Seorang pria berambut pirang menatap kursi panjang yang disediakan di pernikahannya untuk para tamu berfoto dengan mempelai wanita. Dia menyunggingkan senyum saat melihat lima wanita yang sedang berpose ria di sana.

Karin, Sakura, Hinata, Ino dan Ten Ten.

Salah satu di antara mereka adalah istrinya.

"Dobe!"

Naruto menoleh, menemukan Sasuke yang sedang berjalan menghampirinya. Pria itu tampak tampan dengan balutan suit dengan dasi berwarna merah.

"Teme!"

"Aku masih tidak menyangka kau akan melangkahiku." Sasuke memandangnya dengan tatapan tak terima, yang diakhiri dengan seringaian khasnya.

Naruto bersungut-sungut. "Kalau tidak bunting, tidak akan buru-buru seperti ini juga."

Sasuke mengernyitkan dahinya—ada ekspresi terkejut yang tercipta di sana. "What? Bunting? Seriously?" Sasuke mengalihkan pandangannya pada lima wanita yang sedari tadi dipandangi Naruto. "Tidak kelihatan sama sekali—rata."

Naruto tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Siapa pula yang peduli dengan rata atau tidaknya perut wanita itu? Yang terpenting baginya, di dalam sana, sudah ada benihnya. Dan dia akan jadi ayah.

"Gimana London?"

"Great. As always," jawab Sasuke. Naruto bisa mendengar nada bangga dari suara pria itu.

"Drop the English, Dude. Mentang-mentang baru balik dari London," sahut Naruto, risih juga mendengar sahabatnya ini berbahasa Inggris.

"Nanti kau juga akan merasakannya, Dobe."

"Nggak nyangka gue lo jadinya sama—"

"Naruto!"

Find Me

© delphinea

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: alur bolak-balik, reply 97 & 94 inspired, couple-hunting.

AU. Out of Characters.

Find Me.

Chapter One.

Eight years ago. Naruto's first day in Konoha High School.

"Karin!"

Teriakan Naruto cukup nyaring, namun di tengah keramaian koridor SMA Konoha, suaranya melayang bagaikan angin lalu. Merasa suaranya tak akan bisa menjangkau pendengaran orang yang dipanggilnya, pemuda itu melangkah cepat—menghampiri kerumunan gadis yang sedang berbincang ringan.

"Oi, Karin!"

Seorang gadis berkacamata serta berambut merah menoleh, lalu berdecak kesal setelah melihat Naruto. Dia menaikkan gagang kacamatanya dengan pelan, kemudian menghampiri Naruto.

"Neechan! Sudah kubilang panggil aku Neechan!" omelnya setelah melayangkan sebuah cubitan ke perut Naruto yang membuat pemuda itu mengaduh kesakitan. Namun alih-alih marah karena dipukul, pemuda pirang itu malah bertanya letak kelasnya dimana. Karin menghela napasnya.

"Antar aku ke kelas—kau tahu kan aku tidak bisa membaca denah."

Karin, gadis itu memutar bola matanya bosan. Setelah say goodbye pada teman-temannya, gadis itu beranjak dari tempat duduknya lalu mulai mengomel. "Ck. Ini baru hari pertama dan kau sudah merepotkanku," keluhnya.

Naruto meliriknya dengan tatapan jahil. "Nanti kucarikan berondong, mau?"

Karin mengangkat alisnya tinggi-tinggi, "Kau kira aku selera dengan berondong?" Gadis itu menatap Naruto dengan tatapan meremehkan. "Lagipula, darimana kau bisa mengambil kesimpulan kalau aku suka dengan berondong, heh?" tanyanya tak terima.

Naruto menggaruk pipinya tak gatal. Entah darimana, dia juga tak tahu. Dia hanya asal sebut.

"Lalu kau mau apa dong?"

Karin tampak berpikir keras. Tidak sering Naruto bertanya apa kemauannya. Dan kesempatan ini harus dipakainya dengan baik.

"Pulang sekolah aku pakai mobilmu, ya?"

Naruto mengernyit, tiba-tiba menyesal dengan telah bertanya seperti itu. "Aku pulang pakai apa?" protesnya tak terima. Kediaman keluarga Uzumaki terbilang cukup jauh. Mereka harus menggunakan mobil untuk pergi ke sekolah.

Karin memutar bola matanya bosan, seperti sudah menduga reaksi Naruto."Make friends, ask them to get you home. Okay?"

Naruto menghela napasnya berat. "Do what you want, Karin," ujarnya pasrah.

Karin tersenyum lebar. "Senangnya punya sepupu sepertimu, Naru!" Gadis itu menaikkan bingkai kacamatanya, penglihatannya menemukan sesuatu.

Naruto memutar bola matanya. "Semenit yang lalu, kau baru bilang aku merepotkan."

Karin tak memedulikan keluhan sepupunya itu. "Eh, ini kelasmu. Kelas 1-2."

Duo Uzumaki itu menghentikan langkah di depan kelas. Naruto langsung membuka pintunya dan mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kelas.

Hal pertama yang dilihatnya adalah pemandangan Sakura dan Ino yang sedang beradu mulut—oh, gadis merah muda itu terlihat hampir menangis.

Sakura dan Ino, fans beratnya Sasuke. They would do anything for Sasuke. Anything.

"AAAAA—" Sakura merengek, membuat seisi kelas menutup kuping sejenak. "Aku juga mau sekelas sama Sasuke-kuuun!" Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya geram, hampir menangis.

Sementara lawan bicaranya, Ino, bukannya menenangkan sahabatnya—malah makin memanas-manasi gadis itu. "Gimana ya, nanti kau tak akan bisa melihat Sasuke lagi belajar deh."

"Aku mau pindah ke kelas ini, Inooo!" rengeknya lagi, dengan volume yang lebih tinggi tentunya.

Naruto merasakan pinggangnya disenggol.

"Itu bukannya temanmu, Naru?" tanya Karin, tanpa mengalihkan pandangan takjubnya dari dua insan yang menurutnya sangat unik.

"Yep."

Naruto menghela napas melihat kelakukan dua temannya itu. Sejak SMP, Sakura dan Ino memang terkenal dengan sebutan, Sasuke's wives. Entah sejak kapan, mereka selalu merasa memiliki Sasuke.

Naruto mengalihkan pandangannya—mencari Sasuke. Benar saja, pemuda itu sedari tadi menyaksikan dua gadis yang sedang membuat keributan di kelasnya. Ekspresinya tak terbaca, seperti biasa.

"Teme!" panggil Naruto sambil melambaikan tangannya.

Sasuke mencari asal suara yang memanggilnya, itu memang bukan namanya tapi dia sudah terbiasa dipanggil seperti itu. Dan hanya akan satu orang yang memanggilnya dengan panggilan itu. Naruto. Pemuda itu berjalan masuk kelas, meninggalkan seorang gadis berkacamata yang tadi berdiri bersamanya.

"Itu siapa, Dobe?" tanya Sasuke, saat Naruto akhirnya sampai di tempat duduk di belakang Sasuke.

"Siapa?"

"Yang tadi di pintu."

"Oh. Karin, sepupu yang kuceritakan waktu itu."

"Sekolah di sini?" tanya Sasuke lagi.

"Iya, kelas dua."

Sasuke mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu perhatiannya teralih pada teman sebangkunya.

"Dobe, ini teman sebangkuku, Hinata." Sasuke memutar tubuhnya ke arah Naruto, memperkenalkan teman sebangkunya. Naruto melirik Hinata.

Gadis bersurai biru dongker, hampir sama dengan Sasuke. Namun matanya sangat kontras dengan Sasuke—bola mata gadis itu seputih salju. Dia tersenyum ramah pada Naruto.

"Hei, Hinata. Aku Naruto."

"Na-Naruto-kun… Aku Hinata," katanya, berusaha menyembunyikan getar dalam suaranya. Naruto mengernyit menyadari bahwa gadis itu tak sedang menatapnya.

Perkenalan singkat itu diakhiri dengan Hinata yang membalikkan tubuhnya kembali.

"Ini masih hari pertama dan kau sudah dapat incaran, Teme?" bisik Naruto cukup nyaring. Nada pemuda itu terdengar menyindir, namun Sasuke mengabaikannya. Pemuda itu malah melirik ke kursi sebelah Naruto yang kosong.

"Eh, Kiba tidak sekolah?"

Naruto mengangguk. "Yep. Tapi dia booking duduk di sebelahku."

"Trus party-nya jadi?"

Sepersekian detik kemudian, Naruto baru teringat akan sesuatu. Pemuda itu langsung mengeluarkan ponselnya dan mengirimi Karin pesan teks.

"Tentu jadi. Harus."

"Hinata mau ikut?" ajak Sasuke. Naruto memandang punggung Sasuke heran, sedari tadi pemuda di depannya ini selalu berusaha ramah dengan teman semejanya.

Gadis di sebelahnya menoleh. "Kemana, Sasuke-kun?"

"Rumah Kiba. Dia ulang tahun hari ini."

Untuk beberapa saat, Hinata tampak berpikir.

"Maaf, Sasuke, Naruto, aku tidak diperbolehkan ikut orang lain sembarangan. Apalagi baru pertama kali ketemu."

Mendengar respon nona Hyuuga, Naruto dan Sasuke serempak tersenyum canggung sambil memandangi satu sama lain. "Oh, oke deh."

Naruto memajukan kembali tubuhnya, mendekatkan mulutnya ke telinga Sasuke. "Seleramu seperti ini? Princess-wannabe seperti itu?" bisiknya, kali ini dengan volume yang lebih kecil.

Sebelum Sasuke sempat menjawab, bel tanda dimulainya jam belajar berbunyi. Seisi kelas yang tadinya riuh, perlahan-lahan mulai tenang. Namun tetap saja, Sakura dan Ino di sana, mengobrol dengan asiknya.

"Kira-kira alasan yang bagus untuk aku minta pindah kelas apa, ya, Pig?"

Naruto melirik meja sebelahnya—dimana Ino duduk dan Sakura berdiri menyandar di mejanya.

"Kau yakin kau bisa membohongi gurumu?" Ino merespon kembali dengan pertanyaannya.

Naruto meletakkan tangannya di atas meja, lalu menumpukkan kepalanya di sana, menghadap ke kiri—di mana dia bisa menyaksikan dua gadis itu dengan jelas.

"Ino! Kau ini meremehkan kemampuanku ya? Aku ini jagonya dalam hal tipu meni—"

"Forehead! Guruku sudah masuk!" desis Ino, memotong celotehan sahabatnya itu. Dengan sigap, Ino duduk di kursinya, sementara Sakura mengedarkan pandangannya ke penjuru kelas.

Pria jangkung dengan rambut hitam kelam dengan bentuk aneh—bentuk mangkuk, memasuki kelas dengan senyum lebar. Pria yang berpakaian serba hijau itu, mengenalkan dirinya sebagai wali kelas, Mr. Lee.

Alih-alih meminta izin keluar kelas, gadis bersurai merah muda itu malah berlari kecil duduk di sebelah Naruto. Dia mengatur napasnya yang tak karuan karena panik, sebelum akhirnya menatap Naruto sambil tersenyum selebar mungkin, meminta kooperasinya.

"Kenapa kau masih di sini?" Naruto bertanya, ada nada tidak suka terdengar di sana.

Sakura tersenyum semanis yang dia bisa, mencoba merayu Naruto—yang diduganya sedang badmood. "Aku mau jadi penghuni gelap di sini, sehari aja."

Naruto menatap Sakura dengan tatapan remeh, sebelum akhirnya mengangkat tangan.

"Sensei, ada penghuni gelap di sini!" lapor Naruto dengan lantang, tanpa rasa takut sama sekali. Perhatian seluruh kelas langsung beralih pada pemuda pirang dan seorang gadis merah muda di sebelahnya yang sedang bergerak panik.

Sedetik kemudian, pemuda itu mengaduh kesakitan saat merasakan perutnya dipelintir oleh Sakura. Ino pun tampak memarahinya dari meja seberang sana.

"Sakura, kembali ke kelasmu." Sasuke, suara datar pemuda itu menyarankan. Ia tak keberatan Sakura dan Ino teriak-teriak seperti tadi di depan kelas, namun dia mulai risih kalau mereka mulai melanggar aturan demi dirinya.

Sakura melepaskan tangannya dari perut Naruto. Gadis itu berjalan sembari menunduk, entah murung karena kata-kata Sasuke atau karena sudah dipermalukan di depan seisi kelas.

Sakura membungkuk dalam pada Mr. Lee—yang sebenarnya tidak ada niat memarahinya—sebelum akhirnya berjalan keluar dari kelas.

Sebelum pintu kelas ditutupnya, Sakura mendongak sejenak, dan benar saja, Naruto masih mengawasinya. Diacungkannya jari tengahnya pada Naruto.

Naruto kembali mengecek jam tangannya. Pemuda itu menghela napas, setengah kesal. Sudah hampir satu jam dia berdiri di sana, menunggu Karin. Tentu saja dia harus menunggu. Beruntung Karin mau mengantarkannya, setelah negosiasi panjang saat jam istirahat tadi.

Pintu ruangan OSIS terbuka. Dan orang pertama yang keluar adalah Karin. Gadis itu tampak terburu-buru dan gusar. "Naru, gomen. Tak kusangka rapatnya akan selama itu."

Naruto mendecih kesal. "Kalau dari tadi aku jalan kaki, mungkin sudah sampai rumah Kiba sekarang."

Karin tersenyum lebar, "Sorry, Naru." Kemudian gadis itu merengut. "Lagipula kau juga yang tadi bilang akan meminjamiku mobil, kenapa tiba-tiba mau ke rumah Kiba?"

"Kiba ulang tahun."

"Tapi ingat! Aku cuman mengantarmu, pulangnya tak kutanggung."

"Fine."

Kiba's birthday party.

Rumah Kiba memiliki dua tingkat. Lantai atas, adalah daerah kekuasaan Kiba saat ini, saat ulang tahunnya. Ruangan tengah di lantai dua rumahnya memiliki ruang tengah yang terhubung langsung ke balkon.

Ruangan itu tak dihias seperti pesta ulang tahun pada umumnya. Hanya saja, belasan piring berisi berbagai macam makanan menghiasi meja makan.

Enam orang remaja duduk melingkari sebuah botol yang sedang berputar dengan lajunya. Masing-masing dari mereka, memiliki piring yang berisi makanan. Namun makanan bukanlah masalahnya sekarang. Semua pasang mata yang berada di ruangan itu, menatap botol yang sedang berputar. Perlahan tapi pasti, botol itu berhenti berputar.

Kiba, Sakura, Sasuke, Ino, Ten Ten, Chouji. Kiba lagi. Sakura lagi. Sasuke.

Moncong botol itu akhirnya berhenti juga, tepat di depan Sasuke. Sebelum yang lain sempat mencerna kejadian tersebut—sebuah suara melengking menusuk telinga masing-masing mereka.

"DARE!"

Sasuke mendecih sebal. "Apa dare-nya?"

Baru saja Chouji akan mengutarakan tantangannya, sebuah bunyi klakson panjang menginterupsi. Kiba berlari menuju balkon, diikuti oleh Ino dan Ten Ten.

"Oi, Naruto!" teriak Ino.

Sakura mendengus sebal mendengar nama itu. Gadis itu masih kesal dengan kelakuan Naruto tadi pagi—yang menurutnya sangat childish.

"Cie, Naruto diantarin gadis cantik," sahut Ten Ten dengan nada menggoda.

Mau tak mau, tiga orang yang masih duduk manis melingkar tadi, penasaran dengan 'cewek cantik' yang disebut Ten Ten itu.

"Sasuke! Dare-nya: sembunyikan kacamatanya Karin-nee!"

Alih-alih protes karena kesempatannya untuk memberikan tantangan pada Sasuke diambil oleh Kiba, Chouji malah mengangguk-angguk setuju dengan tantangan Kiba.

"Karin-neechan! Tunggu sebentar. Jangan pulang dulu!" teriak Ten Ten.

Sasuke lagi-lagi menghela napas berat mendengar tantangan yang cukup sulit dari Kiba.

Sakura dan Chouji juga akhirnya beranjak dari tempat duduk mereka, menuju balkon. Sementara Sasuke turun ke lantai bawah, menghampiri Naruto dan Karin yang kebingungan.

"Ada apa, Teme?" tanya Naruto, saat melihat Sasuke menghampiri mereka. Tak butuh waktu lama untuk Naruto menyadari kalau Sasuke tak menatapnya, tapi kakak sepupunya. Pemuda itu mengerutkan alisnya dalam-dalam.

Karin sendiri, begitu keluar dari mobil, langsung dikejutkan dengan keberadaan bocah yang lebih muda setahun darinya—yang menatapnya penuh keseriusan.

"Neechan," panggil Sasuke, dengan nada datar dan dingin.

"Iya?" Karin menatap Naruto dengan pandangan meminta penjelasan, yang tentu saja dijawab dengan wajah masa bodohnya sepupunya itu.

"Pinjam kacamatamu?"

"Untuk apa?" tanya gadis itu sambil melepas kacamatanya, lalu menyerahkannya pada Sasuke.

Sasuke sudah menggengam kacamata Karin, namun alih-alih menyembunyikannya, pemuda itu masih berdiri di sana—menatap lurus-lurus mata gadis di hadapannya.

Sepasang bongkahan batu ruby yang bersarang dibalik kacamata gadis itu seakan-akan menghipnotisnya.

"Naruto, ada apa dengan temanmu ini?" bisik Karin kebingungan. Gadis itu harus menelan pahit-pahit keinginannya untuk mendaratkan bogem mentah di kepala Naruto saat melihatnya melenggang tak peduli.

"Sasuke! Cepatlah!"

Teriakan dari balkon—oh, itu Chouji, menyadarkan Sasuke bahwa dia harus menyembunyikan kacamata Karin. Sedetik kemudian, pemuda itu langsung lari dari hadapan Karin, mendahului Naruto yang baru berada di ambang pintu rumah.

Karin mengerutkan dahinya, kesal karena merasa dipermainkan. Diliriknya kembali balkon, dimana lima orang yang tadinya memerhatikan dalam diam itu—tiba-tiba ribut menyemangati pemuda itu.

"Semangat, Sasuke-kuuuun!" teriak Ino dan Sakura hampir serempak.

Karin merasa urat nadinya menegang, marah. Gadis itu berlari mengejar Sasuke ke dalam rumah.

Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya—simpati dengan kakak sepupunya yang sedang dikerjai teman-temannya. Sayangnya, pemuda itu tampak tak ada niat membantu sama sekali. Dia malah berjalan santai tanpa berniat menangkap Sasuke, saat melihat dua insan yang sedang berkejar-kejaran di tangga.

Karin menaiki anak tangga dengan cepat, namun tak secepat Sasuke yang sudah mencapai lantai atas. Gadis itu berhenti sejenak, dan menoleh ke bawah.

"Eh, siapa nama bocah itu?" tanyanya pada Naruto, baru teringat bahwa dia sendiri tak tahu nama bocah yang mengambil kacamatanya itu.

"Sasuke. Uchiha Sasuke."

"Uchiha Sasuke! Cepat kembalikan kacamataku!"

Begitu sampai di lantai atas, lima orang yang tadinya berdiri di balkon kini sudah duduk melingkar dengan Sasuke, memerhatikan botol yang sedang berputar, seakan-akan tak terjadi apa-apa.

Karin mendatangi Sasuke lalu berjongkok di sebelahnya.

"Sasuke, mumpung aku masih minta baik-baik, lebih baik kau segera mengembalikannya!"

"Maaf, Neechan, aku tak tahu," jawab Sasuke. Wajahnya memucat—entah karena habis berlari-lari di tangga atau karena aura Karin yang terasa menyeramkan.

Kiba menghentikan botol yang sedang berputar, lalu menghela napas. "Nanti kita lanjutkan lagi. Sekarang, cari kacamata Karin-nee dulu," tukas pemuda itu, lalu berbalik dan mengedipkan sebelah matanya pada Ino dan Chouji.

Ino, langsung merespon dengan cepat. "Tadi kau lempar ke arah mana, Sasuke-kun?"

Kelima orang yang tadinya duduk melingkar, kini sudah membubarkan diri—berpura-pura mencari kacamata Karin. Sementara Sasuke masih duduk diam menghindari tatapan mata Karin.

Karin yang mendengar kata 'lempar' tadi, makin memanas. "Lempar? Kau MELEMPAR kacamataku?!" Kini, Karin sudah menjambak rambut Sasuke dengan kasar.

"Kenapa kau selalu bersikap seenaknya, heh? Kau tahu, kacamata itu mahal sekali!" omel Karin.

"Kembalikan atau tidak?" Kepala Sasuke sudah maju mundur berulang-ulang karena ditarik ulur oleh Karin. "Kembalikaaan!" Belum lagi suara Karin yang melengking tepat di telinganya.

Sakura dan Ino mau tidak mau ikut tertawa melihat keadaan Sasuke sekarang. Pemuda itu benar-benar patuh pada Karin, bersungut-sungut saja tidak, apalagi protes.

"Mungkin itu tandanya kau harus menungguku sampai pulang di sini, Karin." Naruto, dengan santainya, malah duduk di meja makan, menyantap sepotong pizza sambil mengotak-atik smartphone-nya.

"Naru, sebaiknya kau juga cari—atau aku takkan memasakkan makan malam!"

"That's okay. Aku akan makan di sini."

"Dasar sepupu tidak tahu diri!"

"Thanks pujiannya."

Sakura, yang sedari tadi memerhatikan perdebatan sengit kakak-adik itu, menggelengkan kepalanya beberapa kali, prihatin.

"Neechan di sini aja, main sama kita. Seru kok," ajak Sakura dengan suara ramah. Oh, well, Sakura bahkan belum pernah ngobrol sama sepupu Naruto yang satu ini, tiba-tiba sudah sok akrab banget.

"Iya, ada makanan banyak lagi," tambah Chouji, menunjukkan macaroni yang akan disantapnya.

Karin tersenyum kikuk. Bukannya dia tak suka dengan teman-teman Naruto ataupun makanan yang banyak, hanya saja, gadis itu sudah terlanjur dibuat kesal oleh perilaku Sasuke yang menurutnya tidak sopan.

Karin melepas rambut Sasuke.

"Fine, tapi kalau bocah ini masih tidak mengembalikan kacamataku, aku akan tuntut ganti rugi."

Tidak sampai lima menit duduk melingkar bersama Naruto dan teman-temannya, mood Karin sepertinya telah pulih kembali. Tentu saja Sasuke tidak ikut di lingkaran itu, karena ditugasi Karin mencari kacamatanya.

Sakura meneguk tetesan terakhir dari botol cola-nya, merapikan roknya yang tidak beraturan, sebelum akhirnya memutar botol berwarna hijau di hadapannya.

Dia baru saja mendapat tantangan menghabiskan sebotol cola dalam sekali minum. Dan tentu saja, gadis itu bisa memenuhinya.

"Truth!" teriak Ten Ten, sebelum botol itu benar-benar berhenti. Tebak di mana botol itu mendaratkan moncongnya?

Naruto.

"Ask me anything," Naruto mengendikkan bahunya dengan santai.

Karin tampak akan menanyakan sesuatu, tapi sudah didahului oleh Ten Ten.

"Kau tidak ingin minta maaf ke Sakura untuk kejadian tadi pagi?" tanya Ten Ten, membuat suasana menjadi hening.

Ten Ten bukan tidak tahu kejadian sial yang menimpa teman sekelasnya itu. Baru hari pertama saja, Sakura sudah telat masuk kelas. Saat ditanyakan alasannya, Sakura dengan berapi-apinya menceritakan betapa kesalnya dia dengan Naruto tadi pagi.

Naruto sendiri, berpura-pura menggaruk kepalanya yang tak gatal, padahal dia ingin melihat Sakura yang duduk di sampingnya. Benar saja, gadis iitu menatapnya dengan jutek.

"Maaf ya, Sakura," katanya, diakhiri dengan cengiran tak berdosa. Sakura memutar bola matanya sebelum akhirnya mengangguk cuek.

Sejenak, Naruto masih belum mengalihkan pandangannya dari Sakura. Sebelum akhirnya pemuda itu dikejutkan oleh Kiba yang menyuruhnya memutar botol. Dengan wajah linglung, pemuda itu memutar botol, lalu memangku wajahnya di tangan.

"Kiba!"

"Truth!"

"Gosip kalau Hinata suka sama Naruto—itu benar atau tidak?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Ino membuat seisi ruangan kembali terdiam. Sasuke yang tadinya pura-pura mencari kacamata, juga menghentikan aktivitasnya, mencoba menguping.

Kiba tersenyum kikuk, takut-takut menatap sahabatnya, Naruto. Saat merasa pikiran Naruto sedang tidak di sini, pemuda itu mengangguk dengan cepat.

"Wow. That's suprising." Chouji menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.

"Kenal darimana dia?" tanya Sakura, diikuti anggukan oleh Ten Ten. Setahu mereka, Hinata tidak mungkin bisa berkenalan dengan Naruto, selain tadi pagi. Tidak mungkin juga kan Hinata menyukai Naruto dari pandangan pertama?

"Cuman satu pertanyaan, sorry." Kilah Kiba sambil cengar-cengir.

Karin menyenggol pinggang Naruto pelan. "Hinata itu yang mana?" tanyanya, tak mengerti.

"Hinata?" Naruto tersadar dari lamunannya. "Oh, princess-wanna-be itu?" Naruto menjentikkan jarinya. "Teman semejanya Sasuke."

Seisi ruangan kembali terdiam mendengar reaksi Naruto—yang mau tak mau harus diakui, terdengar cuek dan ada nada tak suka di sana.

Chouji berdehem. Sebelum akhirnya meminta izin untuk memutar botol lagi.

"Dare!"

Sebelum botol berhenti berputar, Chouji sudah berteriak kesetanan. Dan akhirnya botol itu mendarat di depan Karin.

"Hmmm, dare yang cocok untuk Karin-nee apa, ya?"

Karin tersenyum semanis mungkin saat Chouji menatapnya dengan tatapan menyelidik.

"Jangan disuruh makan atau minum, itu terlalu gampang," saran Naruto, menatap sepupunya yang menggeram tidak suka.

"Cium Sasuke!"

Tak sampai sedetik kemudian, kaos kaki milik Sakura dan liptint milik Ino sudah mendarat di wajah Chouji. Dua gadis itu benar-benar tak terima dengan tantangan Chouji—seharusnya tantangan seperti itu diberikan pada mereka, bukan Karin.

Karin menatap Chouji tak percaya. Pemuda dengan pipi chubby itu hanya melemparkan cengiran tak berdosanya.

Sasuke yang juga mendengar tantangan dari Chouji, takut-takut menoleh ke arah Karin. Gadis itu memanggilnya dengan isyarat tangan. Mau tak mau, Sasuke menghampirinya.

"Kemari, duduk di sini." perintah Karin dengan wajah menggoda. Gadis itu tampak menikmati mengerjai bocah polos itu. Dia tersenyum puas melihat kaki Sasuke yang bergetar hebat saat berjongkok.

"Dare itu emang benar harus dilakukan, kan? Sasuke tadi berani menyembunyikan kacamataku, Naruto mau ditimpa Chouji, Sakura mau minum cola one shot. Masa nyium Sasuke aku nggak berani?"

Sasuke menarik napasnya dalam-dalam saat merasakan hembusan napas Karin di telinganya. Bibir gadis itu dengan wajahnya sudah sangat dekat, namun Sasuke masih menghindari kontak mata dengan Karin.

"Ini aku beneran boleh cium 'kan?" tanya Karin lagi, membuat Sasuke kembali membuang napasnya.

Kiba, Naruto, Chouji dan Ten Ten mengangguk semangat. Sementara dua fans berat Sasuke, harus menelan ludahnya pahit-pahit menyaksikan adegan ini.

"Aku boleh cium kan, Sas?"

Sasuke kembali menghela napasnya frustasi. "Iya, iya, aku balikin kacamata Neechan."

Karin tersenyum puas mendengar jawaban Sasuke. Dibiarkannya Sasuke beranjak dan mencari kacamatanya. Benar saja, tak sampai lima detik, Sasuke langsung menemukannya.

"Fiuh, kukira kau benar-benar akan mencium Teme." Naruto menggeleng-gelengkan kepalanya, kecewa.

"I have my own way, Naru." Karin berdiri dari tempat duduknya, menuju meja makan dan meneguk sisa tandas cola di gelasnya. Lalu mengambil kacamatanya dari tangan Sasuke. "Aku pulang dulu ya! Have fun!"

Naruto memutar kembali botol di sana, sebelum akhirnya berteriak. "Teme, antarin Karin ke bawah dulu sana!"

Pemuda itu tak menjawab, tapi segera dia menuruni tangga menyusul Karin.

"Sorry, Karin."

Karin menoleh, mendengar namanya dipanggil tanpa embel-embel 'Neechan' oleh Sasuke.

"Karin?" ulangnya dengan nada tak terima.

"Hati-hati di jalan, Karin."

Karin mengendikkan bahunya tak peduli lagi, sebelum akhirnya berjalan menuju mobilnya. Baru saja dia akan membuka kenop pintu mobil, gadis itu kembali berlari ke arah pintu masuk, ke Sasuke.

Cup.

Karin mencium pipi Sasuke.

"Dare beneran harus dilakuin, kan?" bisiknya di telinga pemuda itu, lalu berbalik dan melenggang dengan santainya.

Deru mobil yang dikendarai Karin sudah tak terdengar lagi, namun Sasuke masih berdiri mematung di sana.

"Bye! Jangan kelahi-kelahi lagi ya kalian!"

"Bye, Ten! See you tomorrow!" Sakura melambaikan tangannya beberapa kali, sebelum menutup kaca jendela mobilnya. Dia menoleh ke bangku penumpang di belakang, menemukan pemuda pirang yang berbaring malas-malasan di sana.

Gadis itu sebenarnya tidak menyukai fakta bahwa pemuda itu lebih memilih duduk di belakang daripada di depan menemaninya. Dia tak suka terlihat seperti supir. Namun melihat Naruto yang sedari tadi tampak memikirkan sesuatu, gadis itu tak menggubrisnya lagi.

Perjalanan itu terasa hening. Naruto sibuk dengan pikirannya. Sekali-kali dia mencuri pandang ke bangku kemudi, dimana Sakura tengah berkonsentrasi menyetir. Lalu ekspresinya menatap Sakura dengan tatapan sendu. Begitu terus, sampai dia menyadari bahwa komplek perumahannya sudah semakin dekat.

"Sakura-chan, sebelum belokan ke komplekku, berhenti di minimarket depan ya."

Sakura melirik lewat kaca di depannya. "Kau mau apa?" tanyanya jutek.

"Mau beli ramen."

Sakura membuka mulutnya lebar, tak habis pikir. "Astaga—perutmu itu tidak pecah ya, Naruto? Setelah makan sebanyak itu di rumah Kiba dan sekarang kau ingin makan ramen?" Sakura memberhentikan mobilnya di depan minimarket kecil itu. Rumah Naruto dan rumahnya tak terpaut jauh, hanya berbeda dua komplek.

"Metabolismeku ini cepat sekali, Sakura-chan. Kau yakin kau tidak mau?"

"Boleh deh—tapi belikan yang rendah kalori, ya!"

Naruto membuka pintu mobil. "Oke."

"Air panasnya lebihkan! Bumbunya biar aku yang masukin!" pesan Sakura lagi, tepat sebelum Naruto menutup pintunya.

"Siap, Bos!" ujar Naruto yang sudah berdiri di luar dengan posisi hormat.

Tak sampai lima menit, Naruto kembali muncul dengan dua cup ramen yang masih berasap di tangannya dan plastik yang digantung di tangannya. Sakura membuka kaca jendela mobilnya.

"Makan dimana ini? Di mobil?" tanyanya.

Naruto memandanginya heran. "Kau mau mobilmu bau ramen? Ayo, duduk di sini." Dia meletakkan ramennya di atas kap mobil, lalu membantu Sakura naik ke sana. Keduanya lalu duduk sambil menyantap ramen.

Sakura meniup ramen yang masih sangat panas. "Emang Karin-nee tidak masak?" Sakura memulai pembicaraan, penasaran dengan keseharian Naruto dan Karin.

"Biasanya kami makan malam di luar. Di sini, contohnya."

"Enak punya kakak perempuan?"

Naruto menelan ramennya sebelum menjawab. "Ekspektasiku punya kakak yang manis dan seksi. Realitanya dapat kakak yang super duper cerewet."

"Nee-chan pasti stress tiap hari harus berhadapan denganmu," ujar Sakura sambil menggeleng-geleng sejenak. Gadis itu meletakkan cup ramennya dan membuka plastik yang dibawa Naruto tadi—mencari minuman.

"Tapi ya itu—lucu juga punya kakak."

Sakura meneguk minumannya, sebelum bertanya, "Emang kenapa?"

Naruto tersenyum jahil, matanya memandang jauh ke depan, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. "Pas aku accidentally nemuin bra nya dan tahu ukurannya—aku jadikan bahan olokan, deh!" katanya, diakhiri tawa geli.

Sakura tersenyum kikuk sejenak, lalu berpura-pura tertawa. Gadis itu merapatkan lututnya ke dadanya.

Naruto mengambil botol colanya dan meneguknya. Lalu pemuda itu seperti teringat akan sesuatu.

"Tapi, masa iya, dia menyita majalah pornoku—astaga, dia kira majalah seperti itu murah?" lanjut Naruto dengan keluhan. Sudah beberapa kali ini memang dia dan Karin beradu mulut karena hal itu.

Sakura meletakkan cup ramen yang hanya terisi kuah, gadis itu menghirup udara lewat mulutnya, kepedasan. "Yang seperti itu, seharusnya kau menyembunyikannya dengan benar."

Naruto menoleh ke arahnya, untuk yang pertama kalinya sejak mereka duduk di sana. Pemuda itu mengangkat alisnya, menyadari bahwa Sakura tak pernah memarahinya karena membaca majalah porno atau hal-hal aneh lainnya. Gadis muda itu selalu merasa wajar dengan itu semua.

Naruto juga menyelesaikan makannya. Alih-alih lekas turun dari kap mobil, keduanya malah asik duduk sambil merentangkan kaki, menatap langit yang—malam itu—tanpa bintang.

"Sakura-chan,"

Sakura yang tadinya sedan mengelus-elus perutnya yang kekenyangan, kini menoleh ke Naruto.

"Ojii-san memukulimu lagi?" tanya Naruto, to the point. Tanpa melihat pun, Naruto bisa sadar, tatapan Sakura kosong sejenak.

"Tidak kok," jawab Sakura berusaha sebisa mungkin menutupi suaranya yang bergetar. Sejujurnya, dia terkejut mendengar sahabatnya itu kembali bertanya hal yang seharusnya tak perlu diungkit.

"Jangan bohong, Sakura."

Naruto teringat beberapa tahun yang lalu, saat Sakura datang ke sekolah dengan tubuh penuh lebam. Yang akhirnya, saat itu, Naruto mengajaknya membolos seharian.

"Aku serius, Naruto." Sakura masih berkilah. Suatu hari, dia mengatakan pada Naruto—bahwa Ayahnya sudah berubah, tidak pernah lagi memukulinya. Setidaknya sampai kemarin.

Naruto menoleh. "Terus ada apa dengan lehermu?" Mata menuding ke satu titik di leher Sakura yang membiru, membuat Sakura merapatkan kakinya ke tubuhnya.

"Mungkin kena cubit hantu," jawab Sakura santai.

Naruto menghela napas, berat. Memaksa gadis itu bercerita bukan ide yang bagus.

"Sakura."

"Hm?" Sakura menoleh, takut-takut Naruto akan bertanya berbagai macam hal lagi.

Naruto menatapnya lurus-lurus dan berkata, "Kalau ada apa-apa jangan segan-segan cerita ya, oke?"

Sakura tersenyum simpul, "How sweet you are."

Naruto menatapnya dengan tatapan yang lebih intens. "Aku serius, Sakura."

"Okay, okay. Sure."

Lima menit kemudian, dihabiskan keduanya dengan menebak isi pikiran masing-masing sambil memandangi langit yang benar-benar kosong dalam diam. Sebelum akhirnya, Naruto beranjak dari duduknya dan mengumpulkan cup ramen serta botol minuman ke dalam kantong plastik.

Pemuda itu berlari kecil ke tempat sampah di depan minimarket, lalu berbalik.

"Sakura-chan, aku jalan kaki saja dari sini."

Sakura turun dari kap mobil lalu merapikan seragamnya yang berantakan. "Siapa juga yang mau mengantarmu sampai rumah," sahutnya pendek. Naruto menyunggingkan senyum kecil mendengar nada jutek khas gadis itu, sebelum akhirnya membuka kenop mobil dan mengambil tasnya.

"Makasih tumpangannya, hati-hati di jalan, Sakura-chan!" seru Naruto, lalu berlari kecil masuk ke komplek rumahnya. Sakura sudah duduk di kemudi, namun belum juga menghidupkan mesin mobil.

Gadis itu masih termenung melihat punggung Naruto yang menjauh.

To Be Continued

A/N: another multichap story, fiuh! karena fic yang kemarin, sayangnya, tidak mendapat respon positif (huhuhu, sedih) jadi, aku mutusin buat nge-pause project itu dan buat project baru. And alhasil, lahirlah cerita yang endingnya sama sekali belum kepikiran ini.

aku masih mau menekankan ke friendshipnya between those people, so let's add romance next time, okay?

dan soal jumlah chapter, aku nggak berani jawab. Belum buat story line sama sekali, jujur. When I wrote this, I just let it go.

terakhir, makasih banget buat yang udah mau baca fic ini. makasih dua kali lipat kalau ada yang mau review atau subcribe atau fave. makasih semuanya ;)

next chap will be updated soon!