[Antagonist]
NCT belongs to themselves
"Antagonist" belongs to Lexa Alexander
Inspired by: Caste Heaven by Chise Ogawa
Main Pair: TaeTen
Other Pair: JaeDo, JohnIl
SM School Performing Arts bukanlah sekolah yang buruk, menurut Taeyong—tentu saja.
Dari bangunan yang megah dan terawat, fasilitas yang lengkap, juga jurusan seni peran yang memiliki cara melatih kemampuan akting murid-muridnya yang 'unik'.
Ketika Taeyong datang bersama Ten untuk upacara di hari pertama mereka, keduanya masih mengenakan seragam standar SM; kemeja berwarna putih dengan dasi merah dipadu dengan celana berwarna abu-abu dan jas almamater berwarna biru dongker. Namun kemudian Taeyong melihat sekumpulan siswa yang datang dengan seragam warna-warni yang dimodifikasi sedemikian rupa; beberapa diantaranya bahkan mengenakan mahkota.
"Itu dari jurusan seni peran." Ten menunjuk sekumpulan murid itu dengan dagunya, tersenyum dengan bangga karena wajah kagum sekaligus terkejut Taeyong adalah apa yang ingin dilihatnya. "Keren, kan?" tanya Ten kemudian, berharap Taeyong menjawab 'iya'.
Dan Taeyong mengangguk, membuat Ten semakin bangga pada dirinya sendiri. "Keren," kata Taeyong. "Aku sudah membaca sedikit tentang jurusan kita, tapi setelah melihatnya langsung ternyata jauh lebih menarik." Kemudian Taeyong melihat beberapa siswa dari kumpulan jurusan seni peran yang terlihat 'biasa', membuatnya sedikit bingung. "Kenapa mereka terlihat biasa saja, Ten?" tanya Taeyong, mengisyaratkan pada Ten apa yang dia tanyakan—menunjuk pada beberapa siswa yang terlihat jauh lebih diam dari yang lain.
"Ah," Ten mengerti setelah Taeyong menjelaskan lagi padanya. "Itu Joker," jawab Ten, "peran mereka adalah 'menghibur' teman-teman sekelasnya—menjadi bahan olokan, begitu." Sadar bahwa Taeyong memiliki pengalaman tidak menyenangkan selama SMP, Ten buru-buru menambahkan, "Itu hanya peran. Mereka semua sebenarnya berteman."
Taeyong mengangguk mengerti. Kemudian dia teringat sesuatu dan bertanya pada Ten, "Kau tidak khawatir akan mendapat peran itu?" Joker, maksud Taeyong.
Tertawa pelan, Ten menoleh pada Taeyong yang duduk di samping kirinya, "Kenapa harus khawatir?" tanyanya balik dengan raut geli pada wajahnya, "Kita pasti mendapat kartu yang bagus."
Tepat ketika Ten berhenti berbicara, sepasang lengan melingkari leher Taeyong, memeluknya erat dari belakang. "TAEYYY!" Astaga, tolong ingatkan Taeyong untuk memeriksa telinganya setelah ini. Johnny berteriak tepat di dekat telinganya.
Ten segera berdiri dari duduknya dan memukul kepala Johnny dengan gulungan kertas di tangannya—berisi tata tertib selama masa orientasi dan sedikit pengenalan tentang jurusan seni peran. Lumayan tebal, ngomong-ngomong. "Jauhkan tanganmu dari Taeyong hyung!" bentak Ten.
"Aw," Johnny mengelus kepalanya yang berdenyut nyeri, "Santai saja, dong."
Gulungan kertas hampir mendarat lagi di tubuh Johnny jika tiga orang lainnya tidak datang dan ikut bergabung dengan mereka. "Kalian sudah datang?" tanya Taeil basa-basi, melihat Johnny dan Ten yang ribut seperti biasa dengan Taeyong yang hanya diam memperhatikan keduanya.
Johnny langsung mendekati Taeil dan bersembunyi di balik tubuh yang jauh lebih kecil darinya, mengadu pada Taeil seperti bocah. "Hyung, Ten memukulku," katanya dengan nada merajuk yang membuat Ten gemas ingin memukulnya lagi karena terdengar menjijikkan.
Taeil menepuk kepala Johnny beberapa kali sebelum kembali pada Ten dan Taeyong, "Apa kabar kalian?" tanyanya, "Aku tidak sempat mengunjungi kalian selama liburan, maaf ya."
"Tidak, hyung," sela Doyoung yang berdiri di sebelah kanan Taeil, menatap Ten dengan sengit, "Ten yang selalu mencegah kita untuk mengunjungi mereka—terutama saat kita berkata ingin mengunjungi Taeyong."
Mendengar itu Ten hanya memutar matanya, kemudian balas menatap Doyoung dengan sengit, tidak terima karena disalahkan—walaupun apa yang Doyoung katakan memang benar adanya.
Sementara itu Taeyong tersenyum geli, "Kenapa, Ten?" tanyanya, tidak tahu jika Ten yang mencegah agar Johnny, Taeil, dan Doyoung tidak mengunjunginya selama liburan kemarin. Kemudian Taeyong tertawa saat tatapan tajam Ten beralih padanya. Mengerti bahwa Ten melakukan itu karena keadaan Taeyong kemarin benar-benar kacau.
"Jaehyun juga selalu beralasan kalau kau sibuk." Johnny menambahkan, melirik Jaehyun yang hanya diam di belakang Doyoung. "Sebenarnya, apa yang kau lakukan selama liburan?" tanyanya pada Taeyong. Tidak mungkin, kan, sepanjang musim dingin kemarin, selama dua bulan lebih Taeyong selalu sibuk tanpa istirahat barang sehari?
"Yah …" Taeyong memikirkan satu kebohongan untuk menjawab pertanyaan Johnny, tidak ingin tiga temannya tahu bahwa dia sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya saat liburan. "Aku hanya mempersiapkan keperluan untuk SMA, sebenarnya. Ten datang setiap hari untuk membantuku." Bukan sebuah kebohongan, sebenarnya. Nyatanya apa yang mereka lakukan memang persiapan untuk menjalani kehidupan mereka di SMA.
"Mengingat bagaimana Tuan Lee memaksamu bersekolah di asrama dan kau bisa di sini sekarang, aku mengerti." Johnny menepuk punggung Taeyong beberapa kali, merasa bangga karena Taeyong bisa melalui rintangan yang begitu berat itu. Kemudian tatapan bangga itu beralih ke Ten, "Aku juga bangga padamu."
"Apa-apaan." Merinding, sekali lagi Ten menatap Johnny jijik.
Taeil dan Doyoung mengangguk setuju dengan ucapan Johnny. "Tidak semua sekolah berasrama bagus, sih," tambah Doyoung, "aku juga tidak begitu suka. Sedih melihatmu terpaksa menghabiskan tiga tahun di sana. Jangan kembali ke asrama, ya, Tae." Doyoung menepuk bahu Taeyong, mengikuti apa yang dilakukan Johnny. Taeil melakukannya juga kemudian.
Melihat itu, Ten tersenyum—senang karena teman-teman mereka masih bersikap baik pada Taeyong. Menghela nafas, Ten sedikit merasa bersalah karena tidak membiarkan Johnny, Taeil, dan Doyoung datang menemui Taeyong selama liburan kemarin. Sebenarnya, tidak masalah membiarkan tiga orang itu mengetahui keadaan Taeyong karena dia yakin mereka akan membantu Taeyong juga. Tetapi dia merasa jika Taeyong tidak ingin mereka mengetahui keadaannya—tidak ingin membuat mereka ikut khawatir. Jaehyun dan Ten saja sudah cukup.
Jika hari itu ketiganya ikut menemui Taeyong saat dia kembali dari asrama, mungkin mereka akan tahu semuanya dan akan ikut membantu Ten mengembalikan Taeyong.
Tapi, sepertinya tidak juga. Nyatanya selama liburan Ten memonopoli Taeyong sehingga Jaehyun tidak banyak membantu. Yah, lagipula Jaehyun juga mempercayakan Taeyong pada Ten.
Keributan kelompok kecil itu berhenti ketika upacara dimulai. Mengikuti serangkaian acara selama kurang lebih satu jam, pikiran Taeyong tidak benar-benar terfokus pada apa yang disampaikan. Taeyong ingin segera melihat lingkungan sekolah barunya dan mengetahui di kelas mana dia dan Ten ditempatkan. Setelah rangkaian acara membosankan itu selesai, Taeyong segera mengajak Ten menuju ke salah satu papan pengumuman untuk melihat daftar kelas mereka. Empat lainnya segera menyusul sembari menyeret Doyoung yang masih mengeluh tentang betapa membosankannya pidato penyambutan dari Kepala Sekolah.
"Oh! Lihat! Aku sekelas dengan kalian!" menyempil di antara Taeyong dan Ten, Doyoung menunjuk namanya di daftar siswa kelas 1-Spade. Di antara empat belas nama itu juga ada nama Taeyong, Ten, dan Jaehyun; sementara Johnny dan Taeil berada di kelas 1-Diamond.
Ten dan Johnny langsung terlibat sesi saling ejek untuk yang kesekian kali, masih terus berlanjut hingga mereka keluar dari area sekolah untuk mampir ke salah satu kafe, menghabiskan sedikit waktu untuk hang out sebelum pulang ke rumah dan mempersiapkan keperluan untuk hari pertama masa orientasi siswa baru. Adu mulut itu bahkan berkembang hingga saling ejek selera kopi satu sama lain, membuat empat orang lainnya jengah.
"Diam."
Tidak tahan dengan keributan antara dua teman dekatnya, Taeyong akhirnya menyuruh keduanya untuk diam, diikuti dengan tatapan tajam yang mengisyaratkan bahwa jika keduanya tidak berhenti maka Taeyong akan membuat mereka tutup mulut dengan paksa—tidak menutup kemungkinan jika sendok akan ikut andil dalam hal ini.
Sebenarnya Taeyong menyukai keributan kecil yang sering Johnny dan Ten lakukan, tapi jika mereka melakukannya terlalu lama, ternyata menyebalkan juga.
Satu kalimat dari Taeyong itu berhasil membuat keduanya diam. "Maaf," kata Johnny dan Ten nyaris bersamaan. Dua orang itu saling melempar tatapan sinis dan berniat untuk melanjutkan adu mulutnya kembali jika Taeyong tidak memberi isyarat lewat tatapan matanya lagi untuk yang kedua kali.
Taeil tertawa melihat pemandangan di depannya, sebelum kemudian bertanya, "Ngomong-ngomong, apa saja yang akan kita lakukan besok?"
Doyoung bergumam, kemudian menjawab, "Kurasa hanya perkenalan, pembagian peran, lalu menyusun skenario?" tidak yakin dengan jawabannya sendiri, Doyoung membuka gulungan kertasnya dan membaca sedikit bagian yang ditanyakan Taeil. "Ya, hanya itu."
Mendapat jawabannya, Taeil mengangguk. "Masih santai, kalau begitu," katanya, tetawa pelan membayangkan dia dapat berleha-leha untuk beberapa hari ke depan sebelum kegiatan pembelajaran dimulai. Doyoung juga berkata bahwa besok mereka memiliki waktu luang cukup banyak untuk berkeliling sekolah dan bermain, karena kegiatan mereka di dalam kelas hanya perkenalan dan pembagian peran saja.
Kemudian kelimanya terlibat dalam sebuah obrolan, menyisakan Taeyong yang tidak terlalu tertarik untuk bergabung ke dalam pembicaraan tentang fashion seperti apa yang akan mereka gunakan untuk peran yang mungkin akan mereka dapatkan nanti. Taeyong rasa dia tidak akan mengerti beberapa hal yang teman-temannya bicarakan karena pengetahuannya tentang fashion masih termasuk minim—teringat dia baru mulai memperhatikan hal itu ketika liburan kemarin.
Lonceng kecil yang dipasang pada pintu masuk berbunyi, menandakan ada pelanggan yang datang. Perhatian Taeyong tertuju pada dua sosok berseragam SM yang baru saja masuk—keduanya mengenakan seragam umum, namun terlihat tangan mereka membawa lembaran kertas tebal yang di situ tertulis 'Performing Arts – Acting' yang menandakan bahwa keduanya adalah murid baru dan satu jurusan dengannya.
Insting Taeyong mengatakan bahwa sebaiknya dia menaruh perhatiannya pada dua orang itu, sehingga untuk beberapa saat, tatapan Taeyong terus tertuju pada mereka.
Seorang laki-laki dan perempuan. Taeyong hanya memperhatikan laki-laki itu sekilas; tubuhnya tinggi, dengan rambut yang ditata rapi dan wajah yang tegas namun terlihat lembut di saat yang bersamaan. Tatapan matanya pada perempuan di sampingnya terlihat begitu hangat, membuat Taeyong langsung mengambil kesimpulan bahwa mereka adalah sepasang kekasih.
Kemudian Taeyong memperhatikan perempuan itu sedikit lebih lama. Mengamatinya dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari apa yang dilihatnya.
Tidak terlalu tinggi, ramping. Rambutnya lurus dengan panjang mencapai punggung, poni disisir dengan rapi, ditambah wajah yang begitu teduh dan polesan riasan tipis, Taeyong mendapat kesan bahwa gadis itu begitu polos dan berhati lembut.
Jika itu dirinya yang dulu, maka Taeyong yakin seketika dirinya akan jatuh cinta. Sayang sekali, sekarang Taeyong sama sekali tidak terpikir untuk menjalin suatu hubungan romansa dengan siapapun. Fokusnya saat ini adalah untuk balas dendam pada orang-orang yang dulu memandang rendah dirinya, dan Taeyong tidak memiliki waktu untuk bermain dengan cinta.
Mengamati interaksi sepasang kekasih itu, Taeyong merasa bahwa keduanya mirip seperti tokoh utama dalam sebuah cerita—novel, drama, atau film. Mungkin ini efek dari seringnya dia membaca berbagai buku dan menemani Ten menonton drama, jadi Taeyong berpikir bahwa gadis itu terlihat mirip seperti para tokoh utama perempuan di sana.
Tipe yang terlalu baik dan nyaris mendekati sempurna. Memiliki kecantikan, kebaikan hati, dan segala kesempurnaan yang tokoh lain tidak miliki.
Salah satu tipe yang paling Taeyong benci.
"Apa yang kau perhatikan sedari tadi?" tanya Ten ketika mereka bersiap pulang.
Tanpa sadar Taeyong menghabiskan waktunya dengan melamun, tenggelam dalam pemikirannya tentang gadis tadi. Melihat ke sisi lain ruangan, Taeyong mendapati sepasang kekasih tadi telah duduk dan sedang mengobrol sembari menunggu pesanannya datang. Menghela nafas kasar, Taeyong menceritakan sedikit pada Ten tentang apa yang ada dalam pikirannya sedari tadi, menghasilkan gelak tawa dari Ten.
"Kau tahu, Ten," kata Taeyong setelah mereka keluar dari sana, berjalan di depan Johnny dan Taeil, dengan Jaehyun dan Doyoung di paling belakang. Empat orang lainnya sedang sibuk dengan obrolan masing-masing, sehingga Taeyong dengan santai mengajak Ten berbicara. "Tidak ada sosok seperti itu. Terlalu tidak realistis, kan?" tanyanya yang disetujui oleh Ten dengan sebuah anggukan. Terlalu sempurna, bahkan masalah hidup mereka diceritakan tidak sampai satu bab penuh. Lalu setelah kesalahan yang mereka perbuat—kalaupun ada, karena Taeyong tidak yakin mereka memilikinya—, semua orang memaafkan dan memakluminya begitu saja. "Aku tahu mereka hanya karakter yang dibuat, dan bagaimana tidak realistisnya sifat mereka, seharusnya aku tidak protes. Hanya saja—" ada sebuah jeda sebelum Taeyong berkata, "—mereka terlihat, uh ... menyebalkan."
Seberapa baik manusia itu, Taeyong yakin merekamempunyai satu sisi di mana kegelapan itu berada. Tidak mungkin mereka begitu sempurna dengan seluruh sifat baik yang mereka miliki.
Tidak melawan ketika ketidakadilan menimpa mereka, hanya menangis pasrah dan berdoa kepada Tuhan, berharap hal baik terjadi pada mereka sebagai balasan atas kesabaran mereka selama ini; juga keyakinan dalam hatinya bahwa jika mereka berbuat jahat maka hal buruk akan berbalik menimpa mereka.
Taeyong seperti melihat dirinya sendiri, dan dia membencinya.
Nyatanya, Taeyong menyimpan sisi gelap itu dalam dirinya. Dia memilikinya. Melihat bagaimana para tokoh utama itu memiliki sejuta kebaikan tanpa sedikit pun keburukan membuat Taeyong muak; karena pada kenyataannya tidak ada manusia sesempurna itu. Kalaupun ada, maka Taeyong akan menyebutnya penipu.
"Seperti topeng, bukan begitu?" tanya Ten, yang kemudian mendapat anggukan dari Taeyong. Ten tersenyum dengan wajah menyebalkannya, berkata, "Mereka penipu. Menipu semua orang dengan segala kesempurnaan yang mereka miliki." Kemudian Ten mendengus geli, "Pemaaf?" Ten tertawa, "Mana ada orang yang semudah itu memaafkan kesalahan orang lain, kan? Mereka bahkan menipu diri mereka sendiri dengan meyakini bahwa mereka telah sepenuhnya memaafkan kesalahan itu." Meskipun dengan mulutnya mereka berkata telah memaafkan, dalam hatinya mereka pasti masih menyimpan dendam. Itu pasti—meskipun sedikit, pasti ada.
Langkah Ten begitu ringan, melompat kecil beberapa kali sehingga dia berada satu langkah di depan Taeyong, berbalik menghadap sahabatnya dan berjalan mundur ketika berkata, "Kalau orang sepertiku berada dalam sebuah cerita, sepertinya aku akan menjadi tokoh antagonisnya." Ten kembali berjalan di samping Taeyong, kali ini sembari bersenandung.
Jika setiap protagonis memiliki sifat baik seperti yang Taeyong katakan, maka Ten bukanlah salah satunya. Dirinya bukanlah orang yang sabar dan menerima dengan lapang dada apa pun itu yang terjadi dalam hidupnya; dia jelas akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Pasrah kemudian menyerah bukanlah Ten. Terlebih, Ten bukanlah sosok pemaaf.
Tentu saja.
Orang yang mengganggunya harus mendapat balasan yang setimpal. Enak sekali hidupnya jika hanya dengan sebuah kata maaf semuanya selesai—mereka harus merasakan sedikit penderitaan dulu sebagai 'bayaran' atas kesalahan yang mereka lakukan. Lalu, jika sudah jera, maka mereka tidak akan mengulangi kesalahan yang sama, kan? Ten akan memastikan mereka benar-benar jera atau bahkan trauma agar mereka tidak mengusiknya lagi.
Lagipula, menjadi tokoh antagonis tidak selamanya buruk.
Ten akan mendapat kekuasaan untuk menindas tokoh utama dan memberi kesengsaraan padanya. Memang kekuasaan itu akan hilang pada akhirnya, karena tokoh antagonis akan mendapat bad ending di akhir. Jika seperti itu, maka yang harus Ten lakukan agar tidak kehilangan kekuasaannya adalah menyingkirkan si tokoh utama.
Mengalihkan pandangannya sejenak pada Ten, Taeyong bertanya, "Kalau begitu, bukankah kisahmu akan berakhir dengan buruk?"
Pertanyaan itu membuat senandung Ten terhenti.Ten memasang pose berpikir yang terlihat dibuat-buat, kemudian menjawab, "Tidak akan~"
Melihat wajah kebingungan Taeyong, Ten menjelaskan, "Aku hanya perlu merebut mahkota tokoh utama, maka kisahku tidak akan berakhir dengan menyedihkan. Lagipula melakukannya sangat mudah." Kemudian Ten tertawa, mengabaikan Taeyong yang masih berusaha memahami ucapannya.
"Aku belum pernah menemukan cerita dimana tokoh antagonis bisa menang dari tokoh utama," kata Taeyong, tidak menyadari bahwa saat ini di balik senyum jahilnya, Ten tengah menyeringai.
"Kau mau mencobanya?" tanya Ten, membuat Taeyong menatapnya kebingungan.
Ten terkekeh pelan, kemudian mengulang pertanyaannya; kali ini lebih jelas. "Jika ada kesempatan, apakah kau mau mencoba mengalahkan tokoh utama?"[]
another messy chapter ... I'm sorry :"
minggu ini Lexa baru sadar kalo ternyata semester ini banyak tugas analisis. analisis aja teroooossss TTATT
.
thanks a lot, Saryeong, for the review :"
mm, Jiho, ya ...? dia tokoh lain, nggak ada kaitannya sama Serim, kayaknya?
hehe. tunggu chapter-chapter berikutnya~ ^^
semangat juga!
.
ayo semangat, mumpung tipes belum menyerang. hiks :"
.
makasih banyak juga buat kalian yang baca~
nah. stay safe and stay happy, semuanya! see you next week!
