Owari no Seraph milik Takaya Kagami
Di Bawah Payung Biru
Oleh Ayahina
.
.
.
Guren mematung di depan sekolah. Seragam dan sepatunya basah. Tubuhnya gemetar atas reaksi tabrakan angin. Telinganya menangkap berbagai macam suara namun ribuan tetesan air menuju bumi meredam semuanya. Mendung yang gelap dan pilu menyelubungi dirgantara yang cerah dan biru. Hujan jatuh dan rumah terasa sangat jauh.
Merasa tidak ada gunanya berteduh di sekolah, Guren melanjutkan langkah. Langkah tak bermakna, ia tidak memuja maupun mengutuk hujan. Guren hanya ingin pulang dan memeluk hangatnya selimut dan perapian lantas menyenangkan diri dengan ramen dan cokelat panas. Dunia dengan atau tanpa hujan sama saja di perspektif ungunya, kosong bertaut hampa.
Laki-laki Ichinose itu berhenti mendadak. Seseorang baru saja menyiram air ke punggungnya yang sudah dingin. Jengkel, Guren menoleh demi mendapati senyum nakal mengembang sangat lebar. Sosok jangkung pemilik senyum tak bersalah itu mendekat dengan botol kosong di tangan. Ini ketujuh kalinya Guren berjumpa dengan orang itu dengan cara tidak mengenakkan hari ini.
Shinya.
Keturunan Hiiragi itu berdiri di hadapan Guren. Masih tersenyum, menatap intens. Tangan kirinya memutar payung biru yang melindungi diri dari hujan. Payung cerah itu seperti melengkapi pribadi Shinya sekaligus terlihat sangat kontras dengan sekitar. Di mata Guren, payung itu terlihat sama menyebalkan dengan pemiliknya.
Serta-merta Guren membalikkan badan, pergi.
"Guren, tunggu! Rambut dan seragammu basah!" Shinya mengejar.
"Aku sudah basah."
"Setidaknya katakan sesuatu."
Berhenti lagi, Guren bertanya tidak sabar, "Apa?"
"Aku hanya ingin pulang bersamamu."
Guren tidak peduli lagi, langsung berjalan menerobos hujan meninggalkan Shinya. Ia tidak mengatakan apa pun ketika Shinya melangkah di sampingnya. Ia tidak mengatakan apa pun ketika payung biru Shinya menaungi dirinya. Ia tidak mengatakan apa pun ketika tangannya bersinggungan dengan tangan Shinya.
Pulang, Guren hanya ingin pulang.
Tapi rumahnya—dunianya—masih terasa sangat jauh.
"Bagaimana bisa kau lupa membawa payung, Guren?" Pertanyaan Shinya adalah yang pertama memecah sunyi. Jalanan lengang dan tenang. Di antara titik-titik air, suara Shinya memenuhi pendengaran Guren.
Guren menengok ke kanan dengan malas, hendak menjawab dengan ketus. Lantas terkejut. Hidungnya nyaris bersentuhan dengan hidung Shinya.
Guren menarik diri. "A-Aku lupa."
"Dasar pelupa."
Guren melotot.
Shinya tertawa, kelihatannya menikmati respon Guren. Jari-jarinya bermain di tongkat payung. Satunya lagi merapikan rambut perak yang diterpa angin. Guren spontan berkata, "Kau itu menyebalkan, Shinya."
"Oh ya?" Shinya membalas, sedikit menantang.
"Payungmu juga menyebalkan."
Shinya berhenti tertawa, menatap Guren tanpa kata. Langkah kaki mereka terhenti dan Guren merasa tatapan lembut namun menusuk dari Shinya bisa membuatnya mati.
"Aku suka payung ini. Warnanya biru."
Angin kencang menyela.
"Warnanya biru seperti mataku, indah bukan?"
Dalam jarak sedekat ini, Guren menyadari bola mata Shinya bukan hanya sekadar berwarna biru. Bukan hanya sekadar mengingatkan Guren akan langit dan laut. Bukan hanya sekadar indah—lebih dari itu. Memikat, menawan, dan menyihir. Di sela pesona biru yang menjerat, Guren menemukan setitik emas. Setitik cahaya yang menari-nari atraktif.
Guren berkedip, bertanya-tanya apa yang barusan ia lihat.
"Indah, 'kan?"
Orang bilang, jatuh cinta itu dimulai dari mata.
"Akan kucarikan satu untukmu, sebuah payung ungu yang indah."
Guren bisu nan kelu. Shinya terasa sangat dekat dan hangat.
"Seindah mata Guren yang misterius laksana neonatus."
Di bawah payung biru, hati kecil Guren tersipu.
.
.
.
.
.
.
Tamat
