Disklaimer: Isayama Hajime. Tidak bermaksud untuk melanggar hak cipta maupun mendapatkan keuntungan materi dari penulisan ini.

Ini dibuat sekali jadi, tanpa Beta reader. Jadi ya begitulah. Lalu di tulisan ini dipakai sudut pandang Mikasa & Jean. Sehingga tidak mewakili pandangan penulis tentang Eren. Publish pertama kali di AO3. Lama tidak ke mari, kagok jadinya.

Selamat membaca dan semoga terhibur~(人*´∀`)。*゚+


Ini sore yang biasa. Mikasa membantu Bunda Carla yang sedang memasak makan malam di dapur, seperti biasa. Ayah Grisha sejak siang berada di kediaman keluarga Reeves. Pembantu keluarga pedagang itu meminta Ayah memeriksa kondisi bayi mereka yang baru lahir empat bulan lalu. Ayah menyanggupi dan Eren ikut serta, pun seperti biasa.

"Mikasa, tolong belikan Ibu garam dan gula di kedai yang biasa, ya, Nak. Yang ini sepertinya tidak cukup," pinta Bunda sambil menyerahkan kantong uang padanya. Kadang Bunda seperti ini. Bumbu masakannya tidak cukup dan baru diketahui di tengah-tengah proses memasak. Bunda lebih sering menyuruhnya daripada Eren. Eren rewel jika disuruh-suruh. Tapi toh Mikasa tak punya alasan untuk menolak.

"Baik, aku pergi dulu, Bu," jawabnya sembari beranjak keluar dari pintu belakang. Dari sana kedai yang menjual bumbu dapur jaraknya lebih dekat daripada pintu depan. Tak perlu memutar tapi juga tak tahu Ayah dan Eren datang lewat pintu depan.

Sekembalinya dari kedai Mikasa melihat Ayah sudah duduk di kursi ruang makan. Sedang berbicara serius dengan Bunda. Eren sementara itu meletakkan piring-piring dan sendok garpu di meja makan.

Begitu melihat Mikasa datang Eren serta merta berbicara lantang. "Mikasa, tahu tidak? Adiknya Flegel mati. Adiknya yang baru lahir itu—"

"Eren, bukan begitu cara membicarakan kabar duka. Saat orang sedih karena saudaranya meninggal, sepatutnya kita ikut bersedih," potong Bunda.

"Tapi, Bu, adiknya Flegel matinya seperti sedang tidur. Sungguh," Eren membantah Bunda dengan suara lantang yang sama.

Ayah mencoba menengahi. Mikasa tak mendengarkan dan justru berkata, "Tapi yang paling menyakitkan akan terasa saat mengemasi barang-barang yang pernah dipakai." Ingatan dari manakah ini? Dia ingat betul tidak pernah mengemasi pakaian ataupun barang peninggalan ibu bapaknya. Dia meninggalkan semuanya di hutan. Anehnya, dia malah melanjutkan disertai rasa sedih samar-samar. "Bukti dia pernah lahir dan hidup kemudian meninggal."

Dia tatap Eren lekat-lekat yang entah mengapa sosoknya mendadak kabur. Tidak hanya Eren; Bunda, Ayah dan ruang makan beserta dapur menjadi bayang-bayang dengan warna bercampur baur. Seolah-olah semuanya menjadi tak fokus.

Lalu Mikasa tersadar. Luapan rasa sedih tak terbendung. Mikasa menangis sejadi-jadinya.

Matanya panas dan air mata hangat meleleh darinya. Dia terisak dan sesekali menarik nafas yang terasa berat. Dia ingin meratap tapi sebagian dirinya meminta agar tetap tenang.

Bagaimana mungkin dia bisa tenang saat sadar dialah yang membunuh Eren dan yang menguburkannya bersama barang peninggalan Eren yang dia kumpulkan?

Kamar tidurnya temaram. Ranjangnya bukan ranjang susun dan menghadap jendela. Ini bukan rumah saat mereka kecil, bukan pula barak akademi.

Jika saja tangisnya bisa membawa pergi duka laranya, tak akan terhitung berapa kali dia menangis. Tapi dia juga harus tegar karena dia yakin Eren pasti tak ingin dikenang dalam kesedihan dan air mata. Seolah semesta mendukungnya, tangan lebar dan hangat mengusap air matanya. Pemilik tangan itu memintanya untuk duduk agar bisa meminum segelas air yang kemudian diberikan pada Mikasa.

Mikasa masih larut dalam usahanya menabahkan diri, tak mengenali orang ini. Hingga akhirnya dia duduk dan meminum air yang diberikan, dia tahu pemilik kumis tipis itu.

"...Jean," ucapnya lirih dan dibalas oleh tatapan sendu dari sang pemilik nama.

"Ya, Mikasa. Aku di sini."

Mikasa terisak lagi seraya mengusap matanya yang sembab. Tapi Jean menarik tangan itu dan tangan yang menggam gelas. Ada suara kaca menatap kayu sebelum Jean merengkuhnya dalam pelukan.

"Jangan dikucek, nanti justru bengkak. Biarkan saja mengalir seperti air," diucapkan dengan suara terlembut yang Jean mampu keluarkan, sedangkan getar suaranya terasa di telinga dan pipi Mikasa yang membaringkan kepala di dada Jean. Dan Mikasa tahu kelembutan suara itu hanya ditujukan padanya dan hanya diketahui olehnya. Jean tak pernah berbicara seperti ini dengan orang selain dirinya. Maka ia lingkarkan tangannya pada bentuk pinggang yang kini amat ia kenal.

Jean tak mengatakan apapun. Hanya memeluknya dan mengusap-usap rambutnya yang tergerai. Detak jantung Jean—di balik dada bidangnya yang disembunyikan oleh kaos putih murah yang ia beli karena potongan harga—terdengar begitu dekat. Bukan gemuruh tapi tenteram.

Ia hampir tertidur di pelukan Jean jikalau ia tak mendengar tangisan bayi.

"Tahu ibunya bangun, dia ikut-ikutan bangun," gerutu Jean sambil melepaskan pelukan dan bangun dari ranjang.

"Biar aku saja," balas Mikasa sambil menali rambutnya.

"Sudah, biar aku. Energimu barusan terpakai," kilah Jean sambil meliriknya. Ada yang tak terucap di kalimat itu. Kekuatanmu bukan kekuatan Ackerman yang dulu. Menangis pun sekarang jadi menguras energi bagimu. Tapi tentu itu tidak dimaksudkan untuk menganggapnya lemah. Hanya sebagai pengingat kapasitasnya sekarang berbeda dengan dulu.

Ia lalu berinisiatif, "Ke sana berdua? Toh membuatnya juga berdua." Sontak telinga Jean memerah dan menjawabnya dengan menampakkan punggung pada Mikasa. Tiba-tiba Jean berjongkok seakan menunggu Mikasa untuk digendong. Mikasa tertawa kecil sebelum mengatakan jalan saja.

Sesampainya di kamar sebelah mereka mendapati bayi mereka menggapai-gapaikan tangan minta digendong. Jean mengangkatnya tapi bayi laki-laki itu menendang-nendangkan kaki, seolah meminta agar digendong ibunya. Jean menyerahkan Si Kecil agar digendong Mikasa.

"Wah, wah, wah. Jagoan Kecil Ayah sudah mulai pilih-pilih kasih dan cuma mau digendong Ibu?" ucapnya pada si kecil yang setelah Jean sentuh hidungnya terkekeh di pelukan Mikasa.

Mikasa menimang-nimang dan sesekali menciumi kepala putera mereka. Tidak sekali dia bertanya-tanya jika Eren masih hidup seperti siapakah anak Eren. Ataukah Eren akan menikah. Tetapi ia tak yakin Eren akan menikah. Ia kira Eren akan menganggap pernikahan hanyalah ikatan lain dan Eren tak ingin terikat. Eren terlalu mencintai kebebasan.

Mungkin Jean melihat roman mukanya berubah, tiba-tiba memeluknya erat dan menyandarkan kepala padanya. Bayi mereka mengeluarkan bunyi seperti gerutuan. Si kecil protes karena terimpit di antara ayah dan ibunya. Tapi ayahnya tak tahu.

"Kau tidak sendiri. Kau punya aku untuk berbagi sedihmu, bahagiamu," pelan Jean berujar. "Juga berbagi cucian bau pesing atau bau tahi anak kita."

Mau tak mau Mikasa tertawa mendengar kalimat barusan. Saat itu pula Jean melepas pelukan dan menatap lekat-lekat Mikasa sebelum menciumnya. Lalu mencium si kecil yang tampak kembali mengantuk.

Saat itu Jean berharap memiliki kamera yang tak menimbulkan suara ketika mengambil gambar. Dia ingin mengabadikan pemandangan ini. Perempuan yang ia dambakan semenjak remaja, yang mengalami kehilangan sama—atau mungkin lebih besar—dan memilih untuk melanjutkan hidup bersamanya, bersama bayi mungil buah hati mereka berdua.

Bayi yang tertidur itu dikembalikan Mikasa dalam buaian. Mikasa membelai kepala Si Kecil sembari berbisik lirih, "Aku ingin membagikannya denganmu. Sungguh. Tapi dengan berbagi, berarti aku membuka luka lamamu."

Jean termenung mendengar kalimat itu. Marco melintas di ingatan bersama wajah Reiner yang dia pukuli hingga berdarah. Mikasa masih memandangi bayi mereka. Tetapi tangan yang dipakai untuk membelai putera mereka kini mencengkeram lengan yang lain.

"Kemarilah," tuturnya seraya merentangkan tangan. Setelah enam tahun berselang dia bisa mendengar dari mulut Armin apa yang diucapkan Si Tukang Cari Mati pada isterinya. Hampir dia cabut nisan Eren agar tak lagi diketahui di mana Si Moron itu dikuburkan. Tapi Mikasa akan tahu dan selalu tahu sebab lebih dari sekali isterinya ini kehilangan keluarga. Meskipun demikian, Mikasa adalah pemberani. Mikasa mau dipersunting olehnya dan mau bersamanya membentuk keluarga baru.

Mikasa meraih tangannya kemudian menariknya keluar dari kamar bayi. Ia menariknya menuju dapur. Cahaya mentari pagi mengintip malu-malu dari balik tirai jendela.

Mikasa duduk tanpa melepas genggaman, dia pun duduk.

Mikasa berkata sambil menatapnya, "Aku ingin ke makam Eren hari ini."

Jean tidak terkejut dengan kesimpulan ataupun keinginan itu. Meski bukan saudara biologis, mereka tumbuh seatap bersama layaknya keluarga. Meskipun Mikasa telah memiliki keluarga baru—suami, anak, mertua, saudara ipar, keponakan—keluarga Yeager-lah yang membesarkan dan mendidiknya. Bahkan menerimanya ketika tak lagi memiliki orang tua kandung. Terikat seperti apapun, terpisah seperti apapun, keluarga tetaplah keluarga. Tidak seperti komandan, teman, kekasih yang bisa menjadi mantan komandan, mantan teman, atau mantan kekasih; tidak ada mantan ayah, mantan ibu, ataupun mantan adik. Keluarga tetaplah keluarga.

Jean mengangguk seraya menyapukan ibu jarinya pada buku-buku jari Mikasa yang masih menggenggamnya. "Aku belajar dari kehilangan Marco, Sasha, rasa kehilangan tidak berjalan linear. Bukan muncul lalu hilang selamanya."

Mikasa tampak memperhatikan saksama. Jean melanjutkan dan membagikan pikiran yang dulu disimpannya sendiri. "Rasa kehilangan berjalan sirkular. Muncul di suatu waktu, hilang, lalu muncul lagi di waktu lain. Itu membuatku sadar yang meninggalkan kita adalah manusia yang menitipkan pada kita kenangan-kenangan akan mereka. Tak apa bersedih, itu wajar. Tapi kau pun layak untuk bahagia, Mikasa."

Dibiarkan kalimat itu menggantung kemudian menyesap. Tak diungkit olehnya penyebab kehilangan mereka berbeda. Dia tak memiliki andil pada kematian Sasha ataupun Marco. Dia mungkin tak sepenuhnya memahami rasa kehilangan Mikasa namun dia akan selalu hadir menemani saat rasa kehilangan itu menerobos masuk ke dalam pikiran istrinya. Bahkan dia pun akan menemani di saat bahagia. Seperti ikrarnya di depan altar.

Kedua tangannya menggenggam tangan Mikasa yang lebih kecil. "Kita bisa mengunjunginya kapanpun kau ingin mengunjunginya. Tapi karena sekarang kita tak sendiri lagi, kita perlu menyesuaikan kapan ke sana."


Empat tangkai mawar diletakkan di atas makam Eren. Tiga tangkai yang selamat dari seikat bunga sebab Si Kecil meremas-remasnya hingga kelopaknya berguguran di jalan. Untungnya Mikasa tak mempersoalkan itu dan berkata asal Si Kecil tidak memakannya saja. Dan entah mendapat dorongan atau secara ganjil memahami perkataan Mikasa, Si Kecil menggapai-gapai mawar di atas makan.

"Hei, hei, Jagoan, itu bukan makanan. Cukup Ayah saja yang dikatai aneh-aneh. Kau jangan ikut-ikutan," ujarnya sambil menimang-nimang Si Kecil yang tadi hendak melepaskan diri dari Mikasa. Si Kecil masih menggapai-gapai maka dia alihkan pandangan bayi itu ke arah padang rumput yang kini ditumbuhi kerangka besi bangunan. Di kejauhan para pekerja membangun gedung-gedung baru. Entah gedung apa kali ini. Anak buah Historia pasti tahu detailnya.

"Wah, ada banyak calon gedung baru. Terakhir kita ke mari tanah itu masih kosong 'kan?" tanya isterinya yang kini berdiri di samping kiri dan meminta Si Kecil.

Dia serahkan Si Kecil sambil menjawab, "Ya, terakhir ke mari sebelum kita menikah tanah itu masih kosong. Pegawai kerajaan yang tahu urusan remeh-temeh seperti itu. Pasukan tidak diberi tahu sama sekali."

Mikasa menjawabnya dengan gumaman sebelum mengajaknya menuruni bukit, menuju kereta kuda yang dikemudikan kusir sewaan. Tanpa diminta Mikasa berbagi rahasia kecil, "Dulu aku sempat mengira Historia dan Eren pacaran. Mereka pernah dekat sebelum dan setelah Historia dinobatkan."

Jean mengangkat alis. "Wah... Memang dekat. Tapi tidak semencurigakan dia dengan Armin saat kita masih kadet."

Kini Mikasa yang mengangkat alis. "Armin? Bagaimana bisa?"

Lalu Jean menjelaskan dua anak laki-laki itu seakan tak terpisahkan waktu di akademi. Berbagi mimpi yang sama, ke mana-mana berdua. Bahkan dia dengan Marco atau Connie tidak seperti itu. Padanannya adalah Reiner dengan Bertolt. Tapi mereka kemudian tahu Reiner, Bertolt, serta Annie sedang dalam misi infiltrasi kala itu. Wajar Reiner dekat sekali dengan Bertolt.

"Reiner, ya?" Mikasa tak melanjutkan hingga mereka sampai di dalam kereta. "Eren menangisi Reiner saat Reiner mengaku dia Titan Zirah. Juga berusaha menyelamatkan Reiner saat dilawan Kapten Levi. Juga mengatakan sampai jumpa lagi pada Reiner di Liberio meski cuma aku sendiri dan Eren yang mendengar."

Jean tak paham dari mana datangnya Mikasa yang ini. Mungkin Mikasa sudah tak tahan ingin membagikannya dengan orang lain. Jean pun dengan senang hati menerima dan membagikan hasil pengamatannya sendiri tentang Reiner yang selalu aneh saat topik tentang Eren disinggung. Atau Reiner yang tak mengatakan apapun saat berada di depan makam Eren. Mereka pun membicarakan anggota Aliansi yang lainnya selama perjalanan pulang.