[ SASUSAI DRABBLE'S ]
Yuzuruha Megamine
—SasuSai fiction—
.
.
.
"Aku sedih," ujar remaja itu, tubuhnya mengkeret kedinginan di perosotan taman pukul tujuh malam, "orang tuaku sama sekali tidak ingat hari ulang tahunku."
Sasuke menyerahkan dua bungkusan berisi strawberry daifuku pada tangan lawan bicaranya, tatapan mereka bertemu dan si Uchiha tak repot-repot menyembunyikan perasaannya yang luber ke permukaan begitu saja. "Tidak apa, setiap tahun, aku akan selalu ingat dan memberimu hadiah!"
"Tapi Sasuke, aku tidak suka strawberry."
.
.
.
"Selamat ulang tahun, Sai!" Sasuke memberikan seulas senyum tipis, tangannya menenteng kue tart vanilla bertabur banyak strawberry di bagian atasnya. "Heh, kenapa wajahmu berkeringat begitu? Oh, pasti kau sangat senang dengan kuenya, 'kan? Sudah kuduga aku memang hebat memilih sesuatu!"
Sai tertawa, canggung. Sebelah tangan menyembunyikan cutter di belakang punggung, pergelangan tangan satunya penuh luka gores yang coba ditutup-tutupi. Sasuke mencoba pura-pura buta dan tuli. Sai mencoba bunuh diri, lagi.
.
.
.
Sasuke diam-diam menyembunyikan raut takut di balik wajah datarnya. Dia menukas, "Kenapa kau mau bunuh diri, Sai?! Jawab aku!"
Kursi terguling tak jauh dari posisi mereka, Sai terduduk di lantai, tambang besar masih menggantung di langit-langit loteng. Lelaki itu menatap Sasuke penuh senyum, seolah kejadian beberapa waktu lalu adalah delusi, tak pernah terjadi. "Walah, aku ketahuan."
.
.
.
"Berhenti melakukan ini padaku, sialan." Bibir Sasuke menari di atas permukaan penuh goresan itu, pergelangan tangan Sai. Ada jejak-jejak baru di sana yang tak luput dari pengamatan sepasang mata kelam Sasuke, darah masih merembes keluar kendati lukanya tak terlampau dalam buat menyapa urat nadi. Sasuke datang tepat waktu.
Sai terdiam di depannya, tak menyahut apa-apa saat Sasuke perlahan mengecup dan menjilati luka-luka yang sengaja ia buat di tangan. Bahkan lelaki Uchiha itu tidak jijik menelan darahnya sama sekali.
"Kau membuatku semakin gila, Sai. Jangan lakukan ini, kumohon."
.
.
.
Sasuke membuka jendela kamar pukul satu dini hari, kantuk masih tersisa di sudut-sudut matanya. Dia hendak berteriak kalap kalau saja tak sadar yang melempari kaca jendelanya dengan batu kerikil adalah seorang Shimura Sai di bawah sana.
"Hey, Sasuke! Bisa temani aku jalan-jalan sebentar?" Sai mendongak, di sudut bibirnya terdapat darah yang sudah mengering dengan sebelah pipi bengkak membiru. Si pucat menukas kembali, "Ayah dan Ibuku sedang konser di rumah."
Sasuke tidak perlu diajak dua kali, kakinya sudah buru-buru melesat menuruni tangga menuju lantai bawah dengan sebuah kotak obat dalam genggaman.
Sai sedang minta bantuan padanya.
.
.
.
"Sasuke, kau tidak datang lagi?" Suara Ino di seberang telepon membuat Sai ikut-ikutan menoleh. Sasuke di sampingnya mengacak poni gelap si pucat yang tengah memakan beberapa snack di atas kasurnya. Lelaki Uchiha menjawab, "Maaf, Ino, aku ada kendala hari ini. Mainnya kapan-kapan saja, ya?"
Terdengar embusan napas kesal di seberang telepon, tapi Yamanaka tak marah, Sasuke bisa menebak. "Baiklah, tapi minggu depan main ke rumahku, oke? Akan kututup." Dari perkataan Ino, dia tahu tebakannya tepat.
Telepon diletakan ke tempat semula, Sasuke mencomot kentang goreng berbalut garam dan cuka dari kotak sedang di samping Sai. Tangan si Uchiha kembali meraih stick playstation-nya. "Baik, ayo kembali mulai game-nya!"
Sai menatap Sasuke yang duduk di samping kasur, membelakanginya, lantas dia bertanya agak tak enak, "Wah? Aku datang saat kau mau main ke rumah Ino, ya? Kenapa tidak bilang? Aku akan pulang sa ...,"
Si Uchiha berbalik tiba-tiba, membuat keduanya beradu pandang sesaat. Raut kesal seketika mampir di wajah Sasuke kala menyahut, "Aku tidak menyuruhmu pergi, lagi pula aku memilih ka ... ah, ayo cepat mainkan lagi PS-nya!"
.
.
.
"KENAPA KAU TIDAK MATI SAJA, HAH?!" Sasuke berteriak marah, wajahnya memerah, air mata mulai meleleh di sudut matanya kendati dia sudah menahan hal memalukan tersebut sekuat tenaga. "APA LAGI SEKARANG, SAI?! APA INI?! DARI MANA KAU MENDAPATKANNYA?!"
Wajah Sai membiru, pil obat tidur berserakan dari botolnya semula. Napasnya tersendat-sendat, dadanya menyempit, matanya sayu memburam. Dia tak bisa menjawab kemarahan Sasuke di ambang pintu.
"Kenapa ... kenapa kau selalu membuatku gila?!" Dekapan hangat membawa tubuhnya berayun menjauh, Sai tidak bisa menebak apakah Sasuke menggendongnya ataukah kematian telah meraihnya. "Kenapa kau tidak bisa melihat kalau aku mencintaimu, Sai?"
Ah, Sai rasa dia telah salah dengar. Lagi pula mana mungkin Sasuke mengatakan itu di saat lelaki Uchiha sudah memiliki kekasih, bukan?
Sai pasti hanya bermimpi, mimpi abadi yang dia harap akan membawanya pada keabadian jangka panjang.
.
.
.
Kali ini Sasuke terlambat. Buket bunga anyelir yang dia genggam jatuh ke lantai begitu saja. Sai tidak ada di ranjang rumah sakit dimana seharusnya lelaki sialan itu berada.
Lelaki Uchiha kalang kabut, dia tak peduli lagi, tubuhnya melesat ke kamar mandi pria, bertanya pada beberapa orang di sana, menyebutkan ciri-ciri Sai yang raib entah kemana, tapi semuanya sia-sia.
Sasuke meraung putus asa dalam hati, wajahnya sudah memerah cemas dan panas, tidak bisa memertahankan pikiran positifnya di tempat semula.
"Lo? Sasuke?" Ino hendak menyapa, namun punggung kekasihnya sudah lebih dulu pergi berlari menuju tangga ke rooftop. Gadis itu terdiam, menimang baiknya mengikuti ataukah tidak sama sekali.
Pintu dibanting kasar, sepasang mata gelap Sai menoleh ke sumber suara, sedangkan mata elang Sasuke liar mencari-cari. Larinya semakin kencang hingga berdiri di hadapan Sai sekarang. Lelaki pucat dengan pakaian rumah sakit yang menyeret tiang infusan tersebut mengerjap bingung. "Sasuke? Ada apa?"
"BODOH!" bentaknya, napas tersenggal hebat, dada dipukul kasar, Sasuke meremas kaosnya sendiri dengan perasaan sesak yang kian mencuat. "Aku pikir kau sudah lompat ke bawah sana tepat sebelum aku sampai."
Sai tertawa hambar, suara yang tidak akan pernah Sasuke sukai di dunia ini. "Tadinya sih niatku begitu, Sas, tapi ... tapi ternyata di sini rooftop-nya pakai pagar kawat, haha. Aku 'kan tidak bisa memanjat."
"ITU TIDAK LUCU, SIALAN!" Sasuke mendekapnya erat, tanpa aba-aba. "Jangan, Sai ... jangan buat aku lebih gila daripada ini. Tetaplah hidup, bersamaku."
Ah, Sai rasa, dia kembali berdelusi. Apalagi saat sudut matanya bersitatap dengan sepasang manik aquamarine mulik si Yamanaka beberapa meter di belakang punggung Uchiha. Tapi, baik Ino maupun Sai tak melakukan apa-apa.
.
.
.
Sasuke menangis. Sai terperangah tak percaya. Akhirnya air mata itu tumpah juga. Lelaki Uchiha memeluknya semakin erat, lantas menekan tengkuk si pucat dan mempertemukan bibir mereka untuk menyusul sebuah ciuman. Di depan Yamanaka Ino.
.
.
.
25 November 2020
"Kenapa kau tidak mati saja, Sai?" Sasuke menahan getir di kerongkongan. Lagi dan lagi, Sai belum melupakan keinginannya untuk mati, dan Sasuke masih di sini, tak berusaha menahannya seperti yang sudah-sudah. Dia tahu, seberapa keras pun Sasuke menahan Sai melakukannya, tekad si pucat akan mengalahkan permintaan Sasuke terhadap hasrat bunuh diri Sai. "Kenapa kau tidak segera pergi?!"
Sai menatap cutter yang beberapa kali telah menoreh luka pada kulit di genggamannya. Dia tersenyum kearah Sasuke, lantas berucap, "Tidak sekarang, aku masih harus merayakan tanggal 15 Juli lainnya bersamamu, Sasuke."
Sasuke meremat kaos bagian dadanya tanpa sadar, menahan lesakan air mata yang lagi-lagi hendak keluar begitu saja. "Kenapa di ulang tahunku, Sai?"
"Nanti kalau aku tidak ada, Sasuke akan kesepian, hehe."
Bodoh! Kalau tahu begitu kenapa kau masih dan terus selalu ingin pergi dariku, Sai?! Perkataanmu hari ini seolah menunjukkan kalau kau tidak mau aku sendirian, tapi besok dan besoknya lagi, kau tetap berusaha melarikan diri dari dunia.
.
.
.
Ending dihapus buat chap depan hwhw
hallo! aku Yuzuruha Megamine w
kalau di wattpad namanya saishimurasai hehe
aku cuma seonggok daging yang mencoba mencari aswupan sasusai lewat ffn, tapi karena udah ga banyak yang ngasup (hiksrot) makanya aku mau masuk fandom ini.
RnR please?
