"Yo."
Sebuah suara menyapu telinga membuat sang empunya bergumam, tidak sedikit pun terdistraksi dan terus menuangkan cat dengan perantara kuas di atas kanvas yang berdiri tegak pada easel stand. Sudah berapa kali lelaki itu datang ke gedung kampusnya—lebih tepatnya ke ruang studio—untuk mengganggu atau membuat tugasnya terbengkalai. Namun, kali ini Melanie tidak akan goyah. Fokus dan idenya benar-benar mengalir lancar di kepala bak air sungai yang bergerak tenang hingga ke hulu.
Iris amber sang lelaki menangkap lukisan yang belum sepenuhnya selesai di atas kanvas dengan dominan warna oranye dan kuning, apa yang digambar di sana pun belum terlihat jelas. Shaw berkacak pinggang, menatap goresan warna tersebut diiringi kernyitan di dahi. Memang apa yang dipelajarinya dengan sang kekasih berbeda jauh—walau ada kesamaan seperti menggambar sketsa karena hal tersebut penting dalam ilmu arkeologi—tetapi ia tak pernah bisa menebak apa yang digambar atau dilukis gadisnya. Ah, tapi apa guna lelah-lelah berpikir. Tinggal tanya saja bukan?
Tubuhnya ia tundukkan, mendekatkan bibir pada telinga Melanie dan meniupnya. Satu tiupan tersebut cukup membuat bulu kuduk meremang hingga sang gadis memegang telinganya dan beranjak dari kursi, melihat lawan bicaranya diiringi semburat merah di pipi.
"K-Kau ngapain?!"
"Meniup telingamu," jawab Shaw santai. "Apa perlu kulakukan lagi?"
"Jangan dekat-dekat!" Melanie memperingatkan sembari mengarahkan kuas dengan warna putih yang berada di ujung bulu kuas. Melihat hal tersebut membuat sang lelaki mengangkat kedua tangannya.
"Wow, santai. Aku tidak akan melakukan apa-apa lagi," ujar sang lelaki seraya mengangkat tiga jari kanannya—bersumpah. Gadis pemilik mahkota hitam pekat itu mendengkus, menurunkan kuasnya dan menatap Shaw curiga.
"Apa yang kau lakukan disini?"
"Hanya ingin melihat seorang gadis yang baru saja mengarahkan kuasnya padaku."
Melanie mendecak, merapikan rok krim yang ia kenakan dan kembali duduk di kursi kecil, menghadap ke lukisan yang sedang dikerjakannya. "Kalau kau hanya ingin mengganggu lebih baik kau keluar saja."
"Kau tidak kasihan denganku yang sudah keliling mencarimu dan kau sekarang mengusirku?" tanya Shaw, menampilkan wajah memelas. "Tega."
"Hah?" Melanie memberi tatapan kesal pada sang lelaki. Kesabarannya setiap kali menghadapi Shaw tidak pernah penuh, selalu saja berkurang bahkan habis tak bersisa. Sifat mengesalkannya benar-benar mendarah daging dan jangan heran jika mereka sering bertengkar, tetapi yang lebih dulu minta maaf adalah Shaw—juga dia adalah orang yang selalu memulai pertengkaran. Kadangkala lelaki itu mengerjai Melanie tanpa melihat kondisi, hal tersebut yang membuat sang gadis kesal sampai tak ingin berbicara dengan Shaw. Yah, walau begitu hanya lelaki itu yang mau menerima Melanie yang seperti ini sih.
Shaw mengendikkan bahu. "Benar kok, teknologi yang bernama ponsel pun sepertinya sudah kuno sampai aku tidak bisa menggunakannya untuk menghubungi gadis di hadapanku."
"Aku sudah bilang, kalau di kampus aku tidak mengaktifkan ponselku," jawab sang gadis, menghela napas sejenak dan memegang kepalanya. "Lagipula apa yang membuatmu mencariku sampai kesini?"
"Salahmu tidak mengaktifkan ponsel dong? Aku 'kan sedang mencarimu." Shaw menjawab, terdengar ngotot di balik kalimatnya seakan tidak mau kalah. "Aku juga sudah menjawab pertanyaanmu. Tidak ada pengulangan."
"Iya iya, hanya Tuan Shaw yang paling benar di muka bumi ini," Melanie menjawab pasrah, mengambil palet cat akrilik berbahan plastik yang ia letakkan di lantai lalu memegangnya. Ia tak menggubris lelaki itu lagi, melanjutkan tugasnya dan menyelesaikannya—membiarkan sang lelaki mengambil kursi dan duduk di sisi. Ia menoleh pada Shaw sejenak, menatap lelaki itu dengan tatapan bingung. "Kenapa kau malah duduk disini?"
"Kau ini banyak tanya," protesnya. "Lanjutkan saja pekerjaanmu, aku tidak akan mengganggu," Ia melanjutkan sembari membuka kaleng soda lalu menenggaknya. "Kecuali kalau kau minta."
Mendengar ucapan sang lelaki membuat Melanie mendecih. "Siapa juga yang mau diganggu?"
Kekehan pelan tercipta dari sang lelaki. Keduanya pun terdiam tak melanjutkan sua. Melanie kembali pada lukisannya, sementara Shaw memainkan ponsel. Di gedung seni Loveland University terdapat lima studio lukis, satu diantaranya yang sedang ditempati Melanie—berada di ujung lorong gedung seni lantai tiga dan jarang dilewati orang-orang. Maka dari itu, Melanie memilih untuk mengerjakan tugasnya di studio paling ujung karena lebih minim diganggu orang-orang. Hanya saja, karena dia sering sendirian di ruang tersebut dan hampir tidak menimbulkan suara seringkali dikunci oleh satpam kampus. Demi menghindari hal yang sama terulang kembali, akhirnya ia menulis namanya di dekat pintu sebagai pertanda bahwa studio sedang diisi olehnya.
Waktu saat itu menunjukkan pukul empat sore. Sebenarnya kelas Melanie sudah selesai dari siang, tetapi tugas membuatnya tidak dapat beranjak dengan cepat dari kampus dan mau tak mau ia menetap untuk sementara waktu di studio demi menyelesaikan satu kanvas terakhirnya. Ia lebih suka mengerjakan tugas di kampus daripada di apartemen sebab akan lebih banyak distraksi yang membuatnya tak mengerjakan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa. Selain gangguan dari otome game yang ia mainkan, kucing persia medium yang selalu menggosok kakinya setiap kali sedang nugas, lelaki yang ada di sampingnya pun seringkali datang tanpa kabar dan berkunjung (baca: mengacau). Dipikir saat berada di kampus, ia tidak akan diganggu oleh Shaw—ternyata tetap saja. Yah, selama dia tidak sering membuatnya berhenti mengerjakan tugas sih tidak masalah.
Hari ini tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Chinese Valentine Day. Tadinya Shaw ingin mengajak gadis itu jalan-jalan, hitung-hitung berkencan karena akhir-akhir ini Melanie sulit sekali ditemui karena tugasnya menumpuk. Namun saat melihat sang gadis masih berkutat pada kanvas dan kuas membuatnya mengurungkan niat, memutuskan untuk menemani kekasihnya menyelesaikan tugas lalu mengajaknya pergi makan atau hal yang lain. Sejenak ia melihat sang gadis yang terlihat fokus pada kanvas, menorehkan cat ke atas papan berbahan kain tersebut sedikit demi sedikit. Wajah gadis itu tak berekspresi, tapi dari sudut pandang Shaw, kekasihnya terlihat manis. Ia menepikan helaian hitam dari wajah Melanie dan membawanya ke belakang telinga sang gadis, membuat pemiliknya tersentak dan menoleh pada Shaw.
"A-Apa?"
Shaw mendecak, mengabaikan rasa gugup karena tangannya tiba-tiba bergerak menepikan sehelai mahkota Melanie. "Aku sudah bilang berapa kali untuk mengikat rambutmu. Kalau nanti rambutmu kena cat bagaimana? Mau kau jadikan kuas alternatif juga?"
"Aku tidak bawa karet," jawab sang gadis, kembali pada kanvasnya dan menggerakkan kuas. "Aku juga sering melukis tanpa mengikat rambutku."
"Kau ini." Ia mulai menepuk dan meraba saku celana miliknya, beralih pada jaket kulit hitam yang melapisi tubuh dan merasakan sesuatu dari balik saku di bagian dada. Shaw merogoh, menemukan ikat rambut spiral kecil berwarna hitam lalu beranjak dari kursi, merapikan mahkota sang gadis lalu mengikat rambutnya dengan ikat rambut tersebut. "Aku ingat kau pernah memberikan ikat rambutmu padaku dan belum pernah kukeluarkan dari jaketku," Shaw menjelaskan sebelum gadis itu bertanya.
"Aku gak tanya," ketus Melanie.
"Hah, padahal di dalam hati kau sudah curiga kenapa aku menyimpan ikat rambut perempuan 'kan?"
"Mana ad—" Saat sang gadis menoleh dan hendak merespon, ucapannya terhenti ketika melihat Shaw tersenyum jahil padanya membuat Melanie mengembungkan pipi. "Benar 'kan? Kau menyimpan karet milik perempuan lain?"
"Yah, siapa sih yang tidak tertarik denganku? Mereka rela memberikan apa pun untukku," ujar Shaw dengan rasa kepercayaan diri setinggi langit. "Barang seperti karet rambut bukan sesuatu yang besar tapi berkesan."
Mendecih sebagai respon, Melanie memutuskan untuk tidak membuka suara dan kembali pada tugasnya. Persetan dengan selingkuh, lagipula kalau pacarnya mau selingkuh ya selingkuh saja. Ia tidak peduli, ia tidak mau ambil pusing!
Terkadang atau bahkan candaannya kurang ajar seperti sekarang ini, tidak heran Melanie sering ngambek bahkan marah hingga tidak berbicara pada Shaw dalam waktu yang lama. Namun, bukan Shaw namanya jika tidak pandai mencairkan suasana dan mengendalikan kondisi. Ia berdiri di sisi Melanie, tepat pada daun jendela dan bersandar sembari memangku tangan.
"Marah nih?"
Melanie tak menjawab, mengabaikan sang lelaki dan terus melukis tanpa memedulikan makhluk hidup yang sedang menatapnya. Shaw menghela napas kasar, terduduk di lantai dan memainkan ponsel.
"Kalau udah gak marah bilang ya."
Apa-apaan, batin sang gadis. Sepertinya mode malas Shaw sedang aktif hingga membuat lelaki itu enggan melakukan apa pun, termasuk bertanggung jawab setelah membuat kekasihnya marah karena menceritakan perempuan lain. Melanie mendengkus sembari menggeleng, tetap melukis hingga tugasnya selesai.
Lagi-lagi mereka terdiam, tak ada sedikit pun suara yang tercipta. Melanie benar-benar fokus karena suasananya benar-benar sunyi. Pacarnya yang harusnya banyak bicara pun ikut bergeming, keasikan pada ponselnya. Sesekali Melanie melirik pada Shaw yang terlihat fokus pada benda elektronik tersebut, membuatnya sekali lagi mendengkus. Dia tidak mau berpikiran aneh-aneh, tapi kalau memang melihat foto perempuan lain ya sudah. Melanie tak ada hak untuk melarang 'kan? Toh biarpun titel mereka sepasang kekasih, mereka tidak terlihat sebagai dua insan karena jarang bertemu.
Padahal Shaw sedang bingung memilih hadiah untuk pacarnya. Ia ingin memberikan sesuatu yang berguna juga sebagai pengingat bahwa barang tersebut diberikan olehnya. Ibu jarinya terus menggulir e-commerce dari sebuah aplikasi, tetapi satu pun belum ada yang menarik minatnya. Sejenak ia melirik Melanie yang memasang wajah masam, menggerakkan kuasnya di atas kanvas membuatnya tak dapat menahan diri untuk membuka suara.
"Mukamu keras banget kayak kerak nasi," ejeknya. "Senyum kek."
Masih marah, Melanie benar-benar tak merespon—tetap fokus pada tugasnya dan menganggap lelaki itu tak ada. Mengetahui sang gadis tak merespon membuatnya mendengkus, kembali pada layar ponsel dan entah ada rezeki apa jarinya terhenti pada sebuah produk. Satu set paket yang bisa diberikan untuk pacar perempuan berisi parfum—entah aroma apa, tapi di deskripsinya menjelaskan bahwa baunya lembut untuk kaum hawa, sabun mandi, scrub, lotion dan hand cream dengan varian yang sama dengan parfum. Shaw mengernyit, menimang-nimang paket tersebut sebelum memasukkannya ke keranjang belanjaan. Ia ingin membelikan ini, tapi barang seperti ini kurang berkesan karena cepat habis kalau dipakai terus 'kan? Gelengan tercipta, memasukkan paket tersebut ke dalam keranjang lalu tangannya kembali terhenti pada set perhiasan yang harganya lumayan mahal tetapi memiliki kualitas terbaik. Ada kalung, cincin, gelang dan anting berbahan emas putih di dalam satu kotak. Ia menggulirkan deskripsi barang, melihat bahwa toko tersebut juga mempunyai toko fisik. Cukup jauh dari kampusnya, tapi tak apa lah daripada ia membeli online dan tidak tahu kualitasnya. Apalagi ia tahu kulit sang kekasih sensitif, sulit bagi Melanie untuk mengenakan barang tiruan. Mungkin satu set parfum tadi juga dibelinya di toko fisik, tak apa telat daripada tidak sama sekali.
Waktu berlalu dengan cepat, jarum jam terus berputar hingga menunjukkan pukul setengah enam sore. Melanie meregangkan kedua tangan, akhirnya dapat bernapas lega karena sudah menyelesaikan tugasnya dan siap diberikan pada dosennya. Ia mengambil kain putih yang berada di dalam lemari, melepas kanvas dari easel stand dan menyandarkan kanvas lukis miliknya ke dinding lalu menutupnya dengan kain putih, mengikatnya dan akan dibawa langsung ke ruangan dosen nantinya. Saat asik berkemas dan membereskan semua peralatannya ke dalam tas, ia melihat Shaw yang telah tertidur dengan posisi berpangku tangan dan mengapit ponsel masih menyala di tangan. Melanie mengernyit, mengintip apa yang tertampil di layar dan didapati balon-balon pesan untuk seorang perempuan—terlihat dari gambar profilnya. Ia ingin curiga, tapi perlahan membaca balon pesan dengan teliti sebelum mencurigai kekasihnya.
[Apa anda ingin memesan paket ini?]
[Ya, apa barangnya ada untuk besok?]
[Ada.]
[Karena hari ini 520 jadi kami masih membuat diskon hingga tanggal 22.]
[Bagaimana?]
[Deal.]
[Baik. Apa anda ingin request warna kotak untuk kekasih anda?]
[Merah muda kalau ada.]
[Kalau tidak ada merah maroon.]
"Uh …," Melanie bergumam, mengunci layar ponsel dan menatap sang lelaki. Warna merah muda adalah warna kesukaannya, apa mungkin paket tersebut diberikan untuknya? Gadis itu menggeleng, tidak mau berharap banyak. Iya sih mereka memang sepasang kekasih, tapi kalau sampai memberi hadiah karena ia ngambek bukankah agak berlebihan?
Gadis itu membuka layar ponsel miliknya, melihat tanggal di sudut kiri dan tercipta kernyitan di dahi. Kedua matanya pun terbelalak, menepuk dahi karena melupakan hari penting.
Hari ini Chinese Valentine Day! Wajar saja Shaw ricuh mencarinya kesana kemari.
Dia sampai tertidur begini karena menungguku 'kan?
Tangannya bergerak, mengangkat poni abu kebiruan milik Shaw dan mengecup dahi sang lelaki. Tak lama kemudian menjauhkan wajah dan tangannya agar tidak membuat lelaki itu terbangun, tetapi siapa sangka saat menerima ciuman tersebut, iris amber Shaw terlihat dan kecekatan sang lelaki membuatnya meraih tangan Melanie. Ia menggenggam pergelangan tangan sang gadis, menarik tubuh mungil tersebut lalu menempelkan bibirnya dengan milik kekasihnya. Ciuman singkat dari Shaw cukup membuat wajah Melanie memerah, membuatnya menjauh dari sang lelaki dan protes.
"Apa-apaan itu?!"
"Harusnya kau terbiasa dong karena aku sering tiba-tiba menciummu."
"T-Tapi, kau tadi tidur?!"
"Emang," jawab sang lelaki santai lalu mengangkat poninya. "Lalu aku tersadar saat aku merasakan seseorang menciumku disini," Ia melanjutkan diiringi senyuman jahil, membuat Melanie memalingkan wajah.
"Berisik."
"Yah, aku tidak akan diam walau kau menyuruhku." Shaw berujar sembari mengendikkan bahu. "Ngomong-ngomong, kau sudah selesai menguli?"
"Ya …." Melanie menjawab, menggendong tas ranselnya di bahu dan berdiri. "Ayo pulang."
Tak hanya tas ransel, ia juga meninting tas berisi alat lukis miliknya juga kanvas lukis yang telah ia selesaikan. Dalam beberapa kondisi ia juga harus membawa tas tabung untuk meletakkan kertas sketsanya. Melanie menghela napas kasar, membenarkan tas ransel yang terasa berat di bahunya. Entah karena isi di dalamnya atau memang beban hidupnya hampir sama dengan isi tasnya, dia tak tahu. Namun, tas yang ia gendong dilepas oleh Shaw tanpa seizinnya dan lelaki itu pun menggendong tasnya di satu bahu miliknya.
"Berat loh," Melanie memperingatkan.
"Emang. Ini isinya batu ya?"
" … Kalau kau tidak mau membantu setidaknya jangan menghina."
Shaw tertawa. "Aku cuma nanya loh."
Gadis itu memutar kedua bola mata malas. "Tapi tasku warna pink."
"Lebih baik daripada melihat tubuh pacarku menyusut karena membawa tas berat setiap hari."
"Mulutmu lancar sekali kalau menghinaku," gerutu Melanie, berjalan mendahului sang lelaki dan keluar lebih dulu dari ruangan.
"Kau objek paling mantap untuk dihina."
"Sialan."
Setelah menutup pintu ruangan, mereka pun berjalan di lorong gedung. Sore telah tiba, tapi mereka masih mendapati beberapa kepala sibuk dengan kegiatannya masing-masing bahkan beberapa studio yang mereka lewati terdapat beberapa orang yang berkutat pada tugas. Melanie mengatakan bahwa ia harus mengumpulkan kanvasnya terlebih dulu dan ia harus bergegas sebelum dosennya pulang, diangguki oleh Shaw dan ia harus melihat gadis itu berjalan meninggalkannya terlebih dulu. Saat melihat Melanie masuk ke dalam ruangan, lelaki itu pun menunggu di luar sembari melihat langit yang mulai berganti warna. Sebenarnya ada sedikit rasa kecewa ketika melihat sang gadis tak mengingat hari ini, tapi ia mencoba untuk paham karena kesibukan pacarnya yang padat. Ia juga bukan tipe orang yang akan ngambek karena melupakan hari spesial bukan? Setidaknya gadis itu tidak lupa ulang tahun kekasihnya atau hari jadian mereka. Yah, Shaw akan terus mengingatkan gadisnya sampai gadis itu marah.
"Sudah?" Shaw bertanya saat melihat Melanie keluar dari ruangan, dijawab anggukkan oleh sang gadis. Mereka pun kembali berjalan pulang dan saling bergandengan tangan. Melanie yang berada di genggaman Shaw itu menggenggam tangan lelakinya erat, tidak sedikit pun berniat menoleh pada kekasihnya karena merasa bersalah tidak mengingat hari spesial yang jatuh pada hari ini.
"Hari ini valentine." Melanie membuka suara terlebih dulu, sekali lagi tidak ingin menoleh dan melihat respon sang lelaki.
"Iya," Adalah jawaban singkat dari Shaw.
"Uhm … aku—lupa," ujarnya pelan. "Aku … tidak menyiapkan hadiah untukmu."
"Jahat."
"Iya aku tahu, tapi kenapa rasanya sakit ya saat kau mengatakannya?"
Mendengar jawaban sang gadis membuat Shaw terkekeh. "Sudahlah, setidaknya kau tidak lupa kalau aku pacarmu."
"Mana mungkin aku lupa! Soalnya—" Saat Melanie menoleh dan menatap wajah Shaw, ucapannya terhenti lalu memalingkan wajah. "Gak jadi."
"Hm? Kau suka ngomong setengah-setengah ya," komentarnya. "Apa jangan-jangan cintamu juga setengah-setengah?"
Gadis beriris karamel itu bergeming, menghentikkan langkah dan berhadapan dengan Shaw. Tangannya yang berada di genggaman Shaw masih belum dilepas, menatap sang lelaki dengan mata berkaca-kaca. Ia tak tahu apakah akibat terlalu lelah hingga mengakibatkan suasana hatinya kacau, tapi setiap kali mendengar perkataan kekasihnya bahkan yang barusan diucapkan membuatnya sakit. Ia memang mulai terbiasa, tapi sebagai seorang perempuan yang selalu menggunakan perasaan dan overthinking setiap saat rasanya mustahil untuk tidak membawa segala sesuatu ke dalam hati.
"Kok kau ngomong gitu …," keluhnya, menunduk dan menggosok matanya. Bulir-bulir bening pun mengalir di pipi sang gadis. "Aku sudah terbiasa dengan mulutmu tapi apa yang kau ucapkan terdengar menyakitkan bagiku."
Melanie menghempaskan tangannya, mengusap kedua matanya yang terus mengeluarkan air mata. Ia bahkan melepas ikat rambut yang mengikat rambutnya, memegangnya dan semakin menunduk dengan mahkota hitam yang digunakan untuk menutup separuh wajahnya.
Shaw mengusap tengkuk belakang, bodohnya ia tak pernah berpikir sebelum bicara terlebih dulu hingga membuat gadis itu menangis. Ia tidak suka setiap kali melihat Melanie menitikkan air mata di depannya, tapi kalau penyebab air mata sang gadis jatuh karena dirinya bagaimana ia bisa memaafkan diri sendiri? Kedua tangannya menangkup pipi Melanie, mengangkat wajah sang gadis dan mengusap jejak air mata dengan ibu jari.
"Udah dong, jangan nangis lagi," bujuknya.
"Habis—" Melanie menggantungkan kata-katanya karena sesugukkan. "Kau ngomong gitu … karena aku lupa hari ini ya?"
"Enggak, mulutku memang kurang ajar."
"Atau karena aku membosankan?" tanyanya. "Iya aku tahu aku tidak seperti perempuan di luar sana yang cantik, pintar, pandai bicara."
"Enggak, sayang."
"Iya, aku memang membosankan. Kau sampai bilang cintaku cuma setengah-setengah 'kan?"
"Ann sayang, enggak gitu."
Melanie mendecih. "Saat seperti ini kau baru mengelak," sungutnya. "Menyebalkan."
Lelaki itu mendengkus, memeluk kekasihnya tanpa peduli dimana mereka berdiri sekarang. Shaw mengelus mahkota Melanie, membiarkan gadis itu sesugukkan di dalam dekapannya.
"Iya iya, sekarang kau berhenti menangis oke?" Ia kembali membujuk sang gadis. "Kau mau cheesecake?"
Gadis itu tak merespon, sampai akhirnya mengangguk dan membalas pelukan Shaw. Saat mereka saling melepas pelukan, sang lelaki mengulas senyuman tipis dan mengacak mahkota hitam Melanie. Ia menyodorkan tangannya guna digenggam oleh gadisnya, melihat hal tersebut membuat Melanie melirik Shaw lalu menggenggam tangan sang lelaki dan keduanya kembali berjalan ke luar kampus.
Walau Melanie masih merasa 'sedikit' kesal pada kelakuan Shaw hari ini, ia mencoba untuk mengikisnya sedikit karena melihat lelaki itu mencoba membujuknya. Terasa singkat, tapi adanya sang lelaki di sisi dan menemaninya mengerjakan tugas hingga membawanya makan sudah cukup baginya.
Halo~ long time no see /no
Udah lama gak pub disini h3h3 akhirnya mencoba untuk aktif lagi dengan upload fanfik yumejo uwu Ingin merayakan kemunculan nama Shaw yang perdana di ffn sekaligus ngerayain Chinese Valentine Day yang jatuh tanggal 20 Mei-Hari ini. Lumayan kebut jadi agaknya dimaklumin kalau ada kesalahan kata atau kalimat atau sejenisnya www
Semoga bisa aktif lagi disini ke depannya hehe
