Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Mad Max : Fury Road © George Miller

DESERT

By

Hantu Belau

AOKISE/AKAKURO/MIDOTAKA/MURAHIMU

MadMax!AU & AlphaBetaOmega!verse

Romance/Action/Adventures/Post-Apocalyptic

OOCness/Typo(s)/MatureContent

Enjoy

I

A Day to Remember


Hidup, aku tidak tau itu apa.

Dunia ini tak ada bedanya dengan neraka, itulah pendapatku secara pribadi. Selalu dibayang-bayangi bisikan seorang gadis kecil, merintih minta tolong disertai sekumpulan gambaran si pemilik suara dihantam dengan kendaraan penuh dengan senjata. Semua itu terjadi dengan cepat dan selalu muncul setiap saat. Merendam ingatan itu sampai ke sumsum tulang.

Neraka berikutnya juga sama. Manusia hanya ada untuk saling membunuh, siapa yang kuat dan sanggup bertahan, dia adalah pemenangnya. Yang berstatus tinggi punya kuasa penuh atas mereka yang lemah. Perbudakan merajalela. Musuh tidak hanya manusia, tapi juga lingkungannya. Hanya gurun terbentang luas, setitik warna hijau seperti jarum di gundukan jerami. Bahkan nyaris tidak ada. Dunia sudah rusak, begitu pula segala jenis isinya.

Namaku Aomine Daiki, 25 tahun. Manusia setengah robot –hanya istilah, kawan. Penyendiri yang tidak punya tujuan akhir. Hanya berharap dapat menemukan tempat istimewa yang dapat menenggelamkanku dari realita. Sudah cukup jauh perjalan yang ku arungi, tapi belum menemukan apa yang ku cari.

Harus mencari sisi hidup di dunia seperti ini, aku terlalu bodoh. Tak ada lagi yang kuharapkan. Bahkan matahari tak lagi menjadi sinar yang menimbulkan api di dalam dada, tapi hanya seonggok bola api di langit yang memanaskan kulit kepala. Dari ujung ke ujung yang kupandang hanya gundukan pasir. Memandangnya saja membuat tenggorokanku kering, apalagi melaluinya.

Akankah aku menemukan oasis di tengah gurun seperti ini? sungguh pengharapan yang sia-sia. Sama halnya seperti menemukan wanita molek berdada besar yang sedang santai berjemur di pantai tanpa khawatir matahari disini membakar kulit hingga ke otak. Ironis bukan?

Dilihatnya sekeliling. Ujung ke ujung hanya fatamorgana. Bersandar sambil menghela nafas panjang, Aomine kembali masuk ke mobil modifikasi-setengah-rinsek miliknya. Aroma karat sudah biasa bertengger di hidungnya. Botol minumnya sudah setengah, walaupun di tabung kaleng masih penuh, tapi tidak cukup untuk sehari.

Pria berkulit gelap itu memajukan mobilnya menuju utara, berharap dibalik gundukan pasir besar itu ada kehidupan, minimal ada barang yang bisa ia bawa untuk perbekalan.

Mobil ringsek kesayangannya melaju dengan kecepatan penuh, mengabaikan deru mesin yang sangat ribut di telinga Aomine. Tanpa ia sadari, dari kejauhan sudah tampak siluet hitam yang semakin lama semakin menimbulkan diri. Menghapus jarak perlahan-lahan ke mobil pria berkulit tan ini.

'Ada yang tidak beres.' Batin pria berkulit tan itu sambil memicingkan mata. Iris biru gelapnya menyapu pemandangan yang ada di kaca spion berkarat itu. Mobil yang digandrungi banyak manusia aneh berkepala botak dengan tombak api di tangan salah satu dari mereka.

Mereka berteriak seperti manusia barbar. Mengacungkan tangan ke atas dan salah satu dari mereka bersiap untuk melemparkan tombak api tersebut. Sayup-sayup Aomine mendengar salah satu dari mereka berteriak "Saksikan aku!"

'Siapa mereka?'

'Insting tidak akan menipu.' Adrenalin Aomine terpacu. Dengan waspada ia mengambil ancang-ancang untuk belok mendadak. Kalau tidak dengan cara tersebut, ia tak yakin ia bisa lolos.

Aomine kalah telak ketika tombak itu secara tiba-tiba mendarat di belakang mobil Aomine. Ledakan api memekikkan telinga dan mobil rinsek miliknya terbalik hingga menimbulkan hujan pasir mendadak.

Semuanya terjadi begitu cepat. Pria tan itu berusaha keluar dari mobil miliknya dengan pandangan buram. Darah keluar dari mulutnya bercampur dengan pasir. Setelah berhasil merangkak keluar, Pundaknya ditendang dan ia bisa mendengar suara senjata sudah diacungkan ke tempurung kepalanya. Pandangan hitam menyelimuti dirinya.

Aomine Daiki tidak sadarkan diri setelahnya.


"Tolong aku," Seorang gadis kecil memanggil di bawah truk penghancur. Tubuhnya terjepit hingga perut. Mengadahkan tangannya yang kotor karena darah dan tanah. Mata merah gadis itu berkaca-kaca. Berharap pria yang ia pinta belas kasihannya mau menggapai tanganya, walaupun itu sia-sia.

Aomine hanya bisa mengerutuk. Mengahalangi dirinya sendiri untuk melihat sosok itu dan perlahan menajuh. Dia tidak tau langkahnya ini baik untuknya atau tidak.

Aku pengecut.

.

Kelopak mata itu perlahan bergerak. Cahaya berwarna jingga yang pertama terpantul di mata navy tersebut. Tangannya di rantai di depan tungku api. Tak cukup sampai disitu, ia merasakan sesuatu yang berat terpasang di wajahnya. Besi rantai pengikat wajah dan juga jarum yang menusuk lehernya. Semuanya terasa menyakitkan. Punggung terasa perih karena jarum yang menari seperti kuas di kulit punggungnya.

Ia menyadari begitu banyak orang yang ada dibelakangnya. Ia bisa melirik beberapa dari mereka berkepala botak yang di cat putih hingga ke perut mereka. Dentingan besi panas bisa terdengar dari sebelah sana. Dan ia hanya menggeram ketika jarum di punggungnya menusuk tanpa henti.

"Golongan Darah B. Tidak terkontaminasi penyakit apapun, nodayo." jelas suara bass itu dengan tangannya yang tidak lepas dari jarum yang mengukir dan membasuh darah yang keluar dari kulit punggung si tan. Aomine bisa melihat sedikit refleksi pria yang jauh berbeda dari sekumpulan pria botak bercat putih. Berambut hijau dan berkaca mata. Tak lupa pula tingginya yang menjulang. Sarung tangan putih yang ternoda itu menekan kacamatanya.

"Dia adalah Pendonor Universal." Sorakan tak henti-henti bergemuruh ketika mendengar pengakuan dari si rambut hijau. Salah seorang dari pria-pria botak tersebut menuju tungku api dan mengambil besi panas yang berlogo tengkorak berapi tersebut.

"Siapa yang menyuruh kalian melakukan itu?! Tidak sebelum ada instruksi dariku, nodayo." Tegas pria berambut hijau dengan suara tinggi.

"Ta-tapi Midorima-sama, bukankah sudah selesai?" tanya salah satu dari mereka yang sudah berkeringat dingin.

Pria yang disebut Midorima-sama itu menghela nafas panjang. "Aku ingin menambah satu ukiran lagi. Dia sama sepertiku." Tambahnya sambil mengusap kulit tan yang belum terjamah oleh jarum-jarum miliknya.

Aomine tidak melewatkan kesempatan ini. Ketika manusia-manusia aneh itu sedikit lengah, ia mengayunkan kakinya yang dari tadi masih terbebas di bawah sana. Gerakannya sangat agrsif ketika menendang pria-pria tersebut menjauh darinya. Pria berambut hijau sudah menghilang dari sana.

Aomine memutuskan untuk kabur dengan sisa tenaga yang ia punya. Tak menghiraukan jeritan orang-orang putih berkepala botak yang berhamburan mengejarnya bagaikan zombie haus akan otak manusia. Instingnya terus membawanya ketempat-tempat sempit. Hal itu tidak mengurangi jumlah pengejarnya yang gila tersebut.

Ia tidak tau kemana kakinya membawanya pergi. Sejenak ia bisa menambah jarak yang begitu besar dengan pengejarnya itu. Pintu besi itu yang ia lihat setelahnya.

'Buntu! Keparat!'

Riuh kembali didengarnya dan tanpa pikir panjang ia menerobos pintu tersebut.

Nyawanya hampir hilang ketika ia melihat jurang tinggi yang hampir menariknya kebawah.

Dia berada di dalam istana batu milik manusia-manusia botak lalu menyapu pemandangan sekitarnya. Di depannya ada istana batu yang sama persis seperti yang ia pijaki sekarang. Tak lupa pula dengan ukiran besar tengkorak berapi yang ia lihat di besi panas itu sebelumnya. Padangannya teralih ke tuas yang tergantung dari tepi batu. Belum sampai ia melompat, tangan-tangan kekar tersebut menariknya dan menutup wajahnya dengan kasar. Aomine terkunci dan kembali tak sadarkan diri.


Dibawah batu kubik raksasa tersebut banyak sekali orang-orang renta, berpenyakit dan sangat kotor berkumpul bersama. Mereka seperti pengungsi yang tak punya pilihan hidup lagi selain menunggu pipa besar yang ada di badan batu itu mengeluarkan air. Keadaan mereka sangat mengenaskan. Budak-budak yang tidak berharga.

Semua mata beralih ke objek besar yang diturunkan perlahan. Perajurit botak berhamburan keluar dan mempersiapkan segala keperluan mereka untuk pergi. Mobil dan motor dimodifikasi senjata perang dan segala jenis bom mematikan. Itu suatu pertanda kalau mereka akan melakukan negosiasi di beberapa kota.

Seorang pria jangkung berjalan menuju kendaraan besar yang baru diturunkan. War-Rig* turun dengan gagahnya. Siapa sangka figur sepertinya mempunyai kuasa penuh akan kendaraan paling besar dan perkasa itu. Semua pasang mata tertuju kepada dirinya, ia hanya melempar pandangan ke anak buahnya yang sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dikaitkan ke truk miliknya. Suasana sangat riuh dengan yel yel penyemangat yang tak gentar dikumandangkan mereka.

"Kita adalah War-Boys!"

"War-Boys!"

"War-Boys berani mati!"

"War-Boys!"

"War Boys yang mematikan!"

"War-Boys!"

Pria tersebut mangambil posisinya di dalam truk kesayangannya. Memanaskan kendaraan besar itu seperti hal yang biasa ia lakukan.

"Hari ini kita akan menuju Gas Town!" teriak salah satu dari mereka sambil menyambung semua kabel penghubung ke truk tersebut.

"Gas Town!"

"Hari ini kita akan mengangkut buah dan sayuran!"

"Buah dan sayuran!"

"Dan kita juga mengangkut ASI!" seru salah seorang lagi ketika salah satu tabung berisi ASI itu siap dikaitkan ke War-Rig.

"ASI!"

Kegiatan mereka akhirnya selesai dan para War-Boys mengambil tempat masing-masing. Menunggu kata-kata sambutan dari pemimpin tertinggi.

Jauh di atas sana, semua pelayan sibuk mempersiapkan sosok paling agung. Pemimpin Citadel yang paling ditakuti. Manusia yang dianggap War-Boys sebagai Tuhan. Pemimpin dari segala pemimpin. Raja dari para Alpha. Kelopak mata bergulung untuk mengeluarkan sepasang manik heterokrom yang membulat sempurna.

Akashi Seijuro yang agung mantap berdiri dengan gagah menuju balkon dimana orang-orang kepercayaannya menunggu disana.

"Sambutlah dengan meriah, Akashi-sama!" teriak seorang War-Boys yang berdiri tepat disebelah seorang pria berambut ungu dan bertubuh tinggi yang minim akan ekspresi. Pria tersebut berdiri tepat disebelah kiri Sang Raja. Di sebelah kanannya berdiri dengan gagah pria benama Midorima-sama sebelumnya. Sama seperti pria berambut ungu, tak ada ekspresi yang terlalu menonjol di wajahnya.

Pria bersurai merah mengadahkan tangannya. Syarat akan kekuasaananya, membisukan semua yang ada disana.

"Sekali lagi, War-Rig kukirimkan untuk bernegosiasi ke Gas Town dan Bullet Farm!" Suaranya menggema dengan lantang. Disambut meriah oleh para War-Boys yang menyerukan namanya.

"Dan tanpa henti pula kusampaikan keberkatan dan rasa bangga untuk Imperator-ku, Kise Ryouta. Seorang pekerja keras dan saudara yang selalu setia bersamaku selain Satsuki, Shintaro dan Atsushi"

Semua mata tertuju kepada pemuda berambut kuning keemasan yang sudah duduk dengan tenang dibalik kemudi truk tersebut.

"Tak lupa pula kuberikan rasa hormatku kepada War-Boys yang selalu menjagaku, Dan menjadi hamba sahaya yang selalu setia."

Tunduk War-Boys fanatik yang akan pergi itu kepada Raja mereka, lalu segera bersiap ke posisi masing-masing.

"Aku adalah juru selamat kalian. Alpha adalah manusia dengan derajat paling tinggi dari segalanya. Tidak ada yang bisa menandingi kekuasaanku. Hanya diriku dan para Alpha lainnya, yang dapat membimbing kalian para Beta untuk bangkit dari keterpurukan di dunia ini.

Kedua tangan Akashi meraih tuas besi. Menimbulkan suara gemuruh air yang akan memuntahkan diri dari pipa raksasa di bawah sana.

Semua pasang mata memancarkan senyum pengharapan ketika air itu membasuh wajah mereka yang berlumpur dan kotor. Kaleng-kaleng dan wadah yang berkarat diacungkan tinggi-tinggi dengan penuh semangat. Akhirnya tenggorokan mereka tidak akan kering lagi.

Belum rasanya cukup air itu membasahi diri mereka sepenuhnya, Akashi sudah menarik tuas itu kembali. Air perlahan menipis dan akhirnya tidak ada lagi. Akhirnya ia kembali membuka suara.

"Jangan sampai kalian terbutakan oleh air dan nafsu belaka. Kendalikan diri kalian." Suara budak-budak itu memilukan, bahkan tak sedikit dari mereka berkelahi hanya untuk mengambil air yang sudah bercampur dengan tanah.

Pemuda yang duduk dibalik kemudi War-Rig itu menatap budak-budak itu dengan saksama. Ada raut kesedihan dibalik matanya yang berwarna emas. Sorot matanya lalu melirik ke arah balkon istana. Matanya menatap tajam ketiga sosok yang selama ini ia serahkan hidupnya untuk menjadi 'Saudara' mereka. Rasa kebencian terpancar jelas di sorot keemasan si pirang. Ketiga orang itu perlahan menghilang di balik balkon dan Pemuda itu menarik nafas panjang.

'Kita lihat saja, kakak-kakak Alpha-ku yang tercinta.' Batinnya sinis ketika ia melaju War-Rig pergi.

Kise berusaha menenangkan dirinya. Memperhitungkan semuanya berulang-ulang kali. Untuk yang pertama dan sekaligus yang terakhir.

Di depan ia bisa melihat Gas Town memberi isyarat penyambutan mereka disana. Mobil kecil yang ada di depannya berjalan mulus tanpa cela. Matanya kembali memperhatikan bayangan Citadel yang semakin lama semakin mengecil. Ditatapnya sekali lagi Gas Town di depannya dan kembali melihat Citadel. 'Oke, Rencana bisa dimulai.'

Sambil menahan nafas, Kise tiba-tiba membelok War-Rig ke arah kiri. Aksi nekat itu ia jalankan dihantui dengan seribu skenario terburuk yang sudah ia bayangkan. Tapi, tidak ada kesempatan lain selain ini. kalau tidak seperti ini, dia tidak akan puas. Kami harus berjuang!

Pemuda berambut emas tetap berusaha tenang. War-Boys kewalahan mengejar truk yang tiba-tiba keluar jalur itu. Mereka semua menyusul dibelakang, bertanya-tanya satu sama lain ada apakah gerangan mereka berbalik jalur.

"Bos, kita tidak ke Gas Town?" tanya salah satu War-Boys yang bergantungan di pintu.

Kise memasang ekspresi dingin dan tak menghiraukan si penanya. Matanya tidak beralih dari depan.

"Kalau Bullet Farm?" tanyanya lagi. Bingung terlihat jelas di wajahnya.

"Kita ke Timur." Balas Kise singkat padat dan jelas.

War-Boys yang masih terpaku lalu beranjak dari tempatnya dan memberi tahu rekannya yang lain untuk mengikuti permintaan Imperator mereka. Mereka belum menyadari adanya keanehan yang dilakukan si Bos.


Pemuda jangkung berambut ungu itu memeriksa kualitas ASI yang dihasilkan oleh wanita-wanita berbadan besar yang ada di ruangan itu. Ada yang sudah tertidur dengan pulas walaupun alat penghisap ASI masih bertengger di payudara mereka.

"Murasakibara-sama, saya haus." Ujar salah satu wanita itu. Syarat akan ketidak mampuannya untuk bergerak karena beban di tubuhnya sudah sangat besar.

Pemuda yang dipanggil Murasakibara-sama itu mengambil segelasair segar yang ada di meja. Memberikannya kepada wanita itu tanpa banyak berkata-kata. Roti tawar bertengger di bibirnya ketika ia melanjutkan kembali pekerjaannya.

"Murasakibara-sama, Ada yang tidak beres dengan War-Rig." Lapor seorang War-Boys sambil melepaskan teropong yang ada di genggamannya. Atsushi bergegas meraih teropong itu. Dilihatnya War-Rig dan War-Boys lainnya semakin lama semakin menjauh dari tujuan mereka semula.

"Nee, panggil Aka-chin secepatnya, Ini darurat."

Senyum misterius menghiasi parasnya saat teropong itu kembali mendarat di matanya.

"Kise-chin, mau dihukum lagi ya?"

"Atsushi, Berikan teropong itu kepadaku." Titah Akashi dengan lantang.

Setelah melihat keadaan sebenarnya, Akashi berlari meninggalkan orang-orang yang ada di ruangan itu. Kali ini setitik ekspresi gusar terlihat jelas di wajahnya. Dia terus berlari hingga tubuhnya sampai di pintu besi besar yang hanya bisa dibuka olehnya dan saudaranya.

Dirinya semakin gusar ketika ia tak mencium feromon yang khas dari seseorang.

"Tetsuya!"

Surai magenta itu menatap sekeliling, tak melihat tanda-tanda kehidupan di ruangan besar tersebut.

"Tatsuya!"

"Kazunari!"

'Jangan sampai intuisi ku ini benar!' Akashi membatin curiga.

"Omega punya hak untuk merdeka!" coretan tinta putih menghiasi dinding berwarna coklat.

"Anak kami tidak akan menjadi Warlord!"

"Kami bukan barang dagangan!"

Sejenak Akashi tertegun melihat tulisan putih itu. Jadi ini ya? Mereka sudah lolos dari belenggu keluarganya. Lolos dibawa oleh adik tirinya yang kurang ajar itu.

'Tetsuya lolos dari tanganku?'


Aomine tersadar ketika mendapati dirinya berada di jeruji besi yang tergantung. Besi pengikat yang ada di wajahnya belum dilepas. Di bawahnya begitu banyak manusia botak berlalu lalang. Sibuk dengan kegiatan mereka dan beberapa ada yang mengisi darah dari orang-orang yang bernasib sama dengan dirinya. Dia terlalu lelah. Berusaha mengisi energi dengan tidur dan mengatur rencana untuk kabur.

"Bawa dia ke kamarku." suara feminim terdengar sayup-sayup ke telinga si tan. Aomine tidak jadi tidur dan melirik ke orang-orang di bawah sana. Rambut berwarna merah muda mengintip di balik jubah hitam mewah wanita itu. 'hoo, salah satu petinggi.'

"Tapi Momoi-sama, dia liar dan berbahaya. Ada rantai di wajahnya." Sergah salah satu War-boys.'Salah satu orang yang dipanggil–sama? Mereka itu sebenarnya siapa?'

"Aku bisa menanganinya. Jadi lakukan saja perintahku!" Wanita itu beranjak pergi meninggalkan bawahannya begitu saja. War-boys mengambil pengait dan bersiaga di bawah sana. Aomine pura-pura tertidur. Ketika jeruji itu dibuka, dia ditarik oleh dua orang bertubuh besar yang menyeretnya pergi.

Aomine berusaha tenang. Tidak ada gunanya kabur sekarang. Yang ia jumpai kan perempuan, di kamar lagi. Jelas dia lebih kuat. Dari segi apapun. Dirantai sekalipun.

"Ikat dia di kaki tempat tidurku." Intruksi wanita itu sambil melepaskan jubahnya. memperlihatkan pakaian two-pieces yang memaparkan bahu dan perutnya yang mulus.

"Anda tidak ingin kami mengikatnya di atas tempat tidur?" tawar anak buahnya tidak segan.

"Itu tidak perlu. Setelah itu kalian keluar dan pergilah. Tinggalkan kami berdua." Titah Momoi sambil melipat tangannya di dada. Gadis itu menuju meja terdekat dan menulis sesuatu.

Aomine tidak melawan ketika dua orang itu mengikat tangannya dengan kuat. Memutuskan untuk menutup matanya sejenak.

Wanita itu menunggu dengan sabar di depan pintu. Kedua bawahannya keluar dan ia menutup pintu itu perlahan. Masih tetap menghadap ke pintu untuk beberapa saat, ia membuka kembali dan mengintip keluar. Setelah dirasanya aman, ia mengunci pintu tersebut.

"Perkenalkan, aku Momoi Satsuki. Aku punya tugas untukmu." Ucap gadis itu berbisik. Menyadarkan Aomine kembali.

"Tidak." Jawab Aomine tak acuh.

"Apa kau bilang?"

"Aku bilang tidak."

"Beraninya kau!" suara Momoi meninggi. Begitu kemarahannya muncul, seketika juga amarah itu hilang lagi. Dia tidak punya pilihan lagi. Dia membutuhkan pria ini.

"Tolonglah, kumohon. Hanya kau yang bisa menolongku." Pinta gadis itu berlutut. "Kau yang bernama Aomine Daiki kan? Pendonor universal yang mencoba kabur beberapa jam yang lalu?"

"Tidak tahu." Jawab Aomine enteng.

"Kau seorang Alpha kan?" tanya Momoi lagi, belum menyerah.

"Maksudmu?" Si tan penuh curiga.

"Ehm, kau seorang Alpha. Kau sama seperti Akashi-kun, Midorin, Mukkun dan juga diriku. " Sambung Momoi sambil tersenyum lega.

"Siapa itu Akashi, Midorin dan Mukkun? Terutama Midorin. Namanya familiar seperti Midorima-sama."

"Iya, dia orang yang sama. Mereka semua adalah adik tiriku. Masing-masing berbeda ibu. Akashi-kun yang menjadi pemimpin Citadel."

"Apa itu Alpha?" tanya Aomine tanpa menghiraukan jawaban Momoi sebelumnya.

"Susah menjelaskannya kepadamu sekarang, Aomine-kun. Tidak ada waktu lagi. Aku akan membebaskanmu jika kau mau membantuku." Tandas Momoi penuh harap. "Kumohon…"

"Kau mau apa? "

"Aku mau kau menyusul War-Rig, truk besar yang dibawa oleh Ki-chan. Dan membantu mereka."

"Siapa Ki-chan? Dan siapa mereka? dan untuk apa aku harus menyusul mereka?"

"Ki-chan itu Imperator Kise Ryouta. Dia adik tiriku juga. Dan mereka itu adalah Tetsu-kun, Takao-kun dan Himuro-kun. Mereka bertiga adalah Omega yang mencoba kabur dari sini. Kumohon kepadamu Aomine-kun, kau harus menolong mereka. aku…aku..hiks…"

Momoi terisak dan menutup wajahnya. Aomine tak bisa berkata apa-apa. Dia masih bingung dengan segala istilah yang disebut Momoi itu. Dia hanya menatap sosok didepannya yang berlutut dengan pundak bergetar.

"Aku takut mereka tidak berhasil. Hiks… aku percaya kepada Ki-chan dan yang lainnya. Aku mencoba membujuk mereka untuk memberiku waktu. Sedikit lagi. Untuk memikirkan cara yang lain. Tapi mereka…. hiks.."

"Bisa kau lepaskan ikatanku?" tanya Aomine pelan. Momoi membuka wajahnya sambil tertegun.

"Aku tidak akan melakukan apa-apa. Aku janji."

Momoi memilih percaya dan bergegas membukakan ikatan Aomine di kaki tempat tidurnya. "Maafkan ketidak sopananku meminta tolong tapi memperlakukanmu seperti ini. Tapi maaf, aku belum bisa membuka besi yang ada di wajahmu, Aomine-kun."

"Tidak apa-apa. Bisakah kau memberiku air?"

"Bisa, tunggu sebentar."

Air itu membasahi tenggorokannya yang kering. Momoi melanjutkan kembali ceritanya. "Aku sudah menyiapkan semua perbekalan yang kau butuhkan nanti, termasuk kendaraan dan beberapa senjata. Dan aku menitip sebuah peti yang harus kau berikan kepada mereka. Dan kau tak boleh membukanya-"

"Oi, aku belum bilang iya."

"Kau akan, aku yakin."

"Kenapa kau begitu yakin?"

"Karena kau tidak akan mengabaikan orang-orang lemah…" Momoi menghentikan perkataanya lalu menatap pria tan itu langsung ke matanya ".. termasuk orang yang mengandung, bukan?"

"Kau bilang mereka hanya berempat dan mereka semua…laki-laki…kan?" Aomine terkejut. Sungguh tak terduga.

"Salah satu dari mereka sedang mengandung. Dan kondisinya sangat lemah. Aku sangat khawatir, Dai-chan." Rengek Momoi lagi sambil menarik-narik baju lusuh Aomine. Aomine tak bisa menahan rasa terkejutnya ketika mendengar hal tersebut, 'Apa sebenarnya Alpha Omega itu?.

"Siapa yang kau panggil Dai-chan? Jangan sok akrab." Tandas Aomine untuk menutupi rasa terkejutnya.

Momoi lalu beranjak menuju meja yang terdapat banyak kertas-kertas. Ia menulis begitu cepat hingga Aomine hanya bisa bersandar di keranda tempat tidurnya. Gadis itu menulis begitu di banyak kertas dan menyimpannya di balik jubah hitamnya yang tergantung.

Mereka lalu diusik dengan ketukan di pintu. Momoi langsung menatap Aomine sambil menginstruksikan pria itu untuk masuk ke dalam kamar mandi. Setelah aman, ia membuka pintu dan memasang ekspresi dingin seperti biasa.

"Ada apa?"

"Akashi-sama menyuruh anda untuk menemuinya di ruang pertemuan utama. ini pertemuan mendadak dan berstatus genting." Lapor seorang War-boys.

"Kalian tunggu sebentar." Momoi lalu menutup kembali pintu kamarnya dan bergegas menuju kamar mandi.

"Dai-chan, aku akan pergi sebentar. Ku pastikan kamar ini dikunci dari luar. kau jangan kemana-mana. Dan jangan kabur. Aku akan kembali lagi." Bisik Momoi yang terdengar buru-buru. Aomine mendengar pintu itu di kunci dari luar dan memutuskan untuk keluar dari kamar mandi.

Aomine tak tahan untuk tidak menyusuri buku-buku yang ada di meja gadis itu menulis sebelumnya. Ia ingin tau lebih tentang apa itu alpha omega. Dan kenapa gadis itu mengklaim dirinya Alpha.

Iris biru gelapnya memokus ke buku tebal yang menopang buku-buku yang ada di atasnya.

"Humans Biological Roles Based on Hierarchical System?" judul itulah yang tertera di ujung sampulnya.

Aomine tanpa ragu mengambil buku itu. Membuka halamannya dan membaca daftar isinya. Sesuai ekspektasi. Di daftar isi tercantum Alpha, ada juga Omega dan bahkan Beta. 'What the fuck?'

"Alpha adalah manusia (biasanya laki-laki) yang menempati posisi teratas dalam hirarki dan mereka yang paling dominan. Mereka bisa menghamili Omega?" 'Yang benar saja. Apa-apaan ini?'

Tangannya kembali membalik kertas ke halaman berikutnya yang dimana judul 'Omega' tertera disana.

"Omega adalah manusia yang menempati posisi terendah di dalam hirarki. Mereka dapat berbuah dan melahirkan (Mau itu laki-laki ataupun perempuan)?" 'what the fuck?(2)'

Kilatan wajah seorang gadis kembali muncul di kepalanya. Menjerit-jerit, mencakar dan melototinya. Sumpah serapah gadis itu meninggi. Bayangan aksi berdarah itu terputar ulang. Bagian-bagian tubuh terburai, darah bercecer dimana-mana. Menyudutkan Aomine secara mental. Kepalanya ingin meledak.

Pria itu terduduk dengan tubuh bergetar hebat. Kepalanya diremas kuat. Berteriak juga tidak membuahkan hasil.

Semua bayangan itu terulang kembali. Beberapa kali dan jika Aomine tidak tersadar, ia bisa gila.


Momoi berusaha tenang. Wajah minim ekspresi menyelimuti parasnya yang menawan. Pintu ruangan pertemuan dibuka. Menampilkan sosok ketiga adik tirinya yang duduk di meja bundar. Tak ada yang melemparkan senyuman. Hawa intimidasi sangat pekat dirasakan Momoi.

Hanya tersisa satu kursi khusus untuknya. Tanpa banyak berbicara Momoi duduk dan menatap ketiganya.

"Baiklah, ayo kita mulai." perkataan dari Akashi itu mengisyaratkan semua bawahan mereka untuk meninggalkan tempat.

"Aku ingin menghancurkan seseorang." Tandas Murasakibara dengan tatapan penuh amarah.

"Kise, maksudmu?" jelas Midorima dengan ekspresi yang sama.

"Apa maksud kalian?" tanya Momoi tidak senang.

"Pirang berisik itu kembali membuat masalah. Dan kali ini kurasa sudah yang sangat fatal." Jelas Midorima.

"Aku ingin membunuhnya."

"Aku sependapat denganmu, Murasakibara."

"Tenanglah Midorin, Mukkun! Jelaskan padaku ada apa sebenarnya?!" nada bicara Momoi meninggi.

"Dia kabur dan membawa mereka bersamanya, Kau tau? Takao, Kuroko dan Himuro pergi, bisa kau bayangkan itu? Bisa kau bayangkan betapa aku sangat membenci adik kesayangamu itu!"

"Omega tidak berguna."

Wajah Momoi memerah, amarah sudah menumpuk di kepalanya.

"Kalian keterlalua-"

"DIAM!" Akashi meledak. Kedua tangannya mengepal menumbuk meja. Semuanya kembali diam membatu. Mencoba untuk tidak saling membunuh satu sama lain. Akashi mengeluarkan kertas dari balik meja.

"Aku ingin kalian menandatangani ini." ujarnya singkat dengan aura yang semakin suram.

Mata Momoi memokus ke kertas yang ada di tengah meja. Matanya menatap nanar dan terkejut luar biasa.

"Pembentukan pasukan khusus dan Pengeksekusian…atas…. Kise ..Ryouta..?"

"Aku setuju." Ujar Midorima singkat.

"Berikan kertas itu padaku." Murasakibara bersuara lagi.

"Kalian keterlaluan!" Momoi membentak. "Itu adik kalian sendiri. Bagaimana kalian bisa setega ini?" Momoi segera berdiri dan berjalan menuju pintu.

"Tidak ada yang menyentuh pintu sebelum tanda tangan kalian terisi di kertas ini." titah Akashi. Dingin dan penuh sarat akan peringatan keras di nada bicaranya yang tenang.

Momoi tersedot dan membeku. Ia tak pernah mendengar Akashi seperti itu. Dia tak punya tenaga untuk menolak. Momoi terduduk tidak berdaya.

Akashi mendekatinya dan berjongkok di depan gadis itu. Menyodorkan kertas beserta bulu tinta yang dipegang oleh Midorima sebelumnya. Momoi tidak berani menatap wajah si surai magenta. Ia menyerah.

Tinta bergetar menggores kertas putih. Menandakan takluknya Momoi Satsuki di bawah sihir abstrak seorang Akashi Seijuro.

Akashi kembali berdiri dengan penuh kemenangan. Meninggalkan gadis itu terududuk sendirian di depan pintu. Momoi beranjak pergi dari sana tanpa melihat kebelakang. Mimpi buruknya perlahan menjadi nyata.

'Maafkan aku, Ki-chan. Aku harap permintaan maafku bisa kau terima ketika bertemu Aomine-kun nanti.'

.

"Shintaro, Atsushi."

Senyum misterius merekah di wajah manik heterokrom.

"Mari kita bicarakan rencana kita yang kedua."


"Dai-chan!" Tangan Momoi meremas pundaknya. Aomine kembali tersadar. Wajahnya padam dan berkeringat.

"Kau tidak apa-apa?" Momoi menyodorkan segelas air kepadanya.

"Kenapa kau cepat kembali?" tanya Aomine sambil mencoba mengatur nafasnya. Ia menyandarkan badannya di dinding.

"Kita tidak punya waktu lagi. Akashi-kun akan membentuk pasukan untuk mengejar Ki-chan." Momoi panik. Luar biasa panik. Berlalu lalang kesana kemari mencari sesuatu. Namun ia berhenti sejenak dan menatap Aomine.

"Kau akan melakukannya?" tanya Momoi pelan. Wajah penuh pengharapan. Dan harapan itu ada di tangan Aomine.

"Baiklah."

"Terima Kasih, Dai-chan." Momoi memeluknya dengan erat. Setitik air mata mengalir dari pipinya.

Momoi memakaikannnya jubah hitam. Dan menyerahkan peti kecil yang terkunci untuk Aomine bawa di balik jubah hitamnya. Mereka bergegas keluar dari kamar itu.

Mereka menyusuri jalan-jalan rahasia yang sangat dihafal oleh Momoi. Selama di perjalanan mereka yang singkat itu, Momoi menjelaskan secara detil bagaimana menyusul War-Rig yang beberapa saat lalu pergi. Ketika mereka sampai, Momoi mengarahkan pria itu ke motor yang sudah di persiapkannya.

Gadis itu meletakkan peti kecil ke dalam salah satu kantung motor yang ada di kursi boncengan.

"Aku memilih kendaraan ini karena lebih efisien dan yang tercepat dari semua kendaraan yang ada disini. Ini milikku satu-satunya." Momoi menjelaskan sambil tersenyum.

"Kenapa kau tidak ikut dengan mereka?"

"Aku tidak bisa. Citadel membutuhkanku." Ujar Momoi pelan.

Aomine memasang helmnya. Memanaskan motor itu. Dia menunggu sebentar lagi. Dan menatap gadis itu di mulut garasi.

"Ada pesan terakhir untuk Ki-Chan-mu?" goda Aomine.

"Haha…." Momoi tertawa lepas. "Katakan saja aku menyayanginya, menyayangi Tetsu-kun, Himuro-kun dan juga Takao-kun. Dan yang terakhir…"

Senyuman itu padam dan berganti dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku memaafkan mereka walaupun mereka mengucapkan selamat tinggal hanya melalui surat…hiks…"

"Semoga berhasil, Aomine-kun." Momoi memeluknya dengan erat.

Aomine melepaskan pelukan gadis itu dan menutup kaca helmnya. Suara motor mengisi ruangan dan Aomine melesat tenggelam di fatamorgana.


Manik emas menjelajahi jalanan gurun pasir itu dengan liar. Mengawasi anak buahnya yang ada di luar sana. Tak lama kemudian ia mendengar suara ketukan di lantai tempat duduk belakang. Kise membukanya dan mendapati kepala berwarna biru langit meyembul keluar.

"Kise-kun, aku kepanasan."

"Kurokocchi, masuklah dulu. Kita belum aman." Bisik Kise tanpa melihat si manik biru di bawah sana.

"Sampai kapan Kise-kun? Aku sangat haus."

"Air yang sama Takaocchi?"

"Sudah habis."

"Bersabarlah, Kurokocchi. Jika kita sudah aman, kita akan minum semua air yang ada di tangki. Oke?" Kise melempar senyuman manisnya ke surai biru langit.

"Baiklah, Kise-kun." ujar Kuroko akhirnya dan melenyap masuk ke dalam kolong itu lagi.

Dari kejahuan Kise melihat ada tembakan asap yang dikirim kelangit. Berwarna merah dan kuning. Samar-samar ia juga mendengar begitu banyak suara kendaraan.

Perlahan-lahan kilat tubuh kendaraan-kendaraan itu memudarkan fatamorgana. Jumlah mereka begitu banyak. Dugaan Kise benar.

"Bos, Kami melihat banyak kendaraan dari Citadel. Mereka mengirim sinyal kepada Bullet Farm dan Gas Town. Sebenarnya misi apa ini? Pengalih perhatian?" teriak salah satu anak buahnya yang mensejajarkan kendaraan mereka. Kise berusaha menutupi rasa paniknya.

"Ini pelarian." Jawab Kise dengan singkat lalu mengencangkan laju truk yang dikemudikannya.

Para War-boys terdiam dan menatap sekeliling mereka. Bingung dengan perkataan Bosnya. Mereka akan masuk ke daerah musuh. Samar-samar terlihat di depan sana mobil yang berduri-duri berjalan mendekati mereka.

"Waspada dengan Geng Buzzard!" perintah Kise ketika melihat mobil-mobil musuh semakin mendekat.

Para War-boys yang berada di atas tangki War-Rig bersiap-siap ke posisi mereka. Salah satu diantara mereka menghampiri Kise.

"Bos, haruskah kita berbalik dan meminta bantuan mereka? kita kalah jumlah." bawahannya itu menunjuk kerumunan yang berada jauh di belakang mereka. Kise tetap fokus dan berfikir sejenak. Dia tidak takut.

"Tidak. Kita serang mereka!"

Klakson War-rig berseru kencang. Menandakan perang akan segera datang.

TBC

A/N

Hallo semuanya. Akhirnya saya bisa keluar dari belenggu WB yang meracun jiwa Hahah.

Terima kasih kepada mereka yang sudah mau membaca chapter ini sampe akhir. ini fanfic pertama saya di fendem KNB. Dan OTP saya seperti yang kalian baca di atas. AHOKISE (Akakuro, Midotaka, Murahimu juga pair yang aku favoritin)

Special thanks untuk kamar mandi tercinta. Karena dialah wadah yang banyak memberikan saya inspirasi. (serius lho wkwkw)

Bagi yang pernah menonton film Mad Max (Apalagi yang "The Fury Road") mungkin merasa saya menyontek semuanya dari film ya? Walaupun saya berusaha mati-matian ngebuat plot yang asli dari saya sendiri. Saya Cuma mengambil setting di "Fury Road" karena hanya film itu yang saya tonton dari beberapa seri filmnya. Suka aja dengan kisah seme yang ngejer ukenya yang berusaha kabur. Jadi untuk yang selanjutnya, plot akan berjalan murni dari pemikiran saya sendiri.

Daftar istilah:

War-Boys adalah prajurit fanatik yang menganggap pemimpin mereka (di film, Immortan Joe, kalau di Desert, Akang Akashi) sebagai tuhan. Dan mereka sangat setia akan pemimpin mereka itu. Karena dari kecil sudah di dokterin oleh antek-antek pemimpin mereka. (Mungkin sebagian dari kalian bingung ya, kenapa war boys itu ribut. hahah saya juga sih. dan itu yang buat saya cinta dengan film Fury Road)

War-Rig adalah truk bertenaga lebih dari seribu kuda. Di MadMax!universe, War Rig sering di pakai untuk berperang di garis depan.

Bullet Farm nama kota yang sama seperti Citadel. Mereka adalah penghasil peluru terbesar di daerah Wasteland.

Gas Town hampir sama seperti kota-kota lainnya. Mereka adalah penghasil tambang minyak terbesar di Wasteland

ASI ya Air Susu Ibu (iyha)

Please read (again), review and fav :*

See you guys on the next chaptaaa

Hantu Belau