[Antagonist]

NCT belongs to themselves

"Antagonist" belongs to Lexa Alexander

Inspired by: Caste Heaven by Chise Ogawa

Main Pair: TaeTen

Other Pair: JaeDo, JohnIl


Pagi menjelang siang yang cukup terik, Ten sudah menunggu Taeyong dengan tidak sabar; antusias ingin bertemu dengan sahabatnya lagi setelah tiga tahun anak itu tidak kembali rumahnya sendiri bahkan saat libur natal atau tahun barusaat itu Jaehyun berkata bahwa Taeyong lebih memilih untuk pulang ke rumah neneknya yang lebih dekat dengan sekolah, membuat Ten merasa sedikit kecewa ketika mendengarnya. Jadi, begitu mendengar kabar bahwa Taeyong akan pulang ke rumah setelah berakhirnya ujian kelulusan membuat Ten senang sekali. Ten ingin mengajak Taeyong berkeliling kota, menghabiskan waktu bersama dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan, ataupun menginap di rumah satu sama lain seperti yang selalu mereka lakukan dulu.

Anak itu terlalu antusias sehingga tidak menyadari Jaehyun memperhatikannya dengan wajah sendu. Dalam hatinya, Jaehyun berharap Ten tidak akan menjauhi Taeyong setelah melihat keadaannya yang benar-benar berbeda dibandingkan dengan pertemuan terakhir mereka.

Jaehyun tidak bisa meminta Ten untuk tidak kecewadia tahu perasaan itu jelas akan dirasakan Ten bahkan tanpa anak itu inginkan. Jadi, yang bisa Jaehyun harapkan adalah Ten yang tetap berada di samping Taeyong, meskipun Taeyong tidak lagi sama seperti Taeyong yang Ten kenal tiga tahun lalu.

"Sebentar lagi Tuan Muda datang." Jaehyun mengembalikan ponselnya ke dalam saku jasnya. "Akan kuberitahu pelayan untuk membawakan teh lagi untukmu. Aku akan menyambut Tuan Muda di depan. Kau tunggu di sini saja." Tanpa menunggu balasan Ten, Jaehyun berlalu; meninggalkannya di ruang santai kediaman keluarga Lee.

Seorang pelayan datang membawa teh untuk Ten tidak lama kemudian. Lalu, setelah pelayan itu meninggalkan ruangan, pintu kembali terbuka dan seorang anak laki-laki seumuran Ten muncul.

Taeyong, anak laki-laki itu, menutup pintu dengan perlahan lalu melangkah menuju Ten dengan kepalanya yang menunduk, membuat helai poninya yang sedikit panjang menutupi sebagian matanya. Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, tetap diam dengan pandangannya yang selalu mengarah ke bawah, menatap apapun itu selain mata Ten. Bahkan setelah pelayan tadi datang membawakannya teh dan pergi lagi, Taeyong tetap diam.

Keheningan menyelimuti keduanya. Terdengar detik jarum jam yang menandakan waktu terus berlalu. Uap teh tidak lagi mengepul, namun tidak ada yang berbicara untuk memecahkan keheningan yangbegitu canggung di antara keduanya. Taeyong ingin segera pergi dari sana, merasa sangat tidak nyaman karena harus bersama orang lain tanpa suatu obrolannamun dia sendiri tidak tahu harus memulai obrolan dari mana. Terbiasa tidak terlibat obrolan selain yang hal-hal penting, Taeyong seakan telah lupa bagaimana sebuah obrolan itu bermula.

Sedangkan Ten, dia sedang mencerna apa yang terjadi.

Terlalu banyak pertanyaan yang sekarang ini memenuhi kepalanya sehingga dia memilih diam dan mengamati Taeyong, menebak-nebak apa yang telah Taeyong alami sehingga anak yang dulunya banyak bicara itu berubah drastis menjadi pendiam seperti ini. Satu yang dapat Ten pastikan adalah sahabatnya mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan selama di sekolahnyayang langsung terpikirkan olehnya dan paling mungkin terjadi adalah bullying. Jika bullying bahkan bisa membuat nyawa seseorang melayang, maka mengubah pribadi seseorang menjadi seperti ini bukanlah hal yang mustahil untuk terjadi. Ten tidak mengerti bagaimana Taeyong yang dia kenal mengalami penindasan dan hal itu dapat mengubah 'karakternya' sampai seperti inijujur saja Ten ingin tahu, namun sepertinya bukanlah suatu hal yang bagus untuk bertanya pada Taeyong tentang itu. Taeyong terlihat tidak ingin membicarakannya.

Sekarang, apa yang harus Ten lakukan adalah memecahkan keheningan ini. Tidak nyaman rasanya diam selama bermenit-menit tanpa suatu obrolan.

"Hyung."

Itu adalah kata pertama yang keluar setelah keheningan yang sangat panjang. Taeyong tidak memberi respon apapun, namun anak itu mendengarkan.

"Lama tidak bertemu." Apa kabar? Ten hanya bisa bertanya dalam hati. Jika dia menanyakannya pada Taeyong dan anak itu menjawabnya dengan 'baik-baik saja', Ten tahu itu adalah sebuah kebohongan. Dia sudah tahu apa jawaban yang sesungguhnya dari pertanyaan itu hanya dengan melihat Taeyong saat ini. Susah payah, Ten tersenyum lebar. "Aku merindukanmu."

Sungguh, Ten ingin menangis.

Ten sangat merindukan Taeyong. Merindukan senyum, pelukan, bahkan ocehan tidak penting sahabatnya. Apa yang Ten harapkan pada pertemuan pertama mereka setelah sekian lama adalah pelukan dan senyum hangat Taeyong, namun apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapannya. Pada sudut terkecil hatinya, Ten merasa kecewa.

Dia menunggu Taeyong selama tiga tahun, selalu berdoa agar sahabatnya selalu mendapatkan kesehatan, keselamatan, dan kebahagiaan. Namun seluruh kesabaran dan penantiannya selama itu dibalas dengan sahabatnya yang kembali tanpa ketiganya.

Sehat? Ten yakin itu hanya fisiknya.

Selamat? Benarkah Taeyong benar-benar selamat dari penindasan itu tanpa kurang suatu apapun?

Bahagia? Sekali lihat semua orang juga tahu bahwa sahabatnya tidak merasakan kebahagiaan sama sekali.

Tidak.Ten tidak kecewa. Tepatnya, dia hanyasedih, dan juga marah. Marah pada siapapun itu yang menjadikan Taeyong seperti ini. Marah pada siapapun itu yang merampas senyum hangat Taeyong. Marah pada siapapun itu yang mengambil kebahagiaan sahabatnya.

Ten ingin berlari dan memeluk Taeyong erat, menenggelamkan tubuhnya dalam rengkuh hangat sahabatnya untuk melepas rindu. TetapiTen tidak bisa melakukan semua itu sekarang karena Taeyong yang ada di depannya saat ini tidak akan memberikan rengkuh hangat yang sama.

Taeyong mengangkat sedikit wajahnya untuk menatap Ten sesaat dan memberinya seulas senyum, namun Ten dapat melihat mata itu begitu redup dan hampa. "Ya. Lama tidak bertemu," balasnya.

Bukan balasan yang Ten inginkan.

Ten tidak ingin percaya bahwa saat ini dia sedang berhadapan dengan Taeyong. Tapi, di hadapannya saat ini benar-benar Taeyong; Lee Taeyongsahabatnya. Ini bukan mimpi. Di hadapannya sekarang adalah seorang Lee Taeyong yang dia kenal sebagai sosok ceria yang banyak bicara.

Rasanya seperti kehilangan.

Semua yang ada pada Ten adalah milik Taeyong, begitu pula sebaliknya. Semua yang ada pada Taeyongmulai dari tawa hingga rengkuh hangatnya, semuanya adalah milik Ten. Dan semua itu kini sirna, dirampas begitu saja dari genggam tangannya. Ten kehilangan semua miliknya, dan seketika dia merasa hampa.

Dengan tergesa Ten berdiri dari duduknya, menarik atensi sosok yang duduk di seberangnya. "Aku yakin kau pasti lelah setelah perjalanan yang panjang," Ten merasakan suaranya bergetar, namun dia tidak peduli. "Akukurasa aku hanya akan mengganggu waktu istirahatmu jika aku terus di sini. Aku pamit pulang. A-aku akan kembali besok pagi. Sampai jumpa!" Ten berjalan dengan terburu, setengah berlari menuju pintu, meninggalkan Taeyong yang kini terdiam dengan wajah sendu, mengira Ten benar-benar kecewa pada sosoknya yang sekarang.

Taeyong semakin membenci dirinya sendiri.

Seharusnya dia bisa berpura-pura menjadi dirinya yang dulu, begitu pikirnya. Tetapi, dia bahkan kebingungan mencari topik obrolan untuk membuka sebuah percakapan. Jangankan membuka obrolan, menatap mata lawan bicaranya saja Taeyong akan berkeringat dingin.

Pada kenyataannya, itu tidak seperti yang Taeyong pikirkan. Saat ini Ten sudah berada di rumahnya setelah diantar pulang oleh salah satu pelayan keluarga Lee. Di kamarnya, sembari menangis, Ten menyusun berbagai rencana untuk mengembalikan Taeyong seperti dulu. Ten ingin melihat senyum Taeyong lagibukan senyum yang terlihat menyesakkan seperti yang tadi Taeyong tunjukkan kepadanya, namun yang membuat Ten merasa tenang dan dapat membuatnya ikut tersenyum. Apapun itu caranya, Ten akan membawa kembali Taeyong-nya. Ten akan mengambil kembali apa yang orang-orang itu rampas darinya.

Langkah pertama yang Ten lakukan adalah mengunjungi Taeyong setiap hari dan mengajaknya berbicara.

Taeyong tidak dapat menyembunyikan raut terkejutnya ketika dia menemukan Ten berada di kamarnya ketika dia membuka mata keesokan harinya.

Tersenyum lebar hingga kedua matanya ikut membentuk sebuah garis, Ten menyapa Taeyong dengan riang. "Aku bilang aku akan kembali, kan? Ngomong-ngomong, selamat pagi! Ayo sarapan! Aku belum sarapan." Ten menarik selimut Taeyong, menyeret sahabatnya yang hanya bisa memasang wajah kebingungan dan mengikuti kemana Ten membawanya pergi.

Taeyong sama sekali tidak mengerti. Dia kira Ten kecewa padanya dan tidak akan menemuinya lagi. Meskipun kemarin Ten berkata dia akan kembali besoknyahari ininamun Taeyong menanggap itu hanyalah sebuah omong kosong. Lagipula, tidak ada jaminan bahwa Ten akan menepati ucapannya. Tetapi pagi ini Ten benar-benar datang, membuat Taeyong sibuk menebak apa yang Ten rencanakan.

Setelah pergi dengan terburu seperti kemarin, pagi ini Ten kembali dengan wajah cerianya. Jelas sekali Ten sedang merencanakan sesuatu.

Tinggal bersama orang-orang bermuka dua selama lebih dari setahun, Taeyong sempat berpikir bahwa Ten merencanakan sesuatu yang burukbahkan mengkhianatinya. Namun tidak sampai satu menit pikiran itu memasuki kepalanya, Taeyong buru-buru menepis pikiran buruk tentang Ten.

Karena dia adalah Ten yang sudah berteman dengannya selama bertahun-tahun dan dengan sabar menunggunya kembali selama tiga tahun. Bahkan setelah dirinya menjadi seperti ini, Ten masih mau kembali padanya. Entah apa yang membuat Ten pergi dengan terburu kemarin, Taeyong akan mencoba tidak peduli. Yang terpenting sekarang Ten ada di sini, menemaninya.

Sepanjang sesi sarapan mereka, Ten terus mengoceh; bercerita tentang apapun itu yang terlintas di pikirannya. Taeyong hanya diam mendengarkan, menjawab seadanya ketika Ten melempar pertanyaan kepadanyasebagian hanya dijawab dengan anggukan atau gelengan.

Lalu Ten tetap di sana, menunggu Taeyong selesai dengan rutinitas paginya dan setelah itu akan kembali berceloteh seolah dia tidak kehabisan topik. Hari pertamanya hanya dihabiskan di kamar Taeyong. Keduanya keluar ketika jam makan siang, lalu ketika hari beranjak sore, Ten kembali ke rumahnya. Kegiatan itu terus berlanjut untuk beberapa hari.

Tentu saja semua itu tidak luput dari pengamatan Jaehyun.

"Apa yang kau rencanakan, Ten?" Jaehyun tidak tahan untuk tidak bertanya setelah kunjungan Ten di hari ke-lima. "Kau bahkan tidak pernah mengoceh sebanyak itu sebelumnya." Jaehyun mengantar Ten hingga ke pintu depan dimana mobil yang siap mengantar Ten pulang menunggu.

Langkah Ten terhenti. Membalikkan tubuhnya untuk menghadap Jaehyun, Ten menjawab, "Aku akan membawa Taeyong hyung kembali." Hanya sebuah jawaban singkat lalu Ten kembali berbalik dan melangkah cepat menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.

Selama beberapa waktu, Ten masih berada di langkah pertamanya. Sepertinya Taeyong cukup menyukai perannya sebagai pendengar yang baikseluruh cerita Ten didengarkan dengan penuh minat, dan ketika Ten balik bertanya untuk memancingnya berbicara, Taeyong hanya akan menjawab seadanya kemudian Ten akan kembali berceloteh. Itu sempat membuat Ten pesimis dan ragu apakah Taeyong bisa kembali seperti dulu, tetapi seiring berjalannya waktu, Taeyong mulai sesekali menanggapi ocehannya. Kemudian tempat obrolan keduanya berpindah dari kamar Taeyong menuju ke ruangan lainsesekali berganti, lalu pergantian itu semakin sering. Terkadang keduanya terlihat di ruang santai, terkadang di taman belakang, di kebun, bahkan di rumah kaca yang berada di sudut taman belakang.

Memang memakan waktu yang cukup lama, dan Ten juga tidak menyangka bahwa dia akan menikmati waktu yang dia habiskan bersama Taeyong. Awalnya, dia hanya berniat untuk mengembalikan Taeyong seperti dulu, namun kemudian dia teringat bahwa itu adalah pertama kalinya setelah sekian lama dia tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengobrol dengan Taeyong.

Ten pikir, mungkin kemarin dia terlalu terburu-buru.

Mengembalikan Taeyong seperti dirinya tiga tahun lalu, tentu saja tidak mudah dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Meskipun dalam hati Ten yakin, Taeyong akan kembali.

Tidak persis seperti dulu tidak masalah. Setidaknya Taeyong dapat berjalan dengan dagunya yang terangkat, berbicara dengan santai dengan orang lain tanpa perlu memikirkan pendapat mereka tentangnya, ataupun berjalan-jalan mengelilingi kota sendirian tanpa terus bersembunyi di balik punggung seseorang.

Yang paling penting adalah saat mereka SMA nanti.

Ten tidak ingin Taeyong diremehkan lagi seperti sekarang. Orang yang seperti Taeyong iniyang sekarang ini ada di hadapannya, yang bahkan tidak berani menatap mata lawan bicaranyabiasanya selalu menjadi sasaran empuk untuk ditindas. Tentu saja Ten tidak ingin hal itu terulang lagi untuk kali kedua. Cukup sekali dia melihat sosok menyedihkan Taeyong, kali selanjutnya Ten akan membuat Taeyong berada di posisi puncak. Ten tidak akan membiarkan orang lain memandang rendah sahabatnya lagi, karena tidak ada seseorang yang pantas berada pada posisi tertinggi kecuali Lee Taeyong.

Apapun itu caranya, Ten akan membawa kembali segala yang hilang dari Taeyong.

Lalu, langkah ke-dua dari rencananya dimulai ketika dia mulai menginap di kediaman Lee.

"Hyung."

Yang dipanggil menoleh, mengalihkan perhatiannya dari buku untuk sejenak. "Ya?"

Untuk sesaat, Ten ragu, khawatir apakah Taeyong akan mengiyakan ajakannya atau tidak. Tapi jika tidak dengan cara ini, Taeyong tidak akan bisa kembali. "Mau menemaniku tidak?" tanya Ten, berharap Taeyong menjawab 'ya'.

Sebelah alis Taeyong terangkat, menatap Ten dengan pandangan bertanya."Ke mana?" tanyanya.

Dengan volume suara yang sedikit lebih kecil, Ten menjawab, "Jalan-jalan. Besok pagi." Jemari Ten yang menyentuh sisi buku bergerak gelisah, was-was menanti jawaban Taeyong.

"Jogging?"

"Tidak," Ten menggeleng, "aku tidak suka olahraga," lanjutnya dengan nada yang terdengar seperti merajuk. "Hanya jalan-jalan, berkeliling mencari camilan atau sarapan. Ada banyak tempat yang ingin kutunjukkan padamu."

Di mata Taeyong, Ten terlihat sangat antusias; seakan Ten sudah menyimpan rencana itu sejak lama. Matanya berbinar penuh harap, tanpa kata ingin Taeyong mengiyakan ajakannya. Melihat sahabatnya seperti itu, Taeyong merasa tidak tega jika harus menolak ajakan Ten. "Baiklah," Taeyong tersenyum, menutup bukunya dan meletakkan buku setebal tiga sentimeter itu kembali ke rak buku yang ada di sisi kanannya. "Kalau begitu, sekarang, ayo tidur."

Taeyong beranjak dari duduknya, melangkah mendahului Ten menuju pintu, tidak menyadari saat ini sahabatnya sedang mati-matian menahan diri untuk tidak bersorak dan menangis bahagia karena dia mau menemaninya jalan pagi besok. Merasa Ten tidak mengikutinya, Taeyong menoleh, "Ten?" panggilnya.

"Ahtunggu sebentar, aku kembalikan buku ini dulu."

Semalaman, Ten hanya berguling kesana-kemari, memikirkan apa saja yang akan dilakukannya besok bersama Taeyong dalam kegiatan jalan pagi mereka. Ada banyak tempat yang sering dia datangi bersama Doyoung untuk membeli sarapansebagian besar adalah kuliner street food yang cukup murah tapi mereka akan mendapatkan porsi yang besar dengan rasa yang enak. Sebagian lainnya adalah kafe, toko roti yang buka sejak pukul enam pagi, dan kedai yang menjual berbagai menu sarapan. Ten ingin mengajak Taeyong ke semua tempat yang pernah dikunjunginya. Tiga tahun terkurung dalam asrama, Taeyong pasti hampir tidak tahu satu pun tempat-tempat seperti itu.

Pagi harinya, dengan kantung mata yang sedikit menghitam, Ten berjalan bersama Taeyong keluar dari area kediaman keluarga Lee yang begitu luas. Untuk acara jalan pagi mereka yang pertama, Ten memutuskan mengajak Taeyong ke tempat yang paling dekat dari sana.

"Kau tidak tidur?" Taeyong bertanya dengan wajah yang jelas menunjukkan kekhawatiran.

Ditanya seperti itu, Ten menahan diri untuk tidak menjerit seperti penggemar wanita yang bertemu dengan idolanya. Tetap saja, dalam hatinya Ten sudah berteriak,TAEYONG HYUNG TERANG-TERANGAN KHAWATIR PADAKU! Setelah sekian lama tidak bertemu dan berhari-hari Taeyong enggan berbicara ataupun menunjukkan emosinya, akhirnya Taeyong mulai membuka diri. Tentu saja Ten senang sekali.

Menarik nafas panjang dan mengendalikan ekspresi wajahnya, Ten menjawab, "Aku terlalu senang karena kau mau menemaniku jalan-jalan." Ten nyengir, tersenyum begitu lebar hingga matanya ikut membentuk sebuah garis. Taeyong yang melihatnya terdiam, dalam hatinya merasa sedikit tidak nyaman; namun dia tidak tahu apa itu.

Berjalan menurun, mereka sampai di jalan yang cukup lebar dan setelah beberapa meter, keduanya sampai di halte bus. Taeyong mengamati sekitarnya, meneliti dengan baik karena menurutnya, setelah ini dia akan sering bepergian dengan kendaraan umumdan salah satunya adalah ini. Kegiatan mengamati itu menarik atensi Ten yang berdiri tepat di sampingnya. "Ada apa?" tanya Ten.

"Tidak ada," jawab Taeyong, "Hanya mempelajari semuanya."

Dahi Ten mengernyit, tidak mengerti.

"Ah, ini pertama kalinya aku naik kendaraan umum," jelas Taeyong saat melihat wajah kebingungan Ten.

Berbeda dari Taeyong yang tertawa canggung, Ten terdiam mengetahui fakta bahwa ini adalah kali pertama Taeyong menggunakan kendaraan umum. Tentu saja, bagaimana Ten bisa lupa bahwa Taeyong selalu diantar setiap kali dia berpergian? Bahkan selama sekolah dasar Taeyong selalu diantar jemput.

Rasanya Ten seperti sedang mengenalkan dunia kepada sesosok alien.

"Begitu ..." Ten nyaris tidak tahu harus berkata apa. Jika seperti ini, Ten pikir dia memiliki hal lain yang harus dia lakukan untuk Taeyong selain mengembalikan rasa percaya diri orang itumengenalkan semua hal yang Taeyong lewatkan kepadanya selama tiga tahun dia 'terkurung' di asrama. Semua hal yang Ten lakukan untuk pertama kalinya di sekolah menengah, Taeyong belum mengalaminya. Selain menggunakan kendaraan umum, apa lagi yang pertama kali Ten lakukan selama tiga tahun itu?

Ah, tentu saja. Berkeliling kota dan mencoba berbagai hal di sana. Ten sering hang out bersama Doyoung dan Taeil, entah itu ke taman bermain, menonton film, ataupun sekadar menghabiskan sore sembari menikmati camilan.

Tidak banyak waktu yang tersisa. Selain memikirkan SMA mana yang akan dia pilih, Ten masih harus membawa kembali Taeyong yang dulu sebelum tahun ajaran baru dimulai. Tidak ada cara lain selain mengajak Taeyong ke luar rumah setiap hari dan membawanya bertemu orang-orang.

"Hyung," panggil Ten, menarik atensi Taeyong, "mulai besok, temani aku jalan-jalan setiap hari, ya?" Ten menatap Taeyong dengan wajah penuh harap yang dibuat semelas mungkin, membuat orang di hadapannya kesulitan untuk menolak.

Pada dasarnya, Taeyong memang tidak akan bisa menolak segala permintaan Ten, meskipun dalam hatinya Taeyong ingin sekali menolaknya mentah-mentah. "Boleh," jawab Taeyong, membuat Ten tersenyum lebar.

"Kalau begitu, hari ini aku hanya akan mengajakmu mencari sarapan. Lalu mulai besok, aku akan menghabiskan sehari penuh bersamamu."

Lalu, bus yang mereka tunggu datang. Dengan senang hati Ten memberitahu Taeyong apa saja yang perlu Taeyong ingat, mulai dari penggunaan kartu untuk membayar hingga rute perjalanannya. Untuk sesaat, Ten merasa dirinya seperti pemandu wisatamungkin dia berbakat juga dalam hal itu.

Mendekati halte selanjutnya, Ten menekan bel yang ada di dekatnya dan keduanya turun. Berjalan tidak jauh dari situ, terlihat deretan stall dan food truck yang menjual berbagai macam makanan. Taeyong belum sempat bereaksi ketika Ten sudah menarik tangannya untuk berkeliling mencari menu sarapan.

Ini bahkan masih belum jam sembilan pagi, tapi tempat ini sudah ramai dipenuhi orang.

"Hyung, kau mau apa?" Ten bertanya, menyadarkan Taeyong dari lamunannya.

Mengedarkan pandangannya ke sekitar, Taeyong melihat banyak makanan yang dapat menjadi pilihan untuknyamulai dari roti hingga nasi, bahkan minuman juga ada di sana. "Tidak tahu," jawab Taeyong, "aku belum pernah ke sini. Aku ikut pilihanmu saja," lanjutnya.

"Kalau begitu, aku akan menunjukkan padamu tempat aku dan Doyoung biasa membeli sarapan." Tangan Taeyong kembali digenggam, menarik si empunya tangan agar mengikuti ke mana dia akan membawanya.

Sebuah food truck yang menjual berbagai macam sandwich dan minuman berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri sebelumnya. Ten membawa Taeyong ke sana, menunjukkan pada Taeyong bagaimana dia biasa membeli sarapan bersama Doyoung.

"Paman Shin!" Ten menyapa seorang pria paruh baya yang baru saja melayani seorang pembeli. Senyum lebar ditunjukkan Ten pada pria yang dia panggil 'Paman Shin' tersebut.

Mendengar dirinya dipanggil, Paman Shin menoleh dan tersenyum cerah saat menyadari bahwa Ten adalah orang yang memanggilnya. "Ten! Kau kembali lagi. Pesan yang seperti biasa?" sapanya dengan ramah. Sesaat kemudian, barulah dia menyadari bahwa ada seseorang yang bersama Ten, "Temanmu?" tanya Paman Shin, memperhatikan Taeyong yang berdiri di belakang Ten, "Tumben sekali tidak bersama si Kelinci."

Nyengir, Ten menjawab, "Dia sahabatku yang sering kuceritakan," bergeser sedikit untuk memberi ruang pada Taeyong, Ten mengenalkannya pada Paman Shin, "namanya Taeyong."

Dengan gugup Taeyong membungkuk sopan pada Paman Shin dan mengenalkan dirinya, "Sa-saya Taeyong. Senang bertemu dengan Anda."

Melihat itu, Paman Shin tertawa. "Tidak usah canggung begitu. Santai saja," katanya, kemudian bertanya pada keduanya, "Oh, kalian pesan apa?"

"Aku yang seperti biasa!" kata Ten dengan semangat, kemudian menoleh pada Taeyong, "Hyung, kau mau pesan apa?" tanyanya.

Mata Taeyong meneliti daftar menu yang ada, kemudian pilihannya jatuh pada roti panggang bulgogi pedas. "Dan americano," tambah Taeyong.

Keduanya menunggu pesanan mereka sembari mengobrol ringan dengan Paman Shin. Tidak ada sepuluh menit hingga pesanan keduanya berada di tangan masing-masing. Setelah berterima kasih dan pamit pada Paman Shin, Ten mengajak Taeyong ke taman yang tidak jauh dari sana. "Ada banyak tempat untuk menikmati sarapan di sana. Oh, saat hari libur, biasanya ada truk es krim jugasebelum pulang kita bisa makan es krim dulu. Tapi ini musim dingin, jadi biasanya mereka menjual minuman hangat." Ten berceloteh selama perjalanan mereka, dan seperti biasanya, Taeyong lebih memilih untuk menjadi pendengar.

Meskipun hari libur, taman itu tidak begitu ramai seperti yang Taeyong pikirkan. Mungkin orang-orang lebih memilih untuk bergelung di balik selimut hangat dan tidur hingga siangseperti Doyoung. Hari ini masih cukup dingin meskipun musim dingin hampir berakhir.

"Jangan terlalu sering keluar rumah, Ten," Taeyong berkata ketika mereka sudah duduk di salah satu bangku yang ada di taman. Ten yang sedang meminum kopinya menaikkan sebelah alis tanda bertanya. "Ini masih dingin, kau bisa sakit."

Taeyong tidak tahu bahwa Ten nyaris tersedak ketika mendengar ucapannya yang terdengar begitu perhatian. Beruntung Ten dapat mengendalikan dirinya, jadi kopi yang berada di mulutnya tidak salah masuk ke saluran pernafasannya.

Demi koleksi foto Doyoung yang ada di galeri ponsel JaehyunTen ingin menjerit seperti penggemar wanita sekarang. Taeyong semakin terbuka padanya dan Ten ingin menunjukkan pada semua orang bahwa usahanya cukup membuahkan hasil.

Menolehkan ke kanan, Ten memperhatikan Taeyong yang sedang menikmati roti panggangnya. Memilih untuk tidak menanggapi perhatian Taeyong sebelumnya, Ten bertanya, "Bagaimana? Enak, tidak?"

Satu anggukan dari Taeyong dan seketika Ten merasa senang sekaligus bangga karena Taeyong menyukai rekomendasinya. "Enak sekali," kata Taeyong, "Paman Shin juga ramah."

Ten tertawa. "Kita bisa ke sana lagi kalau kau mau. Tapi untuk beberapa hari ke depan, aku akan mengajakmu ke tempat lain. Ada banyak tempat menyenangkan di sini yang mungkin belum pernah kau kunjungi."

Pengalaman pertamanya berkeliling kota bersama Ten tidaklah buruk, menurut Taeyong. Mungkin karena itu, ketika Ten mengajaknya berkeliling kota seharian penuh untuk beberapa hari ke depan, Taeyong merasa sedikit antusias. Dirinya sadar bahwa ada banyak hal yang belum diketahuinya tentang dunia luar dan dia harus mempelajari semuanya dalam waktu singkat. Akan menjadi suatu hal yang buruk baginya jika dia tidak tahu apapun mengenai dunia luar.

Karena Taeyong memutuskan untuk tidak melanjutkan SMA-nya di sana.

Ada banyak hal yang tidak bisa Taeyong dapatkan di sekolah yang bagaikan sangkar burung itu, dan salah satunya adalah pengetahuan tentang dunia luar yang jelas sekali tidak akan Taeyong dapatkan hanya dari membaca buku saja. Tentang bagaimana berinteraksi dengan manusia yang memiliki berbagai macam sifat, tentang bagaimana cara dunia bekerja, dan yang paling jelas adalah, bagaimana rasanya bebas, menikmati hidup, dan bahagia.

Taeyong cinta kebebasan. Itu adalah hidupnya, kebahagiaannya.

Taeyong tidak akan masuk lagi ke dalam sangkar, karena dia telah bebas. Ten ada di sisinya, dan Taeyong yakin, bersama Ten dia bisa mendapatkan kembali kebebasannya.

"Tidak."

Mendekati ruang tengah mansion Lee, Ten bisa mendengar suara Taeyong. Sepertinya tidak hanya Taeyong yang ada di dalam sana, tapi Tuan Lee juga.

Sekarang ini Ten berencana menjemput Taeyong untuk hang out seperti hari-hari sebelumnya sekaligus memberitahunya tentang beberapa SMA yang dapat mereka pilih untuk melanjutkan sekolahhasil dari surveinya beberapa minggu ini, tapi sepertinya ada sesuatu yang harus sahabatnya selesaikan sebelum dia bisa keluar rumah.

Menghentikan langkahnya tepat di depan pintu ruang tengah, Ten mencuri dengar apa yang sedang Taeyong bicarakan dengan Tuan Lee.

Terdengar Tuan Lee menghela nafas kasar, "Sekolah itu bagus, Taeyong. Kau bisa belajar dengan baik di sana."

Ada sebuah jeda sebelum terdengar suara Taeyong, "Aku tidak akan kembali ke sana."

Berpikir dengan cepat, Ten mengerti apa yang sedang dua orang itu perdebatkan.

Tuan Lee memaksa Taeyong untuk melanjutkan sekolahnya di asrama itu, tapi Taeyong menolak.

Ten tahu alasan mengapa Tuan Lee bersikeras untuk menyekolahkan Taeyong di sana, tapi Taeyong yang tidak ingin melanjutkan bisnis Tuan Lee jelas menolak karena dia tidak mempunyai ketertarikan sama sekali di bidang itu.

Ini gawat.

Jika Tuan Lee tidak menerima penolakan Taeyong dan tetap mengembalikan Taeyong ke asrama, Taeyong akan kembali seperti sebelum iniatau malah lebih buruk. Dia akan kehilangan Taeyong lagi untuk yang kedua kalinya, dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Melihat Taeyong kemarin sudah cukup membuatnya sakit. Ten tidak dapat membayangkan bagaimana keadaan Taeyong yang lebih buruk dari itu.

Tidak akan Ten biarkan hal itu terjadi.

Membuka pintu ruang tengah, kedatangan Ten menarik atensi dua orang yang sedang berdebat di sana. Bersikap seolah dirinya tidak mengetahui bahwa keduanya sedang dalam perdebatan yang cukup sengit maupun alasan di balik perdebatan itu, Ten memasang ekspresi terkejut. "Ah, maaf mengganggu," kata Ten.

Tuan Lee tersenyum, "Tidak apa-apa; masuklah."

Menutup pintu di belakangnya, Ten melangkahkan kakinya mendekati Tuan Lee dan bersikap sopan seperti biasanya. "Maaf, saya tidak sengaja mendengar sedikit percakapan Tuan Lee dengan Taeyong," kata Ten, membungkuk dan memasang raut bersalah.

Tuan Lee tertawa pelan, "Bukan suatu hal besar," katanya, "Oh, apakah kau sudah memutuskan ke mana kau melanjutkan sekolahmu, Ten?" tanya Tuan Lee pada Ten, tidak mengetahui bahwa Ten tersenyum penuh kemenangan dalam hatinya karena Tuan Lee menanyakan pertanyaan yang ingin didengarnya.

Di sana, Taeyong mengernyit, merasakan ada sesuatu yang mengganjal.

"Sebenarnya, hari ini saya ingin mendiskusikan hal itu dengan Taeyong hyung," Ten tertawa ringan, kemudian melanjutkan, "Kami berencana untuk melanjutkan sekolah di SMA yang sama, dan kami sudah memiliki beberapa pilihan."

Berbeda dengan Taeyong yang menatap Ten dengan ekspresi 'apa-yang-kau-bicarakan', Tuan Lee justru sedikit tertarik karena Taeyong tidak berkata apapun tentang itu. "Begitu?" Tuan Lee melirik ke arah Taeyong untuk sesaat, mengerti satu alasan mengapa Taeyong menolak kembali ke asrama. "Jadi, apa ada sekolah yang membuatmu tertarik?"

"Ada." Ten tersenyum cerah, senang karena dia tidak perlu bersusah payah memancing pembicaraan ke arah yang dia inginkan. "Saya baru saja menemukannya semalam. Saya juga merasa bahwa sekolah itu cocok untuk Taeyong hyung—" di balik senyum cerahnya itu, Ten menyeringai. Dia yakin sekali Tuan Lee akan menyukainya dan Taeyong akan lepas dari asrama itu. "SM School of Performing Arts."

Dahi Tuan Lee mengernyit, tidak mengerti mengapa Ten merasa bahwa sekolah seni cocok untuk Taeyong yang nantinya akan masuk ke dalam dunia bisnis. Kali ini Taeyong bahkan jelas menunjukkan raut tidak mengerti.

Melihat ekspresi tidak mengerti di wajah ayah dan anak itu, Ten buru-buru menjelaskan maksudnya. "Saya berpikir bahwa dalam dunia bisnis maupun politik, selain perlu pengetahuan tentang bagaimana dunia itu bekerja, kita juga perlu kemampuan lain."

Kemampuan bicara, pengendalian ekspresi, pengendalian emosi, dan manipulasi. Bagaimana mengendalikan arah pembicaraan, menyembunyikan kebenaran di balik topeng yang dipasang dengan baik, mempertahankan segala sesuatunya agar berjalan ke arah yang diinginkan, dan merencanakan semuanya hingga detail terkecil agar tidak ada celah bagi kegagalan untuk menghancurkan apa yang telah direncanakan.

"Mereka memiliki semua itu di jurusan terbaik merekaseni peran, atau akting."

Ketika Tuan Lee tersenyum, saat itu juga Ten mendapatkan kemenangannya. []


belum dikoreksi lagi karena ... nggak sempat. jadi maaf banget kalo ada banyak part yang kurang enak dibaca (bow)

ngomong-ngomong, minggu ke-dua ini udah aktif kuliah dan tugasnya nggak manusiawi banget (hiks) para dosen, please have mercy ...! (crying)

.

big thanks to Saryeong for your review~ iri aja sama mereka, udah :" aku juga iri banget soalnya, huhuu

ini udah update~ yup, doakan aku biar selalu semangat (heheh)

.

dan makasih banyak juga buat kalian yang udah baca~

.

stay healthy, semuanya! see you next week!