"Tonyyy! Cepat bangun! Kau akan terlambaaatt!"
Mendengar suara teriakan itu, aku terhentak dan tersadar dari tidurku. Sungguh, aku paling benci dibangunkan dengan cara seperti itu. Jelas saja, biasanya kepala orang akan pening jika ia tersentak bangun karena suara keras. Dan aku sedang mengalaminya saat ini.
.
.
Disclaimer: NIS, GUST
A/N: berusaha mengikuti alur asli MK1 (tentunya dengan penambahan di chapter sebelum Vayne datang ke Al-Revis), kata asing ada yang tidak di italic karena akan sering dipakai, Tony x Renee.
.
Into My Heart
Chapter 1: Prolog
by Fei Mei
.
.
"TONYYYY!" panggil suara itu lagi, kali ini lebih keras dari yang tadi, tapi teriakan itu masih dari orang yang sama.
"DIAMLAH, AKU SUDAH BANGUN!" balasku berteriak.
Huh, setelah aku berhasil mengumpulkan segenap kesadaran dan tidak merasa pening lagi, aku segera beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Biasanya aku mandi sekitar sepuluh sampai lima belas menit saja. Tetapi kali ini berbeda. Ketika aku keluar dari kamar mandi, kulihat jam dinding kamarku telah menunjukkan pukul 6.30 pagi, berarti aku mandi selama setengah jam. Wow, rekor. Yah, karena aku mungkin tidak akan bisa menggunakan kamar mandi ini selama tiga tahun ke depan.
Dengan cepat aku berpakaian –untungnya aku telah menyiapkan pakaian yang akan kukenakan pagi ini dari kemarin malam-, lalu membereskan tempat tidurku. Menatap kamarku yang akan segera kutinggalkan selama tiga tahun untuk terakhir kalinya, kemudian mengambil tasku dan turun ke lantai satu. Iya, tas yang ada di tanganku memang hanya satu, dan itu hanya tas punggung untuk sekolah, tapi di ruang tengah lantai satu sudah ada satu koper besar yang berisi pakaian, alat mandi, dan sebagainya. Yep, satu koper cukup, secara aku juga tidak bawa hal-hal tak penting.
Aku meletakkan tas yang baru kubawa turun di sebelah koper, kemudian beranjak ke ruang makan. Kulihat ayah dan ibuku ada di ruang makan. Ayahku sedang duduk di kursi, di tangan kanannya ada koran, di tangan kirinya ada cangkir kopi, di hadapannya –alias di meja- ada sepiring panekuk yang belum dimakan sama sekali. Ibuku sedang memindahkan panekuk satu lagi dari wajan ke piringku, masih dengan apronnya ia lalu menuangkan teh ke cangkirku –omong-omong, wanita inilah yang meneriakiku dua kali pagi ini. Ah, aku tidak akan melihat pemandangan ini selama tiga tahun ke depan. Apakah aku akan merindukannya? Entah, aku belum tahu.
"Kesiangan, Tony?" tanya ayahku, yang akhirnya selesai baca koran tepat ketika aku duduk di kursi.
"Begitulah," jawabku singkat, lalu meminum tehku.
"Ini hari penting, jangan sampai terlambat," kata ayahku lagi, aku hanya mengangguk saja sambil mulai melahap panekuk, menu sarapan favoritku.
"Kapan keretamu berangkat?" tanya ibuku, yang akhirnya duduk di kursi.
"Jam delapan," jawabku. Mengingat jawabanku ini, aku jadi bersyukur akan lokasi rumahku yang tidak begitu jauh dengan stasiun, hanya perlu sekitar dua puluh menit berjalan kaki.
"Kau sudah cek ulang barang-barangmu? Tidak ada yang kau lupa masukkan ke dalam koper, kan?" tanya ibuku. Huh, tipikal seorang ibu.
"Sudah," jawabku cuek. Nyatanya aku tidak mengecek ulang bawaanku.
Pukul 8.55, aku menemukan diriku di stasiun bersama kedua orangtuaku. Tidak hanya ada aku di stasiun yang besar itu tentu saja. Ada sekitar puluhan anak berusia sekitar 15-16 tahun disana bersama dengan orangtua mereka. Yep, anak-anak itu memiliki 'nasib' yang sama denganku, kami akan meninggalkan rumah dan keluarga kami selama tiga tahun ke depan.
"Perhatian! Kereta yang menuju Sekolah Alkemi Al-Revis akan segera berangkat tiga menit lagi!" ujar seorang pria. "Bagi anak-anak yang akan berangkat ke Sekolah Alkemi Al-Revis, diharapkan segera masuk ke dalam kereta dan segera duduk di kursi!"
Oke, itu berarti panggilanku. Aku pamit kepada kedua orangtuaku, menggendong tas punggungku di belakang dan membawa koperku sendiri, lalu masuk ke dalam kereta.
Ini dia.
.
.
Kereta ini begitu besar, sungguh, tetapi bangku yang terisi hanya mungkin setengahnya saja. Wajar, karena kereta ini adalah kereta khusus bagi murid-murid Sekolah Al-Revis saja. Tugas kereta ini adalah mengantarkan murid kelas 3 dari sekolah kembali ke stasiun kota utama, dan membawa murid kelas 1 dari stasiun kota utama ke sekolah. Itu saja. Karena peraturannya adalah para murid tidak diperkenankan untuk kembali ke kota utama sebelum lulus. Walau begitu, para murid tetap boleh berhubungan dengan orangtuanya seperti lewat surat. Orangtua boleh mengunjungi anaknya di sekolah itu, tetapi harus dengan transportasi sendiri dan menempuh waktu sekitar enam jam –sedangkan kereta ini hanya memakan waktu sekitar empat jam.
Sepanjang perjalanan, sudah puluhan kali aku melihat anak-anak remaja seusiaku mondar-mandir. Suara-suara obrolan terus saja tertangkap di telingaku. Dan dalam kereta ini, aku duduk seorang diri. Tak masalah. Aku sudah terbiasa seorang diri karena wajah 'sengak' yang diturunkan ayahku ini.
Bosan, aku pun membuka tas punggungku, mengambil salah satu buku pelajaran yang wajib dibeli para murid karena akan digunakan selama di sekolah. Aku bukan tipikal anak yang senang membaca, sebenarnya, tapi biarlah.
Empat jam berlalu, aku baru selesai membaca satu buku itu. Mendengar pengumuman bahwa kami akan tiba dalam sepuluh menit, aku langsung menyimpan buku itu lagi, dan merapikan seragamku. Yep, pakaian yang kukenakan dari rumah ini adalah seragam Sekolah Alkemi Al-Revis, sama seperti puluhan anak yang ada di dalam kereta ini.
Sampai di stasiun sekolah, aku dan yang lainnya membawa barang masing-masing dan turun dari kereta satu persatu. Kami berbaris, dan masuk ke dalam lingkungan sekolah.
Woooww...
Mulutku terbuka dan mataku menatap takjub lingkungan sekolah ini. Bukan hanya aku, tetapi anak-anak yang lain pun sama. Sungguh, hebat sekali tempat ini. Kupikir Al-Revis itu hanya satu gedung besar yang dibagi banyak lantai: sekolah, kafeteria, asrama, pertokoan, ruang kesehatan, dan sebagainya. Nyatanya tidak, setiap bagian memiliki gedung sendiri. Ada gedung sekolah, gedung asrama, rumah pertokoan, menara perpustakaan, dan lainnya.
Puas ber-wow-ria, aku dan para murid dibawa ke gedung asrama. Sepertinya kami akan memiliki kamar masing-masing sendiri, karena setiap kunci yang diberikan ada nama kami.
"Tony Eisler," panggil staf yang bertugas membagikan kunci kamar.
Aku maju dan mengambil kunci itu.
'Kamar nomor 413, lantai 4'
Kubaca label di kunci itu. Hmm, nomor 13? Duh, kena angka sial, malah lantai empat pula!
Segera aku bawa tas dan koperku ke kamar yang akan menjadi ruang privasiku untuk tiga tahun ini. Kamarku...yah, tidak sebesar kamarku yang di rumah, paling hanya sekitar dua pertiga saja, dan untungnya para murid disini punya kamar mandi dalam kamar masing-masing. Hufft.
Setelah merapikan barang, kami diminta untuk ke aula, untuk seremoni pertama kami. Segera aku keluar kamar dan turun ke lantai satu, keluar dari asrama, lalu berjalan menuju aula bersama dengan puluhan murid kelas 1 lainnya.
Di aula, kami berbaris lagi. Kulihat guru-guru semuanya berdiri di atas panggung, sedangkan kepala sekolah –kupikir dia adalah kepala sekolah disini- berdiri di depang podium.
Aku berdiri dikelilingi orang-orang yang aneh. Ada yang bertubuh kekar sambil membawa pedang besar, dan tak lupa seragamnya seperti rombeng –seperti ia sengaja membuat seragamnya seperti itu. Ada juga seorang gadis yang memiliki telinga dan ekor seperti kucing –aku tahu tentang eksistensi makhluk seperti ini, tetapi tidak pernah melihat secara dekat. Ada lagi seorang gadis berambut pirang pendek yang terus-terusan mengurusi kuku-kukunya selama kepala sekolah (ternyata itu benar kepala sekolah) berceramah.
Ceramah sang kepala sekolah pun tidak begitu kudengarkan. Dengar sih, tapi tidak sampai detil. Paling aku hanya mendengar tentang Growbook, macam-macam kelas, Ruang Athanor, dan workshop. Yang terakhir itu yang paling menyita perhatianku.
Katanya suatu workshop baru terbilang resmi jika memiliki minimal anggota empat orang. Dan para murid harus tergabung dengan suatu workshop. Masalahnya, mana mungkin aku akan mendapatkan workshop dengan wajah menyeramkan seperti ini? Menyebalkan.
Usai ceramah kepala sekolah, kami diminta ke ruang kelas masing-masing. Masih bingung memikirkan nasibku selama tiga tahun ke depan, aku berjalan menuju ruang kelasku: 3C. Aku masuk kesana, nyaris semua kursi telah terisi. Kuputuskan untuk duduk di pojok belakang, tepat di sebelah gadis yang hobinya mengurus kukunya itu.
Seorang wanita yang usianya mungkin sekitar 30an, berambut hitam panjang dan berparas cantik masuk ke dalam kelas dan berdiri di depan podium. Seketika itu juga ruangan kelas yang tadinya ribut langsung hening.
"Namaku Isolde," kata wanita itu, tanpa senyum sedikit pun. "Aku akan menjadi wali kelas kalian selama tiga tahun kalian bersekolah disini –kecuali kalau kalian memutuskan untuk keluar dari sekolah atau tidak naik kelas."
Setelahnya kami diminta untuk menyebutkan nama masing-masing. Lalu sudah, Miss Isolde memperbolehkan kami keluar kelas.
Aku langsung berdiri dan merapikan kursiku, berniat beranjak pergi. Baru mau melangkahkan kaki, tiba-tiba saja lengan bajuku ditarik seseorang. Aku melirik belakangku, melihat gadis yang tadi duduk disampingku adalah orang yang menarik bajuku. Kalau tidak salah saat perkenalan tadi ia menyebut namanya Renee.
"Apa?" tanyaku ketus.
"Kau mau bergabung dengan workshop-ku, tidak?" tanyanya inosen.
"H-hah?" tanyaku bingung. Oh Tuhan, apakah ini mujizat? Ada yang menawarkanku bergabung dengan workshop-nya!
"Kakakku punya workshop dengan teman-temannya. Tetapi teman-temannya telah lulus kemarin, jadi ia tinggal berdua saja dengan seorang temannya," kata Renee. "Aturannya kan, sebuah workshop baru resmi jika minimal ada empat anggota. Nah, kakakku pernah memintaku bergabung ke workshop-nya. Bagaimana kalau kau menjadi orang ke empat di workshop kami?"
Aku mengangguk pelan, tanpa memberikan senyum –sama seperti Miss Isolde. Lalu aku ikut Renee ke workshop kakaknya. Kupikir kakak Renee itu juga seorang perempuan yang hobinya merawat kuku. Ternyata kakaknya itu laki-laki, yang sangat maskulin.
"Hai, namaku Max," ujar kakak Renee memperkenalkan diri padaku, sedangkan teman Max katanya sedang keluar.
"Tony," balasku memberitahu namaku sambil menjabat tangannya.
Kulihat workshop itu, cukup nyaman walau tidak begitu luas. Ada rak buku, lemari penyimpanan, tiga meja, dan kuali.
Hmm...mungkin tiga tahun di sekolah ini tidak akan begitu membosankan.
.
.
~TBC~
.
.
Jadi ceritanya Fei lagi dalam proses main Mana Khemia untuk yang ke 19 kalinya. Lalu saat sekian kalinya melihat adegan Tony dan Renee pamit sama Isolde, Fei baru kepikiran untuk membuat fict Tony x Renee. Mungkin gak akan begitu sesuai dengan bayangan Fei, tapi Fei akan berusaha sebisa Fei!
