[Antagonist]

NCT belongs to themselves

"Antagonist" belongs to Lexa Alexander

Inspired by: Caste Heaven by Chise Ogawa

Main Pair: TaeTen

Other Pair: JaeDo, JohnIl


Mengelilingi area pusat perbelanjaan dengan langkah ringan dan wajah cerah, Ten mengabaikan Taeyong yang masih memasang ekspresi kebingungan, masih memproses apa yang baru saja terjadi pagi tadi. Ini sudah malam, namun Taeyong masih memikirkannya.

Sejak kapan Ten merencanakan itu?

"Aku masih tidak mengerti, sungguh." Tidak tahan setelah seharian berpikir keras, Taeyong akhirnya buka suara. "Sejak kapan kau merencanakannya? Kau bahkan tidak memberitahuku soal itu."

Mengalihkan perhatian dari deretan pakaian di hadapannya, Ten menjawab, "Saat aku tidak sengaja mendengar perdebatanmu dengan ayahmu."

Taeyong masih tidak percaya. "Kau seolah sudah merencanakannya sejak lama."

"Aku sudah mencari berbagai sekolah yang sekiranya cocok untukmu; salah satunya SM." Ten kembali melihat-lihat pakaian di depannya, kali ini sembari menjelaskan apa yang direncanakannya kepada Taeyong, "Kebetulan sekolah itu memiliki jurusan seni peran yang bagusterbaik, malah. Aku tidak tahu kau menyukai seni pertunjukan atau tidak, tapi tidak ada salahnya mencoba seni peran, kan? Tuan Lee juga setuju kau mendaftar di SM." Menoleh pada Taeyong, Ten tersenyum.

Terdiam sejenak, Taeyong berkata, "Tidak kembali ke asrama saja aku sudah bersyukur." Taeyong balas tersenyum pada Ten, "Terima kasih, Ten."

Melihat senyum itu, seketika Ten merasa hatinya dipenuhi kebahagiaan. Menggigit bibir bawahnya, Ten mati-matian menahan diri untuk tidak tersenyum lebar yang jelas akan membuat Taeyong menatapnya aneh. "Tidak masalah," kata Ten kemudian, masih dengan seulas senyum tipis.

Paper bag ke-sepuluh milik Ten dan keduanya memutuskan untuk makan malam sebelum pulang.

"Hyung, kau ingin apa untuk makan malam?" tanya Ten ketika mereka menunggu lift. Tangan kirinya membawa tiga paper bag sementara tangan kanannya menekan tombol lift. Tidak usah bertanya di mana tujuh paper bag yang lainmereka ada di tangan Taeyong.

Taeyong yang sedang mengabari Jaehyun soal penjemputannya tidak langsung menjawab. "Sesuatu yang hangat," jawab Taeyong kemudian, setelah memasukkan ponselnya kembali ke saku celana. "Di luar dingin," lanjutnya.

Pandangan Ten beralih ke luar jendela, memperhatikan langit malam yang cerah tanpa awan. Teringat sesuatu, Ten bertanya pada Taeyong, "Kau suka makanan Jepang?"

Yang ditanya menjawab, "Biasa saja."

"Baiklah. Bagaimana dengan nabe? Atau kau lebih suka ramen? Udon?"

Memasuki lift, Taeyong menjawab, "Apapun boleh. Tapi nabe terdengar enak."

"Restoran yang searah dengan rumahmu saja kalau begitu."

"Yang berada di seberang kafe kemarin?"

"Itu juga boleh."

"Oke."

Turun ke lantai satu, mata Ten menangkap toko yang menjual berbagai roti yang terletak di dekat pintu keluar. "Hyung!" Ten menarik ujung lengan baju Taeyong, menunjuk toko roti yang menarik perhatiannya. "Aku beli roti dulu, ya?" Tanpa menunggu balasan Taeyongkarena Taeyong jelas akan mengangguk mengiyakan permintaannya—, Ten berjalan cepat menuju toko roti yang dimaksudnya. Taeyong menyusul Ten kemudian, menunggu Ten di bangku yang ada di depan toko.

Ten masih belum kembali ketika Taeyong merasakan bahunya ditepuk seseorang dengan sedikit keras. "Taeyong?"

Saat itu juga Taeyong merasakan jantungnya berdegup kencang dan tubuhnya menggigil dengan keringat dingin yang mengalir dari pelipisnya. Ujung jemarinya terada dingin dan tangannya gemetar, nafasnya tercekat untuk sesaat sebelum Taeyong merasa dirinya mulai kesulitan bernafas.

Menoleh ke belakang dengan kepala yang sedikit mendongak, Taeyong melihat salah satu dari sekian banyak orang yang paling tidak ingin ditemuinya dalam hidupnya sekarang.

Sosok laki-laki dengan wajah menyebalkanterlihat menyebalkan meskipun dia telah memasang wajah paling ramah sekalipun. Kang Ji-Ho.

Tidak mendapat respon dari Taeyong, laki-laki itu mengernyit, "Kau tidak ingat siapa aku?" tanyanya, tidak menyadari bahwa saat ini Taeyong sedang tenggelam dalam kenangannya selama dua tahun terakhir, melihat kilas balik bagaimana Jiho memperlakukannya bagai sampah di pinggir jalan.

Taeyong tidak akan bisa melupakannya sekeras apapun dia berusaha membuang kenangan buruk itu jauh-jauh dari ingatannya. Pisau cutter yang menyobek kasurnya hingga busa di dalamnya berhamburan, coretan di buku catatannya, isi lemarinya yang berantakan dengan beberapa barang yang rusak parah, juga seragam sekolahnya yang entah bagaimana bisa berada di tempat sampah. Ada banyak hal lain yang dapat mengingatkan Taeyong akan Kang Jihoterlalu banyak hingga dia merasa kepalanya penuh.

Seluruh rumor itu jugaKang Jiho.

Taeyong benar-benar terlarut dalam ingatannya dan tidak menyadari bahwa Ten telah selesai dengan rotinya, dengan langkah terburu menghampiri Taeyong yang terlihat tidak dalam keadaan yang baik.

"Tae hyung!" Ten telah berdiri di dekat Taeyong ketika tiba-tiba Taeyong mencengkram lengannya kuat-kuat. Tangan Taeyong gemetar, juga sedikit basah karena keringat dingin.

"Dia baik-baik saja?" tanya Jiho pada Ten, menarik atensi Ten dari Taeyong.

"Ahya," jawab Ten, kemudian bertanya, "Siapa kau?"

"Aku Jiho, teman SMP Taeyong."

Ten tidak bodoh untuk menyadari bahwa penyebab Taeyong seperti ini adalah Jiho dan laki-laki itu adalah salah satu dari entah berapa orang yang menindas Taeyong selama di asrama. Ten akan mengingat wajah dan nama orang itu, mencatat baik-baik dalam kepalanya untuk dia balas perbuatannya di kemudian hari.

Detik selanjutnya, Ten menarik Taeyong pergi dari tempat tersebut, membawa seluruh tas belanjanya dengan satu tangan yang sama dengan tangan yang dia gunakan untuk menelpon Jaehyunmemaksa Jaehyun untuk datang secepat mungkin.

Bersamaan dengan Ten yang keluar bersama Taeyong, Jaehyun datang bersama sopir pribadi keluarga Lee. Ten menyuruh Taeyong masuk terlebih dahulu, kemudian setelah membiarkan Jaehyun meletakkan belanjaannya di bagian belakang, Ten menyusul Taeyong masuk ke dalam mobil; duduk di sampingnya dan menggenggam tangan Taeyong, merasakan tangan itu terasa jauh lebih dingin dari biasanya.

Jaehyun masuk tidak lama kemudian, duduk di samping kursi pengemudi dan berkata pada Tuan Cho untuk segera kembali ke mansion. Matanya melirik Taeyong dan Ten dari cermin, bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi selama sesi hang out keduanya. Mungkin dia akan bertanya pada Tennanti. Dilihat dari manapun juga ini bukan saat yang tepat untuk bertanya.

Kurang dari lima belas menit, Taeyong langsung turun dari mobil dan berjalan cepat menuju kamarnya, meninggalkan Ten yang dengan terburu mengekorinya. Pintu kamar hampir tertutup namun Ten dengan cepat menahannya dengan satu tangan. "Tunggu! Hyung!"

Menatap Ten dengan matanya yang terlihat lebih hampa dari yang pernah Ten lihat sebelumnya, Taeyong berkata dengan suara pelan, "Pulanglah, Ten."

"Tidak."

Ten membuka paksa pintu kamar Taeyong dan masuk ke dalam, menutup pintunya kemudian. Taeyong menghela nafas dan berjalan menuju tempat tidurnya, membiarkan Ten melakukan apapun sesukanya. "Terserah."

"Terima kasih."

Taeyong merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi kepalanya. Dengan langkah pelan, Ten mendekati Taeyong; duduk di dekatnya, memperhatikan Taeyong yang kini memunggunginya.

Tidak ada yang bicara. Saat ini Ten hanya ingin menemani Taeyong, memberitahu Taeyong bahwa dia akan selalu ada di sisinya meskipun Taeyong sedang tidak membutuhkannya. Sedangkan Taeyong kembali tenggelam dalam pikirannya.

Kang Jiho. Orang itu.

Dia menyapa Taeyong dengan riang seolah tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka, seolah dia tidak pernah melakukan sesuatu yang membuat Taeyong memilih untuk tidur dengan dingin ruang kesehatan dibandingkan dengan kamarnya yang hangat, seolah dia tidak pernah membuat Taeyong kesulitan menjelaskan mengapa dia tidak mengumpulkan tugas-tugasnya, seolah seluruh kejadian yang membuat Taeyong tidak bisa menatap mata orang lain bukanlah perbuatannya.

Bagaimana bisa dia muncul, menyapanya dengan riang seperti bertemu teman lama yang berbagi kenangan menyenangkan dengannya? Apakah dia tidak pernah terpikir bahwa Taeyong tidak menyimpan sedikitpun luka dalam dirinya?

Taeyong kesal. Kenapa dia tidak bisa berbuat apa-apa? Kenapa saat itu dia memilih diam dan tidak melawan? Apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya saat itu?

Tentu sajapikiran bahwa setiap perbuatan baik akan dibalas dengan suatu hal baik dan perbuatan jahat akan dibalas dengan suatu hal jahat pula.

Tak disangka, kata-kata bijak gurunya dia dengarkan dengan begitu baik, hingga dia percaya bahwa anak-anak itu suatu saat nanti akan mendapat balasan atas perbuatan buruknya terhadap Taeyong.

Taeyong ingin tertawa.

Kapan?

Kapan balasan itu datang? Dari siapa balasan itu akan datang? Apa yang akan membuat mereka menyesal karena telah meremehkannya?

Bagaimana bisa dirinya memegang kata-kata bijak itu dengan kuat, membuatnya diam saja ketika mereka melakukan hal itu padanya? Sial, betapa bodohnya dia dulu.

Taeyong bukanlah orang yang sangat sabar. Dia ingin melihat wajah penuh penyesalan orang-orang itu sesegera mungkin. Dia ingin melihat wajah putus asa mereka, melihat bagaimana mereka merangkak mendekatinya, bersujud padanya, memohon pengampunannya. Taeyong ingin berdiri di puncak, duduk di singgasananya sembari melihat orang-orang itu hancur.

Dia harus melakukan sesuatu.

"Hyung …" suara Ten menarik Taeyong dari lamunannya. Taeyong diam, namun telinganya mendengarkan. "Bukankah itu melelahkan?" tanya Ten, membuat Taeyong menoleh kepadanya. Ten tersenyum, sedikit merentangkan tangannya, memberi ruang bagi Taeyong untuk memeluknya.

Ah, ya. Taeyong lelah. Sangat lelah. Rasanya seperti telah berjalan jauh tanpa beristirahat barang sejenak. Dia tidur, namun rasa lelah itu tetap ada. Tidur sama sekali tidak membantunya.

Taeyong beringsut mendekati Ten, melingkarkan tangannya pada pinggang Ten dan menenggelamkan wajahnya di perut sahabatnya. Tangan Ten bergerak untuk mengelus kepala Taeyong, memberi Taeyong sebuah perasaan tenang dan nyaman. Selama ada Ten, Taeyong rasa semuanya akan baik-baik saja.

Ada sebuah keheningan yang panjang sebelum Ten bertanya pada Taeyong, "Hyung, apa yang kau inginkan?"

Yang ditanya tidak langsung menjawab, kembali tenggelam dalam pikirannya tentang apa yang terjadi selama dua tahun terakhirtentang betapa naifnya dia, penyesalannya karena tidak berbuat apapun, dirinya yang sekarang begitu lemah, dan keinginan untuk membuat orang-orang itu merasakan apa yang dirasakannya selama dua tahun.

Tangan Ten bergerak menuju sisi kepala Taeyong, membuat Taeyong mendongak menatap matanya. Ten bisa melihat mata itu begitu redup, begitu hampa. Hatinya serasa teriris, tidak ingin melihat Taeyong kembali seperti ini.

"Apa yang kau rasakan?"

Tanpa perlu Taeyong jawab, Ten tahu jawabannya. Perasaan menyesal sekaligus kesal karena tidak dapat melakukan apapunjuga perasaan kuat untuk balas dendam. Dalam mata yang terlihat hampa itu, Ten merasakannya, apa yang Taeyong rasakan.

"Ten …" Taeyong membuka suara, terdengar begitu pelan, nyaris berbisik. Apa yang Taeyong tanyakan setelahnya membuat Ten hampir menangis, meskipun Ten masih memasang ekspresi tenangnya.

"Aku tidak bisa melakukan apapun," kata Taeyong, "Mereka bilang aku tidak berguna. Mereka membenciku. Mereka bilang lebih baik aku tidak ada." Ada sebuah jeda sebelum Taeyong bertanya, "Apakah jika aku pergi, mereka akan menyesal? Karena itu berarti mereka telah menjadi pembunuh."

Ten tidak menjawab.

"Orang-orang akan tahu bahwa mereka adalah pembunuh dan mereka akan merasa bersalah, bukan begitu, Ten? Mereka akan dihantui penyesalan seumur hidupnya."

Bagaimana bisa Taeyong berpikir seperti itu?

Ten mengerti bahwa Taeyong ingin melakukan sesuatu untuk membuat orang-orang itu menyesal dan merasa bersalah, tetapi dia tidak menyangka bahwa Taeyong berpikir bahwa dengan kepergiannya akan membuat rasa penyesalan itu terus menghantui mereka.

Tidak akan Ten biarkan itu terjadi. Taeyong harus terus hidup apapun yang terjadi. Ada banyak cara untuk balas dendam, namun cara Taeyong bukanlah salah satunya. Hidup Taeyong terlalu berharga jika disia-siakan untuk para sampah itu.

Di mata Ten, sosok Taeyong bagaikan malaikat.

Orang itu sangat baikatau bahkan terlalu baik, begitu putih. Tidak ada sedikit pun noda pada dirinya. Tidak ada yang berubah dari Taeyong yang Ten kenal tiga tahun lalu; masih percaya bahwa setiap perbuatan akan mendapat balasan yang setimpal. Kata-kata yang Taeyong percaya itulah yang membuatnya seperti sekarang ini.

Lihat, bahkan setelah apa yang para sampah itu perbuat, Taeyong masih tidak terpikirkan untuk mengotori tangannya dengan perbuatan jahat. Taeyong lebih memilih untuk mengorbankan nyawanya sendiri demi melihat orang-orang itu menyesal.

Begitubodoh, Lee Taeyong.

Ada sebuah keheningan sebelum suara Ten terdengar, "Bukankah itu berarti kau melakukan apa yang mereka inginkan?" lalu jeda yang singkat dan Ten kembali bertanya, "Bagaimana kau bisa memastikan bahwa mereka akan menyesal? Bagaimana jika mereka tidak menyesal sama sekali?"

Benar.

Bagaimana jika mereka tidak merasa menyesal? Bagaimana jika mereka tidak merasa bersalah?

"Jika mereka tidak merasa bersalah sedikitpun, kau tidak bisa melakukan hal lain, bukan begitu?" Ten melihat Taeyong mendengarkan kata-katanya, membuat Ten merasa lega karena setidaknya Taeyong akan mempertimbangkan kembali pikiran gilanya untuk mengakhiri hidupnya demi orang-orang itu.

Kemudian Taeyong menatap Ten dengan pandangan bertanya, dalam diamnya bertanya pada Ten apa yang harus dia lakukankarena dia tidak terpikirkan hal lain, karena dia merasa bahwa tidak ada yang dapat dia lakukan.

"Maka kau harus membalas merekaberkali lipat." Ten tahu Taeyong ingin protes, masih berpikir bahwa berbuat jahat adalah suatu hal yang salah dan mereka akan mendapat karma dari perbuatan mereka setelahnya. Setelah menyuruh Taeyong untuk tidak protes melalui tatapan matanya, Ten melanjutkan, "Jika kau hanya diam dan menunggu seseorang membalas perbuatan mereka padamu, maka hal itu tidak akan pernah terjadi. Kau harus menjadi seseorang itu. Tidak ada seorang pun yang akan melakukannya kecuali dirimu."

Ucapan Ten merasuki pikiran Taeyong, perlahan menghapus pemikiran naif Taeyong sebelumnya. Dirinya tidak salah. Tidak ada yang lebih jahat dari mereka yang menindasnya tanpa alasan dan mereka yang ikut menindasnya tanpa mengetahui kebenaran di baliknya. Tidak seorangpunmereka adalah yang terburuk.

Setelah ini, Taeyong tidak akan peduli karma apa yang akan didapatkannya atas perbuatan buruknya untuk membalas dendam pada orang-orang itu. Taeyong hanya ingin melihat bagaimana mereka setelah terjatuh dari atas, membentur bebatuan di jurang terdalam dengan keras, dengan putus asa mencoba merangkak keluar dari sana. Dan dia akan berdiri di puncak, tertawa keras melihat perjuangan mereka yang sia-sia, menjatuhkan kembali mereka ke jurang jika perjuangan mereka hampir menunjukkan sebuah hasil. Terus begitu, sampai dia bosan.

Taeyong tidak akan pernah bosan, ngomong-ngomong.

Dia akan terus dan terus melakukannya hingga mereka menyerah, pasrah dengan nasibnya, meringkuk di sudut tergelap jurang itu.

"Sekarang, tidurlah." Ten mengusap sisi wajah Taeyong, kemudian tersenyum tipis dengan matanya yang berkilat dingin, "Ketika kau terbangun keesokan harinya, ketahuilah bahwa semuanya telah berubah."

Katakanlah Ten adalah iblis, karena memang itu kenyataannya.

Jika dengan membawa Taeyong terjatuh bersamanya adalah satu-satunya cara agar Taeyong bisa terus hidup, maka Ten akan melakukannya. Karena bagi Ten, Taeyong adalah hidupnya.

Ini adalah langkah ke-tiga yang tidak pernah Ten rencanakanmenghancurkan Taeyong. []


kemaren Ten ultah. telat sehari, tapi habede Teeen~ wish u all the best pokoknya.

.

and thanks a lot to Saryeong for your review~!

makasih juga loh, huhuu TT emang parah banget, kaget sama tugas-tugas apalagi project semesteran, duh :"

nggak ada, langka banget yang semacam Ten. hiks.

gimana kalo jambak-jambakannya diganti tembak-tembakan biar lebih seru? wehehehe :D

you too~

.

dan makasih banyak juga buat kalian semua yang udah baca sampe sini ^^ stay happy and stay healthy, semuanyaa~

see you next week!