"Park Jimin!"
Yeoja yang merasa namanya dipanggil oleh suster langsung berdiri dan menampilkan eyesmile yang dapat meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya. Ia pun langsung masuk ke dalam ruangan tersebut.
"Jiminnie!"
"Eonni!"
Jimin langsung duduk di hadapan dokter dengan nametag 'Kim Seokjin' tersebut.
"Jadi, bagaimana pendapat eonni? Apa mungkin aku..."
Awalnya dokter dihadapannya menampakkan raut wajah datar hingga perlahan kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.
.
Mata indahnya tak henti-hentinya melihat hasil USG ditangannya. Begitu banyak harapan dihatinya walaupun bayi di dalam perutnya sama sekali belum sempurna.
"Kau seperti terlihat cantik. Apa kau nanti akan mirip eomma? Oh ya, walaupun kau laki-laki ataupun perempuan, kulitmu harus seperti appa ya?"
"Aku pulang!"
"Wah! Appa sudah pulang nak!" Ujar Jimin sambil beranjak dari posisi berbaringnya. Dengan hati-hati ia berjalan cepat untuk menyambut suaminya yang terduduk di sofa ruang tamu karena letih. Ia tampak melonggarkan dasi. Jimin segera menuju ke hadapan suaminya dengan wajah yang sangat ceria dan kedua tangan tersembunyi di balik punggung.
"Oppa!"
"Jiminnie?"
Jimin menunjukkan hasil USG tepat di depan wajah Yoongi. Perlahan Yoongi mengambil hasil USG tersebut dan menatap Jimin meminta kepastian.
"I-ini anak k-kita?"
"Iya." Jimin menatap perutnya yang masih rata dan mengusapnya. "Dia sudah empat bulan disini."
"O-oh. Selamat ya?"
"Eoh?"
Jimin hanya bisa menatap Yoongi yang beranjak dari hadapannya dengan raut wajah yang datar. Sebelumnya Yoongi sudah mengembalikan hasil USG tersebut kepada Jimin. Seketika Jimin tersadar saat terdengar suara pintu kamar yang tertutup. Ia segera masuk.
"Haa! Oppa!"
"Kenapa?" Yoongi bertanya dengan raut wajah datar dan menghampiri Jimin yang sudah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Yoongi tidak bisa menahan tawanya melihat Jimin yang ada dihadapannya. Dengan gemas Yoongi mengusak rambut panjang Jimin dan perlahan ia menurunkan tangannya.
"Kau ini! Ini bukan pertama kalinya kau melihatku seperti ini kan?"
Jimin meringis. Kemudian tangan dan matanya mengarah kepada perutnya. "Mungkin ini pengaruh anak kita. Dia terkejut melihat appanya seperti ini."
Seketika senyuman Yoongi hilang dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Jimin sangat menyadari perubahan tersebut dan ia cepat-cepat mengendalikan dirinya.
"Aku ingin mandi dengan air hangat."
Jimin langsung menahan tangan Yoongi yang akan ke kamar mandi.
"Aku siapkan airnya. Oppa sangat letih jadi duduk saja dulu."
.
Yoongi sudah selesai dengan mandinya. Kini fikiran dan tubuhnya terasa lebih rileks dari sebelumnya. Cukup lama Yoongi mandi dan membuat Jimin berfikir kalau kehamilannya hanya akan menambah beban Yoongi. Dia sudah siap dengan apa yang akan Yoongi perintahkan untuknya. Termasuk menggugurkan kandungannya. Memang ini terdengar gila. Mengingat emosi Yoongi yang gampang berubah-ubah.
"Ayo duduk oppa!" Jimin menarik kursi di sampingnya dan menghidangkan makanan setelah Yoongi duduk. Yoongi masih bergeming walaupun makanannya sudah terhidang dihadapannya.
"Jimin!" Suara Yoongi yang terdengar lembut tetap saja membuat Jimin takut dan mengendalikannya dengan sebuah senyuman. Perlahan ia meletakkan sumpitnya kembali.
"Iya oppa? Apa oppa ingin sesuatu yang lain? Aku akan memasaknya."
Jawaban Jimin terdengar seperti suara orang yang terancam. Ditambah lagi Jimin ingin beranjak dari duduknya dan Yoongi langsung menahan tangannya. Yoongi sempat mengerutkan dahinya dan kembali memasang raut wajah yang datar.
"Besok kau..."
Maafkan eomma sayang. Kalau nanti eomma tidak bisa mempertahankanmu.
Jimin tampak memejamkan matanya.
"Dan aku ke rumahku. Kau mau?"
"Ha?" Jimin harap dia tidak salah dengar.
"Ha? Kenapa 'ha'?"
"M-maksudku...Rumah? Bukankah hanya apartemen ini rumahmu oppa?"
Dengan gemas Yoongi mengusak rambut Jimin yang masih menatapnya dengan aneh menurutnya. Mata membulat dan mulutnya sedikit terbuka.
"Rumah masa kecilku."
Perlahan Jimin mengangguk seakan-akan tidak percaya dengan apa yang didengarnya sekarang. Jimin semakin tidak percaya saat Yoongi mengecupnya tepat dibibir dan dengan santai melanjutkan makannya.
.
"Kenapa berhenti oppa?" Jimin menatap toko disampingnya dari mobil dengan bingung. Jimin bisa melihat di etalase kaca yang penuh dengan boneka dan ia juga bisa melihat dari pintu kaca toko tersebut ada berbagai aksesoris.
"Tunggu saja." Yoongi tersenyum penuh arti sambil membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil.
Jimin menunggu cukup lama hingga akhirnya dia tertidur. Suara mobil yang tertutup dengan pelan membangunkannya. Antara percaya dan tidak, Jimin melihat Yoongi membawa neckpillow berwarna biru muda yang sangat disukai Jimin.
"Perjalanan kita sangat jauh. Jadi kau membutuhkan ini." Yoongi membantu memasang neckpillow di leher Jimin. "Sekarang lanjutkan tidurmu. Matamu tidak kelihatan." Yoongi mengejek mata sipit Jimin yang semakin sipit saat mengantuk.
Jimin benar-benar bermimpi sekarang. Lebih baik dia tertidur lagi.
.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam lewat saat Jimin terbangun dari singkatnya karena menunggu Yoongi. Tidak biasanya bagi Jimin setelah empat bulan pernikahan mereka. Wajah kantuknya tersenyum saat mendengar pintu apartemen yang dibuka. Jimin langsung bangkit dari sofa dan menghampiri Yoongi yang menatapnya dengan raut wajah datar. Raut wajah yang seringkali dilihat oleh Jimin. Lalu muncul sebuah seringaian dan hembusan nafas Yoongi yang membuat Jimin terkejut.
"Oppa? Kau mabuk? Oppaaa!"
Jimin mencoba melepaskan diri dari Yoongi yang menggendongnya ala bridal menuju kamar. Lalu tubuh mungilnya dihempaskan di atas tempat tidur. Jimin semakin takut saat Yoongi membuka satu persatu kancing kemejanya. Jimin mencoba bangkit dan menyadarkan Yoongi. Namun tubuhnya kembali di dorong dan ia tidak bisa bangkit lagi karena Yoongi sudah menimpanya dan memberikannya ciuman yang buas.
"Oppa!" Jimin benar-benar tidak bisa lolos lagi. Tubuhnya sudah benar-benar lemah akibat ciuman Yoongi.
Bukan ini yang Jimin inginkan. Malam ini menjadi malam pertama Jimin yang sangat menyedihkan. Hubungan yang tidak didasari rasa cinta dan ada unsur paksaan membuat Jimin sangat takut.
Setelah melakukan hubungan panas tersebut, Yoongi langsung tertidur sementara Jimin berjalan dengan tertatih-tatih menuju kamar mandi. Menangisi nasibnya yang benar-benar menyedihkan.
Memang ini bukan pertama kalinya bagi Jimin melihat monster yang muncul pada diri Yoongi. Tapi ini adalah yang paling parah dari semua yang pernah dihadapi Jimin. Melihat tanda-tanda ditubuhnya hanya semakin mengiris hatinya.
.
Sepanjang perjalanan, pikiran Yoongi bercabang menjadi dua. Satu agar tetap fokus kepada jalanan. Satunya lagi terfokus pada sikap yang selama ini terhadap Jimin selalu berubah-ubah. Satu hari menjadi pribadi yang hangat, satu hari bisa menjadi monster. Tatapannya beralih kepada Jimin yang tertidur walaupun sesaat.
Yoongi sangat menyadari bagaimana sikapnya kepada Jimin setelah satu tahun pernikahan mereka. Kecelakaan tiga tahun yang lalu benar-benar merubah hidupnya. Yoongi sempat berfikir kalau ada pribadi lain ditubuhnya dan menanyakan hal itu kepada psikiater. Tentu saja hasilnya tidak ada.
Yoongi menepikan mobilnya dijalanan yang cukup sepi. Dia benar-benar ingin menikmati indahnya wajah Jimin yang selama ini terlewati olehnya.
Perlahan tangannya menyentuh dahi lalu turun ke pipi yang sering kali basah oleh airmata dan penyebabnya adalah Yoongi sendiri. Kemudian bibir indah yang jarang ia sentuh.
"Hiks...Oppa!"
"Jiminnie?"
.
Keesokkan harinya Jimin menjalani hari seperti biasa. Seakan-akan tidak ada peristiwa menyedihkan sekaligus menyakitkan yang pernah ia alami selama hidupnya. Dia tetap bersenandung ria sambil menata makanan dimeja. Sebelumnya ia juga sudah menyiapkan baju kerja untuk Yoongi. Senyumannya terpancar saat Yoongi sudah berada di ruang makan.
"Selamat pagi oppa!" Jimin langsung menghidangkan makanan untuk Yoongi. Saat tangannya akan ditarik kembali, Yoongi menahan tangannya.
"Maaf!"
Jimin sempat tertegun sejenak dan kembali memancarkan senyumannya.
"Tidak apa-apa. Oppa sedang letih semalam. Cepat habiskan oppa. Nanti oppa terlambat." Jimin kembali duduk di sebelah Yoongi. "Lagi pula aku sedang dalam masa subur semalam."
"Park Jimin!"
Tubuh Jimin seketika bergemetar dan membuatnya menatap Yoongi dengan penuh ketakutan.
"Apa kau tidak bisa marah kepadaku sekali saja? Atau tampar dan pukuli saja aku sepuas hatimu? Supaya ingatan sialan ini muncul. Aku benar-benar muak dengan semua ini. Aku muak dengan senyumanmu yang muncul saat aku sudah menyakitimu. Aku membencimu!"
BRAKK!
Yoongi memukul meja dengan sangat keras dan beranjak meninggalkan Jimin yang sudah menangis.
.
Yoongi membangunkan Jimin dengan mengguncang pelan bahunya. Perlahan Jimin membuka mata dan tubuhnya tersentak mencoba menjauh dari Yoongi. Dengan panik ia membuka pintu mobil dan memukul-mukulnya setelah gagal membuka.
"Jimin! Hentikan! Jimin! PARK JIMIN!"
Jimin menghentikan kegiatannya dan menatap Yoongi dengan sedih saat airmata menetes dari kedua mata suami tercintanya. Dengan lembut Jimin menghapusnya.
"Oppa..."
"Maaf membuatmu bingung. Terkadang aku bisa menjadi pelindung untukmu. Terkadang juga aku yang membuatmu menderita sendirian. Apa yang membuatmu bertahan? Apa kita pernah bertemu sebelumnya? Atau kita pernah saling...mencintai? Kenapa kau diam saja? Apa kebenaran yang kau tau?"
Jimin menggeleng pelan dan mengelus pipi Yoongi. "Tidak ada oppa. Tidak ada kebenaran yang aku ketahui selalin aku mencintaimu dan kau mencintaiku."
"Tidak Jimin! Tidak! Aku tidak merasakan apa-apa selain rasa yang membuatku tidak ingin menjauh darimu. Jujurlah."
.
Dua tahun sebelum pernikahan...
Jimin terbangun dari tidurnya dan senyumannya kini lebih lebar dari hari-hari sebelumnya. Bagaimana tidak? Tadi malam pujaan hatinya dan dirinya sudah berada dalam satu ikatan sederhana tepat setelah satu tahun jadian mereka. Pertunangan. Jimin memandangi cincin di jari manisnya dan semakin tersenyum saat mengingat momen semalam. Ponselnya berbunyi.
Yoongi : Selamat pagi...Aku sangat lelah. Apa kau juga?
Jimin : Selamat pagi juga...Tidak. Oppa sudah tua rupanya. Soalnya aku masih muda dan tidak merasa lelah.
Yoongi : Kau ini! Masih pagi sudah membahas umur. Bahkan kau hanya satu tahun lebih muda dariku.
Jimin : Bagaimanapun oppa lebih tua dariku.
Yoongi : Baiklah! Aku kalah. Jangan lupa pesananku.
Jimin : Iya oppa. Mandi sana! Baunya sampai sini.
Yoongi : Kau tau saja aku baru bangun dan belum mandi. Tapi aku juga mencium bau-bau aneh.
Jimin : Oppa! Ini sudah jam tujuh dan kau baru bangun?
Yoongi : Sudah aku bilang kalau aku lelah. Lagian aku atasan. Jadi tidak apa-apa kalau terlambat.
Jimin : Sebentar lagi oppa menjadi suamiku dan menjadi panutan. Masa bangunnya telat sih? Oppa memalukan.
Yoongi : Kau benar-benar tidak sabar untuk menikah denganku ya?
Jimin : Kalau oppa sering bangun terlambat, aku jadi berfikirberkali-kali. Mandi dan cepat pergi kerja!
Jimin melempar ponselnya dan kembali mengambilnya saat ponselnya kembali berbunyi.
Yoongi : Iya nyonya Min.
"Laki-laki satu ini..."
"Benar-benar tampan!"
"Eonni! Kalau masuk ke kamarku ketuk pintu dulu!"
"Jimin imo!" Namja kecil berusia lima tahun naik ke tempat tidur dan memeluk Jimin begitu erat. Tidak seperti biasanya dan membuat Jimin bingung.
"Tae kenapa?"
"Kata eomma dan appa kalau imo menikah, nanti imo tidak disini lagi. Nanti Tae sama siapa?"
"Kan ada halmeoni, harabeoji, eomma, dan appa. Jadi Tae tidak kesepian."
"Tidak mau! Jimin imo tidak boleh pergi."
Jimin melepas pelukan dan menatap namja kecil yang duduk dipangkuannya.
"Tae tau tidak, Yoongi samcheon tinggal sendirian. Kalau Tae kan tidak. Apa Tae tidak kasihan dengan Yoongi samcheon?"
"Kasihan. Tapi eomma tidak bilang tadi." Taehyung berkata dengan polos.
"Tae, eomma ingin bilang tapi kau malah langsung menangis." Seokjin bergumam sendiri. Jimin hanya tertawa.
.
Jimin turun bersama keponakan kecilnya yang sudah berpakaian seragam sekolah dengan rapi. Di ruang makan sudah ada kedua orangtunya serta kakak perempuannya dan kakak iparnya. Kemudian, ia membantu Taehyung duduk sebelum dirinya.
"Selamat pagi!"
"Kalau saja Tae sering aku ajak ke rumah sakit bersamaku daripada ke butikmu, pasti dia tidak akan selengket ini denganmu."
"Tae belum terbiasa. Anggap saja aku latihan untuk mengurus anak. Iya kan namjoon oppa?"
"Kau terlalu pandai berkilah Jiminnie. Padahal kau kerepotan juga kan?"
"Benar juga sih. Tapi, bukankah akan lebih repot kalau sudah mengurus anakku sendiri?"
Mereka segera menyelesaikan sarapan. Mereka berempat berpamitan kepada orangtua yang disana sebelum menjalankan aktivitas masing-masing.
"Permisi!"
"Hoseok eonni!" Jimin berteriak kesenangan melihat sosok wanita dihadapannya dan tanpa ragu berlari kemudian memeluk wanita tersebut dengan sangat erat. Sampai-sampai, kotak hadiah yang dibawanya terjatuh.
"Hoseok? Kau sudah kembali?" Tanya Seokjin yang menghampirinya bersamaan dengan Namjoon yang menggendong Taehyung. Hoseok harus mengatur nafasnya setelah dipeluk begitu erat oleh Jimin dan mengambil kotak yang terjatuh. Jimin hanya tersenyum manis karena merasa bersalah.
"Aku ada kontrak selama satu tahun disini. Dengan perusahaan milik Yoongi. Setelah kontrak habis aku harus kembali. Bukankah ini bertepatan dengan Jimin yang akan menikah? Aigoo. Halo pangeran kecil."
"Imo apa kabar?"
"Baik. Kau sendiri?"
"Baik juga. Imo kemana saja? Apa imo sudah menikah dan harus pergi seperti Jimin imo nanti?"
"Tae, jangan bertanya soal itu. Hoseok imo belum punya pacar apalagi suami."
"Kalau gitu imo tunggu Tae besar ya? Nanti kita menikah."
Keempat orang dewasa disana hanya tertawa mendengar celotehan polos Taehyung.
"Oh ya, ini hadiahmu."
Jimin menerima dengan senang hati, "Gomawo eonni."
.
Jimin tampak sibuk melayani pembeli yang datang ke butiknya. Begitu juga dengan dua pekerjanya. Sampai-sampai dia mengabaikan telepon yang berdering sedari tadi.
"Silahkan dipilih nyonya." Jimin meninggalkan pembelinya dan mengangkat telepon. "Halo? Eonni? Iya eonni. Kenapa panik? APA?"
.
"Halo?"
"Jiminnie! Yoongi, Jiminnie!"
"Iya eonni. Kenapa panik?"
"Yoongi kecelakaan. Aku melihatnya dibawa ke UGD saat aku baru datang."
"APA?"
Disinilah Jimin sekarang. Menunggu Yoongi sadar sambil menggenggam tangannya sambil mengucapkan harapan demi harapan agar tidak terjadi hal buruk.
"Uhuk! Uhuk!"
Jimin tersentak dan tersenyum. Ia segera menekan tombol panggilan yang berada di kepala ranjang. Tangannya kembali menggenggam tangan Yoongi seakan-akan jika terlepas Yoongi akan pergi.
"Hoseok..."
"Oppa?"
"Hoseok..." Yoongi berkata dengan mata yang masih tertutup dan suara yang serak. Genggaman Jimin melemah dan ketika dokter datang, Jimin hanya mundur dan menangis dalam diam. Ia berlari keluar menghampiri Seokjin.
"Eonni...Hiks..."
"Kenapa Jiminnie?"
"Hiks..."
"Jiminnie?" Hoseok mencoba menenangkan Jimin dengan mengusap punggungnya. Namun tangannya segera ditepis.
"Cepat temui Yoongi oppa!"
"Apa maksudmu?"
"CEPAT!"
.
"Kau ingat orang ini?" dokter menunjuk Seokjin.
"Tidak."
"Ini?" Dokter menunjuk Jimin.
"Tidak."
"Kalau ini?"
"Dia...kekasihku."
Jimin meremas gaun selutut yang dipakainya. Setelah mendengar kenyataan yang begitu menyakitkan, dia memilih menyendiri di taman rumah sakit.
Tuan Yoongi mengalami amnesia. Walau tidak seluruhnya hilang. Tapi ingatannya kembali kepada masa lalu. Seperti tadi, dia tidak mengingat anda sebagai kekasihnya melainkan...
Jimin langsung berlari dan tidak ingin lagi mendengar penjelasan dokter yan hanya akan membuat hatinya semakin sakit. Jimin merasa ada seseorang di belakangnya.
"Lebih baik eonni duduk saja disini. Jangan melihatku dengan tatapan menyedihkan seperti itu."
Perlahan Hoseok duduk di samping Jimin dan tangannya langsung ditepis saat ia ingin menggenggam tangan Jimin.
"Katakan yang sejujurnya eonni."
"Jiminnie..."
"Aku merasa seperti orang jahat eonni."
Hoseok hanya menunduk dan menangis.
"Aku sudah mengenal kalian cukup lama. Tetapi kenapa harus berbohong eonni? Aku merasa seperti perusak hubungan orang."
"Tidak Jiminnie. Kami memang pernah jadi sepasang kekasih. Kami putus sebulan sebelum kalian jadian. Kami berpisah bukan karena dirimu. Tapi murni karena kami tidak merasa cocok sebagai sepasang kekasih. Kami masih tetap bersahabat. Aku senang mendengar Yoongi begitu mencintaimu."
"Mendengar Yoongi oppa memanggil eonni dalam keadaan setengah sadar membuatku semakin merasa bersalah."
"Aku mohon Jiminnnie. Kau harus tetap berada di samping Yoongi. Buat dia kembali ingat kepadamu. Aku mohon. Aku minta maaf."
Jimin menggenggam kedua tangan Hoseok dan tersenyum.
"Eonni menyayangiku kan?"
"I-iya."
Jimin melepas cincin pertunangan yang belum sampai 24 jam melingkari jari manisnya. Hoseok dengan cepat menghentikan pergerakan Jimin dan menggeleng.
"Apa yang kau lakukan?"
"Kalau eonni menyayangiku, lakukan apa yang aku minta sekali ini saja."
"Permintaanmu yang mana tidak aku kabulkan Jiminnie? Kau selalu meminta kepadaku. Aku akan senang hati melakukannya. Tapi tidak untuk kali ini."
"Eonni...Aku mohon..." Jimin langsung berlutut di hadapan Hoseok dan bahunya mulai bergetar. "Aku tidak mau melihat Yoongi oppa kesakitan karena dipaksa untuk mengingatku."
"Jimin! Berdiri!"
Jimin menggeleng.
"JIMIN!"
Dengan kesal Hoseok membantu Jimin berdiri dan memeluknya. Tangis mereka berdua pun pecah.
"Iya! Iya! Aku akan melakukannya. Aku anggap hanya untuk menjaga Yoongi sampai dia kembali mengingatmu."
Jimin melepas pelukan dan menghapus airmatanya.
"Benarkan eonni?"
Hoseok mengangguk.
.
Sejak hari itu, Jimin tidak pernah lagi bisa berhubungan dengan Yoongi seperti sebelumnya. Bahkan pernikahan yang direncanakan akan diadakan sebulan setelah pertunangan mereka harus dibatalkan.
Pada suatu ketika, Yoongi memaksa Hoseok untuk jalan-jalan walaupun mereka masih berada di jam kerja. Tidak sengaja Yoongi tertarik dengan butik yang kebetulan pemiliknya adalah Jimin. Hoseok menolak dan penolakkannya sama sekali tidak berhasil. Tentu saja kedatangan mereka disambut dengan raut wajah kesedihan yang ditutupi dengan senyuman manis yang palsu. Hoseok dapat melihat bagaimana sedihnya Jimin melihat Yoongi begitu antusias memilihkan baju untuknya.
"Jimin-ssi, bisakah anda pilihkan gaun yang cocok untuk kekasihku ini?"
"O-oh! T-tentu saja op-tuan."
"Yoongi, aku sangat haus."
"Kau ini!" Yoongi tersenyum dan mencubit gemas hidung Hoseok. Lalu ia pun keluar dari butik tersebut. Setelah merasa keadaan aman, Jimin mulai menangis.
"Sudah kubilang Jimin. Kenapa kau mau melakukan hal bodoh ini eoh? Lihatlah! Kau tersakiti sekarang. Dan kalau aku boleh egois, aku juga menderita sekarang. Aku bersama orang yang sangat kau cintai. Bukan hanya kau yang menderita Jiminnie. Aku juga. AKU JUGA!"
Hoseok keluar dari butik milik Jimin dan segera menghapus airmatanya dan menghampiri Yoongi di supermarket yang berada di sebelah butik tersebut. Ia melihat Yoongi baru saja keluar.
"Kenapa kau disini?"
"Aku kurang suka dengan baju-bajunya. Ayo kembali ke kantor." Hoseok langsung mendahului Yoongi yang kebingungan.
.
Setahun sebelum pernikahan...
Jimin mencoba menghibur dirinya dengan datang ke panti asuhan tempat Yoongi, Hoseok, dan Namjoon pernah tinggal. Jimin mengenal mereka saat usianya masih sepuluh Tahun. Kedua orangtuanya menjadi donatur tetap di panti ini dan membuat Jimin mengenal mereka hingga akhirnya jatuh cinta kepada seseorang setelah sebelumnya sang kakak meresmikan hubungan menjadi sepasang kekasih dengan Namjoon.
"Eonni kenapa tidak datang bersama Yoongi oppa lagi?"
Jimin langsung tersadar dari lamunannya dan berlutut untuk menyamakan tinggi dengan yeoja kecil dihadapannya.
"Yoongi oppa sedang sibuk sayang. Jadi dia tidak bisa menemani eonni."
"Tapi Yoongi oppa sering datang kesini bersama Hoseok eonni."
"Eoh?"
"Yoongi oppa dan Hoseok eonni datang!" Seru anak-anak dengan ceria dan berlari menuju halaman meninggalkan Jimin yang menatap Hoseok dengan terkejut. Begitu juga Hoseok yang untuk pertama kalinya setelah satu tahun bertemu dengan Jimin di tempat ini.
"Wah! Ada Jimin-ssi. Kau sering berkunjung kesini juga?"
"Iya. Sejak kecil keluargaku sering kesini."
"Benarkah? Berarti kita pernah bertemu sebelumnya."
"Ya. Aku pernah melihatmu."
"Haha...maaf ya? Sejak kecelakaan itu aku jadi lupa segalanya."
Hoseok bisa melihat Jimin yang mengepalkan tangannya sementara wajahnya yang masih setia memancarkan senyuman yang mengiris hati Hoseok.
"Yoongi-ssi, Hoseok-ssi, saya mau ke taman belakang dulu. Sudah lama tidak kesana."
"Eh? Kau tau nama kami?"
"E-eh...a-anu..."
"Tadi kan anak-anak memanggil kita."
Jimin tampak menghembuskan nafas lega dan hanya Hoseok yang menyadarinya. Jimin tersenyum kembali sebelum pergi dari hadapan mereka.
"Jimin-ssi, boleh aku menemanimu?"
Jimin berhenti tanpa membalikkan badannya. Karena satu tetes airmata sudah terjatuh.
"Tentu saja."
.
Jimin terus menunduk tanpa berani menatap Hoseok yang duduk disampingya.
"Aku fikir aku bisa menghadiri pernikahanmu dan aku juga bisa fokus saat menjalankan kontrak disini. Tapi karena kau semuanya hancur. Pekerjaanku berantakan dan juga perasaanku. Apa kau tidak tau bagaimana rasanya bersama orang yang tidak kau cintai?"
Perlahan Jimin mengangkat kepalanya.
"Aku akan mengakhirinya hari ini juga dan kembali ke kantor utama. Masa kontrakku sudah habis."
"Eonni..."
Namun terlambat. Hoseok sudah menjauh darinya dan Jimin tidak boleh membiarkannya.
"Eonni!"
.
"Yoongi, ada yang ingin aku katakan!" Hoseok berkata dengan tegas. Padahal saat ia menghampiri Yoongi, Yoongi sedang mengobrol dengan pemilik panti.
"T-tapi..."
"Cepatlah!"
Hoseok langsung meninggalkan Yoongi dan mau tak mau Yoongi harus mengikutinya hingga mereka sampai di taman belakang.
"Ada apa?"
"Aku bosan."
Tawa Yongi pecah dan membuat Hoseok mengerutkan keningnya.
"Kenapa kau tertawa?"
"Kalau kau bosan bilang saja. Kita bisa pergi ke tempat lain."
"Maksudku bukan itu Yoongi! Aku bosan dengan hubungan ini dan aku ingin hubungan kita berakhir."
"H-hoseok..."
"Masa kontrakku disini sudah habis dan aku tidak ingin membuang-buang waktuku untuk hubungan yang tidak jelas ini." Hoseok melepas cincin di jari manisnya dan menghempaskannya di genggaman Yoongi.
"Tapi kau kan..."
"Aku tidak bisa menunggu lagi Yoongi! Kau selalu berjanji akan selalu berubah dan aku muak!" Hoseok meninggalkan Yoongi yang masih terpaku dan ia tau kalau Jimin melihat sekaligus mendengar pembicaraan mereka.
.
Hoseok sudah pergi dan Jimin masih tetap berada di tempatnya. Dapat ia lihat Yoongi juga tetap pada posisinya. Berkali-kali Jimin menolak hatinya untuk segera menghampiri Yoongi dan memeluknya. Untuk kesekian kalinya ia tidak dapat menolak dan ia pun langsung memeluk Yoongi dari belakang.
"J-jimin-ssi?"
"Maaf sudah lancang karena memeluk anda. Tapi saya tau kalau anda membutuhkan ini."
Jimin itu orang asing. Tetapi Yoongi tidak bisa menolak sentuhan yang diberikan oleh Jimin. Berkali-kali ia mencoba menolak, namun tubuh dan hatinya tidak melakukannya. Ia memilih menangis dalam diam. Begitu juga dengan Jimin.
.
Kembali ke masa sekarang...
Jimin menatap Yoongi yang menundukkan kepalanya pada stir mobil dan menangis. Ia hapus airmatanya yang baru menetes. Jimin menggenggam salah satu tangan Yoongi.
"Oppa! Inilah kekuatan cinta dan kasih sayang. Tidak mungkin aku tetap disini jika aku tidak memiliki perasaan itu kan?"
Perlahan Yoongi menatap Jimin dan tangannya yang digenggam secara bergantian.
"Kau tau, anak itu mengingatkanku kepada kebodohan terbesarku malam itu. Aku bingung dengan diriku sendiri. Aku tidak pernah memberikanmu malam pertama yang indah untukmu. Rasanya aku ingin mati saja."
"Kalau oppa ingin mati, bisakah anak kita menjadi alasanmu untuk tetap hidup?"
"Kenapa hanya anak kita saja? Kau juga harus menjadi alasanku untuk tetap hidup."
"Tolong katakan saja iya. Aku mohon."
Yoongi tersenyum begitu tulus. Tangannya mengusap pipi Jimin. "Iya. Aku janji." Jimin langsung menarik Yoongi untuk memeluknya. Jimin memejamkan matanya begitu erat karena sudah tidak bisa lagi menahan airmatanya.
"Wah! Lucu sekali eonni!" Jimin tampak mengelus hasil USG tersebut dengan jari-jari mungilnya. Berbanding terbalik dengan kakaknya yang tengah duduk di hadapannya.
"Kau yakin akan mempertahankannya?"
"Kenapa eonni bertanya seperti itu? Ibu bodoh mana yang mau menggugurkan anaknya? Aku sudah menunggu hal ini sejak lama eonni."
"Batalkan kali ini saja dan ikuti pengobatan."
"Tidak eonni! Kalau eonni tetap memaksaku, aku akan bunuh diri!"
Seokjin terdiam melihat ketegasan Jimin. Dia tidak percaya adiknya yang manja dan sangat kekanak-kanakan bisa menjadi ibu yang kuat seperti dihadapannya sekarang.
"Bagaimana jika aku benar-benar menggugurkan anak ini untuk menjalani pegobatan dan aku tetap tidak sembuh lalu mati? Siapa yang akan menemani Yoongi oppa?"
"Baiklah. Jika kau tidak merasakan sakit yang tidak biasa sebelum waktunya tiba, aku tidak akan melakukannya."
Jimin memejamkan matanya di pelukan Yoongi. Menghirup sepuas-puasnya aroma Yoongi yang mungkin suatu saat tidak bisa ia rasakan lagi.
"Mian oppa...Saranghae..."
"Nado saranghae Jiminnie..."
.
Lima bulan kemudian...
Yoongi tidak bisa duduk dengan tenang di depan ruang bersalin. Disana ada anak dan istrinya yang sedang antara hidup dan mati. Penyesalan karena meninggalkan Jimin saat tengah hamil besar kini sedang menghantuinya.
Yoongi membalas sapaan dari para atasannya dengan senyum yang dipaksakan. Bukan karena sifat dasarnya yang galak dan dingin, melainkan ia tengah bingung dengan perasaannya. Sampai ia sudah berada di ruangannya pun perasaan buruk itu tetap belum hilang. Hingga ponselnya berbunyi.
"Jiminnie? Kau tidak apa-apa kan?"
"O-op-p-a...s-sa...k-kit..."
"Jiminnie? Kau kenapa?"
"T-tolong...oppa..."
"Tahan Jiminnie! Jangan tutup telfonnya sampai aku datang." Yoongi langsung beranjak dari duduknya dengan ponselnya yang masih ditempelkan di telinga. Yoongi pun mulai melaju dengan mobilnya.
"Jiminnie? Kau masih disana?"
"I-iya oppa."
"Katakan! Apa yang sakit?"
"Oppa...S-saranghae..."
"ARGH!" Yoongi merasakan sakit yang teramat sangat. Diotaknya memutar bayang-bayangan serta suara-suara yang sama sekali tidak ia mengerti. Lalu gelap menghampirinya.
.
"Aku tidak menyukaimu! Kau jelek dan pendek!"
"Apa? Oppa juga jelek. Lihat saja kulitmu. Pucat seperti vampir! Galak juga!"
"Kau ini!"
...
"Jiminnie, aku sangat mencintaimu."
"Benarkah? Aku juga. Tapi, kenapa oppa mencintaiku?"
"Kau ini tidak romantis. Tapi ya sudahlah! Aku juga tidak tau kenapa aku bisa mencintai wanita yang masih kekanakkan sepertimu."
"Oppa!"
...
"Anak-anak disini sangat lucu ya oppa?"
"Iya. Sepertimu."
"Maksud oppa aku seperti anak-anak?"
"Iya. Cengeng, suka merajuk, dan..."
"Sudah! Sudah! Kita sudah pacaran dan oppa masih mengejekku."
"Tuh kan! Masih seperti anak-anak."
"Oppaaa!"
...
"Mau bertunangan denganku tidak?"
"Eh? Kenapa harus bertunangan dulu? Kenapa tidak menikah langsung?"
"Wah! Kau tidak sabar rupanya."
"Oppa!"
.
"Jiminnie!"
Yoongi terbangun dengan nafas yang terengah-engah. Ia terbangun di sebuah ruangan yang sangat ia yakini adalah ruangan kakak iparnya. Seokjin. Disana ada Namjoon.
"Yoongi? Kau tidak apa-apa?"
"Namjoon, aku ingat semuanya. Aku ingat tentang...Tapi bagaimana Jimin? Apa dia baik-baik saja?"
"Anakmu sangat cantik. Seperti Jimin."
"Aku tidak bertanya tentang itu! Argh!" Yoongi langsung turun dari ranjang dan berlari mengabaikan rasa sakit dikepalanya. Tubuhnya terhenti saat ruangan bersalin sudah kosong.
"Jiminnie!"
"Yoongi! Kenapa kau lari? Aku belum selesai bicara. Jimin ada di ruang operasi. Kondisinya semakin parah karena kanker rahim."
"K-kanker? APA YANG KAU KATAKAN? JIMIN TIDAK MUNGKIN SAKIT!TIDAK!" Yoongi jatuh terduduk di lantai rumah sakit dan menangis tanpa suara. Namjoon menghampirinya dan mengusap punggung Yoongi. "Aku belum melakukan yang terbaik sebagai suami. Kenapa dia harus seperti ini?"
"Jimin bisa saja sembuh kalau dia mau membatalkan kehamilannya dan menjalani pengobatan. Tapi dia tetap mempertahankan kehamilannya. Dia tidak mau melakukan itu karena dia tidak yakin akan sembuh. Jimin berfikir kalaupun dia pergi, setidaknya dia meninggalkan seseorang yang akan menemanimu. Anak kalian."
"Kalau oppa ingin mati, bisakah anak kita menjadi alasanmu untuk tetap hidup?"
"Kenapa hanya anak kita saja? Kau juga harus menjadi alasanku untuk tetap hidup."
"Tolong katakan saja iya. Aku mohon."
"Yoongi! Kau tidak apa-apa?" Seokjin sedari tadi mencari Yoongi yang tiba-tiba menghilang bersama suaminya.
"Noona, bagaimana Jimin? Dia baik-baik saja kan? NOONA! JAWAB!"
"Tidak. Dia tidak baik-baik saja dan dia sedang mencarimu."
.
Berbagai alat bantu kehidupan terpasang di tubuh Jimin. Dokter yang tadi menemani Jimin pun tersenyum mencoba menegarkan Yoongi sebelum pergi. Yoongi berjalan perlahan dengan menggendong anak mereka yang tengah terlelap. Jimin seakan-akan menyadarinya dan membuka mata lalu tersenyum.
"Oppa..."
"Kenapa kau menyembunyikannya?" Suara Yoongi tercekat karena menahan tangis dan satu tetes airmata lolos.
"Mian..."
"Aku sudah ingat semuanya."
"Aku sudah yakin hal itu akan terjadi oppa."
Yoongi membaringkan anak mereka disamping Jimin.
"Anakku...kau cantik sekali...maaf eomma tidak bisa menemanimu lebih lama. Tolong jaga appa ya? Jadilah anak yang baik dan banggakan appa. Eomma menyayangimu sayang."
Jimin mengecup kening anaknya dan dia juga mendapatkan kecupan didahi dari Yoongi. Begitu lama hingga airmata mereka berdua menetes bersamaan dengan garis yang berubah menjadi lurus di monitor.
"Jiminnie..."
.
"Eonni...Hiks..."
Hoseok yang sedari tadi mendengar pembicaraan Yoongi dan Jimin hanya bisa menangis dipelukkan Seokjin. Orangtua Jimin yang berada di sana langsung mengerti dan ibunya Jimin menangis dipelukkan suaminya. Sebenarnya Hoseok sudah berada di korea sejak pernikahan Jimin dan Yoongi. Ia bertemu dengan Yoongi setelah empat bulan pernikahan.
Waktu itu Hoseok meninggalkan Yoongi begitu saja dan karena hal itulah Yoongi pergi ke bar dan mabuk. Ia merasa dirinya sudah diabaikan dan melampiaskannya kepada Jimin.
"Hoseok? Kau kembali? Aku yakin kau akan kembali."
"Jangan memelukku! Kau sudah menikah."
"Aku memang sudah menikah. Tapi aku hanya mencintaimu."
PLAK!
"Jangan coba-coba sakiti Jimin!"
"Eonni..."
.
Jimin yang masih berumur tujuh tahun dan kakaknya yang berumur sembilan tahun tampak bahagia walaupun orangtuanya mengajak mereka ke sebuah panti asuhan. Bukan hanya karena untuk berbagi, melainkan karena ayah mereka juga berasal dari panti asuhan. Jimin dan kakaknya bermain secara terpisah dengan anak-anak. Merasa bosan, Jimin bermain sendirian dan berlari untuk sampai ke sebuah bangku taman. Namun karena sifat cerobohnya, dia tersandung kakinya sendiri dan lututnya pun berdarah.
"Sakit...hiks..."
Tiba-tiba seorang anak laki-laki datang menghampirinya dan meniup lukanya.
"Ini hanya luka goresan kecil. Jadi akan cepat sembuh."
"Gomawo oppa pucat."
"Hei! Namaku Yoongi! Min Yoongi!"
"Hiks..."
"Dasar cengeng!"
"Huwaaaa!"
"Yak! Jangan menangis. Aku minta maaf sudah memarahimu. Aku hanya idak suka kau memanggilku seperti itu."
"Oppa masih marah...Huwaaaa!"
Yoongi pun memeluk Jimin untuk menenangkannya. Ia tampak lega setelah Jimin berhenti menangis.
"Oppa baik. Mau jadi pacar chimchim tidak?"
"Kau masih kecil. Tau apa soal begituan."
"Bagaimana kalau aku sudah besar nanti?"
"TIDAK!"
"Hiks..."
"Iya! Iya! Aku mau! Tapi kita harus bertemu lagi. Saat itu kau dan aku sama-sama menjadi orang sukses."
"Janji?" Jimin mengancungkan jari kelingking mungilnya dan dibalas oleh Yoongi.
"Janji!"
Keluarga Jimin pun pulang saat malam hari. Yoongi berpura-pura tertidur agar tidak menangis di depan Jimin yang dia tidak tau kapan akan kembali lagi. Dia mengintip dari jendela kamarnya sambil menggenggam jepit berbentuk hati.
.
Delapan belas tahun kemudian...
"Aduh!"
Setelah dua puluh enam tahun hidupnya, Jimin masih saja ceroboh. Bisa-bisanya ia tersandung kakinya sendiri saat baru menutup pintu mobil. Tentu saja hal tersebut dilihat oleh dua orang karyawan dari butik kecilnya. Ia hanya tersenyum manis kepada dua orang karyawannya. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang dingin menerpa lututnya yang tergores.
"Kau siapa? Apa kau manusia?"
"Aku oppa pucatmu waktu itu."
"Y-yoongi o-oppa?"
"Iya."
Jimin ingin memeluk Yoongi namun ditahan. Yoongi tampak mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya dan memasangkannya di kepala Jimin.
"Aku selalu membawa ini setiap saat. Supaya aku bisa langsung memberikannya kepadamu."
Jimin berdiri dan melihat sesuatu yang menghiasi rambutnya di sebelah kanan.
"Oppaaa!"
Yoongi menerima pelukkan Jimin dan sedikit mengangkatnya lalu berputar. Senyuman bahagia terpancar dari bibir mereka. Tanpa mereka sadari akan ada lika-liku dalam perjalan cinta mereka.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC or END?
Terserah kepada para readers.
Untuk cerita "LOVE, PLEASE COMEBACK" masih dalam pengerjaan. Jadi jangan bosan nunggu ya?
Habisan author takut ntar ide cerita ini hilang. Ide yang di dapat waktu lagi nyuci baju. * nggak nanya
Kalau ada hal yang janggal, tulis di kolom review ya readers?
Bye bye…
