Ini fanfic pertama milik author gila! Mohon maaf nak Eren saya jadiin psycopath di ff ini. Buat bang Levi saya jadiin korban Eren dulu ya. Tak selamanya bang Levi selalu menang melawan Eren *author ditebas*
Saya tidak mendapat keuntungan apapun atas ff ini. Jika ada, itu hanya kepuasan tersendiri.
Disclaimer : 'Shingeki no Kyojin'nya Hajime Isayama sensei
Warning! Typo(s), AU, AH, OOC, tragedy-crime-angst, alur cepat dan berantakan serta mudah ditebak, bahasa kasar+melenceng dari KBBI & EYD, T(?) ini cuma cari aman aja
After All
'Merah... Indah sekali... Mengalir keluar mengitari tubuh mungil itu. Sensasi ini sungguh luar biasa! Membuatku menginginkan lebih! Aah.. Perdengarkan padaku jerit indahmu lagi! Tunjukan padaku rasa sakit itu! Tunjukan padaku lebih! Lebih! LEBIH!
Semuanya membuatku gila. Membuatku semakin ingin mempercantik hasil karyaku. Hasil karya agung yang hanya diselimuti warna merah. Hasil karyaku untuk 'kalian'.
POV. NORMAL
"Heh, bocah pendek seperti kau tak pantas menggurui kami!" umpat mulut kecil yang kini menatap benci sepasang obsidian.
"Siapa yang kau sebut pendek, gadis sialan? Apa kau tak belajar tata krama?" jawab seseorang yang disebut pendek itu dengan dingin.
"Siapa lagi kalau bukan kau, Rivaille, si manusia cebol yang selalu merasa memiliki kekuasaan lebih!" aura hitam menguar dari tubuh si gadis.
"Sudahlah Mikasa, minta maaflah pada Rivaille senpai. Kau terlalu berlebihan." seorang pria blonde berusaha menenangkan si gadis yang kini diliputi kebencian.
"Dengarkan dia, gadis sialan! Alert lebih mengerti bagaimana seharusnya berbicara dengan orang yang lebih tua ketimbang kau." ucap Rivaille sedikit menoleh kepada orang yang dimaksud, Armin Alert.
Gadis bernama Mikasa yang sedari tadi telah menumpuk amarahnya itu kini ditarik paksa oleh si blonde, menjauh dari sang senpai berwajah datar.
XXXX
"Ada apa denganmu, Mikasa? Tak biasanya kau seperti ini?" tanya Eren Yeager, seorang pemuda yang merupakan saudara angkat Mikasa Ackerman. Orangtua Mikasa telah meninggal ketika ia masih kecil, dan orangtua Eren-lah yang mengangkatnya menjadi bagian dari keluarga Yeager. Begitu juga dengan Armin yang kehilangan orangtuanya karena kecelakaan tidak lama setelah kematian orangtua Mikasa. Eren, Mikasa, dan Armin. Tiga sahabat yang kini telah menjadi satu keluarga dibawah naungan nama besar Yeager yang terpandang dan dihormati di seluruh distrik Maria.
"Mikasa bertengkar dengan Rivaille Senpai lagi." Armin menjawab. Ia duduk disamping Mikasa dan memandangnya dengan sudut mata sapphirenya.
"Kali ini apa lagi Mikasa?" tanya Eren mulai bingung dengan tingkah saudarinya. Tangan Mikasa mengepal hebat. Armin dan Eren menyadari itu.
"Senpai pendek itu, dia menghinaku!" suaranya tenang namun jelas menyiratkan kebencian yang sangat besar. Eren yang melihat Mikasa begitu dingin, lantas menoleh kepada Armin, mempertanyakan maksud saudari mereka itu.
Armin menggeleng. Bukan tidak tahu, tetapi lebih kepada sebuah isyarat bahwa itu adalah hal yang sensitif baginya dan Mikasa. Dan Eren sangat mengerti topik apa yang dimaksud.
"Tenanglah Mikasa, lupakan saja." suara Armin terdengar pelan.
"KAU JUGA DIHINANYA, ARMIN! BAGAIMANA MUNGKIN KAU DIAM SAJA?"
Mikasa menggebrak meja, membuat beberapa siswa di kelas terkejut, mengingat saat itu masih pagi dan baru sedikit siswa yang datang.
Jean Kirschtein, teman sebangku Eren yang baru saja tiba di sekolah, mendengar suara ribut di lorong dan segera berlari menuju kelas.
"ADA APA?!"
Serunya tak kalah lantang dengan Mikasa, membuat semua siswa dikelas menoleh kepada pemuda berwajah absurd bak kuda liar tersebut. Yang dipandang justru tertegun melihat 'trio Yeager' itu sudah membuat gaduh kelas di pagi hari. Terutama Mikasa yang sedari tadi berdiri dengan tatapan tajam menembus iris biru Armin.
XXXX
"Jadi... Ada masalah apa, Eren?"
Jean mengambil tasnya, berjalan keluar kelas dengan Eren disampingnya. Eren hanya diam saja. Sudah waktunya pulang namun Armin dan Mikasa belum kembali.
Sudah sekitar 30 menit lamanya mereka meninggalkan kelas menuju ruang OSIS. Mereka dipanggil oleh sang ketua, Erwin Smith. Dasar panggilan itu Eren tak tau. Kini ia benar-benar khawatir dengan kedua saudaranya itu. Erwin senpai mungkin sosok yang penuh wibawa dan disegani oleh seluruh siswa di sekolah. Namun wakilnya? Ya, Rivaille senpai. Eren menghormatinya, namun juga takut padanya. Rivaille adalah tipe orang yang tidak segan-segan melakukan hal diluar nalar bila merasa perlu. Eren dan Armin selalu berusaha agar tidak berurusan dengannya. Bagaimana dengan Mikasa? Ia sungguh membencinya!
"Jean, lebih baik kau pulanglah duluan. Aku masih akan menunggu Armin dan Mikasa." Eren membuka mulut, membuat Jean heran dengan pernyataannya.
Jean melirik Eren. Temannya yang selalu tersenyum dan senang bertingkah konyol itu kini tampak suram. Manik zamrud itu sama sekali tidak memancarkan kebahagiaan.
"Ya sudahlah. Aku duluan. Sampai jumpa, Eren." Jean melambaikan tangannya pada Eren dan menghilang di balik gerbang.
XXXX
Disinilah Eren. Berkutat dengan lorong-lorong panjang di sekolahnya. Pusing bukan main mendapati lorong itu bagaikan labirin untuknya. Mencari Armin dan Mikasa di sekolah sebesar ini bukanlah perkara mudah. Di sisi lain, muncul berbagai hal negatif yang mulai menggerogoti isi kepalanya. Membuatnya semakin pusing.
'Bagaimana jika pemanggilan itu hanya jebakan?'
'Bagaimana jika yang sebenarnya memanggil Armin dan Mikasa itu Rivaille senpai, bukan Erwin senpai?'
'Bagaimama jika ini ulah Rivaille senpai yang dendam pada Mikasa?'
'Bagaimana jika Armin dan Mikasa diculik saat akan kembali ke kelas?'
'Bagaimana jika Armin dan Mikasa tersesat saat akan kembali ke kelas?'
Dari yang masuk akal hingga yang absurd semua berkecimpuk di dalam otak Eren. Dan kini Eren tak bisa berfikir jernih.
'Persetan dengan semuanya! Aku harus segera menemukan mereka berdua!'
Eren mulai berlari, menyusuri lorong panjang yang kini mulai gelap. Matahari sebentar lagi akan kembali pada peraduannya.
'Aku harus segera menemukan mereka!'
Bruuaaakkk...
Eren terjengkang. Ia menabrak sesuatu. Tidak! Lebih tepatnya seseorang. Eren memijit keningnya yang sakit ketika sebuah uluran tangan mengajaknya bangkit. Ia menyambut uluran tangan itu. Ditatapnya orang yang baru saja ditabraknya itu dengan seksama.
"ERWIN SENPAI?!" mata Eren terbelalak.
"Ah, Yeager. Maaf, aku tidak melihatmu tadi. Mengapa kau berlari?" orang yang ditabrak Eren tadi, yang ternyata adalah Erwin senpai, menarik tangan Eren dan mengangkatnya untuk berdiri sambil memperlihatkan senyum terbaiknya.
'Tunggu. Erwin senpai ada disini. Jangan katakan dugaanku benar! Armin dan Mikasa...'
"Maaf, apa anda melihat Rivaille senpai tadi? Aku sedang mencarinya." Eren segera bertanya begitu pikiran negatif tentang Armin dan Mikasa masuk kedalam otaknya lagi.
"Rivaille-san? Aku tidak melihatnya sejak jam 4 tadi. Ada apa? Mungkin aku bisa membantu?"
'Apa? Membantu? Kau tak mungkin dapat membantu menemukan si pendek itu kalau kau saja belum melihatnya kan?'
Eren mulai panik. Pikirannya kacau. Sekarang yang ada di benaknya hanya ada dua. Pertama, Armin dan Mikasa yang dalam bahaya. Kedua, Rivaille senpai-lah pelakunya.
Rivaille memang dikenal sebagai sosok dingin yang jarang berekspresi. Ia tidak segan-segan melakukan sesuatu, sekalipun itu adalah perbuatan yang salah. Hal sekecil apapun, jika itu salah, tentu akan selalu ia 'urus' dengan caranya sendiri. Memperbaiki apa yang menurutnya salah dengan sistemnya sendiri. Ya, dia sangat sensitif terhadap sesuatu.
"Tidak ada apa-apa, senpai. Maaf sudah menabrakmu. Aku pergi dulu." Eren membungkukan badannya dan segera berlari menyusuri lorong gelap itu lagi. Sendiri.
'Aku harus segera menemukan mereka!'
