A Fan Fiction form Alive

I don't own Alive

In Between The Line

Nami berjalan menyusuri jalan setapak, dibawah kanopi pepohonan rindang dan semilir angin yang membelai rambut. Aneh rasanya berada di sini lagi setelah sekian lama. 5 tahun Nami tidak menginjakan kaki di tempat ini.

Tempat ini memang tempat yang penting bagi mereka semua, dan Kanou ingin melakukannya di tempat ini. Di sini ada makam Yukie, bagi Kanou Yukie sudah seperti ibunya sendiri jadi wajar jika ia ingin mengucap sumpah suci di depan pusara ibunya. Dan di tempat ini pula Kanou bertemu lagi dengan cintanya.

Jalan itu makin mendaki dan pasir pantai yang putih dan lembut mulai berubah menjadi kerikil. Langkah Nami semakin berat, namun ia telah membulatkan tekat. Ini adalah kesempatan terakhirnya. Semuanya harus selesai malam ini, di tempat ini.

Entah sejak kapan perasaan itu muncul di hati Nami. Mungkin kebersamaan mereka yang membuat benih-benih itu semakin subur. Mungkin sikap dan kata-katanya yang sejak awal sudah membuat Nami jatuh cinta namun enggan mengakuinya.

Hari ini atau kemarin, rasanya tidak akan ada bedanya. Perasaan ini disimpan Nami baik-baik karena mungkin sejak awal hati kecilnya sudah tau. Nami tidak bisa membohongi dirinya sendiri, perasaan itu tidak akan pernah sampai.

Dan Kanou sejak awal telah memilih. Ada orang lain yang selalu di hatinya, disebut ditiap desah nafasnya, tidak pernah lepas dari pandangannya. Kanou tidak pernah berkata apapun, namun sikapnya membuktikan segalanya.

Kadang Nami berandai-andai, jika orang itu tidak pernah ada. Jika ia bertemu Kanou lebih dulu. Namun, dalam mimpi sekalipun, bayangan itu tidak pernah bisa tergambar. Tidak akan pernah ada Kanou tanpa Ochai.

Jalan setapak itu berakhir tepat diatas bukit, dibawah bohon maple yang saat ini berwarna keemasan. Nami bisa melihatnya berdiri di bawah pohon, mengagumi dedaunan. Ia berbalik seolah mengetahui keberadaan Nami dan tersenyum menyambutnya.

" Nami, kata Yuuta ada hal penting yang ingin kau sampaikan, apa itu?" tanyanya santai.

Nami menelan ludah, seluruh keberanian yang dikumpulkannya selama perjalanan mendadak menguap meninggalkan tubuhnya dengan kekosongan yang membingungkan. Kanou berdiri menunggu, Nami diam dan berdoa. Mata mereka bertemu.

Apakah kata-kata malam ini akan membuat perbedaan? Nami yakin jawabannya adalah tidak, karena Kanou telah memilih. Membuat pilihan jauh sebelum Nami ada di kehidupannya. Pilihan yang tidak akan tergoyahkan.

" Nami…" Kanou memanggil namanya, seharunya Nami juga bisa memanggilnya seperti itu, seperti gadis itu memanggilnya, Taisuke.

"T…" Nami menggigit bibir, " Kanou, aku hanya ingin bilang…"

Semuanya harus berakhir disini, mala mini, apapun yang terjadi.

" a… aku…" Nami berjuang mengumpulkan semua keberaniannya.

Kanou menatapnya, masih mengunggu.

" A… aku bahagia untuk mu dan Ochai." Kata-kata itu meluncur, bukan kata-kata yang ingin diucapkan Nami, namun kata-kata yang seharusnya diucapkan.

Kanou tersenyum, lembut dan menenangkan.

" Terimakasih Nami, buatku dan Megu kau sudah seperti adik kami sendiri. Nami, Yuuta, Aoi dan yang lain adalah keluarga kami."

Adik. Bukan kata-kata yang ingin didengar Nami, namun kata-kata yang sebenarnya. Kini semua beban itu terasa terangkat dan tubuh Nami terasa jauh lebih ringan. Kini semuanya menjadi jelas. Kini semuanya selesai.

Sejak awal Nami tau dimana tempatnya, dimana batasnya. Dan Kanou sudah memilih.