Bunyi riak air.

Hanya itu yang dapat kudengar saat ini.

Ah, apakah aku akan mati disini?

Tanyaku pada sang mentari yang sinarnya semakin memudar.

Basah. Tubuhku basah.

Ingin rasanya aku keluar dari sini.

Tapi apa daya, sekujur tubuhku mati rasa.

Aku hanya bisa pasrah melihat gelembung air yang semakin jauh naik ke permukaan.

Meninggalkanku yang semakin jauh ke dasar.

Ah, takdir memang kejam.

Aku masih ingat kalau beberapa waktu lalu aku masih bersamanya.

'Orang itu', yang selalu membawaku pergi.

'Ia' selalu membanggakan diriku.

Mengatakan bahwa diriku adalah pelindung dirinya.

Nyawa baginya.

Aku mencoba menyebut 'namanya', nama yang selalu kusanjung.

Nama yang selalu aku panggil.

Kemanapun aku.

Dimanapun aku.

Hanya nama itulah yang selalu membuat hatiku tentram.

Namun aku lupa satu hal.

Begitu aku menyadarinya, napasku mulai sesak.

Asinnya air laut segera menyapa indra perasaku.

Ah, apakah aku akan mati disini?

Menurutku wajar saja, bila aku berakhir di sini, di dasar laut.

Aku telah melakukan dosa yang amat berat.

Dosa yang bahkan tidak dapat dimaafkan, meski ratusan tahun berlalu.

Kesalahan terbesarku.

Yang membuatku harus berakhir disini.

Yang membuat mereka membuangku disini.

Ah, aku ingat.

Saat terakhir kali aku bersamanya.

Hari itu, adalah pertempuran yang besar.

Harusnya 'orang itu' menang dalam pertempuran.

Harusnya ia masih hidup sampai detik ini.

Semua itu karena salahku.

Salahku karena tidak dapat melindunginya.

Bahkan hanya dari sebutir peluru.

Sebutir peluru yang kemudian bersarang di perutnya.

Yang membuatnya terjatuh dari kudanya.

Sebutir peluru yang mengakhiri nyawanya.

Ah, aku memang tidak berguna. Pikirku.

Aku mencoba bernapas, walau percuma.

Napasku tercekik.

Air mataku mulai menetes.

Bersamaan dengan penglihatanku yang perlahan memudar.

Perlahan, aku mulai tak dapat merasakan apa-apa.

Rasa sakit, asinnya air laut.

Bahkan cahaya mentari pun tak tampak olehku.

Tiba-tiba, bayangan 'orang itu' pun muncul di benakku.

Ah, maafkan aku.

'Orang itu', yang selalu membanggakanku.

Yang selalu membawaku kemanapun.

Bahkan disaat-saat terakhirnya sekalipun.

Meskipun diriku hanyalah sebuah pedang kecil.

Yang bahkan tidak dapat melindungi nyawa tuanku sendiri.

Ah, maafkan aku.

Perlahan, penglihatanku mulai menggelap.

Tubuhku mulai terasa ringan.

Walaupun tubuhku semakin jauh ke dasar.

Bersamaan dengan itu, aku menyebut namanya.

Nama orang yang selalu aku sanjungkan.

Orang yang berwibawa.

Orang yang disegani banyak orang.

Orang yang aku idolakan.

Orang yang aku sayangi.

Orang yang disaat terakhirnya pun membanggakanku.

"Maafkan diriku..."

"Aku akan segera menemuimu..."

"...Hijikata...-san."

.

.

.

END

.

.

HUAAAA... MAAPKAN DIRIKU YANG LAGI GALAU, TRUS TETIBA NULIS INI... ;;;;;; *awto cre*

HAHAHA.. INI MICCHAN LAGI GALAU SAMPE NULIS GINIAN.

GAK NYANGKA MALAH NGORBANIN ANAK SENDIRI YHA-- *awto cre*

HIKS, AKU GAGAL SEBAGAI MAMA.. ;;;;;

*periksa diksi*

KENAPA TIAP BUAT YANG ANGST SELALU LEBIH BAGUS SIH??? *awto cre*

and the last, mohon reviewnya minna~...

Terimakasih sudah mampir..