"Bagiku kebahagian yang sesungguhnya itu bukanlah harta yang berlimpah melainkan kenyamanan dan ketenangan."—Hyuuga Hinata—

.

"I wondered what a parent is like but if you were to say a parent is the one who produces life, then is a parent also the one who creates a reason for living?"—Naruto Namikaze—

.

"Mereka bilang kebahagian itu adalah saat di mana kita bisa membuat orang tua bangga dan bahagia, tetapi haruskah aku mengorbankan cita-citaku sendiri hanya untuk mewujudkan hal itu? Dan kenapa aku malah merasa tertekan?"—Namikaze Menma—

.

.

You are My Sunshine

Terinspirasi dari Drama Korea 'The Heirs'

DISCLAIMER : NARUTO punya MASASHI KISHIMOTO

Genre: Drama, Hurt/Comfort, Romance, Family.

Warning: AU, OOC. Abal, Mainstream, typo(s), dll. Don't like? Don't read!

.

.

Chapter 1

.

Saat kau berusia 17 tahun, terkadang kau ingin melukai dirimu sendiri. Haruskah aku menggambar garis putih itu juga?

Hari ini seperti biasa aku berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Dan lagi-lagi aku melihat ada seseorang yang menggambar sesuatu yang sering digambar oleh polisi setiap kali terjadi sebuah kasus pembunuhan, 'Gambar garis putih mayat korban'. Aku tidak tahu apa artinya gambar itu. Entah hal itu melukiskan bahwa orang yang menggambar itu ingin mati bunuh diri dengan cara menjatuhkan tubuhnya sendiri dari atap gedung sekolah atau apa? Aku tidak tahu! Tapi hari ini akhirnya aku sadar bahwa orang yang menggambar itu setiap hari bukanlah satu orang. Tidak heran bentuknya selalu berbeda-beda karena yang menggambarnya pun adalah orang yang berbeda.

Suatu hari aku melihat yang menggambarnya adalah Shion-san. Hari berikutnya adalah Sasuke-kun. Kemarin yang menggambarnya adalah sahabatku, Tenten. Dan hari ini yang menggambarnya adalah saudara kembar dari seseorang yang kusukai sejak pertama aku memulai debut SMA-ku. Akhirnya aku tahu bahwa gambar ini dibuat oleh orang-orang seperti kami. Orang-orang yang menyedihkan. Orang-orang dari kalangan atas. Awalnya kupikir orang yang menggambar itu setiap hari adalah murid-murid yang sering di bully, tapi ternyata dugaanku itu salah.

Aku tidak begitu mengerti apa masalah pribadi mereka, tapi terkadang aku juga bisa memahami perasaan mereka. Mereka sama sepertiku. Banyak orang-orang yang iri pada kami. Mereka menganggap kami beruntung karena terlahir dari keluarga kaya raya, tapi sebaliknya aku justru iri pada orang-orang kelas menengah-kebawah. Contohnya saja pada Sakura-san dan Ino-san. Mereka memang dari kalangan bawah. Mereka bisa bersekolah di sekolah elite ini karena mendapatkan beasiswa, tetapi mereka sering sekali tersenyum dan tertawa seakan mereka bahagia meskipun terlahir sebagai pewaris kemiskinan.

Di sekolah ini sangat kentara perbedaan diantara orang-orang sepertiku dan mereka. Ada empat kasta di sekolah ini;

Kelas pertama, Pewaris Grup Bisnis. Singkatnya Putera/Puteri konglomerat yang otomatis akan mewarisi bisnis keluarga. Contohnya: Aku (Hyuuga Hinata), Namikaze Menma, dan Uchiha Sasuke.

Kelas kedua, Grup Pewaris Saham. Mereka tidak akan mewarisi bisnis keluarga, tapi mereka sudah menjadi pemegang saham besar. Contohnya: Akazawa Shion, Namikaze Naruto, Sabaku Gaara, dan Inuzuka Kiba.

Kelas ketiga, Grup Pewaris Kehormatan; Pejabat/Politikus, Hakim Mahkamah Agung, dan Pemilik Firma Hukum. Anak-anak dari keluarga seperti itu, contohnya: Yan Tenten, Nara Shikamaru, Shimura Sai, dan Akimichi Chouji.

Dan kelas keempat, Grup Kesejahteraan Sosial. Orang-orang seperti Yamanaka Ino, Haruno Sakura, dan Rock Lee. Murid-murid yang mendapatkan beasiswa di bidang prestasi atau olahraga.

Di sekolah ini tidak ada yang namanya teman, yang ada hanyalah koneksi. Meskipun begitu, bagiku Tenten adalah sahabatku. Kami dekat bukan karena menginginkan koneksi atau saling memanfaatkan, tetapi kami memang berteman sejak kecil. Aku memang tidak memiliki banyak teman seperti Haruno Sakura atau Yamanaka Ino, tapi itu jauh lebih baik daripada aku punya banyak teman yang tujuannya hanya memanfaatkanku atau ketenaran keluargaku saja. Di dunia ini banyak sekali orang-orang yang seperti itu, orang-orang yang tidak tulus menjalin hubungan dengan keluarga kami.

Aku terus berjalan hingga akhirnya sampailah aku di ruang lokers. Setelah mengambil buku-buku milikku dari dalam loker dan memasukkannya ke dalam tas, aku pun duduk di salah satu bangku panjang untuk membaca salah satu buku pelajaran hari ini. Di sekolah ini kebiasaan menindas seseorang juga sering terjadi, contohnya saja Namikaze Menma dan teman-temannya yang senang sekali menindas murid-murid dari kelas keempat.

"Heh, Rock Lee! Bagaimana PR kami semua? Sudah kau kerjakan?" tanya Namikaze Menma sambil mengurung Rock Lee dengan kedua tangannya hingga punggung Rock Lee menempel di loker.

Merasa tergganggu dengan suara kerasnya, aku pun terpaksa mengalihkan pandanganku dari bukuku hingga akhirnya mataku terfokus pada kejadian di depanku. Namikaze Menma memang tidak sopan, bahkan pada seniornya sendiri, padahal Lee-senpai sudah kelas tiga dan Menma-kun sama sepertiku yang baru duduk di kelas dua.

"Kenapa harus aku yang mengerjakannya? Mengapa kau tidak menyontek pada Uchiha-san saja?"

"Aku juga belum mengerjakan semua PR-ku karena malas. Itulah sebabnya kami menyuruh kau untuk mengerjakannya, sen-pai!" sambung Uchiha Sasuke dengan penuh penekanan pada kata 'senpai'.

"Aku juga memiliki banyak tugas sekolah, apalagi dalam hitungan kurang dari setahun aku harus mengikuti Ujian Akhir dan mempersiapkan ujian masuk Universitas. Aku tidak punya waktu untuk memanjakan kalian!" tegas Lee-senpai.

"Ho-ho, berani sekali kau pada kami! Juugo, Suigetsu, beri dia pelajaran!" perintah Sasuke-kun.

Dan akhirnya sudah bisa di tebak. Lee-senpai babak belur dikeroyok oleh Juugo-san dan Suigetsu-san hingga Lee-senpai yang awalnya mencoba untuk melawan, pada akhirnya kalah dan tersungkur ke lantai, bahkan ia sempat muntah darah akibat pukulan Juugo-san yang sepertinya mengenai ulu hatinya.

"OHOK!"

Menma-kun tertawa terbahak-bahak, sedangkan Sasuke-kun menyeringai sinis. Begitu pula dengan Suigetsu-san yang sepertinya merasa sangat puas dengan pekerjaannya, sementara Juugo-san masih tetap berwajah datar tanpa ekspresi. Lee-senpai hanya meringkuk di lantai yang dingin sambil meringis kesakitan. Peringatan! Jangan pernah berani melawan Bad Boys macam Sasuke-kun Cs!

Menurutku, mereka berempat dan juga murid-murid lain yang kelakuannya sama seperti mereka sangat pantas untuk diberi pelajaran. Mereka bahkan pantas untuk dibenci. Meskipun aku sama seperti mereka (termasuk dari kalangan atas), aku tidak suka perbuatan rendahan dan pengecut seperti itu. Itulah sebabnya aku tidak pernah melakukannya. Perbuatan itu menggambarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang tak berpendidikkan, tetapi mungkin itu juga adalah hal yang wajar. Mereka seperti itu karena kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Mereka sepertinya sudah terlalu jenuh dengan kehidupannya yang sangat diatur oleh orang tua. Itu adalah salah satu cara mereka untuk melampiaskan rasa frustasinya.

Aku juga sebenarnya sama frustasinya dengan mereka. Aku benci hidupku. Aku benci menjadi Heiress Hyuuga. Hanya karena aku adalah anak pertama, Otou-sama menunjukku sebagai pewaris bisnis keluarga, sedangkan adikku Hanabi (yang usianya lebih muda 5 tahun dariku) dan Hyuuga Neji (saudara sepupuku), mereka tidak akan mewarisi bisnis keluarga tetapi mereka sudah menjadi pemegang saham besar, sama seperti orang yang aku sukai itu, 'Namikaze Naruto'—saudara kembar Namikaze Menma—. Aku heran, tidak bisakah ayah menunjuk Neji-Niisan (putera dari mendiang adik kembarnya) yang diberi kepercayaan untuk menjadi pewaris? Aku juga muak dengan kehidupan monoton seperti ini. Aku sendiri juga mempunyai cita-cita, tapi Ayahku selalu saja mengaturku. Aku tidak pernah mendapatkan izin untuk melakukan sesuatu yang kusukai ataupun sesuatu yang kuinginkan.

.

"Kalian semua keterlaluan! Kenapa kalian jahat sekali?" kata Haruno Sakura yang baru saja tiba di ruang lokers bersama Yamanaka Ino. Sakura-san langsung membantu Lee-senpai berdiri. Dia terlihat sangat marah.

"Sa..Sa-kura, se-sebaiknya kita jangan mencari-cari masalah dengan mereka!" tegur Ino-san dengan tubuh gemetar. Gadis itu terlihat ketakutan karena Sasuke-kun dan yang lainnya langsung melayangkan deathglare padanya dan Sakura-san. Di sekolah ini tidak ada yang tidak kenal dengan Sasuke-kun Cs. Mereka adalah murid-murid yang paling ditakuti karena kekuasaan dan kekejamannya.

Sakura-san tidak mempedulikan teguran Ino-san dan malah semakin menyulut emosi mereka, "Kenapa kalian semua begitu angkuh? Dengar baik-baik! Uang itu bukanlah segalanya. Ketenaran dan kekayaan tidak menjamin kebahagiaan. Lagi pula kalian harusnya membanggakan harta kalian sendiri, bukan harta orang tua kalian!" teriak Sakura-san.

Ucapannya itu benar-benar menohok kami. Yang dikatakannya benar, meskipun kami memiliki banyak harta dan kekuasaan… hal itu tak lantas membuat kami merasa bahagia. Kami semua tertekan sampai rasanya ingin lari sejauh mungkin atau melukai diri sendiri. Kami merasa kesepian. Kami merasa hampa. Rasanya hidupku begitu abu-abu, tak berwarna. Kurasa kebahagiaan yang sesungguhnya itu adalah kenyaman dan ketenangan.

"Cih, kau membuat hatiku sakit!" hardik Sasuke-kun dengan nada yang dingin sambil menatap Sakura-san dengan tatapan tertajam yang pernah dia miliki.

Benar Sakura-san, ucapanmu itu melukai kami!

"Lalu apa yang menurutmu penting dan bisa membuatmu bahagia? Cinta? Kesetiaan? Omong kosong!" sambung Menma-kun dengan nada dingin yang tidak kalah tajam dari Sasuke-kun.

"Kuberitahu kau, Haruno-san! KAU ITU MU-NA-FIK! Kau pikir masih ada yang gratis di dunia ini? Harta tidak menjamin kebahagiaan, Fufufu… lucu sekali! Tanpa uang kau tidak akan bisa bertahan hidup!" sambung Suigetsu-san.

Ya, Suigetsu-san benar. Uang memang bukanlah segalanya, tetapi uang itu adalah sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang dibutuhkan semua orang. Semua orang pasti membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Uang pula yang membuatku merasa lebih percaya diri. Uang bukan hanya sekedar asset, tetapi juga kebutuhan dan harga diri. Aku merasa jauh lebih percaya diri dengan mengenakan barang-barang mewah yang bermerk terkenal sekaligus mahal.

"Sasuke, apa yang harus kulakukan pada gadis menyebalkan ini?" tanya Juugo-san.

Sakura-san tetap menatap mereka semua dengan berani, seperti tidak ada perasaan takut sedikitpun di dalam hatinya. Ino-san masih terus membujuk Sakura-san untuk segera pergi. Lee-senpai masih nampak menahan sakit dari luka-lukanya yang belum diobati. Sudut bibirnya yang berdarah juga sepertinya masih terasa perih.

"Aku bisa saja langsung menghancurkan hidupnya beserta keluarganya dengan kekuasaan Uchiha. Yah, tapi hari ini aku sedang berbaik hati. Akan kusiksa dia secara perlahan. Permalukan dia di depan orang banyak, Juugo!"

Hampir semua murid-murid sudah berkerumun melihat keributan yang terjadi, tak terkecuali Akazawa Shion Cs yang juga senang menindas murid-murid dari kelas keempat sama seperti Sasuke-kun Cs. Juugo-san semakin mendekat pada Sakura-san dan mulai melepas seragam Sakura-san dengan paksa. Suigetsu-san mengunci gerakkan Sakura-san sambil menyeringai. Juugo-san mulai membuka dasi dan juga blazer Sakura-san. Sakura-san terus meronta tetapi Juugo-san langsung menampar Sakura-san dengan sangat keras hingga pipi mulus Sakura-san membiru dan sudut bibirnya berdarah. Lee-senpai yang hendak menolong Sakura-san malah ditendang oleh Sasuke-kun hingga tubuh itu melayang lalu membentur barisan lokers yang keras. Lee-senpai mengerang kesakitan dan kembali memuntahkan darah segar, bahkan kali ini dia sampai tak sadarkan diri. Ino-san tidak bisa berbuat apa-apa, dia terlalu takut. Namun Ino-san tetap memantapkan hatinya. Saat dia hendak membela Sakura-san, Menma-kun malah mendorongnya hingga Ino-san tersungkur ke lantai dan meringis sakit.

"Jangan ikut campur!" ancam Menma-kun dengan nada dingin dan wajah datar tanpa ekspresi. Ino-san langsung menangis atas perlakuan Menma-kun padanya.

"Aku menyesal karena pernah menyukai Sasuke-kun sama seperti Sakura. Dan aku juga membencimu Menma-kun, kupikir kau tidak sejahat Sasuke-kun." Kata Ino-san ditengah isak tangisnya. Ekspresi Menma-kun langsung berubah sendu.

Sementara itu orang-orang yang berkerumun hanya mematung di tempatnya. Ada beberapa orang yang menolong tetapi takut dengan Sasuke-kun Cs yang memang termask grup pertama di sekolah ini. Ada juga yang malah nampak menikmati pemandangan di depan mereka bagaikan sedang melihat sebuah acara hiburan di televisi. Dan ada juga orang-orang yang saling berbisik satu sama lain. Aku sendiri sama sekali tidak tertarik untuk terlibat, maka aku hanya diam memperhatikan dari jauh.

Juugo-san sudah mulai membuka kancing kemeja Sakura-san satu per satu dan Sasuke-kun hanya menyeringai. Sakura-san masih terus meronta hingga akhirnya Juugo-san merobek baju Sakura-san. Kini Sakura-san sudah menangis karena kemeja putihnya yang compang-camping sudah terbuka hingga akhirnya memperlihatkan bagian atas tubuhnya.

Ada banyak ekspresi yang tercipta diantara para siswa/siswi yang berkerumun saat melihat tubuh Sakura-san yang setengah telanjang itu. Diantara para murid lelaki cukup banyak juga yang mimisan karena tubuh Sakura dengan pakaian dalam itu terekpos. Dan yang lebih jahat banyak juga diantara mereka yang memotret dan merekam kejadian tersebut dengan ponselnya. Tangis Ino-san semakin kencang. Dia merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk sahabatnya. Dia merasa tidak berguna.

"Kumohon hentikan, Sasuke-kun! Jangan sakiti Sakura lagi!" mohon Ino-san.

"Huh! Kenapa aku harus? Kau pikir kau itu siapa? Berani sekali memerintahku! Jika kau ingin kami berhenti, maka berlututlah!" balas Sasuke-kun dengam nada sinis.

"A-apa?"

"Kenapa? Kau tidak mau?" sambung Menma-kun.

"Menma! Hentikan!" teriak seseorang yang baru saja tiba di ruang lokers dengan diikuti teman-temannya.

Semua orang yang berkerumun menoleh ke arah sumber suara. Itu adalah Naruto-kun. Di belakangnya ada Shikamaru-san, Kiba-kun, dan Chouji-san.

"Kiba, tolonglah Ino!" kata Naruto-kun. Kiba-kun mengangguk mengerti. Ia pun lekas menghampiri Ino-san dan membantunya berdiri.

Naruto-kun sendiri bergegas menghampiri Sakura-san. Ia mendorong Juugo-san. Menarik Sakura-san dari tangan Suigetsu-san dan langsung membuka blazernya yang kemudian ia pasangkan ke tubuh Sakura-san yang sudah gemetar. Sakura-san sendiri masih terus menangis. Ia telah dipermalukan di depan orang banyak. Ia pasti merasa begitu sakit hati.

"Harusnya sejak dulu aku menyukaimu saja! Hiikz… Hiikz… Kenapa dengan bodohnya aku malah menyukai Sasuke-kun, hiikz…"

Naruto-kun menghapus air mata di pipi Sakura-san dan memeluknya dengan lembut. "Kiba, bawa Ino ke infirmary! Chouji, kau bawa Lee-senpai! Dan Shikamaru, tolong bawa Sakura-chan!"

Ketiga orang itu langsung menurut meskipun Shikamaru-san sempat menggerutu 'merepotkan'. "Dan kalian semua, BUBAR!" teriak Naruto-kun.

Semua orang yang berkerumun pun lekas pergi. Hanya tersisa aku yang sejak tadi hanya diam, tak beranjak sedikit pun dari kursi yang aku duduki sambil berpura-pura membaca buku.

"Kau ini kenapa? Sudah kubilang, jangan pernah menindas orang lain lagi!" kata Naruto-kun sambil memandang saudara kembarnya dengan tatapan kecewa.

"Sudah kubilang, itu untuk hiburan!" jawab Menma-kun santai.

"Aku tahu kau sedang tertekan. Aku tahu kau tidak suka dengan keputusan Otou-san. Tapi kau tidak perlu melampiaskan rasa frustasimu dengan cara seperti ini! Apa menyakiti orang lain itu sebegitu menyenangkannya?"

Ya, itulah yang kusukai dari Naruto-kun. Ia bukan hanya tampan dan keren tetapi juga baik hati. Ia berbeda dari mereka semua.

"Kau bicara begitu karena kau tidak perlu menanggung beban berat sebagai pewaris bisnis keluarga! Meski kau sudah menjadi pemegang saham terbesar, kau tidak perlu menjadi pengganti Otou-san, karena akulah yang terlahir lebih dulu darimu. Kau bebas melakukan apapun yang kau inginkan! Ini tidak adil… hanya karena kau terlahir sepuluh menit kemudian, akulah yang harus menanggung Mahkota Namikaze."

"Kau tahu sendiri, bukan hanya itu alasannya, kan? Jika kau memang tidak suka, kenapa kau tidak bicara langsung pada Otou-san?!"

"Kau juga tahu kalau hal itu tidak pernah berhasil!"

"Kenapa? Karena orang tua adalah orang yang memberimu hidup? Apa alasan untuk hidup juga diberikan oleh mereka? Itukah menurutmu?"

"Tapi kenyataannya memang seperti itu! Takdir kita sudah ditentukan sejak kita lahir! Meskipun aku sudah mencoba untuk merubah nasib, hal itu tidak pernah berhasil! Bukankah hal itu juga berlaku untukmu?" balas Menma-kun dengan mata berkaca-kaca.

"Jadi itu alasannya? Itulah sebabnya kau menggambar garis putih korban pagi ini? Kau ingin bunuh diri karena tidak bisa membangkang Otou-san dan Okaa-san?"

"Ba-bagaimana kau tahu kalau pagi ini aku…."

"Aku tidak sengaja melihatmu saat berada di atap. Tapi Menma, hari ini kau sudah benar-benar keterlaluan! Kau juga sudah melukai dirimu sendiri dengan membuat Ino membencimu sekarang. Aku tahu kau sudah menyukainya sejak lama."

"SIALAN! Kenapa kau begitu mengenalku? Huh!" teriak Menma-kun sambil mencengkram kerah seragam Naruto-kun.

"Aku mengenalmu lebih dari kau mengenali dirimu sendiri. Mungkin inilah yang disebut dengan twin bond?!" kata Naruto-kun sambil tersenyum. Menma-kun tidak bisa menahan perasaannya lagi melihat senyuman lembut itu. Air mata jatuh membasahi pipinya dan dengan perlahan ia pun melepaskan cengkraman tangannya pada Naruto-kun.

"Dan Sasuke, kau juga sudah sangat keterlaluan! Apa kau tidak tahu kalau sejak dulu Sakura-chan itu mencintaimu?"

"Itu karena gadis itu sudah membuat hatiku sakit. Aku tidak peduli padanya. Aku membencinya!" tegas Sasuke-kun.

"Tapi menyakiti seorang gadis itu adalah perbuatan rendahan!"

"Kau?!" Sasuke-kun terlihat sangat marah, bahkan Juugo-san dan Suigetsu-san sudah bersiap-siap untuk menghajar Naruto-kun.

Sasuke-kun memberi isyarat tangan agar mereka berdua diam, lalu Sasuke-kun menencoba menendang Naruto-kun. Naruto-kun berhasil menghindar. Sasuke-kun tidak menyerah dan melayangkan pukulannya pada rahang Naruto-kun tetapi Naruto-kun langsung memelintir tangan Sasuke-kun ke belakang. Sasuke-kun meringis namun ia juga tidak mau kalah. Akhirnya kali ini Sasuke-kun berhasil menendang dada Naruto-kun hingga tubuh Naruto-kun terdorong ke belakang dan Naruto-kun terduduk di lantai.

Aku langsung berdiri karena kaget. Naruto-kun terbatuk pelan dan memuntahkan darah.

'Cough.. cough… Ohok!'

"Apa yang kau lakukan,teme?" teriak Menma-kun yang langsung berlari menghampiri Naruto-kun.

Tiga orang guru datang. Mereka langsung menghampiri anak-anak itu dan meminta mereka semua untuk ikut ke ruang guru.

"Hinata, kau juga harus ikut kami!" perintah Kurenai-sensei. Aku yakin dia pasti akan bertanya kenapa aku hanya diam saja dan tidak melerai perkelahian mereka.

You are My Sunshine

.

.

Author POV

.

"KENAPA KAU BERKELAHI? KENAPA?" teriak Kushina meminta penjelasan pada Naruto.

Pada saat jam makan siang beberapa jam yang lalu, Kushina menerima telepon dari Miroku-san yang merupakan kepala sekolah sekaligus pemilik sekolah elite tersebut. Nagareboshi High School merupakan bagian dari bisnis Akazawa Group. Dan gara-gara perkelahian antara Sasuke Vs Naruto tersebut, keduanya dihukum untuk tidak masuk sekolah selama dua minggu.

"Aku tidak bermaksud untuk berkelahi dengannya, Okaa-san!"

"Gara-gara perbuatanmu itu kami harus meminta maaf secara langsung pada keluarga Uchiha. Kau sudah tahu, kan, kalau Sasuke-kun itu adalah pewaris Uchiha Group? Jadi kau harus baik-baik dengannya! Bagaimana kalau gara-gara masalah ini, di masa depan Uchiha Group tidak mau bekerja sama dengan kita lagi?" sambung Minato.

"Sudahlah Otou-san, tidak perlu kau perpanjang masalah sepele ini! Saat itu Sasuke hanya sedang marah. Dia tidak akan mencampuri urusan pribadinya dengan urusan bisnis, toh kalau kakaknya tidak meninggal karena penyakit yang di deritanya… dia tidak mungkin menjadi pewaris!"sahut Menma.

"Kenapa kau yang bicara? Aku tak menyuruhmu untuk bicara! Satu lagi, siapkan dirimu untuk mempelajari bisnis keluarga mulai esok hari. Aku sudah meminta orang kepercayaanku untuk mengajarimu tentang manajemen dan lain sebagainya."

Kushina memejamkan matanya. Ia menghela nafas panjang. Masalah satu belum selesai, suaminya malah sudah mengganti topik pembicaraan.

"Aku sudah membuat keputusan. Kaulah yang akan menjadi pewarisku. Aku juga sudah menjadikan Naruto sebagai pemegang saham terbesar karena aku tidak ingin Naruto tidak mendapatkan apa-apa."

"Otou-san, kenapa harus aku? Kenapa bukan Naruto saja yang kau suruh untuk melanjutkan bisnis Namikaze Group?"

"Itu karena kau adalah putera pertamaku!"

"Putera pertama apa? Kami hanya terlahir dengan selisih waktu 10 menit saja!"

"Tapi kaulah yang paling bisa aku andalkan. Kau tahu sendiri apa kelemahannya?" sahut Minato sambil melirik Naruto sekilas.

"Cih!" Menma memalingkan wajahnya sedangkan Naruto hanya menunduk diam.

"Dan Naruto, meski kau sudah menjadi pemegang saham terbesar… Itu tidaklah cukup untuk menjadi jaminanmu di masa depan. Maka dari itu, kami akan menjodohkanmu dengan Hyuuga Hinata! Besok malam kita akan mengadakan pertemuan keluarga sekaligus pesta pertunangan kalian!"

"Huh! Apa-apaan itu? Aku bahkan baru menginjak usia 17 tahun! Kenapa aku harus bertunangan dengan Heiress Hyuuga? Aku tidak menyukainya!" tegas Naruto.

"Dulu aku dan ibumu juga tidak saling mencintai." Kata Minato.

Kushina menghela nafas dan melanjutkan, "Ya, kami berdua menikah untuk kepentingan koneksi. Ayahmu menikah denganku agar dia bisa mempertahankan bisnis Namikaze Group yang selama ini telah dipertahankan mati-matian oleh Ayahnya. Sedangkan aku, setuju untuk menikah dengannya karena orang tuaku yang menginginkannya."

"Hari itu bisnis keluarga kita hampir bangkrut dan satu-satunya cara untuk mempertahankan bisnis tersebut adalah dengan bekerja sama dengan Uzumaki Group. Bisnis ini adalah bisnis yang di mulai dari nol oleh mendiang Kakekmu. Jika kita kehilangan segalanya, usaha Kakekmu seumur hidupnya akan sia-sia!" sambung Minato.

"Meski pernikahan kami berawal dari sebuah perjodohan… seiring berjalanannya waktu, kami akhirnya bisa saling mencintai. Kau pasti begitu juga suatu hari nanti." Lanjut Kushina sambil tersenyum.

"Tapi aku menyukai gadis lain!"

"Dari kelas mana dia? Kalau dia dari kelas rendahan, lupakan dia! Lagipula memangnya kau sanggup dengan hanya makan cinta apa? Dari ketiga pilihan ini; Kekayaan, ketenaran, dan cinta… apa kau akan memilih yang ketiga? Ckck, jangan konyol!" ucap Minato.

"Tapi setidaknya cinta itu akan membuatmu bahagia."

"Haha, dasar bocah! Kau terlalu naïf, nak! Di zaman sekarang uang adalah segalanya. Kekayaan adalah yang terpenting!" sanggah Minato.

"Kesehatanlah sesuatu yang paling penting di dunia ini. Dan aku sudah merasakannya sendiri, Otou-san."

"Kalau begitu bukankah sudah jelas? Kau butuh uang untuk tetap sehat! Jadi kau harus menurut padaku!"

"Doushite?" tanya Naruto. Kushina hanya terdiam, tidak tahu harus berbuat apa? Begitu pula dengan Menma. Rasanya ia ingin mati.

"Apa aku dan Menma harus seperti ini selamanya? Menurut padamu? Tidak pernah diijinkan untuk melakukan apa yang kami inginkan sekaligus kami sukai? Apa Otou-san bahagia melihat kami tertekan seperti ini? Entah sudah berapa kali Menma mencoba untuk melukai dirinya sendiri…"

Menma menunduk menatap lantai marmer yang dipijaknya. Ia mengigit bibir bawahnya. Ya, dia memang sudah beberapa kali mencoba untuk membunuh dirinya sendiri sampai-sampai suatu hari Ayahnya membawanya untuk menemui dokter psikiater.

"Naruto, apa yang aku lakukan ini semuanya adalah untuk kebaikan kalian berdua! Kau tidak tahu betapa kejamnya dunia ini. Kau tidak tahu ada orang-orang di luar sana yang mencoba untuk merebut posisiku sekarang. Untuk mencapai suatu tujuan diperlukan sebuah pengorbanan."

Kushina menatap kedua puteranya dan melanjutkan, "Ini juga demi mempertahankan bisnis keluarga kita. Ayahmu tidak bisa meneruskannya sendiri. Jika kita jatuh dan terinjak, bukan hanya kita yang akan menderita tetapi juga orang lain! Semua bawahan kita. Semua orang yang bekerja di bawah naungan bisnis ini. Mereka juga harus tetap bekerja demi kelangsungan hidup mereka. Kalian tidak boleh egois!"

"Pengorbanan yang kalian maksud itu adalah kebahagiaan kami, benar begitu?"

"Ya." jawab Minato.

"Kau kejam, Otou-san!"

"Ayahmu hanya memintamu untuk menikah dengan Hinata-chan! Apa yang sulit dari itu? Dan Menma, kau adalah harapan kami… ayahmu dia—"

"Jangan Kushina! Jangan katakan!" potong Minato.

Kushina mulai menangis, "Tapi…"

"Suatu hari nanti mereka pasti akan mengerti!" kata Minato sambil memeluk Kushina lalu mengecup keningnya.

"Ada apa? Apa kalian menyembunyikan sesuatu?" kata Menma yang akhirnya kembali bersuara.

"…."

"Apa kau sakit, Otou-san? Itulah sebabnya kau begitu tergesa-gesa?" tanya Menma pula sambil terus memandang kedua orang tuanya. Kushina mengangguk lemah dan Menma langsung melirik Naruto yang masih tampak kesal.

"Baiklah. Memang hanya aku satu-satunya harapan kalian. Aku akan belajar dengan tekun. Tapi Otou-san… setelah ini kumohon jujurlah! Aku juga tidak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi!" tegas Menma. Kushina tersenyum lega, sedangkan Naruto lekas pergi ke kamarnya.

.

.

Naruto menatap langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong. Pada akhirnya Menma lah yang berkorban untuk kepentingan keluarga mereka. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan oleh ayahnya tetapi sepertinya dugaan Menma benar. Mungkinkah Ayahnya memang sedang sakit? Apakah penyakitnya parah hingga Ayahnya begitu tergesa-gesa? Memikiran semua kemungkinan yang terjadi membuat kepalanya berdenyut sakit. Naruto pun memutuskan untuk tidur agar rasa pening di kepalanya segera hilang.

"Naruto, aku tidur di sini, ya? AC di kamarku sedang rusak. Aku tidak mungkin bisa tidur tanpa menyalakan AC!" kata Menma setelah masuk ke kamar kembarannya. Menma menghela nafas saat mendapati Naruto sudah tertidur.

"Oh, ya ampun! Kau sudah tidur jam segini?" ucap Menma yang kemudian melirik jam digital di meja nakas yang baru menunjukkan pukul 20.45.

Menma pun naik ke ranjang Naruto dan duduk di sampingnya. Ia baru saja akan membangunkan Naruto saat dilihatnya wajah kembarannya itu agak pucat. Menma pun mennyentuh pipi Naruto dengan pelan, "Kau kenapa? Tidak enak badan? Apa tendangan Sasuke masih terasa sakit?" tanya Menma. Namun Naruto tak terusik sama sekali.

Menma mengambil sebuah buku dalam laci meja nakas dan membaca buku tersebut sambil berbaring di samping Naruto. Saat dia sudah selesai membaca setengah halaman buku tersebut, ia pun menguap lebar lalu tertidur.

'BRAAK!'

Samar-samar Menma mendengar suara benda yang jatuh. Masih tetap memejamkan matanya yang masih mengantuk Menma berkata, "Kau ini cereboh sekali! Kalau mau mengambil sesuatu hati-hati!"

.

'BRAAK!'

Naruto tidak sengaja menjatuhkan beberapa buah buku di atas meja belajarnya saat dia hendak mencari sesuatu yang saat ini dibutuhkannya. Dia menjatuhkan semua barang-barang di dalam tasnya untuk mencari benda tersebut.

"Haa… Haa… Menma, apa kau tahu di mana inhalerku?" tanya Naruto dengan nafas yang pendek dan cepat.

"Bukannya biasanya kau menyimpannya di dalam blazer seragam? Jangan bilang, kau belum mengambil blazer milikmu dari Sakura…" kata Menma yang langsung membulatkan mata birunya dan lekas bangkit dari posisi berbaringnya.

"Be-nar, aku baru ingat. Haa… Haa… obat itu aku taruh di dalam blazerku."

"BAKA! Kenapa kau ceroboh sekali?"

Naruto meremas dada kirinya, tiba-tiba dadanya terasa begitu nyeri dan menyesakkan. Wajahnya bertambah pucat dan penuh dengan keringat dingin.

"Ada apa? Dadamu sakit? Apa karena si teme sialan itu?" Menma panik dan langsung menghampiri Naruto.

"Haa… Haa… bukan, Sasuke tidak mengenai bagian ini. Ukh!"

"Benarkah? Tapi biasanya kalau asmamu kambuh, kau tidak pernah separah ini?"

Naruto limbung dan hampir jatuh membentur lantai marmer jika Menma tidak segera menahan tubuhnya. Ia mulai batuk-batuk dan semakin meringis kesakitan sambil terus meremas dada kirinya. Rasa sakit di dadanya semakin hebat dan menjadi-jadi. Ia semakin kesulitan bernapas.

'Cough… Cough…! Itaaii… Haa… Haahh!'

Menma menekan pergelangan tangan Naruto. Denyut jantungnya terasa begitu cepat dan Naruto terus merintih sakit. Kulit Naruto juga mulai terasa dingin, "Apa mungkin Pneumothorax mu kambuh lagi?"

Naruto meringkuk di lantai sambil terus meremas dada kirinya. Naruto tidak bisa bernafas. Dadanya malah semakin terasa sakit setiap satu tarikan nafas apalagi jika ia batuk, akhirnya ia pun tidak sadarkan diri karena tidak tahan dengan rasa sakit di dadanya. Menma semakin panik saat melihat wajah Naruto yang pucat pasi. Kulit dan bibir Naruto juga sedikit membiru.

"Gawat, dia mengalami sianosis (warna biru pada kulit dan bibir). Brengsek, di mana ponselku?"

Menma memukulkan kepalan tangannya ke lantai saat ia tersadar bahwa ponselnya ketinggalan di kamarnya. Ia pun lekas mencari ponsel Naruto diantara tumpukan barang-barang yang Naruto keluarkan dari dalam tas.

"Kuso, di mana ponselmu Naruto?" teriak Menma. Ia pun mengalihkan pandangannya ke semua penjuru dan menemukan Smartphone Naruto di atas kasur. "Kurang ajar! Kau meledekku? Huh!" teriak Menma pada ponsel yang tak berdosa itu. Menma pun menyambar ponsel tersebut dan langsung menekan nomor darurat untuk memanggil Ambulance.

.

.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada adikmu?" tanya Kushina.

Saat ini mereka berdua sedang duduk di kursi ruang tunggu. Mereka masih menunggu kabar dari dokter yang belum juga keluar dari ruang UGD. Minato tidak ikut karena sudah tidur dan Kushina tidak tega untuk membangunkannya. Minato sepertinya kelelahan, bahkan suara sirine Ambulance saja tak lantas membuat suaminya itu terjaga.

"Okaa-san memang tidak tahu apa-apa! Ini semua karena kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu di luar negeri!" teriak Menma.

"Maafkan aku…" kata Kushina menyesal. Selama 3 tahun ini dia memang sangat sibuk. Dia harus menangani bisnis keluarga mereka di London-Inggris. Dia baru saja tiba di Jepang satu minggu yang lalu karena mendengar kabar dari ibu mertuanya kalau kondisi kesehatan suaminya memburuk.

"Pneumothorax Spontan Sekunder. Naruto divonis mengidap penyakit itu satu setengah tahun yang lalu. Dan ini adalah pertama kalinya penyakitnya kambuh lagi."

"Apa itu Pneumothorax Spontan Sekunder?" tanya Kushina yang memang tidak mengerti istilah kedokteran tersebut.

"Collapsed Lung juga dikenal sebagai Pneumothorax. Paru-paru akan meledak dan udara akan keluar. Ini menyebabkan rasa sakit yang hebat dan kesulitan bernapas. Tampaknya itu karena kelelahan dan stress mental. Nafas yang pendek, denyut jantung yang cepat, nafas yang cepat, batuk dan kelelahan adalah gejala-gejala lain dari Pneumothorax." Jawab Menma.

Kushina hanya bisa meremas pakaiannya mendengar penjelasan dari Menma. Ekspresi wajahnya tegang dan cemas. Jantungnya pun seperti dipacu begitu cepat.

Pneumothorax adalah pengumpulan udara atau gas dalam rongga pleura yang berada diantara paru-paru dan toraks. Ada dua jenisnya, yaitu; primer dan sekunder. Primer terjadi secara spontan tanpa ada riwayat penyakit paru. Dan sekunder, terjadi pada beberapa pasien yang memang memiliki riwayat penyakit paru yang mendasari. Selain itu, banyak juga ditemui kasus Pneumothorax yang disebabkan trauma fisik pada dada, misalnya; paru-paru tertusuk oleh tulang rusuk akibat kecelakaan, cedera akibat ledakan, atau komplikasi dari berbagai pengobatan. Udara dapat keluar dari paru-paru ke rongga pleura saat kantong udara di paru-paru atau bulla meledak. Latihan fisik secara berlebihan dapat mendorong terjadinya Pneumothorax. Kondisi paru-paru seperti Asma dan Chronic Obstructive Pulmonary Disease juga dapat memicu kondisi ini. Untuk kasus Pneumothorax Spontan Sekunder, gejalanya lebih parah dibandingkan Pneumothorax Spontan Primer.

"Tsunade-Baachan bilang, Naruto mengidap penyakit itu karena ia memiliki penyakit paru-paru yang mendasari. Mungkin penyakit ini adalah komplikasi dari penyakit asmanya. Paru-paru yang terkena adalah paru-parunya yang sebelah kiri. Paru-paru yang terkena tidak dapat menghilangkan fungsi dari sisi yang terkena. Biasanya gejalanya adalah Hipoksemia (penurunan kadar oksigen dalam darah)."

"Separah itu?" Tanya Kushina yang sudah menangis. Ia merasa tidak berguna. Bagaimana bisa ia tidak mengetahui kondisi kesehatan puteranya?

Menma mengangguk sebagai jawaban, 'Ya'.

"Ibu macam apa aku ini? Aku bukan ibu yang baik… jadi itu sebabnya ia mengalami cyanosis?"

Menma mengangguk lemah, "Lalu, gejala lainnya adalah Hiperkapnia (akumulasi karbondioksida dalam darah). Kadang-kadang hal itu dapat menyebabkan penderita koma. Dan Naruto mengalami hal itu satu setengah tahun yang lalu. Ia koma selama beberapa bulan. Mungkin karena itulah Otou-san menunjukku sebagai pewarisnya. Semenjak Naruto sakit, daya tahan tubuhnya memang lemah… tapi aku belum siap menanggung tanggung jawab sebesar itu. Aku masih 17 tahun, Okaa-san!" Cerita Menma.

"Okaa-san mengerti…" kata Kushina sambil memeluk puteranya dan mengecup keningnya penuh sayang. "Tapi, kenapa selama tiga tahun ini kau tidak menceritakan tentang hal ini pada Okaa-san? Bahkan nenekmu juga tidak cerita…"

"Aku tidak tahu kalau Tsunade-Baachan. Selama satu setengah tahun ini, aku sudah mencoba menghubungimu berulang kali untuk menceritakan tentang kesehatan Naruto… tapi Okaa-san terlalu sibuk sampai aku sulit sekali menghubungimu."

"Gomennasai. Lalu, apa yang akan terjadi pada Naruto sekarang? Kenapa mereka lama sekali keluarnya?" tanya Kushina semakin cemas. Kedua tangannya kini sudah saling meremas.

"Mungkin mereka sedang melakukan penyedotan untuk mengeluarkan semua udara itu seperti satu setengah tahun yang lalu. Pneumothorax butuh penanganan darurat sesegera mungkin karena jika tidak, akibatnya bisa fatal… bisa mengakibatkan kematian." Jawab Menma dengan tatapan sendunya.

"Setelah itu apa dia bisa sembuh?" tanya Kushina dengan suara lirih.

"Selama Naruto tidak kelelahan dan tidak banyak pikiran, juga tetap menjaga kesehatannya dengan baik… dia akan sembuh. Tidak akan terjadi kekambuhan lagi, tapi itu memang tidak menjamin seluruhnya."

"Itu berarti, penyedotan akan terus dilakukan jika udara kembali masuk dalam paru-parunya, begitu?" tanya Kushina.

"Ya. Dan jika serangan ini terjadi lagi… jika Pneumothorax nya tidak sembuh atau terjadi kekambuhan untuk yang kedua kalinya, maka ia harus segera melakukan pembedahan untuk menghilangkan penyebabnya." Kali bukan Menma yang menjawab melainkan seorang dokter wanita yang rupanya sudah ke luar dari dalam ruangan dan langsung menghampiri mereka berdua.

"Okaa-san?" ucap Kushina. Dokter tersebut memang ibu mertuanya—Tsunade—.

"Jadi maksud Obaa-chan, jika hal ini terjadi lagi Naruto harus dioperasi?"

"Ya." jawab Tsunade. Menma menghela nafas sambil memejamkan matanya.

"Lalu bagaimana keadaan puteraku sekarang?"

"Kami sudah melakukan Aspiration (penyedotan) udara bebas yang terjebak di rongga pleural ke suatu tabung. Dia sempat mengalami komplikasi Hemorrage (perdarahan) juga penumpukan cairan di paru dan tekanan darah rendah (Hypotension). Kali ini Pneumothorax nya sangat besar sehingga mengganggu pernafasannya. Akhirnya kami juga harus melakukan pemasangan sebuah selang kecil pada sela iga yang memungkinkan pengeluaran udara dari rongga pleura. Selang ini akan kami pasang selama beberapa hari agar paru-parunya bisa kembali mengembang. Untuk menjamin perawatan selang tersebut dan juga karena kondisinya yang masih sangat lemah, Naruto akan dirawat di ruang ICU hingga kondisinya stabil." Kata Dokter Tsunade panjang lebar.

"Tapi setelah itu puteraku akan baik-baik saja, kan?" tanya Kushina pula.

"Untuk penyerapan total hingga kondisi kesehatannya benar-benar pulih mungkin dibutuhkan waktu sekitar 2-4 minggu. Ini memang pemulihan yang lambat."

"Ya Tuhan…." Kata Kushina yang kemudian menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada saudaramu? Kenapa penyakitnya bisa kambuh?" tanya Tsunade pada Menma.

"Itu karena dia sembarangan. Dia tidak boleh latihan yang berat tapi belakangan ini dia selalu melakukan olahraga yang berat-berat, bahkan pada event olahraga minggu lalu dia ikut lomba lari marathon. Dia juga bermain basket setiap hari bersama Shikamaru dan yang lainnya setiap pulang sekolah… padahal aku sudah memperingatkan kalau dia tidak boleh terlalu memforsir tubuhnya sendiri karena dia punya asma."

"Tapi dia tidak mendengarkanmu?"

"Sama sekali tidak. Selain itu Ayah… dia mendidik kami dengan keras. Setiap shift malam, aku disuruh bekerja menjadi waiter di Restoran Hotel. Dan Naruto bertugas di dapur untuk mencuci piring. Bisa kau banyangkan betapa banyaknya jumlah piring-piring kotor tersebut setiap harinya, mengingat Hotel kami selalu menjadi favorit para pelanggan, bukan? Tak jarang juga jarinya terluka karena tergores pecahan piring." Cerita Menma dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Minato melakukan itu?"

"Hai. Otou-san bilang, kami harus merintis bisnis ini dari nol untuk belajar dari bawah sekaligus menambah pengalaman. Dan karena kondisi kesehatan Naruto tidak baik, Otou-san sudah mengambil keputusan final. Dia menetapkan aku sebagai pewarisnya, padahal kau tahu kan, Nenek? Aku ingin menjadi seorang dokter, bukan menjadi penurusnya!" Kini Menma sudah menangis dan wanita bijaksana tersebut langsung memeluk cucunya.

"Naruto pasti akan baik-baik saja. Dia anak yang kuat. Dan kau, meskipun kau mempuyai cita-cita untuk menjadi dokter sepertiku, kau harus tetap menurut pada Ayahmu! Satu waktu carilah kesempatan untuk berbicara dengannya hingga akhirnya Minato mengerti dan memahami keinginanmu. Tapi, jika hal itu tetap tidak berhasil… kaulah yang harus mencoba untuk memahami Ayahmu."

"Doushite?"

"…karena itu adalah kewajibanmu sebagai Heir Namikaze! Kau tahu sendiri seperti apa kondisi kesehatan Naruto. Tapi kalau kau benar-benar tidak ingin menjadi Heir, teruslah berdo'a untuk kesembuhan saudara kembarmu itu! Siapa tahu kalau dia sudah sehat, dia mau menggantikanmu menjadi Heir Namikaze." Nasihat Tsunade sambil tersenyum.

"Kami baru menginjak usia 17, tapi kenapa Otou-san terus memaksa kami untuk melakukan hal-hal seperti itu? Kami belum siap, Obaa-chan!"

"Itu karena Minato sakit dan hidupnya mungkin tidak lama lagi…"

"APA? Jadi itu benar? Katakan padaku, memangnya Otou-san sakit apa?!" tanya Menma. Dia terlihat begitu shock.

"Minato menderita penyakit jantung… kupikir kalian sudah tahu!"

"Tidak mungkin! Benarkah itu Okaa-san?" tanya Menma. Kushina hanya mengangguk lemah. Menma semakin shock dan terpukul, "Otou-san…"

"Aku sudah tahu dari Naruto, Kau pernah berulang kali melakukan percobaan bunuh diri. Jangan lakukan itu lagi, Menma! Jangan pernah melukai dirimu sendiri apalagi berpikir untuk bunuh diri! Orang tuamu dan juga Naruto membutuhkanmu. Dan kau sendiri juga masih sangat muda. Jangan sia-siakan hidupmu!"

"…."

"Naruto pasti bukan hanya mengalami kelelahan akut. Aku yakin ada alasan lain kenapa penyakitnya bisa kambuh. Dan hal itu pasti ada hubungannya dengan dirimu yang merupakan setengah dari dirinya. Dia mungkin sudah tahu kalau kau ingin mati."

Menma tersentak. Mungkin Neneknya benar. "Naruto…" sesal Menma.

You are My Sunshine

.

.

Pertemuan dua keluarga itu dilanjutkan dengan pesta pertunangan antara Naruto Namikaze dan Hyuuga Hinata. Hyuuga Hiasi dan Namikaze Minato terlihat bahagia dengan pertunangan ini. Namun tidak dengan puterinya—Hyuuga Hinata—. Dia terlihat tidak senang meskipun Naruto sudah resmi menjadi calon suaminya. Puncak acara, yaitu pesta dansa di mulai. Semua tamu undangan maju ke lantai dansa, begitu juga dengan Minato yang mengajak Kushina untuk berdansa. Hiasi-sama tampak iri dengan kemesraan suami-isteri itu. Andai saja istrinya masih hidup. Hyuuga Hanabi juga ikut berdansa. Ia meminta Hyuuga Neji untuk menjadi pasangannya. Sementara itu Hinata tidak tertarik dan malah membawa segelas wine dan pergi menuju balkon. Seseorang pun mengikutinya.

"Kau kenapa jutex sekali malam ini? Bukannya kau senang bertunangan denganku? Aku tahu kau menyukaiku…"

Ia tahu kalau Hinata itu gadis yang dingin. Julukannya di sekolah saja 'Ice Princess'. Tapi sedingin apa pun gadis itu, dia tidak mungkin sejutek ini pada calon suaminya.

"Huh! Bukan kau yang aku sukai tapi Namikaze Naruto!"

"Eh? Maksudmu? Kau tahu kalau aku bukan dia?"

"Tentu saja. Kau itu Menma-kun, kan?"

"Hai. Pantas saja sejak tadi kau bersikap dingin padaku!"

"Naruto-kun, tidak mau bertunangan denganku, kan? Itulah sebabnya dia menyuruhmu untuk menjadi dirinya?" tanya Hinata dengan wajah sedih.

"Bukan dia yang menyuruhku tapi Otou-san! Otou-san tidak mau Ayahmu marah karena kami seenaknya membatalkan acara ini. Dia tahu seperti apa watak Ayahmu. Hiasi-sama pasti akan marah besar, makanya dia menyuruhku untuk menyamar sebagai Naruto."

"Kalian adalah kembar identik. Wajar kalau Otou-sama, Neji-Nii, dan Hanabi-chan tidak menyadarinya. Tapi kalian tidak bisa menipuku karena aku tahu dengan pasti cara membedakan kalian. Aku akan bilang pada Ayah tentang hal ini. Dan jangan salahkan aku jika dia memblacklist keluarga kalian!"

Hinata hendak melengos pergi. Namun dengan sigap Menma langsung menarik tubuh Hinata hingga tubuh mungil itu berakhir dalam pelukannya. Dalam jarak sedekat ini, kedua orang itu pun saling bertatapan.

"Kumohon jangan, Hinata-chan! Naruto sedang sakit. Itulah sebabnya dia tidak bisa datang."

"Kau pasti bohong! Aku tahu kalau dia hanya mencintai Haruno Sakura. Itulah sebabnya dia tidak mau datang!"

"Aku tidak bohong. Dia memang menyukai Sakura, tapi dia pasti akan tetap datang dalam acara ini jika dia dalam keadaan sehat. Dia bukan orang yang tidak sopan. Kalau kau tidak percaya, mari kita ke Rumah Sakit untuk menjenguknya!" ajak Menma.

Hinata terus menatap mata Menma, mencari kebohongan dalam mata biru samudra itu… tapi ia tidak menemukan sedikit pun kebohongan di sana. Menma pasti berbicara sungguh-sungguh.

"Baik! Ayo kita jenguk dia besok!" ujar Hinata. Menma tersenyum.

"Kalau begitu mari kita bergabung untuk berdansa! Anggap saja aku ini Naruto!"

"Mana bisa! Jantungku sama sekali tidak berdebar-debar saat dekat denganmu!"

"Ukh! Jahat sekali kau, Hime! Aku terluka…" canda Menma. Hinata hanya memukul-mukul dada Menma karena kesal.

"Aww…! Hime-chan marah?"

"DIAM! Jangan memanggilku Hime-chan! Namaku Hinata. Hi-na-ta." Tegas Hinata.

Sementara itu Hiasi tersenyum penuh arti saat melihat puterinya tengah berpelukan dengan calon menantunya dari kejauhan. Ia benar-benar tidak tahu bahwa itu bukanlah Naruto melainkan Menma.

'Buatlah Naruto-kun jatuh cinta padamu, puteriku! Dengan begitu hubungan kalian tidak akan menjadi cinta sepihak lagi. Ayah tahu bahwa anak itu adalah anak yang bisa membuatmu move on dari Itachi-kun. Ayah tidak ingin mengambil keputusan yang salah. Kau harus menikah dengan seorang pemuda yang benar-benar kau cintai.'

.

.

"Sudah dua hari kau tidak sekolah, Sakura. Dan kau masih tidak mau pergi ke sekolah, besok?" tanya seorang gadis berambut pirang dengan mata aquamarine. Hari ini, Ino memang sengaja menginap di rumah Sakura karena sudah dua hari sahabatnya itu tidak masuk sekolah.

"Jika kau menjadi aku, apa kau sanggup menunjukkan wajahmu lagi di depan semua orang?" tanya Sakura dengan air mata berlinang.

Ino menghela nafas, ia mengerti perasaan Sakura. Sakura pasti malu sekali dengan kejadian tempo hari sampai dia tidak mau pergi ke sekolah lagi.

"Tapi… kita masuk Nagareboshi High School karena beasiswa. Kau tahu sendiri betapa sulitnya untuk bisa masuk sekolah bergengsi itu? Apa kau ingin menyia-nyiakannya hanya karena orang brengsek itu. Si pantat bebek itu bahkan tidak pantas untuk kau tangisi!"

"Aku hanya ingin lulus SMA. Aku bahkan tidak peduli jika nanti aku tidak bisa melanjutkan study ke Universitas karena orang tuaku tidak sanggup membiayai kuliahku. Tapi setidaknya jika aku lulus dari Nagareboshi High School, aku bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih layak untuk ukuran lulusan SMA/sederajat. Tapi apa yang kudapat? Hanya penghinaan!" kata Sakura panjang lebar. Kini ia memeluk lututnya dan membenamkan wajahnya sambil terus terisak. Ino memeluk sahabatnya tersebut untuk menenangkannya.

"Setidaknya anak-anak konglomerat itu tidak semuanya jahat pada kita. Masih ada orang-orang yang baik." Kata Ino sambil mengenang pertolongan Shikamaru dan teman-temannya.

Sakura mengangkat wajahnya. Sakura ingat masih ada seseorang yang memperlakukannya sebagai manusia yang sederat. Sakura pun berjalan pelan menuju meja belajarnya dan mengambil blazer yang ia sampirkan di punggung kursi. Sakura jadi merasa bersalah karena belum mengembalikan blazer tersebut kepada pemiliknya, bahkan ia belum sempat mencucinya. Sakura menciumi bau blazer tersebut dan ia bisa mencium aroma citrus yang berhasil menenangkan hatinya biarpun hanya sedikit. Sakura kembali menghirup aroma parfum sekaligus aroma tubuh Naruto yang masih tersisa dalam blazer tersebut sambil memejamkan matanya. Sakura menyentuh keseluruhan blazer tersebut secara perlahan, tiba-tiba gerakkan tangannya berhenti pada suatu titik. Ia bisa merasakan ada yang mengganjal di sana. Penasaran, Sakura pun merogoh saku blazer tersebut dan mengeluarkan benda di dalamnya.

"Bukankah ini inhaler?" tanya Sakura.

"Inhaler? Kau menemukan inhaler itu dari dalam saku blazer Naruto?"

Sakura mengangguk. Perasaannya jadi tidak tenang dan gelisah. "Astaga, Ino! Seharusnya aku mengembalikan blazer ini dari kemarin-kemarin. Jika inhaler ini memang punya Naruto, berarti satu waktu dia akan membutuhkannya dan aku… aku harusnya segera mengembalikannya."

"Aku tidak pernah tahu kalau dia mempunyai penyakit asma." Sambung Ino.

"Aku juga…" kata Sakura dengan suara lirih. Ia jadi semakin merasa bersalah. Bagaimana kalau asmanya tiba-tiba qumat dan Naruto langsung collapse karena kehilangan obatnya?

"Sudahlah, Sakura! Kau tidak usah cemas! Toh dia anak konglomerat, bukan hal yang sulit untuk membeli inhaler yang baru."

Sakura menjitak kepala sahabatnya sambil melotot, "Kau Ini! Bagaimana kalau asmanya kambuh saat lewat tengah malam? Memangnya masih ada apotek yang buka?"

Ino terdiam, 'Benar juga yang dikatakan, Sakura.'

"Aku harus cepat-cepat mengembalikannya. Aku akan pergi ke sekolah besok."

"Meskipun besok kau akan sekolah, kau tidak akan bisa mengembalikannya. Kudengar dia diskorsing karena berkelahi dengan si brengsek itu!" kata Ino pula. Ia masih belum bisa memanggil Sasuke dengan nama itu karena dia sudah terlanjur membenci cinta pertamanya tersebut.

"Dia kena skor karena berkelahi? Kenapa?"

"Kenapa masih tanya? Sudah jelas dia membela kita saat itu!"

Sakura menghela nafas. Lagi-lagi dia menimbulkan masalah baru bagi Naruto. "Kalau begitu aku terpaksa menitipkannya pada saudara kembarnya." Kata Sakura seraya mengigit bibirnya, mengingat bahwa Menma selalu bersama Sasuke dan dua orang teman mereka yang brengsek itu.

"Jangan! Kau hanya akan menyiksa dirimu sendiri dengan melakukan hal itu. Lebih baik kau titipkan saja pada Shikamaru!" saran Ino. Dan Sakura langsung tersenyum seperti sudah mendapatkan pencerahan.

"Arigatou Ino…"

"…tapi, kenapa tiba-tiba kau peduli padanya? Jangan-jangan kau mulai menyukainya, ya?"

"Kalau iya, kenapa?"

"Sebaiknya jangan melibatkan dirimu dalam masalah baru lagi! Naruto itu banyak sekali fangirls-nya. Dan kau tahu? Salah satu diantara mereka adalah Akazawa Shion dan Hyuuga Hinata. Orang-orang seperti kita sebaiknya jangan bermimpi untuk menjadi seorang Cinderella!" Nasihat Ino sambil menepuk pundak Sakura pelan.

"Jadi Ice Princess dan cewek angkuh menyebalkan itu juga menyukainya?"

"Ya. Dunia mereka berbeda dengan kita, Sakura!"

.

.

Tsuzuku

.

Hai…hai…*lambai-lambai*, perkenalkan…. Aku newbie di fandom Naruto. Well, ini adalah fanfiction pertamaku. FF ini terinspirasi dari DraKor 'The Heirs'. Dengan kata lain ff ini adalah sisi lain dari 'The Heirs' itu sendiri. Jika dalam Dramanya lebih ke tema 'Cinderella', aku ingin mengambil dari sisi lainnya, yaitu Hinata 'sang Heiress'. Kenapa? Karena aku Hinata centric *nggak ada yang nanya*. Maaf ya karena ceritanya klise begini dan chapter kali ini kepanjangan pula, maklum ini ff pertama. Nah, mau dilanjut atau author hapus aja? Silahkan tinggalkan REVIEW kalian! See ya.