Karena, uh... Banyak banget godaan buat datang dan membuat fic di fandom ini. Dan saya udah lama banget ngidam bikin fanfic yang berhubungan dengan sejarah (dan pariwisata, ha ha).

Maaf, seenaknya. Dan salam kenal. Dan, yang ada di sini hanyalah drabble en oneshot-oneshot gaje― yang kebanyakan ngebahas negara kita tercinta saja. #gaploked

.

Pairing Nederland/Fem!Indonesia... untuk chapter pertama. BECAUSE OF REASONS.

Hint-hint seksual yang implisit hardcore. You've been warned.

Nama OC Fem!Indonesia saya: Kartika. (Walau nama manusia setiap nation ngga disinggung...) Gambarannya ada di galeri gambar akun Infantrum saya atau blog dengan nama 'Arinia D.'.

Enjoy!

.


Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya

|| Forgotten Memories: Untold Histories ||

T- Semi M

By: Arine

General/campur-aduk (buat chapter selanjutnya)

.

Summary: Lembar satu, Warm Winter. Satu ciuman dan pameran kepariwisataan. Batik dan lendir. Timur dan Barat. Ah, romansa.

.


.

Lembar satu:

- Warm Winter –

.

Ruang dome berfasilitas AC full sekalipun di luar musim dingin masih menguasai, sukses membuat melernya tidak kunjung berhenti. Sesekali ia akan bersin, bahkan membuang ingus di batik selempangnya, hanya untuk melihat cairan bening itu hilir mudik dengan menjijikkan ketika ia memainkan batiknya naik-turun seperti sedang menyeimbangkan timbangan. Lilin mungkin menjadi penyebab utama kenapa batik ini tahan air (atau ingus), hingga akhirnya ia usap saja cairan yang menggenang itu pada salah satu kain reklame yang mempromosikan pariwisata di negaranya, sekaligus menatap kiri-kanan berharap tidak ada satupun orang yang menyadari tindakan joroknya barusan.

Ia tanya salah satu penjaga stan apakah mereka memiliki sekotak penuh tisu, dan ia langsung bernapas lega ketika seorang gadis muda (yang cantik seksi bohai seperti dirinya) memberikan sekotak besar yang bebas ia bawa ke mana-mana. Ah, gadis baik. Akan ikut ia promosikan juga gadis ini nanti pada para pengunjung sekitar, pikirnya terlalu senang.


.

"Welkom op onze stand."

Geh, aksen Dutch-nya ternyata tidak memburuk juga. Sekalipun hampir 60 tahun ia tidak pernah menggunakan bahasa ini―untuk alasan ini-itu― dan baru kali ini ia mau ikut terbang ke Belanda (sekali lagi, Belanda) bersama beberapa manusia-manusia dari dinas Pariwisata dan direksi terkait, demi membawa misi suci menyebarkan informasi tentang betapa indahnya dirinya― ehem, negara yang ia personifikasikan, maksudnya, pada masyarakat Belanda dan orang-orang lain yang berada dalam gedung besar di mana Vakantibeurs dihelat setiap tahun oleh pemerintah Belanda, berlangsung.

Sempat ia spot personifikasi negara Thailand dan Vietnam berada tak jauh dari stan negaranya, dan begitu mereka bertatap mata, ia langsung melambaikan tangan.

"Thailand!" dan tak lupa juga, "Vietnam!" dengan nada yang tak kalah semangat.

Sementara Thailand segera membalas lambaian dan sapaannya dengan senyuman lembut dan lambaian tangan pula, Vietnam lebih memilih diam. Sekalipun raut rupa yang menghiasi wajahnya kini tidak bisa menutupi betapa senangnya ia bisa melihat personifikasi Asia Tenggara yang lain. Apalagi Indonesia. Ah, wajah imut-imut yang tidak kalah imut darinya itu selalu saja membuat Viet merasa Indonesia seperti adiknya sendiri, sekalipun nyata sekali, Nesia lebih dulu memproklamirkan kemerdekaan 2 minggu sebelum dia.

Demi kepraktisan, bahasa Inggris dalam percakapan berikut adalah wajib;

"Kalian berada di stan bagian mana? Aku tidak melihat kalian sejak tadi."
Senyum. "Stan kami di satu barisan yang sama di sebelah ujung sana, ana~ Ah, kau lagi-lagi membuka stan yang terlalu kecil, Nesia. Padahal objek wisatamu banyak sekali... ana~"

Protes. "Hei, itu bukan salahku! Boss dan anak buahnya terlalu pelit untuk membuka stan yang lebih besar." Menggembungkan pipi. "Lagipula, ini kali pertama aku benar-benar ikut pameran semacam ini."
"Kali pertama?" Dan kali pertama pula si gadis kuncir satu bercaping anyaman daun ini buka suara. "Sebelumnya kau tidak pernah ikut langsung? Sekalipun kau itu personifikasi?"

"Ya- yaahhh, kau tahulah." Memainkan kedua telunjuk. "Utrecht, Belanda. Selain itu, Januari, musim dingiiin," batik― yang entah di bagian mana ada bekas lendirnya― ia dekap kuat-kuat hingga menutupi dada dan sebagian lengan atasnya. "Aku paling tidak tahan musim dingin di Eropa seperti ini. Selain itu―"

Personifikasi Vietnam dan Thailand merepetisi dalam bentuk kalimat tanya. "Selain itu?"

Satu jawaban. Cukup satu jawaban, lengkap dengan lauk alis yang bertaut dan lalap salah satu sisi bibir melenceng ke samping serta sambal picikan mata yang memisit secara signifikan, "JABRIK TULIP." beserta menu full-course barusan mampu membuat kedua personifikasi ber-oh ria.

"Ana~... Kulihat orang satu itu berkeliling sedari tadi. Tidak tahu sedang mencari apa."
"Begitukah? Kalau begitu, aku harus menghindar darinya sesegera mungkin."
"Ah, dasar pendendam. Aku tahu orang itu memang sangat menyebalkan, tapi itu cerita lama, Nesia. Dan kau adalah sebuah negara sekarang."

"Ya, negara." Desahnya capai. "Dengan perekonomian yang bobrok dan SDA yang dikuras bangsa asing."

"Wah, itu urusan dalam negerimu." Statement yang tajam menusuk, Nona Vietnam ini.

"Su- sudahlah...! Entah kenapa, aku lapar. Kalian berdua sudah pada makan?"

"Wah, aku sudah, ana~ Maaf ya, Nesia."

"Aku juga. Baru saja, malahan." Vietnam menunjuk ke belakang. "Kami menyediakan nasi kotakan―"
Indonesia langsung bereaksi. "Kalau begitu, aku―!"

"―yang khusus buat orang-orang kami saja."

"...Itu rasis."

.


.

Butuh waktu untuk menemukan tempat makan di dome sebesar ini dan menyelesaikan kebutuhan primernya dengan segera, tidak peduli dengan tatapan banyak orang yang merasa aneh ketika ia dengan santainya menggunakan tangan untuk mencocol roti pada stew hangat di hadapannya serta kebiasaannya memegang gelas dengan tangan berminyak. Juga kelakukannya dalam table-manner yang terbilang... barbar. Ah, peduli setan. Selama tidak ada yang tahu bahwa ia adalah seorang personifikasi negara Indone―

"Ew, Asians..."

...Oke. Yang barusan, cukup menohok juga, sih. Jika tatapan maut darinya ini tidak mempan... Oh, orang yang nyebut-nyebut ras tadi langsung kagok, membuatnya tersenyum sinis sekalipun tidak ada yang melihat karena wilayah jangkauan mata. Dasar golongan Kaukasoid konvensial, ia orang Mongoloid, tahu. Bukan benar-benar Asia. Jangan sampai Kak Yao memarahinya (lagi) hanya gara-gara masalah kecil macam begini. Ia bisa habis dilempari dengan koleksi S&M Shinatty-nya nanti.

Ketika acara makannya selesai dan ia memutuskan untuk segera kembali ke stan miliknya, Nesia tidak sadar-sadar juga kalau ia telah tersesat padahal sudah tiga kali ia berputar-putar di daerah yang sama, di stan negara bagian Eropa barat. Membuat ia sedikit bergidik, karena firasatnya bermain pada wilayah-wilayah minus. Bagaimana jika―

Segera Nesia mengambil langkah menuju ke arah lain. Wilayah... Asia Timur! Kiku!

Walau ia perlu mengingat kembali bagaimana sejarah bermain Takdir pula di kehidupan sekarang. Lupa bahwa negara matahari terbit itu kawan baik orang yang sedang dihindarinya DAN penjajah yang sempat mampir di negaranya dan membuat ia dan rakyatnya hidup lebih melarat daripada saat orang itu yang menjajah.

Sehingga, yah, pertemuan a la komik cewek pun sama sekali tak terelakkan. Bertabrakan hingga sang tokoh wanita terjatuh? Sudah biasa, sih. Saat bersin menabrak seseorang tanpa sengaja dan tanpa sengaja pula sebagian ingusmu menempel pada syalnya? FYI, kau perlu dituntut untuk itu.

Ah, pertemuan yang biasa-biasa saja memang tidak akan menyenangkan, bukan begitu?

"Ah, ma―" dan Nesia pun membatu. Reaksi paling umum walaupun Author telah memodifikasi dengan susah payah kisah pertemuan ini supaya lebih membekas dihati. Dan disyal biru-putih. Yah, yang manapun jadi.

Walau begitu, ia masih juga tidak bisa beranjak pergi. Entah karena postur tinggi dan raut mengintimidasi yang dipasang orang ini atau... ingatan akan hari-hari lalu kembali membayanginya dan memberinya delusi yang akut.

Semuanya terlihat dari bagaimana ia menatap orang itu. Itu bukan pandangan penuh dengan keberanian seperti yang sering ia gembar-gemborkan jikalau ia bertemu dengan musuhnya lagi, bukan pula wajah berani mati ketika sudah kepepet di ujung tebing. Kedua alis setengah tebalnya melekuk ke bawah, wajahnya ngeri. Persis sikap anak SMP yang tertangkap om-om ganjen di jam setengah sebelas malam. Apalagi tangan kirinya kini telah digenggam kuat dan ia sendiri pun tidak tahu kapan kejadian itu terjadi. Yang ia tahu, tangannya hanya langsung ditarik, ia gelagapan, dan berusaha untuk lepas dengan mengibaskan tangan kirinya kuat-kuat.

"U―" Ia terus memikirkan kata 'lepas' dalam bahasa Belanda. "Uit!"
"Niet." Adalah balasan singkat yang penuh otoritasi dan dominasi. Walau itu sama sekali tidak meruntuhkan usahanya demi menyelamatkan diri. Arthur dan Alfred hanya menatap mereka dari stan masing-masing walau ia telah membuat kode raut wajah: PEDO-RAEP ALERT pada mereka. Urgh, dasar sekutu kejam. Tahu menyerang saja tapi tidak tahu orang lagi kesusahan. Dimana Thailand dan Vietnam disaat seperti ini? Bubuhan ASEAN, tolonggg...

"Ah," seorang anak lelaki dengan kepala yang dililit sorban krem berhenti mengunyah wafer yang disodorkan oleh anak lelaki lain― yang tampak lebih tua beberapa tahun darinya― sembari mengarahkan pandangan mengikuti pasangan yang seperti sedang lomba kawin lari. "Bukankah itu kak Nesia?" mulut mungilnya menyebut, hingga anak lelaki lain ikut menatap ke bagian yang sama.

"Mana?"
"Itu, yang ditarik oleh... Mister Nederland?"

Seketika toples bening berisi wafer putih jatuh.


"Ka... KAU!" Terengah-engah, sebab... sial, tubuh dan kakinya ini mungil, gila! Bagaimana bisa ia mengikuti langkah-langkah lebar personifikasi negara kedua favorit juara EURO CUP ini? Ah, untung saja ia terlatih mengejar layangan pada medan berat macam apapun.

Sementara ia menarik dan menghembuskan napas seperti manusia yang baru saja keluar dari dasar kolam, personifikasi negara Nederland (Ned, singkatnya), hanya menatapnya dengan pandangan yang tidak berubah juga. Begitu datar dan pekat. Seakan ingin menelan jiwanya jika saja mereka saling berpandangan lagi.

"Aku benci padamu."

Huh?

Apa- apa ia tidak salah dengar? Benci padanya? Seharusnya dia yang bilang begitu! Sudah menjajah selama 350 tahun dan dengan seenaknya memberikannya pada orang yang lebih kejam menjajah daripada dia― juga tidak pernah mau mengakui kedaulatannya sampai tahun 2005 kemarin!dan membuatnya lari-lari disaat-saat begini, lagi! Walau dingin masih sangat menusuk bagai ujung-ujung tumbuhan pinus, ia begitu khawatir jika ia akan berkeringat dan membuat belakang punggung serta pundak belakangnya basah. Berkeringat di musim dingin dengan baju tipis a la kebaya itu bahaya. Sangat berbahaya.

Keinginan memanggil ular naga benar-benar sangat besar. Sekalipun naga itu harus menyeberangi samudera dulu baru bisa sampai ke sini. Kalimantan pasti dengan senang hati meminjamkan ular naganya yang bermahkota cantik milik Kutai Kartanegara itu padanya, atau Lembuswana saja sekalian. Toto pasti akan cepat akrab dengannya.

"Seharusnya aku yang bilang begitu, brengsek."

Sekali lagi menarik napas, dan diagfragmanya kembali bekerja dengan normal. Anak-anak rambut terlepas dari cengkeraman jepit-jepit hitam kecil yang mengelilingi atas kepalanya layaknya bando, karena ia menolak untuk menggunakan teknik sasak. Sanggul kecil yang dengan apik menata rambut ikalnya di belakang juga mulai terhambur tak beraturan, hingga beberapa di antaranya keluar dan bertengger nyaman di kedua sisi pundaknya.

Jidat bercodet itu mengernyit. "Memang kau mengerti topik apa yang sedang kubicarakan?"
"Tidak tahu?" Jawaban langsung yang sangat ketus dan dirangkum dalam kalimat tanya yang sarkastik. "Dan tidak peduli. Aku benci kau. Kau benci aku. Win-win solution, mari saling berjauhan dan tidak usah bertemu pandang lagi. Untuk selamanya."

Baru saja ia hendak mengambil langkah ke kanan meninggalkan Ned, lagi-lagi lengannya ditarik. Hingga hampir membuatnya terpeleset lantai keramik di bawahnya ini. Ngilu muncul dan menjalar hingga lutut kaki dan membuat syarafnya melemah, sekalipun begitu, sempat saja ia melirik sebal pada Nederland, memberi pesan bahwa ia tidak akan membiarkan hal ini dan akan membalasnya nanti. Nanti.

Dan, apa-apaan ini? Menyudutkannya hingga punggungnya menyentuh dinding? Juga wajah sok yang mensejajarkan pandangan dengannya. Apa orang ini benar-benar berniat mengintimidasi?

'Urgh, kuatlah Nesia...' Sugesti menjalankan perannya begitu sempurna hingga ia bisa membalas tatap sama gahar. Dan jika saja, jika saja ia tidak sedang memakai bawahan sarung batik sekarang, selangkangan orang ini pasti akan langsung bermalfungsi karena sodokan lutut yang ia banggakan.

"Ekonomi negerimu mengalahkan ekonomi regionalku tahun lalu."

Uh? Peduli setan?

"Urusannya denganku? Itu urusan Boss dan bawahan-bawahannya, bukan urusanku."
"Tentu ada hubungannya. Kau personifikasi negara itu, bagaimanapun, Indies."
"...Sebut aku lagi dengan nama itu, dan kau akan ku'bakar', Compagnie."

Dan Nesia sama sekali tidak bercanda. Hanya dalam hitungan detik, aura di sekitarnya memanas, bahkan Nederland pun sedikit menjauh karenanya. Ia benci, benci setengah mati dengan nama kecil pemberian manusia jabrik penyuka tulip ini. Bahkan mendengarnya saja ia tidak sudi. Karena, begitu mendengar nama itu, yang seketika berada dalam bayangannya adalah banyaknya rakyatnya yang mati terbantai di seluruh daerah yang bagaikan urat nadi disetiap anggota tubuhnya.

Kemarahan itu memompa banyak emosi kelam yang coba ia kubur dalam senyuman dan tawa, dan beginikah semuanya harus berakhir? 'Membakar' orang ini dengan kekuatan terdalam yang ia terima dari banyak 'kakak-kakak'nya pada zaman kerajaan dulu? Juga kekuatan hasil sumbangan banyak dedemit halus yang menyatakan kedaulatannya dan hidup berdampingan dengan negaranya?

Matanya berkilat-kilat, seperti dapat berubah menjadi merah membara jika ia mau. Memukul paku pada kedua kaki Nederland hingga lelaki jangkung itu tidak bisa berkutik. Walau mungkin, sebenarnya apa yang lelaki itu tangkap jauh berbeda dengan apa yang ada dalam kepala Indonesia kini. Kedua matanya sedikit terbelalak, sebab aura panas itu semakin menguar begitu kuat dan seakan-akan, ada mantel api yang membungkus tubuh gadis mungil ini.

Lalu, kejadian selanjutnya hanyalah sebuah distorsi paradoks yang patut dipertanyakan bagaimana bisa beralih ke sana. Bibir yang melumat bibirnya ini begitu menekan, hingga melesakkan tubuhnya dan menempel di antara badan tinggi atletis yang setiap lekuknya tersembunyi oleh lapisan trench coat dan syal panjang, juga dinding batu kerikil di belakangnya. Kelengahan yang berakhir dengan susahnya ia mengambil napas, sebab sepasang bibir setan masih juga mengikat dan membuat mulutnya penuh. Lumpuh. Ia ingat lagi bagaimana personifikasi negara Perancis merayu wanita dan mencium wanita malang itu tepat di hadapannya, dan mungkin, satu gambaran itu menjadi satu-satunya perbandingan paling pas dengan gaya ciuman yang sedang Ned praktekkan padanya saat ini.

Hingga suatu asing menjalar masuk dan menyentuh uvulanya, dan ia pikir, baru kali ini ciuman rasanya seperti ingin muntah.

"NggGAH...!" tamparan mungkin belum cukup, tangannya juga langsung mendorong si pria Dutch hingga mundur perlahan menjauhinya. Refleks, tangan Nesia melipat waspada di atas dada, sebagai aksi pertama dari perempuan muda yang baru saja dicabuli. Liur...? Ew, jorok. Baru kali ini ia begini setelah tidak dalam sosok anak-anak berumur 5 tahun dulu sekali.

Sementara Ned... Ah, perlukah ia peduli? Tentu saja! Orang menjijikkan ini berani sekali...! Dan sekarang malah sok menjilati bibir dan ibu jarinya? Kurang ajar! Tunggu saja jika ia bisa menghubungi Bossnya setelah ini―

"Stew ayam dengan jahe, hm? Kau memang tidak bisa lepas dari rempah-rempah."
"Pelecehan seksual!" serunya dramatis.
"Ah, kau menatapku dengan pandangan seperti tadi, sih. Aku jadi tidak tahan." sungguh perkataan yang tak tahu susila.

Mulutnya kini menganga, lebar. Sangat lebar. Tidak tahu lagi harus berkata apa. Pelanggaran berat macam ini... tindakan asusila tingkat 3! Pemaksaan nafsu pribadi hingga merugikan orang lain. Argh! Seandainya saja sekarang mereka berada di negaranya, sudah ia tuntut pancung pria ini, walau hukuman pancung tidak ada sekalipun. Yang jika pun ada, bukan digunakan untuk kejahatan perdata macam ini.

"...Kau menjijikkan."
"Masalah buatmu?"

Ia tidak akan bisa menang. Tentu ia tidak akan bisa karena, orang arogan, siapa yang bisa melawan? Hanya bikin mereka tambah arogan. Ia rapikan sebisanya atasan bordirannya yang entah bagaimana miring sebelah. Matanya memicing lagi, penuh tuduhan.

"Manusia pedophil."

Tidak ada pengaruh banyak. Wajah itu tidak ada menunjukkan perubahan apapun. Marah, kesal, sedih, tidak ada. Hanya bibir sedatar kayu ulin serta alis yang sama datarnya. Tatapannya yang mengarah ke bawah, karena perbedaan tinggi mereka, juga sama sekali tidak membawa dendam. Tidak ada apapun, kosong.

Mungkin... mungkin. Jika ia boleh beralasan, mungkin hanya itulah yang paling ia benci dari pria jabrik satu ini. Stoic, tanpa ekspresi, tampak tidak menikmati sesuatu. Segalanya begitu membosankan sepertinya, dalam matanya. Tidak hari ini, tidak 6 tahun lalu, tidak pula 66 tahun sebelumnya. Akan selalu seperti itu. Tidak akan pernah berubah.

Telinganya mendesing. Suara langkah kaki, celoteh manusia, bunyi letup popcorn dalam tabung kaca. Berkumpul menjadi satu menciptakan harmoni yang hanya bisa ditangkap oleh sebagian orang, termasuk ia. Dari bunyi-bunyi tak beraturan, degup jantung yang tidak akan berhenti hingga ajal tiba, lalu―

Mungkin manusia wajib melakukan riset tentang bagaimana pengaruh dari keadaan sekitar secara kontinyu arbitrer bisa membuat seseorang memiliki keputusan nekat. Syal panjang yang terkadang mengingatkannya dengan personifikasi Russia ini ia genggam erat, tidak tahu lagi dimana bekas lendir ingus yang menyangkut di salah satu bagiannya, kembali menyatukan kedua bibir mereka dengan gegabah. Sepatu ber-hak empat sentinya tidak dapat membantu apapun, walau ia juga telah berusaha untuk berdiri dengan ujung telapak kaki. Hanya ketika kedua lengan kekar melingkari pinggangnya dan mengangkatnya semudah mengangkat karung kapas, tekanan dan permainan menggunakan lidah ia dapatkan dari angle yang pas. Lalu, seperti kawan ketiga yang baik, dinding unik dengan campuran batu kerikil sungai kembali menjadi penyeimbang antara tubuh mereka berdua.

"Aku― emm... benci padamu."
Bibir itu tersenyum tipis. "Mm-hmm."

Ciuman itu memelan, sebelum kembali menekan. Menghabiskan separuh oksigen yang masing-masing mereka hirup ketika jeda berpisah datang. Tidak ada harapan pula bagi sanggulnya kini yang telah lepas sempurna, hingga sebagian rambutnya yang terurai berada dalam genggaman pria ini. Dasar paedopil pemilik fetish rambut, entah apa asiknya mencengkeram rambut orang ketika sedang berciuman.

Well, ia juga tidak berhak berkata begitu, sih. Sebab, salah satu tangannya tengah menyusuri blonde jabrik Nederland tanpa ia sadari, bagaimanapun.

"Ka- ahh, kau masih juga tidak punya ekspresi, sama seperti dulu. Tidak punya teman tidur akhir-akhir ini, huh?"
"Yah," menyesuaikan diri, sekaligus menurunkan kepala tiga senti. "Teman tidurku yang biasanya telah direbut kembali oleh rakyatnya 66 tahun lalu, jadi aku tidak bisa melakukan apapun."
Pernyataan yang... segera membakar kedua pipi Nesia. "Ap―"

"A― APA YANG AWAK LAKUKAN PADA KAK NESIA?"

Satu rumpun tetaplah satu rumpun. Berbeda negara sekalipun. Solidaritas masih tetap ada. Walau alasannya kadang sangatlah hina.

Ah, romansa.

.

.


Pameran promosi Pariwisata Indonesia di Belanda tahun ini pada tanggal 10-15 Januari kemarin. Kali keempat dinas Pariwisata Indonesia ikut andil menarik wisatawan dalam Vakantiebeurs atau Bursa Wisata di kota Utrecht, Belanda.

Argh, bahasa Belanda ngawur. Tolong koreksinya.

Ada joke khas Tumblr dan mememe di sini. Ha ha ha.

Ceritanya suuuuccckkksss... Pembelaan diri; Sengaja nge-romance aja, jadi ngga papa jelek gini, kan? /plakplak

Kalian harus berterima kasih pada dua website ini; blog Wisata Bahari dan wisata melayu untuk fluffy-buehhuek romance ini. Saya kaget banget waktu liat kata 'hubungan emosional' antara Belanda-Indonesia, jadi kepikiran aneh-aneh coretmesumcoret soal musim dingin dan ciuman. Juga pameran pariwisata. Kebetulan kebaca beritanya di gugel.

...Semua yang ada di sini beritanya dapet di gugel. Yah, begitulah.

.

By the way, Erau di Tengarong, Kalimantan Timur, akan dihelat pas liburan anak-anak sekolah, yaitu bulan Juli tanggal 1-8. Ada yang berminat datang dan nonton sama-sama bareng saya? XD *pedebangetjadiorang /plak Ah, ayolah bagi yang kotanya deket. Saya kepengen banget punya kawan supaya bisa sama-sama ke sana. Ngga asik berangkat sama keluarga aja... TT^TT (Saya tinggal di Samarinda. Kamu?)

End notes: Thanks for reading!

-Ari

.

Samarinda, April 21th 2012