Desclaimer : Aldnoah Zero bukan punyaku
Warning : BL, Rape/non-con, OOC, Author yg telat suka fandom Aldnoah Zero
Summary : Slaine sama sekali tidak menyangka kalau Oren, pemuda yang kehilangan ingatan itu, adalah otak dari kudeta yang menghancurkan kerajaan yang dipimpin ayahnya. Warning: Rape/non-con.
To Make A King
Pemuda berambut pirang pucat itu terisak. Dadanya terasa sesak. Kedua mata biru kehijauannya memerah karena air mata. Kedua pipinya pun basah. Seluruh tubuhnya gemetar. "Ini mimpi…mimpi… Aku pasti sedang bermimpi. Bangunkan aku, Harkl-Argh!" Sebuah gerakan menusuk yang cukup kencang dari bagian bawah tubuhnya membuat ia kembali berteriak dan menangis. "Ini jelas bukan mimpi, Slaine." ucap sang pelaku penusukan, mata merahnya bergerak melihat organ milik pemuda pirang yang sama sekali tidak bereaksi. Dia tidak peduli dan mempercepat gerakannya.
"Sakit! Hentikan! Aaaaah!" Air mata pemuda bernama Slaine tersebut mengalir makin deras. Kedua tangannya yang diikat di bagian kepala king size bed itu pun berusaha ia tarik sekuat tenaga supaya lepas. Tentu saja tidak berhasil. Sudah berkali-kali ia mencobanya. "Ayahanda! Tolong! Sakit! Sakiit! Harklight! Tolong akuuu!" Teriaknya sambil terus meronta. Laki-laki bermata merah di atasnya mengigit kaki kiri Slaine yang ia kaitkan ke bahu kanannya hingga berdarah. Dia menarik perlahan organ intimnya yang sedari tadi menusuk rongga belakang milik Slaine. Cairan putih bercampur darah mengalir keluar dari rongga tersebut. Tubuh pemuda di bawahnya masih gemetar, kesakitan dan kedinginan.
"Hiks…. kenapa, Oren?… hiks." Pemuda pirang tadi bertanya, lirih. Mata biru kehijauannya mengarah pada sosok Harklight yang tergeletak tertelungkup agak jauh di sisi tempat tidur sana. Darah mengalir dari pelipisnya akibat pukulan keras dari gagang pedang oleh sang lelaki bermata merah. Pelayan pribadi sekaligus pengikut setia Pangeran Slaine Troyard tersebut sempat mengamuk dan ingin menyelamatkan tuannya yang disiksa di depan matanya. Tentu saja Kaizuka Inaho, pemuda bermata merah tadi, langsung beradu pedang dan mengalahkannya. Dia juga menusuk paha kiri dan punggung tangan kanan Harklight hingga tidak bisa menggenggam pedang lagi. Dia sudah hafal betul dengan semua gerakan n jurus-jurusnya. Sudah berkali-kali mereka sparring bersama. Dan Inaho adalah orang yang cepat menguasai pelajaran. Baik teori maupun praktik. Dia bahkan disebut-sebut sebagai kesatria terbaik nomer 1 di kerajaan ini. Ia dan Harklight ditunjuk sebagai pendamping pribadi Slaine. Harklight lebih sebagai pelayan pribadinya, sementara Inaho lebih sebagai bodyguard.
"Kupikir…. kupikir kita teman. Aku … hiks…. bahkan…. sudah menganggapmu…. adikku sendiri…." Sambung Slaine, dadanya terasa makin sesak. Kedua kaki yang telah bebas dari cengkraman penyiksanya ia tekuk sedapat mungkin untuk menutupi tubuhnya yang bisa dibilang telanjang. Pakaian yang dikenakannya telah robek di sana sini dikarenakan pelaku yang sama.
"Aku tidak pernah sekalipun menganggapmu teman. Apalagi kakak." sahut pemuda yang disebut Oren tersebut seraya turun dari tempat tidur. "Aku cuma punya satu kakak. Dan dia dibunuh oleh ayahmu." Dia kembali mengenakan celana panjang dan pedang di pinggangnya, lalu melangkah ke arah Raja Troyard yang ia ikat di kursi dan tiang di kamar tersebut. Sang Raja menatap marah kepadanya. Seandainya saja mulutnya sedang tidak diikat dengan kain, pasti dia sudah mengucapkan sumpah serapah saat ini.
"Bagaimana rasanya…?" tanya Inaho, mencengkram rambut silver sang Raja. Kasar. "… menyaksikan putra tersayangmu yang selalu kau jaga mati-matian… dinodai?" bisiknya, keras. Ia tersenyum sinis 2 detik sebelum wajahnya kembali datar. "Marah? Murka? Ingin membunuh pelakunya? Ingin balas dendam?" tanyanya dengan kedua alis terangkat. "Itu juga yang kurasakan saat kau melakukan hal yang sama pada Yuki-nee." Pria berusia kurang lebih 45 tahun itu mengeluarkan suara-suara protes dan menghantamkan dahinya ke si penanya yang memang kebetulan jaraknya sedang cukup dekat.
Inaho berdecak kesal dan menghantam kepala Troyard dengan punggung tangan hingga menambah luka baru di tubuh Raja tersebut. Telah banyak luka bekas sayatan dan hantaman di tubuhnya. Wajah dan mata kirinya pun memar. "Aku sudah merebut istana dan menodai putramu. Dua hal yang sangat kau jaga." Ia menggeser posisi kursi Raja yang tadi agak menyamping agar menghadapnya. "Cukup sudah." Pemuda berambut cokelat gelap tadi mencabut pedang yang merupakan hadiah raja untuk kesatria terbaik. Ia lalu melayangkan pedang tersebut dan memenggal kepala sang Raja dalam sekali tebas. "Selamat tinggal, King Weiss Troyard."
"Tidaaaaak!" terdengar jeritan memilukan dari Pangeran Slaine yang masih terikat di tempat tidurnya. "Tidak! Tidaaaak! Ayahandaa!" Dia kembali meronta dari ikatannya. Kepalanya menggeleng cepat, tidak terima. Semuanya terjadi begitu cepat. Terjadinya serangan mendadak dari pasukan pribumi Terran, yang entah dari mana. Jumlahnya sangat banyak untuk kategori dadakan. Senjata-senjata yang dipakai pun lengkap. Pasti ada yang mengatur semua ini. Ia masih tidak ingin percaya kalau orang yang dia beri nama Oren inilah otak di balik semua pertumpahan darah itu.
.
.
Saat itu Slaine sedang pusing mengerjakan soal hitungan dari Harklight di meja bundar kecil berukiran mewah yang terletak di teras kamarnya nun luas. Tangan kirinya menggaruk kepala yang tidak gatal, sedangkan yang kanan sibuk mencorat-coret lembar jawabannya dengan gambar kartun kelelawar, burung, dan hewan-hewan terbang lainnya.
"Pangeran… " Harklight menghela nafas. "Apa yang Anda lakukan…?"
"Whoah!" Slaine kaget berdiri. "Sejak kapan kamu di belakangku?"
"Baru saja." jawab pelayan setianya tadi sambil meletakkan satu set teko berisi teh melati dan strawberry shortcake di meja. "Apa soal-soal yang saya berikan terlalu sulit?" tanyanya sembari menuangkan teh ke cangkir. "Bu-bukan begitu." Slaine mengibaskan kedua tangannya, menggeleng. "Well, memang agak sulit sih… " Akunya."… tapi, aku lagi kurang semangat." Ia pun kembali terduduk, pelan. Lesu.
"Karena Ren tidak menemani Anda di sini?" tebak sang pelayan, jitu. "Iya!" Tunjuk Slaine, kesal. "Kurang lebih sudah dua minggu, setelah ulang tahunku yang ke-19, kami jadi jarang bertemu." Ia menempelkan pipi kanannya ke meja, lemas. "Belakangan ini dia sibuk terus. Sering keluar istana. Waktu kebetulan kami bertemu di koridor timur dan kutanya mau ke mana, dia bilang ada tugas rahasia dari ayahanda. Jadi dia tidak bisa memberitahuku." Ia kembali mengangkat wajahnya dan menghela nafas, panjang. Sang pelayan tersenyum simpati dan memegang kedua bahu Slaine, mendorongnya pelan supaya kembali duduk tegak. Lalu merapikan pakaian kerajaan tiga lapis berwarna putih yang dikenakan Pangeran tersebut.
"Kenapa kamu suka sekali melakukan ini, Harklight? Padahal kan sama sekali tidak terlihat kusut?"
"Anda mungkin tidak melihatnya, tapi saya melihatnya. Ketidakrapian sama sekali tidak cocok dengan Anda." jawabnya, tersenyum.
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar sang Pangeran yang diketuk. Harklight segera menuju ke sana. Setelah merapikan sebentar seragam khas pelayan elit yang dikenakannya, ia pun membuka pintu. Tampak seorang prajurit kerajaan yang pucat mengucapkan sesuatu pada Harklight, wajahnya terlihat panik. Slaine hanya bisa mengangkat kedua alisnya, heran. Jarak antara dia berada sekarang memang cukup jauh dengan pintu kamarnya sehingga dia tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang meraka bicarakan. Dia hanya bisa melihat. Karena penasaran, akhirnya dia beranjak dan berjalan agak cepat menuju kedua orang di situ.
"Ada apa?"
Harklight berbalik cepat menghadapnya dan menyuruh prajurit tadi pergi dengan isyarat tangan yang ia lakukan di belakang tubuh. Sang prajurit mengangguk paham dan segera bergegas pergi dari sana setelah membungkuk hormat pada Slaine.
"Ada sedikit masalah, Pangeran. Anda tunggulah di sini. Jangan ke mana-mana ya?" ucap Harklight, tesenyum seperti biasa. Tapi ia berjalan mundur sambil memegang kedua ambang pintu di kanan kiri, seolah menghalangi Slaine untuk keluar.
"Hah? Memangnya ada masalah apa?" Pemuda bermata toska itu maju selangkah, ingin tahu. Tapi pelayan setianya buru-buru mundur dan menutup pintu kamar tesebut. "Bukan masalah yang patut Anda khawatirkan." sahutnya dari luar, diiringi dengan suara pintu yang dikunci. "Hey, Harklight!" Slaine mendorong dan menepuk-nepuk pintu kamarnya yang tidak bisa dibuka, cemas. "Nanti saya akan kembali. Tunggulah dengan tenang."Setelah itu Slaine mendengar suara langkah kaki yang berlari menjauh. Dia makin heran. Harklight sangat jarang terburu-buru sampai harus berlari seperti itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
Kurang lebih tiga menit Slaine jalan mondar mandir di kamarnya dengan cemas sebelum langkahnya terhenti karena mendengar suara-suara ribut di luar. Seperti suara pedang saling beradu dan tusukan tombak serta teriakan beberapa orang. Ia segera berlari ke balkon dan melihat apa yang terjadi di bawah sana.
Ternyata apa yang ia dengar sesuai dengan apa yang ia lihat. Banyak orang saling bertarung di halaman istana. Para prajurit kerajaan terdorong mundur karena kalah jumlah dengan segerombolan orang asing yang belum pernah dilihat Slaine. Orang-orang asing berpakaian lusuh dan dekil. "Siapa orang-orang itu?" Pangeran tersebut terkesiap melihat beberapa prajurit yang dikenalnya mati terbunuh di sana. "Tidak!" Dia tersentak saat beberapa dari orang asing tadi melihat ke atas, ke arahnya, dengan mata garang. Ia pun segera mundur dan berlari ke dalam, mengunci pintu kaca besar yang menghubungkan teras dan kamarnya. Apa mereka mau membunuhku juga? Ia bersandar sampai ke pintu keluar yang dikunci oleh pelayan setianya beberapa menit lalu. Matanya berkaca-kaca, ketakutan.
Tiba-tiba terdengar suara kunci pintu kamarnya yang dibuka. Slaine langsung berbalik, lega. Meski masih ada perasaan cemas di hatinya karena baru saja menyaksikan adegan pembunuhan brutal. Apa Harklight sudah kembali?
"Hark-!" Ucapan Slaine terhenti. Karena rupanya yang berada di balik pintu bukan pelayan setianya, melainkan orang lain yang juga memiliki kunci kamarnya selain Harklight dan ayahnya. Yaitu pengawal pribadinya.
"O-Oren?" Slaine kaget. Bukannya dia tidak senang bertemu kembali dengan pemuda berambut coklat gelap dan bermata merah itu. Tapi, beberapa bercak darah yang menempel pada wajah dan pakaian hitam a la militer khas yang dikenakannya membuat ia terkejut sekaligus cemas. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya, khawatir. Kedua tangannya mencengkram bahu laki-laki bernama Oren tadi. "Aku baik-baik saja. Ini semua bukan darahku." sahut pengawal pribadinya, datar. "Be… begitu ya…?" Slaine percaya. Karena Oren adalah prajurit terbaik di istana. Jadi dia tidak heran sama sekali. Ia menyeka darah yang terdapat pada sisi kiri wajah tanpa ekspresi tersebut dengan lengan baju putihnya. Sama sekali tidak sadar dengan pandangan mata merah yang berubah sayu.
Suara sesuatu membuat Slaine menghentikan gerakannya dan menghadap ke belakang. Terlihat seseorang berpenampilan dekil dan rambut berantakan memanjat ke teras tempat favoritnya belajar. Rupanya orang itu baru saja melempar tali dengan pengait di ujungnya yang ia gunakan untuk memanjat tempat ini. Sang Pangeran menatap ngeri pada orang asing yang sedang menyeringai di atas pagar teras lantai tiganya itu. "O-Oren." Dia bergegas berdiri ke belakang bodyguard yang lebih pendek enam senti darinya tadi. "Siapa mereka?"
Tanpa berkata apa pun, kesatria yang dipanggilnya Oren tersebut menggenggam pergelangan tangan kanannya dan menariknya bergegas pergi dari sana. Slaine hendak mengatakan sesuatu, tapi pemandangan berdarah di sekitar koridor yang mereka lewati membuat suaranya hilang dan perutnya terasa mual. Tidak hanya para prajurit, bahkan beberapa maid dan butler pun banyak yang bersimbah darah. Apa ini? Kenapa bisa begini?
Slaine tidak tahu lagi ke mana kakinya melangkah. Dia hanya mengikuti bodyguard yang menggandeng tangannya di depan sambil menyeka kedua matanya yang mulai terasa basah.
"Aduh!" Slaine menabrak punggung Oren yang tiba-tiba berhenti. Hampir saja dia terjatuh kalau bukan karna tangannya yang dari tadi digenggam oleh sang bodyguard, ditarik sebelum ia jatuh. "Kita sudah sampai."
Slaine mengusap hidungnya yang barusan membentur bagian belakang kepala lelaki di depannya. Ia lalu mendongak ke arah pintu besar berukiran mewah di samping mereka berdua. "I… ini…? Kamar ayahanda?" dia bingung kenapa Oren membawanya ke sini. Apa kamar ayahnya bisa menjadi tempat persembunyian yang aman? Slaine meragukan hal itu karena kamarnya sendiri berhasil diterobos oleh orang asing. "Oren…?"
"Kita masuk." sahut pemuda itu tanpa menatapnya. Meski masih bingung, sang Pangeran tetap mengikuti. Tapi baru selangkah, terdengar suara lirih yang memanggilnya. "Prince…" Slaine berhenti, menoleh ke kanan kiri. Mencari sumber suara. Suasana memang mulai agak gelap karena sudah mulai menjelang malam. Dan tidak ada lagi maid maupun butler yang menyalakan penerangan. "Prince Slaine…" suara itu terdengar lagi. Kali ini makin dekat. Kedua mata toskanya terbelalak melihat sesosok tubuh besar dari pengawal pribadi King Troyard. Ia berjalan tertatih sambil bepegangan pada tembok istana. Jejak darah pada tembok dan lantai mengiringi langkahnya yang makin mendekat. Seragam khas pengawal, persis sama dengan yang dikenakan Inaho, yang ia kenakan kini sudah sobek di mana-mana akibat sabetan dan tusukan yang sepertinya lebih dari sepuluh luka.
"Percival!" Slaine menghampirinya, panik. Lelaki berotot besar itu merosot berlutut Sudah tidak sanggup lagi berjalan. Rambut dan wajahnya pun sudah dipenuhi darah. "Ya ampun. Kenapa kamu bisa jadi separah ini?"
"Prince Slaine…"
"Istirahatlah dulu! Nanti akan kupanggilkan tabib istana. Bertahanlah!"
Slaine ikut berlutut di hadapannya. Tangan kirinya memegang sebelah bahu pria itu, panik. "Kamu sendirian? Di mana ayahanda?" Percival tidak langsung menjawabnya. Mata coklatnya menatap marah ke arah Inaho yang sedari tadi belum melepaskan genggamannya dari tangan kanan Slaine. Ingin sekali rasanya ia merebut sang pangeran dari genggaman itu dan melindunginya. Tapi keadaannya saat ini tidak memungkinkan.
"Menjauhlah… darinya… . Prince Slaine…" Pria penuh luka tadi mengangkat sebelah lengan yang masih menggenggam pedang, penuh susah payah. Ia mengacungkannya pada pemilik wajah datar yang masih berdiri di belakang pangeran. Tangan kirinya masih menggenggam erat tangan kanan Slaine. Sebenarnya pada saat mau berlutut tadi pemuda pirang tersebut sudah menarik lengannya supaya lepas. Tapi Oren malah menggenggamnya makin erat. Slaine mengartikan itu sebagai rasa khawatir dari bodyguardnya dan tidak protes. Sebenarnya dia memang sedang ketakutan setengah mati. Dengan adanya Inaho di dekatnya, rasa takut itu berkurang.
"Apa maksudmu menjauh darinya?" Ia menatap Percival dan Inaho bergantian. "Turunkan pedangmu, Perci. Dia bukan musuh-" Slaine berusaha menenangkan pria tersebut.
"Ren seorang pengkhianat… " sela Percival, cepat. "Dia…uhukh!" Ia terbatuk sejenak. Batuk darah. Slaine makin panik dan menyuruhnya berhenti bicara. Tapi pengawal Raja tersebut tetap melanjutkan ucapannya. "… menusukku dari belakang dan membunuh banyak penghuni istana." Hal ini memang benar. Inaho tidak ingin mengalami luka yang tidak perlu untuk menjalankan rencananya. Ia harus meminimalisir kemungkinan terluka sesedikit mungkin. Meski ia sudah dinobatkan sebagai kesatria terhebat di istana, kalau bertarung dengan Percival secara adil - dia pasti tidak akan bisa lolos tanpa luka. Bagaimana pun pria satu ini adalah pengawal pribadi sang Raja. Sangat sulit untuk dikalahkan. Dulu ia sempat memenangkan pertarungan dengannya satu kali semata-mata karena usia dan staminanya yang masih muda dan bisa bertahan lebih lama. Dan sekarang untung baginya karena Percival sangat mempercayainya, banyak celah yang bisa dia gunakan.
"Ini bukan saatnya bercanda! Jangan keterlaluan begi-!" Kalimat Slaine kembali terpotong. Kali ini karena Inaho yang menebas putus lengan Percival yang meghunuskan pedang ke wajahnya. Tentu saja hal itu membuat Slaine kaget luar biasa. Teriakannya bahkan lebih keras daripada Percival yang mengalami pendarahan parah.
"Oren!" Dia melotot ke arah si pelaku, marah dan tidak percaya. "Apa yang kau lakukan?!" Inaho hanya balas menatapnya dengan dingin. Membuat dada Slaine terasa membeku, takut.
"La…ri…"
Kali ini Inaho menusuk leher Percival yang barusan bicara, tanpa ekspresi. Pria tangguh itu pun langsung tewas seketika.
Slaine menjerit, horror. Dia segera beranjak dari posisi setengah berlututnya dan menarik lengannya yang masih digenggam, panik. "Lepaskan! Lepaskan aku!" Genggaman Inaho makin mengeras sampai tangannya mulai terasa sakit dan matanya basah. "Oren! Lepaskan!"
Pemuda berwajah datar itu menarik kasar lengan sang Pangeran sampai dada mereka terbentur. Lalu ia mengangkat tubuh meronta itu ke bahu kirinya seolah tanpa beban. Slaine terus terusan berteriak minta dilepaskan. Kedua lengannya sibuk memukul-mukul punggung Inaho sekuat tenaga. Tapi pengawal pribadinya itu hanya diam dan acuh, lalu menendang pintu besar kamar sang Raja. Kemudian ia pun masuk dan menatap tajam ke arah King Troyard yang sudah terikat di kursi yang menghadap King Size bed nya. Raja itu terbelalak melihat sang putra dan berteriak protes dari balik kain yang mengikat mulutnya.
Inaho melempar Slaine ke atas bed dan melepaskan semua pakaian yang dikenakan pangeran tersebut. Karena terlalu banyak lapisan dari pakaian yang dikenakannya, akhirnya dia tidak sabar dan merobek di bagian sana sini sehingga menimbulkan bekas memar kemerahan di tubuh mulus sang pangeran. "Oren!"
Inaho mengacuhkannya dan mulai mengikat kedua pergelangan tangan Slaine dengan kain dari potongan baju yang ia sobek tadi. Ujungnya ia kait dan ikatkan ke antara rongga-rongga dari ukiran ratusan naga putih yang menghiasi kepala bed. Lalu ia mundur sedikit, menghindari beberapa tendangan yang dilayangkan pangeran yang saat ini tengah ketakutan tersebut. Kemudian ia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah botol kecil. Ia membuka tutupnya dan menelan obat itu langsung. Matanya terpejam sejenak.
"Ayahanda! Ayahanda!" Slaine baru tersadar oleh kehadiran ayahnya yang terikat di sana dalam keadaan babak belur. Ia menarik-narik kedua lengannya yang terikat sekuat yang ia bisa. Rasanya sakit.
Inaho melepaskan pakaian atasannya sendiri lalu merangkak ke atas tubuh pemuda pirang di sana. Dengan sigap ia menghindar dan menangkap kedua kaki yang ingin menendangnya. Wajah dinginnya memang mengarah pada Slaine, tapi bola mata merahnya mengarah ke arah Raja yang berada beberapa jarak di samping tempat tidur. "Saksikanlah, King Troyard." Kemudian ia pun menjalankan aksinya.
.
.
"Kau memang lelaki yang sangat cengeng, Slaine. Dari dulu." Inaho kembali melangkah ke tempat Sang Pangeran berada. Slaine tercekat melihatnya. Pemuda yang dulu sangat ia sayangi bagaikan adik itu datang sambil membawa kepala sang Raja. "Salahkan ayahmu yang terlalu memanjakanmu dan terlalu melindungimu sampai-sampai melarangmu berpedang maupun belajar ilmu bela diri." Ucap Inaho seraya menempelkan wajah Troyard ke wajah sang Pangeran yang makin ketakutan. "Walau terima kasih untuk itu juga kau jadi punya tubuh dan kulit yang bagus." Ia tertawa sinis. "Ada apa, Slaine? Bukankah pipi dan rambutmu sudah biasa dicium olehnya, bahkan sampai umurmu 19 tahun seperti sekarang? Kenapa malah menjauh?" Ia makin mendekatkan kepala itu ke wajah Sang Pangeran yang sebisa mungkin menghindar, takut.
"Hentikan… " ucap Slaine, lirih. Kedua matanya terpejam keras. "Ayolah…" Inaho makin mendesaknya dan menjambak rambut pirang pucat milik Sang Pangeran dengan sebelah tangannya yang bebas. "Lihatlah wajah terakhir dari Raja lalim yang sudah terlalu lama menyiksa semua rakyatnya ini!" Bentak pemuda bermata merah tersebut, nyaring. Slaine tersentak kaget dan tanpa sengaja membuka kedua mata toskanya. Tidak sampai 3 detik setelahnya dia langsung muntah.
"Ah, kau muntah lagi…" keluh Inaho, datar. Dia melempar kepala tadi seenaknya ke belakang bagaikan melemparkan sampah. Terdengar suara benturan dan sesuatu yang basah membentur lantai, membuat Slaine bergidik ngeri. Dia pun kembali menangis.
"Seperti bocah saja. Orang selemah dan secengeng ini mau jadi kakakku? Tidak sudi." Meski bicara begitu, ia menghapus air mata Slaine dengan jempolnya, lembut. Ia juga menyeka mulutnya yang habis muntah dengan selimut yang sebagian memang sudah ternoda darah dan bodily fluids lainnya. Sebelumnya Slaine memang sempat muntah juga. Kira-kira kurang dari 2 menit setelah Inaho pertama kali menusuk rongga belakangnya tanpa persiapan apa pun. Reaksi pertamanya tentu saja berteriak kesakitan, setelah itu menangis, kemudian bergantian menatap Inaho dan ayahnya yang terikat dengan mata yang kebingungan dan tubuh gemetar. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Kenapa tiba-tiba Oren menyakitinya.
"Kamu… siapa….?" tanya Pangeran tadi, lirih.
"Apa maksudmu? Tentu saja ini aku, yang kau beri nama Oren." sahut Inaho sambil melepaskan kain pengikat kedua lengan Slaine. "Kamu bukan Oren! Oren anak baik! Dia tidak akan menyakitiku, Harklight, atau pun Ayahanda!" teriak pemuda pirang tersebut, kalut. "Wajahnya memang selalu datar dan jarang tersenyum! Tapi dia selalu menjaga dan melindungiku! Meski ingatannya hilang dan melupakan namanya sendiri, dia bisa… membantuku mengerjakan tugas hitungan dari Harklight! Dia anak baik dan pintar! Dia tidak mungkin-"
"Nyatanya mungkin saja." potong Inaho. "Sebenarnya aku tidak pernah kehilangan ingatan. Aku ingat dengan namaku sendiri. Kaizuka Inaho, itulah namaku. Aku sengaja menyembunyikannya untuk berhati-hati supaya Raja tidak mengenaliku. Karena meski tidak pernah melihat wajahku secara langsung, dia mengenali nama Kaizuka Yuki. Kakakku, yang telah ia perkosa dan bunuh."
.
.
Masih jelas rasanya di benak Inaho peristiwa yang terjadi 5 tahun lalu. Dia baru saja pulang dari menuntut ilmu di sekolah rakyat. Seragam gakuran hitamnya sudah terlihat agak usang karena terlalu sering dipakai. Tapi dibandingkan teman-temannya yang lain, miliknya termasuk yang paling rapi dan awet. Karena ia cukup pandai merawat barang. Setelah membetulkan topi hitam a la militer yang merupakan bagian dari seragamnya, ia kembali melangkah. Kali ini lebih cepat.
Dia ingin cepat-cepat pulang dan menunjukkan hasil ujian sempurnanya yang baru dibagikan para pengajar kepada kakaknya, Kaizuka Yuki. Ia adalah gadis ceria dan tangguh yang merawat Inaho seorang diri sejak kedua orang tua mereka meninggal karena penyakit menular. Ia berhenti sekolah dan mencari pekerjaan demi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adiknya. Bercocok tanam, membuat kerajinan tangan dari rotan, menjadi tukang cuci pakaian, dan segala macam pekerjaan. Pekerjaan yang tidak ingin dia lakukan cuma satu, yaitu menjual diri.
Saat kejadian mengerikan itu, Inaho baru berusia 15 tahun. Dia heran kenapa ada 3 orang prajurit kerajaan yang terlihat berjaga di depan gubuknya dan Yuki. Saat dia mendekat dan bertanya ada apa, salah seorang prajurit tersebut malah menendangnya mundur. Tadinya Inaho hanya ingin diam dan mengalah. Kadang-kadang memang ada utusan dari istana yang datang dan mengambil paksa uang atau barang mereka sebagai pungutan pajak. Tapi teriakan Yuki dari dalam membuatnya kaget dan segera bangkit serta menerobos masuk secara paksa.
Dia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya di dalam. Kaizuka Yuki, kakak yang lebih tua 4 tahun dan sangat disayanginya itu, terkapar di atas tempat tidur jerami mereka dengan kedua tangan yang terikat . Baju yang sobek. Serta pedang yang tertancap dan menusuk lehernya. Kedua matanya terbelalak.
"Sial. Dia terlalu banyak memberontak." Pria yang berdiri di dekat mayat kakaknya tersebut mengeluh dan menyeka wajah dan dagunya yang sempat terkena cipratan darah.
"Yuki-nee!" teriak Inaho, kalap. Tapi kedua lengannya langsung ditahan oleh dua prajurit. "Siapa?" tanya lelaki berbaju merah tersebut seraya mencabut pedang yang menusuk gadis tak bernyawa tadi. "Sepertinya dia adik dari Kaizuka Yuki, Yang Mulia." jawab prajurit yang sedang tidak menahan Inaho.
"Hoo…?" Raja Troyard membetulkan pakaian yang dikenakannya serapi mungkin. "Lepaskan dia." suruhnya. "Ba… baik!" Kedua prajurit tadi pun melepaskan remaja bermata merah itu, yang langsung melesat menghampiri mayat kakaknya. Raja tersebut melangkah keluar dengan santainya sambil merapikan rambutnya yang agak berantakan setelah aktivitasnya di dalam. Dia tersenyum sinis sebelum berkata "Bakar gubuk itu."
.
.
"Tidak! Ayahandaku bukan orang jahat! Kamu pasti keliru! Salah orang! Dia baik! Sangat baik dan selalu melindungi rakyatnya!" Protes dari Slaine barusan menyadarkan Inaho dari lamunannya. Ia lalu mencengkeram kedua sisi wajah Pangeran itu. "Itu adalah kebohongan paling absurd yang pernah kudengar." geramnya, marah. "Memangnya Pangeran manja macam kau yang selalu ada di istana seumur hidup, tahu apa?" Dia mencengkramnya makin keras. "Kau tidak pernah sekalipun menginjakkan kakimu keluar istana kan? Bagaimana bisa kau mendengar keluhan para rakyat di luar sana? Apa kau pernah melihat keadaan sesungguhnya dari rakyat di kerajaan ini? Bagaimana kehidupan mereka sehari-hari? Lingkungan mereka? Keadaan ekonomi mereka? Pendidikan mereka? Hah?!"
"Ayahanda… melarangku keluar." sahut Slaine, lirih. Kedua tangannya yang telah bebas mencengkram pergelangan tangan Inaho, ingin melepaskan diri. Tapi pemuda itu menolak. "Hanya karena dia melarang, kau langsung menurut? Cuma seperti itu saja rasa penasaran dan pedulimu pada kerajaanmu?"
"Ta-tapi, Ayahanda bilang… banyak orang jahat di luar, banyak penyakit menular juga… "
"Kau itu Pangeran! Kau punya banyak pengawal yang terlatih dan sudah pasti lebih tangguh dari para penjahat tanpa pendidikan khusus di luar sana! Apa lagi yang kau takutkan?!" bentak Inaho lagi, jengkel. "Dan semua penyakit menular itu sudah ada obatnya! Tabib kerajaan ini sudah menemukan ramuan penyembuhnya dari dulu! Hanya saja ayahmu, Raja Troyard, memerintahkan para bawahannya untuk menjual obat-obatan itu dengan harga mahal! Sehingga cuma para bangsawan saja yang mampu membelinya. Rakyat biasa sama sekali tidak diurus dan dibiarkan mati, seperti orang tuaku!"
"Hiks… bohong… kamu bohong…" Slaine tidak percaya. "Kamu bohong!" Ia pun menendang perut pemuda bermata merah tadi, marah. Lebih tepat disebut mendorong daripada menendang. Inaho melepaskan cengkraman dan membiarkan dirinya didorong. Ia hanya menatap Pangeran yang tengah telanjang itu beringsut ke sisi bed dan terjatuh.
Kedua mata toska itu berkedip, kaget. Tubuh bagian belakangnya terasa nyeri sekali. Dia mencoba sekali lagi untuk berdiri, tapi kembali jatuh. Inaho menyaksikan semua itu dengan sebelah tangan menopang pipi, masih duduk bersila di atas bed.
Slaine menghapus air matanya, keras. Lalu ia merangkak sebisa mungkin. Ke mana saja, yang penting makin jauh dari penyiksanya. Inaho tidak menyangka dia akan menyaksikan Pangeran kerajaan Troyard dalam keadaan se-pathetic ini. Sebuah senyuman sinis yang nyaris tidak terlihat terlintas di wajahnya.
Slaine tidak sadar kalau ia bergerak semakin mendekat ke arah pelayan pribadinya yang masih tertelungkup pingsan dengan dahi, paha kiri, dan tangan kanan yang berdarah. "Hark…light?"Slaine berjuang untuk duduk dan mengguncang bahunya, pelan. "Please, Harklight. Bangun…" Dia mengguncangkan kedua bahu itu makin keras. "Bangunlah… hiks. Tolong jangan tinggalkan aku juga…" beberapa air matanya menetes ke rambut Harklight. "Bangunlah, Harklight A-aku takut! Jangan tinggalkan aku sendirian!"
"Prince… Slaine…?" suara lirih keluar dari mulut pelayan tersebut, membuat Slaine berhenti menangis seketika. "Harklight…?" Tubuh pemuda yang lebih tua 2 tahun darinya itu tidak bergerak. Hanya mulutnya saja. Tubuhnya masih terasa lemas karena kehilangan cukup banyak darah. Rasanya ia ingin sekali bangun dan memeluk tuannya itu. Ia ingin menenangkan dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja seperti biasa. Tapi saat ini untuk sekedar bergerak pun sudah sangat sulit.
Slaine menarik dan mengangkat tubuh Harklight sekuat tenaga. Dia hanya mampu mengangkat sebagian bahu dan kepala pelayannya itu ke pangkuannya. Tadinya dia bermaksud untuk memeluknya, tapi kurang kuat. "Bertahanlah, Harklight." Sang Pangeran kembali menghapus air matanya yang hampir keluar. "Aku akan membawamu ke tabib. Kau akan segera pulih." Tak ada respon apa pun dari pelayannya itu. Sepertinya ia kembali pingsan. Slaine meletakkan kedua lengannya ke punggung Harklight, berusaha memeluk pemuda berambut hitam itu sebisanya. "Kamu harus tetap hidup…" pintanya, setengah berbisik. Wajahnya hampir menyentuh telinga kanan pelayan setianya tersebut.
"Jangan sembarangan memeluk orang sambil telanjang begitu, bodoh." ucap Inaho, menjambak rambut pirang sang Pangeran. Entah sejak kapan pemuda berambut coklat gelap dan bermata merah itu sudah berdiri di belakangnya.
"Aduh! Sakit!" Slaine mencengkeram pergelangan tangan kiri Inaho di rambutnya. "Lepaskan! Jangan sentuh aku!"
"Bukannya sudah terlambat untuk mengatakan hal itu?" Ia makin menariknya hingga membuat Slaine terpaksa berdiri, meski dengan kedua kaki yang lemas. Inaho yang tahu itu langsung mencengkram lehernya dari belakang dengan sebelah tangan yang masih bebas, menariknya. Membuat punggung Pangeran tersebut menempel pada dadanya. "Kau bilang tadi mau membawa Harklight ke tabib?" Bisiknya. "Istana ini sudah berada di bawah kekuasaanku, Slaine. Begitu juga dengan para tabib. Bagaimana kalau aku melarang mereka untuk menyembuhkannya?"
Nafas Slaine kembali terasa sesak. Dan itu bukan karena cengkraman laki-laki di belakangnya.
"..."
"Memangnya apa… yang bisa kau berikan padaku sebagai bayaran untuk pengobatannya?"
"..."
"Kau sudah tidak punya harta apa pun. Bahkan pakaian pun, kalau aku mau, kau tidak akan punya. Kau sudah tidak punya apa-apa, Slaine. Semua pengikut setia Raja Troyard sudah mati."
"Uh… Hark…light…" lengan kanan yang pucat itu mengarah lemah pada pelayan pribadinya. "To… long…."
"Ah benar juga. Kau masih punya pengikut." Pemuda bermata merah tadi melepaskan cengkramannya dari leher dan rambut Slaine, membiarkannya terjatuh begitu saja ke lantai istana yang dingin. "Sekalian saja kuhabisi." Ia pun kembali mencabut pedang bergagang emas di pinggangnya. Mengarahkan ujungnya yang tajam kepada Harklight di sana.
"Tidak! Jangan!" Slaine yang panik langsung memeluk kaki kiri Inaho. Dia bersusah payah untuk berlutut dan berusaha merebut pedang itu. Tapi sang pemilik pedang justru menaikkan benda itu tinggi-tinggi di luar jangkauannya. "Jangan bunuh Harklight! Jangaaaan!" teriaknya sambil menangis. "Hiks… kumohon… Kaizuka… Inaho…" isaknya.
"... Kau mau bayar pengobatannya dengan apa, Pangeran cengeng?" tanya Inaho, tangan kanannya yang memegang pedang masih teracung ke atas. Slaine yang masih berlutut dan memeluk pinggangnya hanya bisa menggeleng. "Aku… a-aku… tidak tahu…"
"Kalau tidak mampu membayar, berarti tidak akan ada obat. Seperti yang dikatakan ayahmu." Tangan kanan pemegang pedang tersebut kembali bergerak, bersiap menebas leher Harklight.
"Aku akan lakukan apa saja!" Teriak Slaine. Lengan kanannya masih melingkar di pinggang Inaho, sedangkan yang kiri berusaha menggapai pedang namun tidak sampai.
Gerakan Inaho terhenti.
Tiga detik.
"Benarkah?" tanyanya, datar. Matanya tidak beralih dari sosok pelayan setia yang masih tidak sadarkan diri di lantai kamar sang Pangeran.
"I-iya." Sahut Slaine, menelan ludah. Dadanya naik turun, gugup.
"Kau serius?" Kali ini mata merah tadi beralih ke arah rambut pirang dari pemuda yang masih berlutut di hadapannya. "Kau akan melakukan apa saja yang kuperintahkan?". Slaine hanya bisa mengangguk cepat, suaranya tidak keluar. Kalau dia bersuara, pasti ia akan menangis lagi. Begini-begini sebenarnya dia tidak suka disebut cengeng. Dia ingin berusaha menjadi lebih kuat meski agak sulit dilakukan dalam situasi seperti ini. Aku tidak boleh menangis terus. Setidaknya aku harus bisa melindungi Harklight.
"Baiklah." Tanpa melihat, Inaho melempar pedang tadi ke samping hingga seperempat dari ujung pedangnya menancap ke dinding putih istana kamar tersebut. Ia lalu berjongkok dengan satu kaki. Kedua tangannya memegang kedua pipi Sang Pangeran yang telah terduduk. Ditatapnya wajah pucat itu, lama. Kedua mata toska di sana terlihat kurang fokus dan berkaca-kaca menahan air mata. Pipinya pun terasa panas. Terlalu panas untuk suhu normal. Dia demam, batinnya. Tidak heran.
"Kalau kau melanggar perintahku, Harklight akan kupenggal." Setelah mengatakan kalimat tersebut dengan datar, tangan kanannya beralih meraba dahi Slaine yang panas. Yang diraba merasa kepalanya terasa berat, pandangannya terlihat kabur. Dia sudah tidak sadarkan diri ketika tubuhnya limbung dan hampir menghantam lantai. Dia juga sama sekali tidak merasakan ketika tubuhnya ditangkap dengan sigap dan diangkat, bridal style, oleh penyiksanya.
.
.
Pilihlah jawaban atas fic ini sesuai dengan yang kau inginkan :
a. Stop
b. Lanjutkan
c. Hapus
