New Moon

-01-

.

.

.

PESTA

.

.

.

Aku 99,9% yakin sedang bermimpi. Kenapa aku bisa seyakin itu adalah pertama, aku berdiri dibawah cahaya matahari yang terang benderang dengan sorot matahari yang menyilaukan, sesuatu yang tidak pernah terjadi di Forks, Washington, kampung halamanku yang selalu berhujan. Kedua, aku sedang menatap nenekku, padahal nenek sudah meninggal enam tahun lalu, jadi itu bukti kuat bahwa aku memang sedang bermimpi.

Dalam mimpiku, nenek tidak banyak berubah. Wajahnya masih tepat seperti yang kuingat. Kulitnya lembut dan layu, terlipat-lipat membentuk ribuan keriput kecil yang menggelantung lembut pada tulang di bawahnya, dengan gumpalan rambut putih tebal yang mengelilingi wajahnya bagaikan awan. Saat bertemu, kami berdua memamerkan senyum kami dan ternyata bukan aku yang terkejut, nenek juga tidak menyangka akan bertemu denganku. Aku baru saja akan bertanya kepadanya -begitu banyak pertanyaan berkecamuk dalam benakku-. Seperti, apa yang nenek lakukan disini dalam mimpiku? Kemana saja nenek selama enam tahun terakhir ini? Apakah nenek tahu jika aku merindukan nenek? Tapi nenek membuka mulut saat aku juga membuka mulut, jadi akuberhenti untuk memberinya kesempatan lebih dulu. Nenek juga terdiam, kemudian kami sama-sama tersenyum melihat kecanggungan kami.

"Taehyung?"

Bukan nenek yang memanggil namaku. Kami bersama-sama menoleh untuk melihat siapa gerangan yang bergabung dalam reuni kecil kami. Sebenarnya tanpa melihat pun aku sudah tahu siapa dia, itu suara yang pasti akan aku kenali dimana pun –ku kenal dan ku respons-, tidak peduli apakah aku sedang bangun atau tidur... atau bahkan mati, aku yakin. Suara yang untuknya aku rela berjalan melintasi api—atau, agar tidak terdengar terlalu dramatis, mengarungi hujan dan sengatan hawa dingin yang selalu datang setiap hari.

Jungkook.

Walaupun aku selalu senang bertemu dengannya -baik sadar maupun tidak- dan walaupun aku hampir yakin aku sedang bermimpi. Hal itu tidak urung membuatku panik juga saat Jungkook berjalan menghampiri kami dibawah terik matahari yang menyengat. Aku panik karena nenek tidak tahu aku mencintai vampire -tidak seorang pun mengetahuinya-, jadi bagaimana aku bisa menjelaskan fakta bahwa sorot matahari yang benderang memantul di kulit Jungkook dalam bentuk ribuan keping pelangi, membuatnya terlihat seakan-akan terbuat dari kristal atau berlian?

Baiklah, nenek, kau pasti sudah melihat pacarku berkilau-kilau. Memang begitulah dia kalau berada dibawah sinar matahari. Jangan khawatir... Apa yang Jungkook lakukan? Alasan utama dia tinggal di Forks, kota yang curah hujannya tertinggi didunia, adalah agar dia bisa berada diluar rumah pada siang hari tanpa takut rahasia keluarganya terbongkar. Tapi sekarang Jungkook malah melenggang santai menghampiriku –senyum termanis menghiasi wajahnya yang rupawan- seakan-akan hanya ada aku di sini. Detik itu juga, aku berharap bukan aku satu-satunya yang terkecualikan oleh bakat misteriusnya, biasanya aku justru bersyukur menjadi satu-satunya orang yang pikirannya tidak bisa dibaca oleh Jungkook. Tapi sekarang aku malah berharap dia bisa membaca pikiranku juga, supaya dia bisa mendengar peringatan yang kuteriakkan dalam pikiranku.

Aku melayangkan pandangan panik kepada nenek, dan melihat ternyata itu sudah terlambat. Nenek sudah berpaling menatapku dan sorot matanya sama terkejutnya dengan sorot mataku. Jungkook masih menyunggingkan senyumnya yang begitu menawan hingga membuat hatiku bagai menggelembung dan meledak memecahkan dada, dia merangkul bahuku dan membalikkan tubuhku sehingga aku berdiri berhadap-hadapan dengan nenekku. Ekspresi nenek membuatku terkejut. Alih-alih tampak ngeri, dia malah menatapku takut-takut, seperti menunggu disemprot. Dan dia berdiri dengan posisi sangat aneh—sebelah tangan terangkat canggung menjauhi tubuhnya, terulur, dan kemudian tertekuk di udara. Seperti merangkul seseorang yang tidak bisa kulihat, seseorang yang tidak tampak…

Barulah kemudian, saat melihat gambaran yang lebih besar, aku menyadari ada pigura emas yang membingkai sosok nenekku. Tidak mengerti, aku mengangkat tangan yang tidak memeluk pinggang Jungkook dan mengulurkannya untuk menyentuh nenekku. Nenek malah meniru gerakanku dengan tepat, seperti cermin. Tapi di mana jari-jari kami seharusnya bertemu, tidak ada apa-apa kecuali kaca yang dingin. Dengan keterkejutan memusingkan, mimpiku sekonyong-konyong berubah jadi mimpi buruk.

Tidak ada nenek. Itu aku. Bayanganku dalam cermin. Aku -tua, keriput, dan layu-. Jungkook berdiri disampingku, bayangannya tidak terpantul dalam cermin, begitu rupawan, dan selamanya berumur tujuh belas tahun. Jungkook menempelkan bibirnya yang sempurna dan sedingin es ke pipiku yang keriput.

"Selamat ulang tahun," bisiknya.

Aku terbangun kaget dengan kelopak mataku terbuka lebar dan terkesiap. Cahaya kelabu muram, cahaya matahari yang seperti biasa selalu terselimuti awan mendung, menggantikan cahaya matahari yang terang benderang dalam mimpiku. Hanya mimpi, kataku dalam hati. Itu tadi hanya mimpi. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian terlonjak lagi waktu alarmku berbunyi. Kalender kecil di sudut permukaan jam menginformasikan padaku hari ini tanggal tiga belas September.

Hanya mimpi, tapi di satu sisi setidaknya mimpi itu cukup meramalkan apa yang akan terjadi dimasa mendatang. Hari ini hari ulang tahunku. Aku genap delapan belas tahun. Berbulan-bulan lamanya aku sangat takut menantikan datangnya hari ini. Sepanjang musim panas tanggal muram ini bergentayangan dalam diam, menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dan kini setelah itu terjadi, ternyata jauh lebih buruk daripada yang kutakutkan akan terjadi. Aku bisa merasakannya. Setiap hari aku bertambah tua, tapi ini lain. Ini lebih parah, pertambahan usiaku diukur sekarang. Aku sudah delapan belas tahun. Sementara Jungkook tidak akan pernah jadi delapan belas tahun.

Ketika sedang menggosok gigi, aku nyaris terkejut karena wajah yang terpantul dicermin tidak berubah. Kupandangi diriku, mencari tanda-tanda akan munculnya keriput dikulitku. Tapi satu-satunya kerutan yang ada hanya di dahi, dan aku tahu kalau aku rileks, kerutan itu akan hilang. Tapi aku tidak bisa. Alisku tetap terpatri membentuk garis khawatir diatas mata cokelatku yang was-was. Itu hanya mimpi, aku mengingatkan diriku lagi. Hanya mimpi... tapi juga mimpi burukku yang terburuk.

.

.

.

.

.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku berusaha sekuat tenaga untuk bisa fokus menyetir. Sosok nenek yang merupakan diriku sendiri selalu terbayang dalam benakku. Aku tidak bisa merasakan perasaan lain selain putus asa saat berbelok memasuki lapangan parkir dibelakang gedung Forks High School dan melihat Jungkook bersandar tanpa bergerak di Volvo-nya yang mengkilat, bagaikan patung marmer dewa berhala keindahan yang telah lama dilupakan orang. Padahal saat itu Jungkook hanya memakai kemeja lengan panjang berwarna putih kusam dengan scarf hitam tipis yang dibentuk seperti dasi, kaki jenjangnya dibalut dengan jeans hitam. Hanya itu, tapi Jungkook bahkan lebih tampan daripada dalam mimpiku tadi. Dan dia disana menungguku, seperti biasa setiap hari.

Perasaan putus asa itu sesaat lenyap; digantikan rasa takjub. Bahkan setelah setengah tahun pacaran dengannya, aku masih belum percaya aku pantas memperoleh keberuntungan sebesar ini. Saudaranya, Jin, berdiri disebelahnya, menungguku juga. Hari ini dia terlihat memakai baju lengan pendek berwarna kuning dengan gambar kucing ditengahnya, celana jeans dengan berbagai robekan. Hah, apakah robekan itu tidak terlalu lebar? Apapun itu, Jin tetap terlihat luar biasa seperti biasa.

Melihat Jin menunggu di sana dengan mata cokelatnya yang bersinar-sinar girang, tangannya menggenggam benda segi empat kecil terbungkus kertas warna perak—membuat keningku berkerut. Aku sudah memberi tahu Jin bahwa aku tidak menginginkan apa-apa, apa pun, baik itu kado maupun perhatian, untuk hari ulang tahunku. Jelas, keinginanku ternyata diabaikan.

Kubanting pintu Chevy '53 milikku dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Jin berlari cepat menghampiriku, wajahnya berseri-seri dibawah rambut hitamnya.

"Selamat ulang tahun, Taehyung!"

"Ssstt!" desisku, memandang berkeliling untuk memastikan tidak ada yang mendengar perkataannya barusan. Hal terakhir yang kuinginkan adalah perayaan dalam bentuk apa pun untuk memperingati hari muram ini.

Jin tidak menggubrisku. "Kau mau membuka kadonya sekarang atau nanti saja?" tanyanya penuh semangat sementara kami menghampiri Jungkook yang masih menunggu.

"Tidak ada kado-kadoan," protesku.

Jin akhirnya bisa mencerna suasana hatiku yang buruk.

"Oke... nanti saja kalau begitu. Kau suka album kiriman ibumu? Dan kamera dari ayahmu?"

Aku mendesah. Tentu saja dia tahu aku mendapatkan kado apa saja dengan kekuatannya itu.

"Yeah. Kadonya bagus-bagus."

"Menurutku idenya bagus sekali. Kaukan hanya satu kali jadi murid senior seumur hidupmu. Jadi ada baiknya pengalaman itu didokumentasikan "

"Kau sendiri, sudah berapa kali jadi murid senior?"

"Itu lain."

Saat itu kami sudah sampai di tempat Jungkook, dan dia mengulurkan tangan padaku. Aku menyambutnya dengan penuh semangat, sejenak melupakan suasana hariku yang muram. Kulit Jungkook terasa seperti biasa. licin, keras, dan sangat dingin. Dengan lembut diremasnya jari-jariku. Kutatap matanya yang berkilauan dan hatiku bagai diremas keras-keras. Mendengar detak jantungku yang kencang, Jungkook tersenyum lagi. Jungkook mengangkat tangannya yang bebas dan menelusuri bagian luar bibirku dengan ujung jarinya yang dingin sambil bicara

"Jadi, sesuai hasil pembicaraan, aku tidak boleh mengucapkan selamat ulang tahun padamu, benar begitu?"

"Ya. Itu benar."

Aku tidak pernah bisa menirukan cara bicaranya yang mengalun serta artikulasinya yang sempurna dan formal. Kemampuan yang hanya bisa dipelajari pada abad lalu.

"Hanya mengecek," Jungkook menyurukkan jari-jarinya kerambutnya yang berantakan.

"Siapa tahu kau berubah pikiran. Kebanyakan orang sepertinya menikmati hari ulang tahun dan hadiah."

Jin tertawa, suaranya bergemerincing, seperti genta angin.

"Tentu saja kau akan menikmatinya. Semua orang akan bersikap baik padamu hari ini dan menuruti kemauanmu, Tae. Hal terburuk apa yang bisa terjadi?" Itu pertanyaan retoris yang tak perlu dijawab.

"Bertambah tua," aku tetap menjawab, dan suaraku kedengarannya tidak semantap yang kuinginkan. Di sampingku, senyum Jungkook mengejang kaku.

"Delapan belas kan tidak terlalu tua," sergah Jin.

"Delapan belas berarti lebih tua daripada Jungkook," aku bergumam. Jungkook mendesah.

"Teknisnya begitu," sambung Jin, menjaga nadanya tetap ringan. "Tapi kan, hanya setahun lebih tua." Lanjutnya.

Dan kupikir... kalau aku bisa merasa yakin akan masa depan yang kuinginkan, kalau aku bisa yakin akan bersama Jungkook selamanya, juga Jin dan semua anggota keluarga dr. Choi yang lain, maka satu atau dua tahun lebih tua tidak akan terlalu masalah bagiku. Tapi tekad Jungkook sudah bulat bahwa tidak akan ada perubahan bagiku di masa depan. Masa depan yang membuatku jadi seperti dia—membuatku abadi juga. Kebuntuan, begitulah Jungkook menyebutnya. Jujur saja, aku tidak benar-benar bisa memahami jalan pikiran Jungkook. Apa enaknya bisa mati? Menjadi vampir tampaknya bukan hal yang tidak enak—setidaknya kalau melihat bagaimana keluarga dr. Choi menjalaninya.

"Jam berapa kau akan datang ke rumah?" sambung Jin, berusaha mengganti topik. Dari ekspresinya, dia merencanakan sesuatu yang justru ingin kuhindari.

"Aku tidak tahu aku punya rencana akan datang kesana."

"Oh, yang benar saja, Tae!" keluh Jin.

"Kau tidak akan merusak kegembiraan kami, kan?" lanjutnya, memelas.

"Lho, kusangka di hari ulang tahunku aku berhak menentukan apa yang aku inginkan."

"Aku akan menjemputnya setelah sekolah selesai." kata Jungkook pada Jin, tidak menggubrisku sama sekali.

"Aku harus kerja," protesku.

"Ah, siapa bilang.." tukas Jin dengan nada menang.

"Aku sudah bicara dengan Mrs. Newton mengenainya. Dia mau kok mengganti jadwal shiftmu. Dia malah kirim salam 'Selamat Ulang Tahun' untukmu." Lanjutnya dengan wajah yang menurutku cukup menyebalkan. -,-

"Aku.. aku tetap tidak bisa datang," kataku terbata-bata, gelagapan mencari alasan.

"Aku, well.. belum sempat nonton Romeo and Juliet untuk kelas bahasa Inggris."

Jin mendengus. "Ah, kau sudah hafal Romeo and Juliet!'

"Tapi kata Mr. Berty, kami harus melihat sandiwara itu untuk bisa sepenuhnya menghargainya, karena begitulah yang diinginkan Shakespeare." Jungkook memutar bola matanya mendengar alasanku.

"Kau kan sudah nonton filmnya," tuduh Jin.

"Tapi versi yang 1960-an belum. Kata Mr. Berty, versi itulah yang terbaik."

Akhirnya Jin menghapus senyum kemenangan itu dari wajahnya dan memelototiku.

"Ini bisa mudah atau bisa juga sulit Tae.. tapi pokoknya—"

Jungkook memotong ancamannya. "Rileks Jin. Kalau Taehyung ingin nonton film, dia boleh nonton film. Ini kan hari ulang tahunnya."

"Nah, kan," imbuhku sambil mengangguk-anggukkan kepala begitu semangat.

"Aku akan membawanya ke sana sekitar jam tujuh," sambung Jungkook. "Kau punya banyak waktu untuk menyiapkan semuanya." Aku mengerutkan kening mendengarnya.

Tawa Jin kembali berderai. "Kedengarannya asyik. Sampai nanti malam, Taehyung-ie!" Dia tersenyum lebar, menampakkan sederet giginya yang sempurna lalu mengecup pipiku dan berlari menuju kelas pertamanya sebelum aku sempat merespons.

"Jungkook, please—" aku mulai memohon, tapi Jungkook menempelkan jarinya yang dingin ke bibirku.

"Nanti saja kita diskusikan. Kita bisa terlambat masuk kelas."

Tidak ada yang repot-repot memandangi kami saat kami sepera biasa mengambil tempat dibagian belakang kelas. Jungkook dan aku sudah bersama-sama cukup lama sehingga tidak lagi menjadi sasaran gosip. Bahkan Mike Newton sudah tidak lagi melayangkan pandangan muram yang dulu sempat membuatku merasa sedikit bersalah. Sekarang dia malah tersenyum, dan aku senang karena sepertinya dia bisa menerima bahwa kami hanya bisa berteman.

Seiring dengan berjalannya hari ini, aku mempertimbangkan beberapa cara untuk menghindar dari entah acara apa yang akan dilangsungkan dirumah keluarga dr. Choi malam ini. Pasti menyebalkan jika harus mengikuti perayaan padahal suasana hatiku justru sedang ingin berduka. Tapi, yang lebih parah lagi, pasti akan ada perhatian dan hadiah-hadiah di sana. Perhatian bukan sesuatu yang diinginkan orang kikuk yang gampang cedera seperti aku. Tidak ada yang ingin menjadi sorotan bila besar kemungkinan kau bakal jatuh terjerembab.

.

.

.

.

.

Siang berlalu dengan cepat. Sekolah usai dan seperti biasa, Jungkook mengantarku ke truk. Tapi kali ini, dia membukakan pintu penumpang. Jin pasti membawa mobilnya pulang supaya Jungkook bisa memastikan aku tidak kabur. Aku bersedekap dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berteduh dari hujan yang menderas.

"Sekarang kan hari ulang tahunku, jadi boleh dong aku yang menyetir?"

"Aku berpura-pura hari ini bukan hari ulang tahunmu, seperti yang kau inginkan."

"Kalau ini bukan hari ulang tahunku, berarti aku tidak harus pergi ke rumahmu malam ini..."

"Baiklah…" Jungkook menutup pintu dan berjalan melewatiku untuk membuka pintu pengemudi.

"Selamat ulang tahun."

"Ssst," desahku setengah hati.

Aku naik melewati pintu yang sudah terbuka, dalam hati berharap Jungkook menerima tawaranku yang lain. Jungkook mengotak-atik radio sementara aku menyetir, menggeleng sebal.

"Sinyal radiomu jelek sekali."

Keningku berkerut. Aku tidak suka jika Jungkook menjelek-jelekkan trukku. Trukku bagus kok—punya kepribadian, unik.

"Ingin stereo yang bagus? Naik mobilmu saja."

Aku begitu gugup menghadapi rencana Jin, ditambah suasana hatiku yang memang sudah muram, jadi kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar lebih tajam daripada yang sebenarnya ak umaksudkan. Aku jarang marah kepada Jungkook, dan nadaku yang ketus membuat Jungkook mengatupkan bibir rapat-rapat menahan senyum. Setelah aku memarkir trukku didepan rumahku, Jungkook merengkuh wajahku dengan kedua tangan. Dia memegangku sangat hati-hati, hanya ujung-ujung jarinya yang menempel lembut di pelipis, tulang pipi, dan daguku. Seolah-olah aku benda yang gampang pecah. Dan itu benar—bila dibandingkan dengan dia, paling tidak.

"Seharusnya hari ini suasana hatimu lebih baik dibanding kan hari-hari lain" bisiknya.

Aroma napasnya yang manis membelai wajahku.

"Dan kalau suasana hatiku jelek?" tanyaku, napasku tidak teratur. Bola mata Jungkook yang keemasan menyala-nyala.

"Sayang sekali."

Kepalaku sudah berputar-putar saat Jungkook mendekatkan kepalanya kewajahku dan menempelkan bibirnya yang sedingin es kebibirku. Tepat seperti yang Jungkook inginkan, sudah pasti aku langsung melupakan semua kekhawatiranku dan berkonsentrasi untuk ingat menghirup napas dan mengeluarkannya. Bibir Jungkook terus menempel di bibirku, dingin, licin, dan lembut, sampai aku merangkulkan kedua tanganku ke lehernya dan membiarkan diriku hanyut dalam ciumannya, agak terlalu antusias malah. Aku bisa merasakan bibirnya tertekuk ke atas saat Jungkook melepaskan wajahku dan melepaskan tanganku yang mendekap tengkuknya erat-erat.

Jungkook sangat berhati-hati dalam utusan hubungan fisik, karena dia ingin aku tetap hidup. Meski tahu aku harus memberi jarak aman antara kulitku dengan gigi Jungkook yang setajam silet dan berlapis racun itu. Aku cenderung melupakan hal-hal remeh semacam itu saat Jungkook menciumku.

"Jangan nakal," desahnya di pipiku.

Jungkook menempelkan bibirnya sekali lagi dengan lembut kebibirku, kemudian melepaskan pelukannya, melipat kedua lenganku di perut. Denyut nadi menggemuruh di telingaku. Kutempelkan sebelah tanganku ke dada. Jantungku berdebar sangat keras di bawah telapak tangan.

"Menurutmu, apakah aku bisa jadi semakin baik dalam hal ini?" tanyaku, menujukannya pada diriku sendiri.

"Bahwa jantungku suatu saat nanti akan berhenti mencoba melompat keluar dari dadaku setiap kali kau menyentuhku?"

"Aku benar-benar berharap itu tidak akan terjadi." jawab Jungkook, sedikit puas pada diri sendiri.

Kuputar bola mataku. "Ayo kita nonton keluarga Capulet dan Montague saling menghabisi, bagaimana?"

"Your wish, my command"

Jungkook duduk berselonjor di sofa sementara aku menyetel film, mempercepat bagian pembukaan. Saat aku duduk dipinggir sofa didepannya, Jungkook merangkul pinggangku dan menarikku kedadanya. Memang tidak senyaman bersandar dipunggung sofa, karena dada Jungkook keras dan dingin -dan sempurna tentu saja- seperti pahatan es, tapi aku jelas lebih menyukainya. Jungkook menarik selimut tua yang tersampir dipunggung sofa dan menghamparkannya menutupi tubuhku, supaya aku tidak membeku karena bersentuhan dengan tubuhnya.

"Kau tahu, sebenarnya aku kurang suka pada Romeo," Jungkook berkomentar saat filmnya mulai.

"Memangnya Romeo kenapa?" tanyaku, agak tersinggung. Romeo salah satu karakter fiksi favoritku.

"Well, pertama-tama, dia mencintai Rosaline ini—apa menurutmu itu bukan plin-plan namanya? Kemudian, beberapa menit setelah pernikahan mereka, dia membunuh sepupu Juliet. Itu sangat tidak cerdas. Kesalahan demi kesalahan. Masa menghancurkan kebahagiaannya sendiri?"

Aku mendesah. "Kau mau aku menontonnya sendirian?"

"Tidak, toh aku akan lebih banyak menontonmu." Jari-jari Jungkook menyusur membentuk pola di kulit lenganku, membuat bulu kudukku meremang.

"Kau akan menangis, tidak?"

"Kemungkinan besar," aku mengakui, agak malu sebenarnya mengakui bahwa aku akan menangis hanya karena sebuah film, "kalau aku memerhatikan."

"Aku tidak akan mengganggumu kalau begitu."

Tapi aku merasakan bibirnya di rambutku, dan itu sangat mengganggu, -mengganggu kinerja otak dan jantungku-. Akhirnya film itu berhasil menyita perhatianku, sebagian besar berkat "jasa" Jungkook membisikkan dialog-dialog Romeo di telingaku—suaranya yang merdu bak beledu membuat suara si aktor terdengar lemah dan kasar. Dan aku benar-benar menangis, membuat Jungkook geli, saat Juliet terbangun dan menemukan suami barunya sudah meninggal.

"Harus kuakui, aku agak iri padanya dalam hal ini," kata Jungkook, mengeringkan air mataku dengan seberkas rambutku.

"Dia cantik sekali." Tebakku.

Jungkook mengeluarkan suara seperti jijik. "Aku bukan iri karena pemeran wanitanya, tapi karena mudahnya dia bunuh diri," Jungkook mengklarifikasi dengan nada menyindir.

"Kalian manusia gampang sekali mati! Tinggal menelan setabung kecil ekstrak tumbuhan..."

"Apa?" aku kaget.

"Itu pernah terpikir olehku, dan aku tahu dari pengalaman appa. Prosesnya tidak sesederhana itu. Aku bahkan tidak tahu berapa kali dia mencoba bunuh diri awalnya... begitu sadar dia sudah berubah menjadi..." Suara Jungkook, yang sempat berubah serius, kini ceria lagi.

"Dan sampai sekarang ternyata dia masih sehat walafiat."

Aku berbalik supaya bisa membaca ekspresi wajahnya. "Ngomong apa sih kamu?" tuntutku.

"Apa maksudmu, itu pernah terpikir olehmu?"

"Musim semi lalu, waktu kau... nyaris terbunuh..." Jungkook terdiam sejenak untuk menarik napas dalam-dalam, berusaha keras kembali memperdengarkan nada menggoda.

"Tentu saja aku berusaha fokus untuk menemukanmu hidup-hidup, tapi sebagian otakku menyusun rencana cadangan. Seperti kataku tadi, tidak semudah yang bisa dilakukan manusia."

Sedetik, kenangan akan perjalanan terakhirku ke Phoenix membanjiri otakku dan membuatku merasa pusing. Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas dan membuat hari itu menjadi hari terburuk dalam hidupku. Kemudian aku menggeleng—seolah ingin menepis kenangan buruk itu jauh-jauh—dan berusaha mencerna maksud Jungkook. Perutku melilit.

"Rencana cadangan?" ulangku.

"Well, aku tidak mau hidup tanpa kau," Jungkook memutar bola matanya, seolah-olah jawaban itu sudah sangat jelas, tidak perlu ditanyakan lagi.

"Tapi aku tidak tahu bagaimana melakukannya. Aku tahu Jimin dan Namjoon tidak akan mau membantu... jadi kupikir mungkin aku akan pergi ke Italia dan melakukan sesuatu untuk memprovokasi Volturi."

Aku tidak ingin percaya bahwa Jungkook serius, tapi matanya terlihat muram, terfokus pada sesuatu di kejauhan saat ia mempertimbangkan berbagai cara untuk menghabisi nyawanya sendiri. Seketika aku marah.

"Apa itu Volturi?" tuntutku.

"Volturi itu nama sebuah keluarga," Jungkook menjelaskan, matanya masih tampak muram.

"Keluarga sejenis kami, sangat tua dan berkuasa. Di dunia kami, mereka bisa dianggap sebagai keluarga bangsawan, kurasa. Intinya, kau tidak boleh membuat kesal keluarga Volturi," sambung Jungkook.

"Kecuali kau memang ingin mati atau apa sajalah istilahnya untuk kami." Suaranya sangat tenang, sehingga terkesan Jungkook nyaris bosan oleh kemungkinan itu.

Kemarahanku berubah menjadi kengerian. Kurengkuh wajahnya yang seperti marmer dan kuremas kuat-kuat.

"Kau jangan sekali-kali, jangan sekali-kali, berpikir seperti itu lagi!" sergahku.

"Tidak peduli apapun yang terjadi padaku, kau tidak boleh mencelakakan dirimu sendiri!"

"Aku tidak akan pernah membahayakan dirimu lagi, jadi itu tidak perlu diperdebatkan lagi."

"Membahayakan aku! Kusangka kita sudah sepakat semua ketidakberuntungan itu adalah salahku?" Amarahku menjadi-jadi.

"Berani-beraninya kau berpikir begitu?" Pikiran bahwa Jungkook tidak mau hidup lagi, bahkan walaupun aku sudah mati, terasa sangat menyakitkan.

"Apa yang akan kaulakukan, bila situasinya dibalik?"

"Itu lain."

Tampaknya Jungkook tidak mengerti di mana letak perbedaannya. Di berdecak.

"Bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu?" Aku pucat memikirkan kemungkinan itu.

"Kau mau aku menghabisi nyawaku sendiri?''

Secercah kepedihan menyaput garis-garis wajahnya yang sempurna.

"Kurasa aku bisa mengerti maksudmu... sedikit,"

Jungkook mengakui. "Tapi apa yang bisa kulakukan tanpa kau?"

"Apa pun yang sudah kaulakukan selama ini sebelum aku datang dan memperumit keberadaanmu."

Jungkook mendesah. "Kau membuatnya terdengar sangat mudah."

"Seharusnya memang begitu. Aku toh tidak semenarik itu."

Jungkook sudah akan membantah, tapi kemudian mengurungkan niatnya.

"Tidak perlu diperdebatkan," Jungkook mengingatkan aku. Mendadak, dia mengubah posisi duduknya menjadi lebih formal, menggeserku ke samping sehingga kami tidak lagi berdempetan.

"Ayah?" tebakku.

Jungkook tersenyum. Sejurus kemudian aku mendengar suara mobil polisi menderu memasuki halaman. Aku mengulurkan tangan, meraih tangan Jungkook dan menggenggamnya erat-erat. Hanya itu yang bisa ditolerir ayahku.

.

.

.

.

.

Kami sudah berhenti di depan rumah dr. Choi sekarang. Lampu-lampu bersinar terang dari setiap jendela didua lantai pertama. Deretan lentera Jepang yang terang bergelantungan di atap teras, membiaskan pendaran cahaya lembut di pohon-pohon cedar besar yang mengelilingi rumah. Mangkuk-mangkuk besar berisi bunga—mawar merah jambu—berjajar sepanjang tangga lebar yang mengarah ke pintu-pintu depan.

Aku mengerang.

Jungkook menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan diri.

"Namanya juga pesta." Jungkook mengingatkanku. "Berusahalah bersikap baik."

"Tentu," gerutuku.

Jungkook turun untuk membukakan pintu bagiku, lalu mengulurkan tangan.

"Aku punya pertanyaan."

Jungkook menunggu dengan waswas.

"Kenapa kau tidak memanggil Jimin, Namjoon, dan Suga dengan hyung? Bukankah mereka lebih 'tua' darimu?"

Tawa Jungkook pecah berderai. Dia membantuku turun dari mobil, menarikku menaiki tangga, dan masih terus tertawa saat membukakan pintu untukku.

"Karena aku tidak mau." Jawabnya kemudian, santai.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi terhenti karena melihat mereka semua menunggu diruang duduk yang besar dan berwarna putih. Begitu aku melangkah masuk, mereka menyambutku dengan teriakan nyaring.

"Selamat ulang tahun, Tae!" sementara aku menunduk dengan wajah merah padam.

Menurutku ini ulah Jin, seseorang yang telah menutup semua bagian yang permukaannya datar dengan lilin pink dan lusinan mangkuk kristal berisi ratusan mawar. Ada meja bertaplak putih diletakkan di sebelah grand piano Jungkook dengan kue tart pink di atasnya, bunga-bunga mawar, tumpukan piring kaca, dan gundukan kecil kado terbungkus kertas warna perak.

Ini ratusan kali lebih parah daripada yang bisa kubayangkan. Jungkook yang bisa merasakan kegalauanku. Merangkul pinggangku dengan sikap menyemangati, lalu mengecup puncak kepalaku. Orangtua Jungkook, dr. Choi Siwon dan Kyuhyun berdiri paling dekat ke pintu. Kyuhyun memelukku hati-hati dan mengecup dahiku. Kemudian dr. Choi merangkul pundakku.

"Maaf tentang ini Tae.." bisiknya. "Kami tidak sanggup mengekang Jin."

Suga dan Jimin berdiri di belakang mereka. Suga tidak tersenyum, tapi setidaknya dia tidak melotot. Jimin tersenyum lebar. Sudah berbulan-bulan aku tidak bertemu mereka –mereka sudah lulus ngomong-ngomong-, aku sudah lupa betapa luar biasa manisnya Suga. Dan Jimin, aku takjub dengan tubuhnya yang tampak kuat dengan otot-otot miliknya.

"Kau sama sekali tidak berubah," kata Jimin, berlagak seolah-olah kecewa. "Sebenarnya aku berharap kau sedikit berubah, tapi ternyata wajahmu tetap merah, seperti biasa."

"Terima kasih banyak, Jimin" kataku, semakin merah padam.

Jimin tertawa. "Aku harus keluar dulu sebentar" Jimin terdiam untuk mengedipkan mata pada Jin dengan gaya mencolok.

"Jangan berbuat macam-macam selagi aku tidak ada."

"Akan kucoba." Jawabku.

Jin melepas tangan Namjoon dan bergegas maju, giginya berkilauan di bawah cahaya lampu. Namjoon juga tersenyum, tapi tetap berdiri di tempat. Dia bersandar pada tiang dikaki tangga. Setelah beberapa hari terkurung bersama di Phoenix, aku pikir Namjoon sudah tidak menghindariku lagi. Tapi sikapnya sekarang kembali seperti sebelumnya -sebisa mungkin menghindariku-, begitu terbebas dari kewajiban sementaranya untuk melindungiku. Aku tahu itu bukan masalah pribadi, hanya tindakan pencegahan, dan aku mencoba untuk tidak terlalu sensitif mengenainya. Namjoon agak sulit menyesuaikan diri dengan diet keluarga dr. Choi dibandingkan para anggota keluarga yang lain. Bau darah manusia lebih sulit ditolaknya dibanding yang lain-lain—Namjoon belum terlalu lama mencoba.

"Waktunya buka kado!" seru Jin. Dia menggamit sikuku dengan tangannya yang dingin dan menarikku ke meja penuh tart dan kado-kado mengilap.

"Jin, sudah kubilang aku tidak menginginkan apa-apa-"

Tapi aku tidak mendengarkan," sela Jin, senyum puas tersungging di bibirnya.

"Bukalah."

Dia mengambil kamera dari tanganku dan menggantinya dengan kotak segiempat besar warna perak. Kotak itu sangat ringan hingga terasa kosong. Label di atasnya menandakan kado itu dari Jimin, Suga, dan Namjoon. Dengan perasaan yang was-was, kurobek kertas itu dan kupandangi kotak di dalamnya. Itu adalah kotak peralatan elektronik, dengan angka-angka pada namanya. Kubuka kotak itu, berharap mengetahui isinya. Tapi kotak itu kosong.

"Ehm... terima kasih."

Aku terkejut melihat –meskipun sedikit dan sekilas- senyuman Suga sedangkan Namjoon terbahak.

"Itu stereo untuk mobilmu" Namjoon menjelaskan.

"Jimin sedang memasangnya sekarang supaya kau tidak bisa mengembalikannya." Lanjutnya.

"Terima kasih Namjoon…. Dan Suga." kataku pada mereka, nyengir saat teringat keluhan Jungkook siang tadi tentang radioku-hanya jebakan, ternyata.

"Terima kasih Jimin!" seruku dengan suara lebih keras.

Aku mendengar suara tawanya yang berdentum dari dalam trukku, dan mau tidak mau aku ikut tertawa.

"Berikutnya, buka kadoku dan kado Jungkook." kata Jin begitu bersemangat hingga suaranya terdengar melengking tinggi. Di tangannya ada kotak kecil pipih.

Aku menoleh dan melayangkan pandangan tajam pada Jungkook.

"Kau sudah janji."

Sebelum Jungkook sempat menjawab. Jimin berlari-lari melewati pintu.

"Tepat pada waktunya!" serunya.

Jimin menyelinap di belakang Namjoon, yang juga beringsut lebih dekat dari biasanya agar bisa melihat lebih jelas.

"Aku tidak mengeluarkan uang satu sen pun,"

Jungkook meyakinkan aku. Di menyingkirkan seberkas rambut dari wajahku, membuat kulitku bagai tergelitik Aku menghirup napas dalam-dalam dan menoleh pada Jin.

"Berikan padaku." aku mendesah, Jimin terkekeh gembira.

Aku mengambil kado kecil itu dari tangannya, memutar bola mataku pada Jungkook sambil menyelipkan jariku di bawah pinggiran kertas dan menyentakkannya di bawah selotip.

"Aish.. Sial.." gumamku saat kertas itu mengiris jariku.

Aku menarik jariku dari bawah kertas untuk mengetahui kondisinya. Setitik darah muncul dari luka kecil itu. Setelah itu, semuanya terjadi dengan begitu cepat.

"Tidak!" raung Jungkook.

Jungkook menerjangku hingga terjengkang menabrak meja. Meja terbalik, menjatuhkan kue tart dan kado-kado, juga bunga-bunga dan piring-piring. Aku mendarat di tengah kepingan kristal yang pecah berantakan. Namjoon menabrak Jungkook, dan suaranya terdengar seperti benturan batu-batu besar saat terjadi longsor. Ada lagi suara lain, geraman mengerikan yang sepertinya berasal jauh dari dasar dada Namjoon. Dia berusaha menerobos melewati Jungkook, mengatupkan giginya hanya beberapa sentimeter saja dari wajah Jungkook.

Detik berikutnya Jimin menarik Namjoon dari belakang, menguncinya dalam pitingan tangan yang besar, tapi Namjoon memberontak, matanya yang liar dan kosong hanya terfokus padaku. Selain shock, aku juga merasa kesakitan. Aku terbanting ke lantai di dekat piano, kedua tangan refleks terbentang lebar untuk menahan jatuhku, tepat menimpa kepingan-kepingan kaca yang tajam. Baru sekarang aku merasakan kesakitan yang pedih dan menusuk yang menjalar dari

pergelangan tangan ke lipatan siku. Pusing dan linglung, aku mendongak dari darah merah cerah yang merembes keluar dari lenganku—dan melihat enam pasang mata vampire yang tiba-tiba menatapku dengan sorot kelaparan.

.

.

.

.

.

Hanya dr. Choi yang tetap bersikap tenang. Pengalaman bekerja di UGD selama berabad-abad tergambar dengan jelas dalam suaranya yang tenang dan berwibawa.

"Jimin, Suga, bawa Namjoon keluar."

Kali ini tanpa senyum, Jimin mengangguk.

"Ayolah, Namjoon."

Namjoon terlihat meronta-ronta dalam cengkeraman Jimin. Wajah Jungkook pucat pasi saat dia menghambur dan membungkuk diatas tubuhku, posisinya jelas melindungi. Geraman rendah bernada memperingatkan terdengar dari sela-sela giginya yang terkatup rapat. Sedangkan Suga, wajah manisnya tampak puas, maju selangkah didepan Namjoon dan membantu Jimin menyeret Namjoon keluar lewat pintu kaca yang dibukakan Kyuhyun, sebelah tangan menutup mulut dan hidungnya.

Kyuhyun terlihat malu. "Akubenar-benar minta maaf, Tae!" jeritnya sambil mengikuti yang lain-lain ke halaman.

"Beri aku jalan Jungkook." gumam dr. Choi.

Sedetik berlalu, kemudian Jungkook mengangguk lambat-lambat dan merilekskan posisinya. Dr. Choi berlutut di sebelahku, mencondongkan tubuh untuk memeriksa lenganku. Bisa kurasakan perasaan shock membeku di wajahku, jadi aku sebisa mungkin berusaha mengubahnya.

"Ini appa." kata Jin sambil mengulurkan handuk.

dr. Choi menggeleng. "Terlalu banyak serpihan kaca di lukanya."

Ayah dari keluarga vampir itu mengulurkan tangan dan merobek bagian bawah taplak meja putih menjadi kain panjang tipis. Dililitkannya kain itu dibawah siku untuk membentuk semacam bebat. Bau anyir darah membuat kepalaku pening. Telingaku berdenging.

"Tae.." panggil dr. Choi pelan.

"Kau mau aku mengantarmu ke rumah sakit, atau kau mau aku merawatnya di sini saja?"

"Di sini saja, please," bisikku.

Kalau dr. Choi membawaku ke rumah sakit, cepat atau lambat ayah pasti akan tahu.

"Biar kuambilkan tasmu," Jin berujar.

"Ayo kita bawa dia ke meja dapur," kata dr. Choi pada Jungkook.

Jungkook mengangkatku dengan mudah, sementara dr. Choi memegangi lenganku agar tetap stabil.

"Bagaimana keadaanmu Tae?" tanya dr. Choi.

"Baik-baik saja," Suaraku terdengar cukup mantap dan itu membuatku senang.

Wajah Jungkook kaku seperti batu. Jin telah menunggu di sana. Tas dr. Choi sudah diletakkan di meja, bersama lampu meja kecil yang menyala terang dicolokkan ke dinding. Jungkook mendudukkan aku dengan lembut ke kursi, sementara dr. Choi menarik kursi lain. Dia langsung bekerja. Jungkook berdiri di sampingku, sikapnya masih protektif, masih menahan napas.

"Pergilah Jungkook.." desahku.

"Aku bisa mengatasinya." Jungkook bersikeras.

Tapi dagunya kaku; sorot matanya menyala-nyala oleh dahaga yang coba dilawannya sekuat tenaga, jauh lebih parah baginya ketimbang bagi yang lainlain.

"Kau tidak perlu sok jadi pahlawan," tukasku.

"dr. Choi bisa mengobatiku tanpa bantuanmu. Pergilah dan hirup udara segar." Lanjutku.

Aku meringis saat Carlisle melakukan sesuatu dilenganku yang rasanya perih.

"Aku akan tetap di sini," bantah Jungkook.

"Kenapa kau senang menyiksa diri sendiri?" gumamku.

Dr. Choi memutuskan menengahi. "Jungkook, lebih baik kau menemui Namjoon sebelum dia jadi tidak terkendali. Aku yakin dia marah pada dirinya sendiri, dan aku ragu dia mau mendengarkan nasihat yang lain selain kau sekarang ini."

"Benar," dukungku penuh semangat. "Cari Namjoon sana."

"Lebih baik kau melakukan sesuatu yang berguna," imbuh Jin kemudian.

Mata Jungkook menyipit karena kami mengeroyoknya seperti itu, tapi akhirnya dia mengangguk sekali dan berlari kecil dengan lincah melalui pintu dapur sebelah belakang. Aku yakin Jungkook belum menarik napas sekali pun sejak jariku teriris tadi. Dr. Choi dengan tenang mulai mengobati luka dijariku. Sementara Jin, aku lihat dia menyelinap keluar dengan senyum minta maaf. Yeah, aku mengerti.

Ketenangan sikap dr. Choi jauh lebih menakjubkan saat dibandingkan reaksi yang lainnya. Tidak terlihat sedikitpun kegugupan diwajahnya. Dia bekerja dengan gerakan-gerakan cepat dan mantap. Satu-satunya suara lain selain hembusan napas yang pelan hanya bunyi kling-kling saat pecahan-pecahan kecil kaca dijatuhkan satu demi satu ke meja.

"Bagaimana kau bisa melakukannya?" desakku.

"Bahkan Jin dan Kyuhyun..." Aku tidak menyelesaikan kata-kataku, hanya menggeleng heran. Walaupun mereka semua juga sudah tidak memangsa manusia lagi, tapi hanya dia yang sanggup mencium aroma darah tanpa merasa tergoda sedikit pun untuk mencicipinya. Jelas, itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat.

"Latihan bertahun-tahun," jawab dr. Choi dengan senyuman kecil.

"Sekarang aku sudah hampir tidak menyadari baunya lagi." Lanjutnya.

"Menurutmu, apakah akan lebih sulit bila kau cuti lama dari rumah sakit? Dan tidak selalu berdekatan dengan darah?"

"Mungkin.." dr. Choi mengangkat bahu, tapi kedua tangannya tetap mantap. "Aku tidak pernah merasa perlu cuti lama-lama."

Dia menyunggingkan senyum ceria ke arahku. "Aku terlalu menikmati pekerjaanku."

Kling, kling, kling. Kaget juga aku melihat banyaknya serpihan kaca di lenganku. Aku tergoda untuk melirik tumpukan yang semakin bertambah, hanya untuk melihat ukurannya, tapi aku tahu ide itu tidak akan membantuku menahan keinginan untuk tidak muntah.

"Apa sebenarnya yang kau nikmati?" tanyaku.

Sungguh tidak masuk akal—bertahun-tahun berjuang dan menyangkal diri untuk bisa mencapai suatu titik di mana dia bisa menahannya begitu mudah. Lagipula aku ingin terus mengajaknya bicara, obrolan membantu mengalihkan pikiran dari perutku yang mual. Bola mata dr. Choi yang berwarna gelap tampak tenang dan merenung saat ia menjawab.

"Hmm. Aku paling senang kalau... kemampuanku ini bisa membantu menyelamatkan orang yang kalau tidak kutolong pasti akan meninggal. Senang rasanya mengetahui bahwa karena kemampuanku, kehidupan orang lain bisa jauh lebih baik karena aku ada. Bahkan indra penciumanku terkadang bisa menjadi perangkat diagnosis yang berguna." Satu sisi mulutnya terangkat membentuk separuh senyuman.

Aku memikirkan hal itu sementara dr. Choi mengorek-ngorek lukaku, memastikan semua serpihan kaca telah diambil Lalu dia merogoh-rogoh tasnya, mencari peralatan baru dan aku berusaha untuk tidak membayangkan jarum dan benang.

"Kau berusaha sangat keras membenahi sesuatu yang sebenarnya bukan salahmu," kataku sementara sensasi tarikan yang baru mulai terasa di pinggir-pinggir kulitku.

"Maksudku, kau tidak minta dilahirkan seperti ini. Kau tidak memilih kehidupan seperti ini, tapi kau tetap berusaha sangat keras untuk menjalaninya dengan baik."

"Aku bukannya akan membenahi apa-apa," dr. Choi menyanggah halus. "Seperti segalanya dalam hidup, aku hanya memutuskan akan berbuat apa dengan kehidupan yang kumiliki sekarang."

"Kau membuatnya terdengar terlalu mudah."

Dr. Choi memeriksa lenganku lagi. "Nah, sudah," ujarnya, menggunting benang. "Sudah beres."

Dia mengolesi kapas bertangkai ukuran besar dengan cairan sewarna sirup banyak-banyak, lalu membalurkannya dengan saksama di seluruh permukaan luka yang sudah dijahit. Baunya aneh, membuat kepalaku berputar. Cairan itu membuat kulitku perih.

"Tapi awalnya," desakku sementara dr. Choi menempelkan kasa panjang menutupi luka, lalu merekatkannya ke kulitku. "Mengapa terpikir olehmu untuk mencoba cara hidup yang lain selain yang lazim bagi kalian?"

Bibir dr. Choi membentuk senyum.

"Kau tahu ayahku pemuka agama," kenang dr. Choi sambil membersihkan meja dengan hati-hati, mengelap semuanya dengan kasa basah, kemudian mengulanginya lagi.

Bau alkohol membakar rongga hidungku.

"Dia memiliki pandangan yang agak keras terhadap dunia, hal yang mulai kupertanyakan sebelum aku berubah."

Dr. Choi meletakkan semua kasa kotor dan serpihan kaca ke dalam mangkuk kristal kosong. Aku tidak mengerti maksudnya, sampai kemudian dr. Choi menyalakan korek. Kemudian dia membuang batang korek api ke tumpukan kain yang basah oleh alkohol.

"Aku tidak sependapat dengan keyakinan yang dianut ayahku. Tapi tidak pernah, selama hampir empat ratus tahun sekarang sejak aku dilahirkan, aku melihat apapun yang membuatku meragukan keberadaan Tuhan dalam wujud bagaimanapun. Bahkan bayangan dalam cermin pun tidak."

Aku pura-pura mengamati balutan di lenganku untuk menyembunyikan kekagetanku melihat arah pembicaraan kami. Agama adalah hal terakhir yang kuharapkan bakal menjadi jawabannya.

"Tapi aku berharap masih ada tujuan dalam hidup ini, bahkan bagi kami. Sulit memang, harus kuakui," sambung dr. Choi dengan nada tak acuh.

"Bagaimanapun juga, kami telah dikutuk. Tapi aku berharap, dan mungkin ini harapan konyol, bahwa kami bisa mendapatkan sedikit penghargaan karena telah mencoba."

"Menurutku itu tidak konyol," gumamku.

Aku tidak bisa membayangkan ada orang, termasuk Tuhan, yang tidak terkesan pada dr. Choi. Lagipula, satu-satunya surga yang kuinginkan adalah yang ada Jungkook-nya.

"Dan kurasa orang lain pun tidak ada yang berpikir begitu."

"Sebenarnya, kau orang pertama yang sependapat denganku." Ujar dr. Choi.

"Memangnya yang lain-lain tidak merasakan hal yang sama?" tanyaku, terkejut, pikiranku hanya tertuju pada satu orang secara khusus.

Dr. Choi menebak jalan pikiranku.

"Jungkook sependapat denganku sampai batas tertentu. Tuhan dan surga itu ada... begitu juga neraka. Tapi dia tidak percaya ada kehidupan setelah kematian untuk jenis kami," Suara dr. Choi sangat lembut, benar-benar seperti dokter yang mampu menenangkan pasiennya. Dia memandang ke luar jendela besar diatas bak cuci, ke kegelapan.

"Kau tahu, menurut Jungkook, kami sudah kehilangan jiwa kami."

Aku langsung teringat kata-kata Jungkook siang tadi: kecuali kau memang ingin mati—atau apa sajalah istilahnya untuk kamu. Sebuah bola lampu seakan menyala di kepalaku.

"Jadi itulah masalahnya, bukan?" aku menduga. "Itulah sebabnya dia begitu sulit mengabulkan keinginanku."

Dr. Choi berbicara lambat-lambat. "Aku memandang... putraku. Kekuatannya, kebaikannya, kecemerlangan yang terpancar darinya—dan itu justru semakin mengobarkan semangat itu, keyakinan itu, lebih dari yang sudah-sudah. Bagaimana mungkin tidak ada kehidupan setelah kematian untuk makhluk sebaik Jungkook?"

Aku mengangguk penuh semangat, setuju.

"Tapi kalau keyakinanku sama seperti Jungkook bahwa jiwa kami sudah hilang..." dr. Choi menunduk memandangiku dengan sorot mata tak terbaca.

"Seandainya kau meyakini hal yang sama seperti yang diyakininya. Tegakah kau merenggut jiwanya?"

Cara dr. Choi memfrasekan pertanyaan itu menghalangi jawabanku. Seandainya dia bertanya apakah aku rela mempertaruhkan jiwaku untuk Jungkook, jawabannya jelas. Tapi apakah aku rela mempertaruhkan jiwa Jungkook? Kukerucutkan bibirku dengan sikap tak suka. Itu bukan barter yang adil.

"Sekarang kau mengerti masalahnya."

Aku menggeleng, sadar sifat keras kepalaku mulai muncul. Dr. Choi mendesah.

"Itu pilihanku," aku berkeras.

"Itu juga pilihannya." Dia mengangkat tangan begitu melihatku hendak membantah.

"Terlepas dari apakah dia bertanggung jawab melakukan hal itu terhadapmu."

"Dia bukan satu-satunya yang bisa melakukannya."

Kupandangi dr. Choi dengan sikap spekulatif. Dokter tampan itu tertawa, ketegangan langsung mencair.

"Oh, tidak. Kau harus membereskan masalah ini dengan dia!' Tapi sejurus kemudian dia menghela napas panjang.

"Itu bagian yang tidak pernah bisa aku yakini. Kupikir, dalam banyak hal lain, aku sudah melakukan yang terbaik dengan apa yang harus kulakukan. Tapi benarkah tindakanku yang membuat orang lain menjalani kehidupan seperti ini? Aku tak bisa memutuskan."

Aku tidak menjawab. Aku membayangkan bagaimana jadinya hidupku seandainya dr. Choi menolak godaan untuk mengubah keberadaannya yang sendirian... dan bergidik.

"Ibu Jungkook-lah yang membuatku yakin dengan keputusanku" Suara dr. Choi nyaris hanya bisikan. Matanya menerawang kosong ke luar jendela yang gelap.

"Ibunya?" Setiap kali aku bertanya kepada Jungkook tentang orangtuanya, ia hanya berkata mereka sudah lama meninggal dan ingatannya kabur.

Sadarlah aku ingatan dr. Choi terhadap orangtua Jungkook, meski pertemuan mereka sangat singkat, pastilah sangat jelas.

"Ya. Mereka sama-sama terkena serangan wabah flu di Busan. Ayahnya tidak pernah tersadar selama di rumah sakit. Dia meninggal saat gelombang pertama serangan influenza terjadi. Tapi ibunya sadar nyaris hingga menjelang meninggal. Jungkook mirip sekali dengannya—warna rambutnya juga pirang tembaga, begitu juga matanya, sama-sama hijau."

"Mata Jungkook dulu hijau?" gumamku, berusaha membayangkannya.

"Ya..." dr. Choi menerawang jauh.

"Ibunya sangat mengkhawatirkan putranya. Dia mempertaruhkan peluangnya untuk selamat dengan berusaha merawat Jungkook dalam keadaan sakit. Aku kira Jungkook-lah yang akan lebih dulu meninggal, kondisinya jauh lebih parah daripada ibunya. Saat maut menjemput ibunya, prosesnya sangat cepat. Kejadiannya tepat setelah matahari terbenam, dan aku datang untuk menggantikan para dokter yang sudah bekerja seharian. Saat itu rasanya sulit sekali berpura-pura—begitu banyak yang harus ditangani, dan aku tidak butuh istirahat. Betapa bencinya aku harus pulang ke rumah, bersembunyi dalam gelap dan berpurapura tidur padahal begitu banyak orang yang sekarat."

"Pertama-tama aku pergi untuk mengecek keadaan ibunya dan Jungkook. Aku mulai merasa terikat pada mereka–hal yang berbahaya mengingat kondisi manusia yang rapuh. Begitu melihatnya, aku langsung tahu kondisi ibunya semakin parah. Demamnya tak terkendali, dan tubuhnya sudah tidak kuat lagi melawan."

"Dia meninggal setelah dia menuntut sesuatu padaku."

"Menuntu sesuatu? Apa?" tanyaku cepat.

"Aku rasa, dia tahu siapa aku sebenarnya. Ibunya Jungkook mengatakan untuk melakukan apa yang bisa kulakukan untuk Jungkook. Sesuatu yang bisa kulakukan tapi tidak bisa dilakukan orang lain."

Aku menganggukan kepalaku, paham dengan apa yang dimaksud oleh dr. Choi.

"Aku selali memikirkan untuk menciptakan pendamping untuk hidupku. Seseorang yang bisa melihat siapa aku sebenarnya, bukan aku yang menjadi dr. Choi Siwon. Hingga.. aku melihat Jungkook terbaring, sekarat."

Tubuhku merinding mendengar kata terakhir keluar dari mulut dr. Choi.

"Sangat jelas jika Jungkook hanya punya waktu beberapa jam. Disampingnya terbaring ibunya, entah bagaimana wajahnya tetap tidak tampak tenang, meski dalam kematian."

seperti melihat lagi semuanya, kenangannya tidak pudar meski satu abad telah berlalu.

"Kata-kata ibunya Jungkook terngiang-ngiang dikepalaku. Bagaimana dia bisa menebak apa yang bisa kulakukan? Mungkinkah ada orang yang benar-benar menginginkan hal itu untuk anaknya? Meski dalam keadaan sakit keras, Jungkook tetap tampan. Ada sesuatu yang murni dan indah tergambar di wajahnya. Seperti yang kuinginkan di wajah anakku kalau aku punya anak."

"Aku membawa Jungkook ke kamar jenazah. Saat itu kondisi rumah sakit sedang kacau, kurang perhatian sehingga aku bisa dengan mudah membawa Jungkook kesana. Aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi, kuputuskan untuk membuatnya menjadi bagian dariku, keluargaku."

Dr. Choi menghela napas panjang.

"Keputusan itu memang membuatku measa bersalah belakangan ini, karena luka yang kubuat lebih menyakitkan dan lebih lama sembuh dari yang sebenarnya diperlukan. Tapi.. aku tidak menyesal." Dr. Choi tersenyum sambil menatapku.

"Aku tidak pernah menyesal telah menyelamatkan Jungkook."

Dr. Choi menggelengkan kepalanya, kembali ke masa kini. Dia masih tersenyum padaku.

"Kurasa sebaiknya kuantar kau pulang sekarang."

"Biar aku saja."

Itu suara Jungkook. Dia muncul dari arah ruang makan yang remang-remang, berjalan lambat-lambat untuk ukurannya. Wajahnya datar, ekspresinya tidak terbaca, tapi ada yang tidak beres dengan matanya—sesuatu yang coba disembunyikannya sekuat tenaga. Aku merasa perutku seperti diaduk-aduk.

"dr. Choi bisa mengantarku," kataku.

Aku menunduk memandang kemejak ku yang kini telah basah oleh bercak-bercak darah. Bahu kananku berlepotan krim gula warna pink.

"Aku tidak apa-apa." Suara Jungkook datar tanpa emosi.

"Lagipula kamu harus ganti baju. Bisa-bisa ayahmu terkena serangan jantung kalau melihatmu seperti itu. Akan aku carikan baju untukmu."

Jungkook berjalan lagi keluar dari pintu dapur. Kupandangi dr. Choi dengan sikap was-was.

"Dia kalut sekali." Ujarku.

"Memang," dr. Choi sependapat. "Yang terjadi malam ini adalah apa yang paling ditakutinya akan terjadi. Membahayakanmu, karena keadaan kami yang seperti ini."

"Itu bukan salahnya."

"Bukan salahmu juga."

Aku mengalihkan tatapanku dari mata dr. Choi yang indah dan bijak. Aku tidak sependapat dengannya. Dr. Choi mengulurkan tangan dan membantuku berdiri. Kuikuti dia ke ruang utama. Kyuhyun sudah kembali, sedang mengepel lantai tempatku jatuh tadi—dengan cairan desinfektan murni tanpa campuran kalau menilik dari baunya.

"Kyuhyun, biar aku saja."

Bisa kurasakan wajahku kembali merah padam.

"Aku sudah selesai." Kyuhyun mendongak dan tersenyum padaku. "Bagaimana keadaanmu?"

"Baik-baik saja," aku meyakinkan dia.

"dr. Choi menjahit lebih cepat daripada dokter lain yang pernah menanganiku."

Kemudian Jin dan Jungkook muncul dari pintu belakang. Jin bergegas mendapatiku, tapi Jungkook berdiri agak jauh, ekspresinya sulit digambarkan.

"Ayolah.." ajak Jin dengan senyum cerahnya.

"Akan kucarikan sesuatu yang tidak begitu mengerikan untuk dipakai."

Jin membawa kemeja yang warnanya mendekati warna bajuku tadi. Ayah tidak akan memerhatikan, aku yakin. Perban putih panjang dilenganku tidak tampak terlalu serius setelah aku tidak lagi memakai baju yang berlepotan bercak darah. Lagipula ayah tidak pernah terkejut melihatku diperban.

"Jin," bisikku saat dia kembali berjalan menuju pintu.

"Ya?" Suara Jin tetap pelan, memandangiku dengan sikap ingin tahu, kepalanya ditelengkan kesatu sisi.

"Seberapa parah?"

Aku tidak yakin sebenarnya, apakah berbisik-bisik begini ada gunanya. Walaupun kami dilantai atas, dengan pintu tertutup, mungkin dia tetap bisa mendengarku.

Wajah Jin menegang.

"Aku belum bisa memastikan."

"Namjoon bagaimana?"

Jin kemudian mendesah, wajahnya menyiratkan perasaan sedih.

"Dia sangat kesal pada dirinya sendiri. Itu memang lebih sulit baginya dibanding bagi yang lain, dan dia tidak suka merasa diri lemah."

"Itu bukan salahnya. Bisa tolong katakana padanya aku tidak marah, sama sekali tidak marah padanya, bisa, kan?"

"Tentu saja."

.

.

.

.

.

.

Jungkook menungguku di pintu depan. Begitu aku sampai di kaki tangga, dia membukakan pintu tanpa sepatah kata pun.

"Bawa barang-barangmu!" pekik Jin waktu aku berjalan was-was menghampiri Jungkook.

Jin membawa kedua bungkusan, yang satu baru separo terbuka, serta kameraku dari bawah piano, dan menjejalkan semuanya ke lekukan lenganku yang tidak terluka.

"Kau bisa mengucapkan terima kasih belakangan, kalau sudah membuka kado-kadomu!"

Kyuhyun dan dr. Choi mengucapkan selamat malam dengan suara pelan. Sempat kulihat mereka diam diam melirik putra mereka yang diam seribu bahasa, sama seperti aku. Lega rasanya berada di luar; aku bergegas melewati deretan lentera dan mawar yang kini mengingatkanku pada peristiwa tidak mengenakkan tadi. Jungkook berjalan di sampingku tanpa bicara. dia membukakan pintu penumpang untukku, dan aku naik tanpa protes.

Di atas dasbor terpasang pita merah besar, menempel di stereo yang baru. Kurenggut pita itu dan kubuang ke lantai. Waktu Jungkook naik disampingku, kutendang pita itu ke bawah kursi. Jungkook tidak melihat ke arahku ataupun stereo itu. Kami juga tidak menyalakannya, dan entah bagaimana kesunyian justru semakin terasa oleh raungan mesin yang tiba-tiba. Jungkook melajukan mobilnya terlalu kencang, melintasi jalan yang gelap dan berkelok-kelok.

Kesunyian itu membuatku stress sendiri.

"Katakan sesuatu," pintaku akhirnya saat Jungkook berbelok memasuki jalan raya.

"Kau ingin aku bilang apa?" tanyanya dengan sikap menjauh.

Aku meringis melihat sikapnya yang tidak mau mendekat.

"Katakan kau memaafkan aku."

Perkataanku itu menimbulkan secercah kehidupan di wajahnya—secercah amarah.

"Memaafkanmu? Untuk apa?"

"Seandainya aku lebih berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa."

"Taehyung, jarimu hanya teriris kertas—itu bukan alasan untuk mendapat hukuman mati."

"Tetap saja aku yang salah."

Kata-kataku seolah membobol bendungan.

"Kau yang salah? Kalau jarimu teriris kertas dirumah Mike Newton, dan di sana ada Jessica, Angela, dan teman-teman normalmu lainnya. Apa hal terburuk yang mungkin terjadi? Mungkin mereka tidak bisa menemukan plester untukmu? Kalau kau terpeleset dan menabrak tumpukan piring kaca karena ulahmu sendiri—bukan karena ada yang mendorongmu—bahkan saat itu pun, hal terburuk apa yang bisa terjadi? Paling-paling darahmu berceceran mengotori jok mobil saat mereka mengantarmu ke UGD? Mike Newton bisa memegangi tanganmu saat dokter menjahitmu—dan dia tidak perlu berjuang melawan dorongan untuk membunuhmu selama berada di sana. Jangan menyalahkan dirimu sendiri dalam hal ini, Tae. Itu hanya akan membuatku semakin jijik pada diriku sendiri."

"Bagaimana bisa Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini?" tuntutku.

"Mike Newton dibawa-bawa dalam pembicaraan ini karena akan jauh lebih aman kalau kau berpacaran saja dengan Mike Newton," geram Jungkook.

"Lebih baik mati daripada berpacaran dengan Mike Newton." protesku.

"Aku lebih baik mati daripada berpacaran dengan orang lain selain kau." Tegasku lagi.

"Jangan sok melodramatis, please"

"Kalau begitu, kau juga tidak perlu bicara yang bukan-bukan."

Jungkook tidak menjawab. Dia menatap garang keluar kaca, ekspresinya kosong. Aku memeras otak, mencari cara untuk menyelamatkan malam ini. Tapi sampai truk berhenti di depan rumahku, aku masih belum menemukan caranya.

"Kau akan menginap malam ini?" tanyaku.

"Sebaiknya aku pulang."

Hal terakhir yang kuinginkan adalah Jungkook berkubang dalam perasaan bersalah.

"Untuk ulang tahunku," desakku.

"Tidak bisa dua-duanya Tae. Kau ingin orang mengabaikan hari ulang tahunmu atau tidak. Pilih salah satu," Nadanya kaku, tapi tidak seserius sebelumnya. Diam-diam aku mengembuskan napas lega.

"Oke. Aku sudah memutuskan aku tidak mau kau mengabaikan hari ulang tahunku. Kutunggu kau di atas."

Aku melompat turun, meraih kado-kadoku. Jungkook mengerutkan kening.

"Kau tidak perlu membawanya."

"Aku menginginkannya," jawabku otomatis, kemudian bertanya-tanya dalam hati apakah Jungkook menggunakan teknik psikologi terbalik.

"Tidak, itu tidak benar. Appa dan eomma mengeluarkan uang untuk membeli kadomu."

"Tidak apa-apa,"

Kudekap kado-kado itu dengan kikuk di bawah lenganku yang tidak terluka, lalu membanting pintu mobil. Kurang dari satu detik Jungkook sudah keluar dari mobil dan berdiri disampingku.

"Biar kubawakan paling tidak," katanya sambil mengambil kado-kado itu dari pelukanku.

"Aku akan menemuimu di kamarmu."

Aku tersenyum. "Terima kasih."

"Selamat ulang tahun," bisik Jungkook.

Kemudian Jungkook membungkuk untuk menempelkan bibirnya kebibirku. Aku berjinjit agar bisa berciuman lebih lama, tapi Jungkook melepaskan bibirnya. Dia menyunggingkan senyum separonya yang sangat kusukai itu, lalu menghilang di balik kegelapan.

Saat berjalan memasuki pintu depan, aku langsung bisa mendengar suara komentator meningkahi sorak-sorai penonton di televisi.

"Taehyung?" seru ayah.

"Hai, Dad," balasku, muncul dari sudut ruangan.

Kurapatkan lenganku ke sisi tubuh. Tekanan itu membuat lukaku berdenyut-denyut, dan aku mengerutkan hidung. Anestesinya mulai kehilangan pengaruhnya ternyata.

"Bagaimana pestanya?" Ayah tidur-tiduran disofa dengan kaki ditumpangkan di lengan sofa.

"Jin merajalela. Bunga, kue tart, lilin, kado—pokoknya komplit, lengkap."

"Mereka memberimu kado apa?"

"Stereo untuk trukku." Dan beberapa kado lain yang belum diketahui isinya.

"Wow"

"Yeah," aku sependapat. "Well, aku mau tidur dulu."

"Sampai besok pagi."

Aku melambaikan tangan. "Sampai besok."

"Lenganmu kenapa?" Wajahku kontan memerah dan mulutku memaki.

"Aku tadi tersandung. Nggak apa-apa kok"

"Taehyung…." Ayah mendesah, menggeleng-gelengkan kepala. Aku membalas dengan cengiran.

"Selamat malam, Dad."

Aku bergegas masuk ke kamar mandi, tempatku menyimpan piamaku sebagai persiapan untuk malam-malam seperti ini. Aku memakai piyama biru dengan garis-gari putih, meringis saat gerakanku membuat jahitan di lenganku tertarik. Dengan satu tangan aku mencuci muka, menyikat gigi, lalu cepat-cepat masuk ke kamar.

Jungkook sudah duduk di tengah-tengah tempat tidur, malas-malasan mempermainkan salah satu kado perakku.

"Hai," sapanya.

Suaranya terdengar sedih. Jungkook masih menyalahkan dirinya sendiri. Aku naik ke tempat tidur, menyingkirkan kado-kado itu dan tangan Jungkook, lalu naik kepangkuannya.

"Hai," Aku meringkuk di dadanya yang sekeras batu. "Boleh kubuka kadoku sekarang?"

"Mengapa tahu-tahu kau antusias begini?" tanya Jungkook heran.

"Kau membuatku ingin tahu."

Kuambil kotak persegi panjang tipis yang pasti kado dari dr. Choi dan Kyuhyun.

"Biar aku saja," saran Jungkook.

Diambilnya kado itu dan tanganku dan dirobeknya kertas perak pembungkusnya dengan satu gerakan luwes. Lalu Jungkook menyodorkan kotak putih persegi empat itu padaku.

"Kau yakin aku bisa mengangkat tutup kotaknya?" sindirku, tapi Jungkook tidak mengacuhkan sindiranku.

Kotak itu berisi selembar kertas panjang dan tebal, penuh berisi tulisan. Butuh waktu satu menit baru aku bisa mencerna informasi yang tertulis di sana.

"Kita akan pergi ke Jacksonville?" Aku girang bukan main, meski sebenarnya tidak ingin. Kadonya berupa voucher tiket pesawat, untukku dan Jungkook.

"Begitulah idenya."

"Aku tak percaya. Ibu pasti akan senang setengah mati! Tapi kau tidak keberatan, kan? Disana panas terik, jadi kau harus berada di dalam rumah seharian"

"Kurasa itu bisa diatasi," kata Jungkook, tapi keningnya berkerut.

"Seandainya aku tahu kau akan bereaksi seperti ini, aku akan menyuruhmu membukanya di depan appa dan eomma. Aku kira kau akan protes."

"Well, tentu saja ini berlebihan. Tapi aku bisa pergi bersamamu!"

Jungkook tertawa kecil. "Tahu begitu, aku akan mengeluarkan uang untuk membeli kadomu. Ternyata kau masih bisa berpikir sehat."

Aku menyingkirkan tiket-tiket itu dan meraih kado dari Jungkook, rasa ingin tahuku muncul lagi. Jungkook mengambilnya dariku dan membuka bungkusnya seperti kado pertama tadi. Dia menyerahkan padaku kotak CD bening, dengan CD kosong di dalamnya.

"Apa ini?" tanyaku, heran.

Jungkook tidak berkata apa-apa; dikeluarkannya CD itu lalu dimasukkannya ke CD player diatas nakas. Tangannya menekan tombol play dan kami menunggu dalam kesunyian. Lalu musik mulai mengalun.

Aku mendengarkan, tidak mampu berkata apa-apa, mataku terbelalak lebar. Aku tahu Jungkook menunggu reaksiku, tapi aku tak sanggup bicara. Air mataku menggenang, dan aku mengangkat tangan untuk menyekanya sebelum jatuh menetes di pipi.

"Lenganmu sakit?" tanya Jungkook, cemas.

"Tidak, ini bukan karena lenganku. Indah sekali, Jungkook. Aku pikir, ini adalah kado yang paling indah untuk ulang tahunku. Aku tak percaya."

Lalu aku diam, supaya bisa mendengarkan. CD itu berisi rekaman musiknya, komposisinya. Musik pertama di CD itu adalah lagu ninaboboku. Nada-nada indah mengalun dari suara piano yang dimainkan oleh Jungkook.

"Kupikir kau tidak akan membiarkanku membelikanmu piano supaya aku bisa memainkannya untukmu di sini," Jungkook menjelaskan.

"Kau benar"

"Lenganmu bagaimana?"

"Baik-baik saja,"

Sebenarnya, lukaku mulai terasa panas di balik perban. Aku ingin mengompresnya dengan es batu. Sebenarnya aku bisa menggunakan tangan Jungkook, tapi itu hanya akan membuatnya tahu kalau aku kesakitan.

"Aku akan mengambilkan Tylenol untukmu."

"Aku tidak butuh apa-apa," protesku, tapi Jungkook sudah menurunkan aku dari pangkuannya dan berjalan ke pintu.

"Ayah.." desisku.

Ayah tidak tahu jika Jungkook sering menginap di kamarku. Bisa-bisa ayah terserang stroke bila aku memberi tahunya. Tapi aku tidak merasa terlalu bersalah telah memperdaya ayahku. Soalnya, kami juga tidak melakukan apa-apa yang dilarang olehnya. Jungkook dan aturan-aturannya...

"Aku tidak akan ketahuan." janji Jungkook sebelum lenyap tanpa suara di balik pintu... dan kembali sejurus kemudian, memegangi pintu sebelum sempat menutup kembali.

Jungkook memegang gelas kumur yang diambilnya dari kamar mandi serta sebotol pil di satu tangan. Aku menerima pil-pil yang disodorkannya tanpa membantah—aku tahu paling-paling aku bakal kalah berdebat dengannya. Dan lenganku mulai benar-benar nyeri.

"Sudah malam," kata Jungkook.

Jungkook menggendongku dengan satu tangan, sementara tangan satunya membuka penutup tempat tidur. Lalu dia membaringkanku dengan posisi kepala diatas bantal, kemudian menyelimutiku. Jungkook berbaring di sebelahku—di atas selimut agar aku tidak kedinginan— dan meletakkan lengannya di atas tubuhku.

Aku menyandarkan kepala di bahunya dan mengembuskan napas bahagia.

"Terima kasih sekali lagi," bisikku.

"Terima kasih kembali."

Sejenak suasana sunyi sementara aku mendengarkan suara merdu Jungkook yang kujadikan sebagai lagu pengantar tidurku. Lagu itu berhenti dan diganti degan lagu lain. Aku mengenalinya sebagai lagu favorit Kyuhyun.

"Kau sedang memikirkan apa?" bisikku.

Jungkook ragu-ragu sejenak sebelum menjawab.

"Sebenarnya, aku sedang berpikir tentang apa yang benar dan yang salah."

Aku merasakan sekujur tubuhku bergidik.

"Kau ingat kan, aku tadi memutuskan ingin kau tidak mengabaikan hari ulang tahunku?" aku buru-buru bertanya, berharap Jungkook tidak tahu aku berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Ya," Jungkook sependapat, waspada.

"Well, aku sedang berpikir-pikir, karena sekarang masih hari ulang tahunku, aku ingin kau menciumku lagi."

"Kau serakah malam ini."

"Ya, memang—tapi please, jangan lakukan apapun yang tidak ingin kaulakukan," aku menambahkan, kesal.

Jungkook tertawa, kemudian mendesah. "Semoga surga mencegahku melakukan hal-hal yang tidak ingin kulakukan," katanya dengan nada putus asa yang aneh saat ia meletakkan tangannya di bawah daguku dan mendongakkan wajahku.

Ciuman kami diawali seperti biasa—Jungkook tetap sehati-hati biasanya, dan seperti biasa pula, jantungku mulai bereaksi berlebihan. Kemudian sesuatu sepertinya berubah. Tiba-tiba saja bibir Jungkook melumat bibirku lebih ganas, tangannya menyusup masuk kesela-sela rambutku dan mendekap wajahku erat-erat. Walaupun tanganku juga menyusup masuk ke rambutnya, dan walaupun jelas aku mulai melanggar batas kehati-hatiannya, namun sekali ini Jungkook tidak menghentikanku.

Tubuhnya dingin di balik selimut yang tipis, tapi aku menempelkan tubuhku erat-erat ketubuhnya. Jungkook berhenti begitu tiba-tiba, Jungkook mendorongku dengan kedua tangan yang lembut tapi tegas. Aku terhenyak ke atas bantal, terengah-engah, kepalaku berputar. Sesuatu menarik-narik ingatanku, tapi aku tidak kunjung bisa meraihnya.

"Maaf," kata Jungkook, napasnya juga terengah-engah.

"Itu tadi sudah melanggar batas."

"Aku tidak keberatan," kataku megap-megap.

Jungkook mengerutkan kening padaku dalam gelap.

"Cobalah untuk tidur, Tae."

"Tidak, aku ingin kau menciumku lagi."

"Kau menilai pengendalian diriku kelewat tinggi."

"Mana yang lebih membuatmu tergoda, darahku atau tubuhku?" tantangku.

"Dua-duanya," Jungkook nyengir sekilas, meski sebenarnya tak ingin, lalu kembali serius.

"Sekarang, bagaimana kalau kau berhenti mempertaruhkan peruntunganmu dan pergi tidur?"

"Baiklah," aku setuju, meringkuk lebih rapat padanya.

Aku benar-benar lelah. Ini hari yang panjang dalam banyak hal, namun aku tidak merasa lega saat hari ini berakhir. Seakan-akan ada hal lain yang lebih buruk bakal terjadi besok. Firasat konyol—kejadian apa yang lebih buruk daripada hari ini tadi? Pasti hanya karena aku shock. Berusaha agar tidak ketahuan, aku menempelkan lenganku yang sakit di bahu Jungkook, supaya kulitnya yang dingin bisa meredakan sakitku. Seketika itu juga nyerinya hilang.

Aku sudah hampir tertidur, mungkin malah sudah separo tidur, waktu mendadak aku sadar ciuman Jungkook tadi mengingatkan aku pada apa: musim semi lalu, ketika harus meninggalkanku untuk menyesatkan James, Jungkook memberiku ciuman perpisahan, tidak tahu kapan—atau apakah—kami akan bertemu lagi. Ciuman tadi juga nyaris terasa menyakitkan, seperti ciuman itu, meski entah untuk alasan apa, aku tidak bisa membayangkannya. Aku bergidik dalam tidurku, seolah-olah aku sudah mengalami mimpi buruk.

.

.

.

.

.

TBC

.

.

.

.

.

New Moon telah hadiiiiir~~ ini benar-benar panjang! 62 halaman, 8000+ words! Aku sendiri gak nyangka bakal sepanjang ini. Semoga kalian tidak tertidur saat membacanya.

Reader-deul, aku mau ngasih pengumuman. Kalau untuk ff ini dan kedepannya, sebisa mungkin aku akan kasih visualisasi melalui aku ig (baru bikin kemarin id nya). Kalian bisa lihat di jeon_vantae , itu bukan acc pribadi aku. Itu Cuma untuk posting ttg yg berhubungan dg ff, atau hal random ttg bangtan.

Sebenarnya, aku masih ragu buat nge post ff ini hari ini atau tidak. Soalnya, aku dan kita semua masih dalam masa berduka ditinggal Jonghyun Shinee. Aku, beneran, gak nyangka sampai sekarang pun masih kayak gak percaya aja. Kemarin, aku malah nangis pas dengan lagu-lagu Shinee lagi, apalagi pas part Jonghyun. Sedih, karena kita gak akan bisa denger suara indahnya lagi.

Aku Cuma mau bilang, siapapun yang mengalami stress, depresi, atau punya masalah sekecil apapun itu. Jangan dipendam sendirian, ajak temen, sahabat, orang tua untuk diajak curhat. Masih banyak hal yang bisa kita lakukan selain memilih untuk mengakhiri hidup. Karena, mau apapun alasannya, suicide is not right choise. Suicide is not the answer for our problems.

Untuk shawol, aku harap kalian tetap kuat ya, stay strong. Kalian masih punya empat orang yang harus kalian dukung, yang harus kalian temani. Jangan tinggalkan mereka. Dan kalian masih punya kami, semua fandom akan terus mendukung kalian, menemani kalian, memegang tangan kalian.

Goodbye our angel, Kim Jonghyun.

May he find a better place.

Rest in piece Kim Jonghyun.