebas kelas enam ternyata sama sekali jauh dari ekspektasi Ara. Ini tidak jauh berbeda dengan kelas lima dulu, benar-benar sibuk. Ara nyaris tak memahami setengah dari apa yang dikatakan Profesor McGonagall di pelajaran Transfigurasi tadi pagi. Dipusingkan lagi dengan Daphne dan Pansy yang merengek pada Ara untuk mengajarkannya mantra non-verbal yang diharapkan, tidak hanya dalam Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam, tapi juga Transfigurasi dan Mantra. Masalah lain datang lagi karena Draco bersikeras menolak bantuannya dalam menjalankan misinya. Hingga saat ini ia tak tahu menahu rencana apa yang dia susun untuk membunuh Dumbledore. Demi Merlin, rambutnya bisa rontok banyak kalau begini terus. Pelajaran Herbologi di luar kastil sedikit memberi udara segar baginya. Walaupun harus berhati-hati barangkali Tentakula Berbisa tiba-tiba menyambarnya dari belakang.

Ara bangun pagi dengan semangat pada tanggal dua Oktober, ulang tahun ketujuh belasnya. Ara senang sekali karena ia sudah legal memakai sihir di luar pengawasan Kementrian. Ia mengintip bawah ranjangnya, sudah ada dua tumpuk kado untuknya. Dari Ayahnya, Ibunya, Bibi Narcissa, Paman Rabastan, Draco, dan teman-temannya yang lain baik di Hogwarts maupun di Durmstrang. Agak aneh rasanya karena Paman Lucius tidak memberinya kado tahun ini. Ketika sarapan ia dibanjiri ucapan selamat ulang tahun dari teman-teman Slytherinnya. Ara baru tahu kalau Avior Black ulang tahun bersamaan dengannya ketika mendapati bahwa tidak hanya dirinya yang diberi selamat ulang tahun, tapi Black juga.

"Wah, aku tak menyangka kalian berulang tahun di hari yang sama," kata Theodore Nott seraya bertepuk tangan. Raut wajah Black seketika berubah dingin, Ara hanya diam mematung, bingung harus bereaksi bagaimana. "Sepertinya dulu ibu kalian janjian untuk melahirkan bersama-sama."

Seluruh anak-anak Slytherin yang mendengar ini tertawa. Ara dan Black tak bergeming. Namun, Ara jadi membayangkan dua orang ibu-ibu hamil yang tenga berjanji melahirkan bersama, Ara menahan kikikannya.

Tunggu, kakekku seorang Black. Berarti aku masih ada hubungan kekerabatan dengan dia.

"Dan ini sungguh tak menyenangkan karena aku bisa tekor harus membeli dua kado," kata Blaise. Gelak tawa membahana lagi di meja Slytherin.

"Drake, Sirius Black itu sepupu Bibi Cissy, kan?" tanya Ara pelan pada Draco di depannya.

"Iya. Kenapa kau menanyakan si pengkhianat itu?" katanya tidak suka.

"Aku hanya tanya," desis Ara agak sebal.

Ara bersyukur besoknya PR tidak terlalu semenggunung bulan September lalu. Di jam kosong setelah pelajaran Transfigurasi pagi ini, tak ada PR yang harus diselesaikan, maka untuk mengisinya hingga jam istirahat Ara memutuskan ke Perpustakaan. Ara membawa secarik perkamen dan pena bulu meraknya untuk jaga-jaga. Ia duduk di tempatnya yang biasa, sudut terjauh dari jangkauan orang-orang agar mendapat ketenangan. Ia membaca buku Sejarah Hogwarts.

"Bisakah kau cari tempat lain?" geram Potter. Ara menoleh kaget. Seketika matanya terbelalak.

"Kupikir tempat ini bukan punya Ibumu," kata Ara tak peduli.

"Tempat ini juga bukan punya Ibumu. Tapi ini tempatku. Pergi dari sini dan cari tempat lain," desis Potter tajam.

"Apa? Tempatmu?" kata Ara tertawa. "Memang apa yang kau lakukan untuk menandai teritorimu? Mengencinginya?" cemoohnya.

"Kuperingatkan kau, Lestrange. Pergi sekarang juga,"

"Kalau aku tidak mau bagaimana?" kata Ara. "Mau memanggil Sirius Black dari liang kuburnya?"

"Jangan bawa-bawa Ayah baptisku dalam percakapan kita!" geram Potter marah.

"Oh, jadi dia Ayah baptismu, ya," kata Ara mengangguk-angguk berlagak paham. "Kukira dia anjing peliharaanmu," cemooh Ara. "Padahal aku berharap Ibuku menghabisimu juga."

"Aku yang akan mengahabisi Ibumu duluan," kata Potter sarkas. "Dan setelah itu, kau targetku berikutnya."

"Menantangku, eh?" Ara menyeringai. Potter telah mengeluarkan tongkat sihirnya. "Eww, takut," cemooh Ara.

"Expelliarmus!"

Seberkas sinar merah meluncur dari ujung tongkat Potter. Ara dengan sigap menolaknya dengan mantra pelindung secara non-verbal. Dan pertarungan sengit terus berlangsung. Beruntung tak terlalu banyak murid yang berada di Perpustakaan hari ini. Pertukaran mantra masih terjadi. Kilat-kilat cahaya meluncur dari ujung tongkat mereka. Ara berusaha untuk tidak meninggalkan jejak agar tidak mendapat masalah. Potter lebih sering menyerang dan Ara lebih sering menolak serangan. Ara sengaja memancingnya begitu karena Ara tak mau hilang kendali meyerangnya dengan Kutukan Tak-Termaafkan. Belum saatnya.

Perhatiannya teralih pada sesuatu yang Ara dengar seperti suara langkah kaki. Ara merasa sakit sekali di bagian punggung dan dadanya karena Potter menyerangnya lagi ketika ia lengah. Ara terpental agak jauh dan menabrak rak di belakangnya hingga menimbulkan suara berisik akibat buku-buku yang jatuh. Ara lemas, seakan tak bisa bernapas, Ara merasa ingin pingsan. Ara masih bisa mendengar Madam Pince berteriak karena mendapati Perpustakaannya dijadikan tempat berduel. Kemudian ia merasa seseorang menggendongnya.

Hangat...

Namun setelah itu semuanya gelap.


Hai ^^ Aku memutuskan untuk mempublish The Black Princess di sini juga hehe.. Cuma iseng aja sih sebenernya :P

Semoga banyak new readers ^^