Eccedentesiast
Request: Kawaii_Chan_206 (Wattpad)
Pair: Taufan x Female!Halilintar
Warning: OOC, typo, alur tidak sesuai dengan animasi aslinya
BoBoiBoy (c) Monsta
Plot by Cuzhae
.
.
.
eccedentesiast
(n) seseorang yang memalsukan senyum
.
.
.
Waktu akan terus berjalan walau kau sudah memintanya berhenti. Detik demi detiknya berlalu. Sudah apakah kau selama ini? Sampai mana kau hidup di dalamnya?
Manusia tak akan mampu hidup dalam kesendirian. Di sudut terdalam pun masih terselip sebuah rasa hampa. Sebuah kebohongan nyata yang mengucapkan selama bisa tersenyum artinya kau dalam keadaan baik-baik saja. Sebuah kesalahan yang nyata. Hanya menutup luka secara semu.
Dia yang selalu tertawa lebardan bersikap bodoh. Menjalani hidup layaknya semilir angin yang berembus dari atas bukit, begitu lembut dan ringan. Namun, tahukah kamu jika ia memendam badai besar dalam hatinya? Menyembunyikan luka di balik senyum manisnya? Juga begitu banyaknya tebasan pedang dan tombak di balik punggung yang tampak tegar itu …
Memilih tersenyum seolah hidupnya begitu damai daripada harus menampakkan tetesan air mata yang menyedihkan, hidup di balik topeng. Tidak, bukan karena ia ingin hidup dalam kepalsuan, tetapi ia memilih tegar dan tak ingin ada yang tahu akan lukanya. Lebih bahagia saat orang lain mampu tersenyum dan tertawa karena lawakan bodohnya.
Ia merupakan seseorang yang penebar kebahagiaan palsu, kebahagiaannya adalah senyum untuk orang lain. Lalu senyum itu pudar saking banyaknya ia tebar.
"Aku baik-baik saja. Tidak usah kau khawatirkan aku." Kalimat itulah yang terus ia tanamkan dalam hatinya. Tak peduli sepedih apa hidupnya.
Meski terkadang ia tidak mampu menahannya. Kesedihan yang selama ini ditampungnya akan pecah dan membeludak keluar. Namun, sekali lagi aku katakan. Dia sosok yang tegar.
"Senyumannya bagai topeng tanpa celah. Sembunyikan luka di baliknya."
—:888:—
"Yakin nggak mau ikut?"
Taufan tersenyum kaku. Bukannya dia tidak mau kumpul bersama teman-temannya, meski sudah ditawari langsung, tapi memang dia tidak bisa.
"Maaf, deh, lain kali saja, ya~" ucap Taufan pada Amar.
Namun, ada urusan yang selepas pulang sekolah yang jauh lebih penting dari karaoke atau bermain menghabiskan hari.
Amar mendengkus pelan. "Iya, deh, dasar anak sibuk," katanya seraya meninju kecil bahu Taufan sebelum pergi pergi.
Taufan melepaskan topi beremblem angin beliung dan mengenggamnya erat.
"Aku juga mau tahu," bisik Taufan di antara bisingnya suara khas anak pulang sekolah.
Melirik arloji yang tergantung di tembok, Taufan terbelalak.
'Mampus, aku bisa telat!'
Cepat ia pakai topinya kembali lalu berlari sekuat mungkin agar ia sampai ke tempat kerja tepat waktu. Sebuah toko swalayan biasa ia magang.
.
.
Selagi manusia masih bernapas tidak akan lepas dengan cobaan hidup. Seharusnya bukan peran Taufan meraup uang, tak seharusnya ia berusaha begitu keras hanya untuk segenggam harapan. Namun, guratan takdir tampaknya ingin bermain lebih lama dengannya.
Kecemburuan yang membutakan mata hati manusia. Memiliki suami yang jarang pulang tak luput dari gosipan tetangga. Dua tahun lebih ayahnya tak pulang, sebuah kabar yang menyulut kedengkian datang. Sang ayah dikabarkan sudah memiliki keluarga kecil lain di sana. Melakukan pengkhianatan besar.
"Itu sebabnya mengapa ia lupa untuk pulang. Ternyata … ternyata lelaki brengs*k itu memang sudah—" Hati sang ibu dilahap habis oleh api amarah. Wanita itu menjerit serta menangis sejadi-jadinya, merasa terkhianati sekaligus kecewa besar.
Seketika rumah menjadi tempat yang menakutkan untuk tempat peraduan. Ibunya sering meraung tanpa henti. Marah-marah tidak jelas. Bahkan, saat Solar tak sengaja menumpahkan susunya, sang ibu memarahi tanpa jeda diiringi tamparan pada bokongnya yang didapatkan bocah 8 tahun tersebut. Taufan yang baru pulang sekolah kala itu langsung berlutut kemudian merengkuh Solar. Sang adik bergemetar hebat, mengeratkan tangannya pada baju sang kakak.
Taufan menatap berang sang ibu. Bukan seperti ini caranya melampiaskan kekecewaan.
"Cukup, Ibu! Aku tahu Ibu marah pada Ayah, tapi Taufan mohon.. jangan lampiaskan marah Ibu pada Solar."
Sosok Ibu yang lembut serta murah senyum perlahan berubah menjadi orang yang mudah tersulut. Sementara Taufan bingung harus bagaimana, tidak ada pihak yang bisa meredam amarah sang ibu, mereka tidak mempunyai sanak saudara lain sebagai penengah.
Agak khawatir meninggalkan Solar bersama Ibu semenjak kejadian itu. Untuk itu Taufan selalu buru-buru pulang begitu bel berbunyi.
Rumah terasa begitu sepi saat Taufan masuk ke dalamnya. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, segera ia menggeledah seisi rumah. Fokusnya kemudian terhenti pada secarik kertas yang ditinggalkan di atas meja belajarnya.
'Ibu sudah tidak sanggup menahan segalanya. Ibu juga malu terusan menjadi gunjingan tetangga. Maaf, Ibu tidak bisa meneruskan hidup.'
Manik safir terbelalak tak percaya. Apa maksud dari surat ini? Jangan katakan bahwa—
'Ibu ingin bebas. Biarkan Ibu membawa serta Solar, ia masih begitu kecil untuk dunia kejam ini. Berbeda denganmu, Taufan, kau kuat. Ibu sangat yakin kamu bisa bertahan.'
—ibunya berniat bunuh diri dan mengajak Solar untuk menemaninya. Rencana bunuh diri ganda.
Gila! Apa yang di pikiran Ibu sebenarnya?!
'Untuk terakhir kalinya Ibu akan merepotkanmu, Taufan. Temukan jasad Ibu dan Solar di jurang Indraloka, makamkan kami berdua bersebelahan. Ibu tinggalkan sedikit uang di lemari Solar untuk hidupmu. Semoga kamu hidup penuh kebahagiaan.
Ibu sayang Taufan dan Solar
- Ibu pamit.'
Indraloka memiliki makna surga, Taufan hapal akan itu. Namun, bukan berarti begitu terjun ke sana akan langsung sampai ke surga. Mungkinkah ibunya percaya hal semacam khayalan semata agar ia bisa bebas?
Taufan tidak mau gegabah dalam bertindak. Segera Taufan melapor pada tim SAR melalui ponselnya agar dapatkan bantuan dari yang lain. Tidak mungkin ia mengangkut dua jasad dari dasar jurang seorang diri.
Entah keajaiban dari mana, saat berhasil dievakuasi, Solar masih berdenyut meski lemah. Sedangkan sang ibu memang tak bisa diselamatkan. Setidaknya Solar masih ada harapan.
Taufan berusaha untuk tidak hilang kendali demi sang adik. Tak ingin macam ibunya yang kehilangan akal sehatnya.
"Beberapa tulang rusuknya ada yang patah. Ginjalnya juga sedikit ada robekan. Namun yang paling parah adalah matanya," jelas dokter pada Taufan penuh simpati.
"Kenapa dengan adik mata saya, Dok?"
"Kemungkinan terbesar adikmu mengalami kebutaan."
Taufan jatuh terduduk. Bak tertimpa batu besar, Taufan begitu terpukul. Terlebih ini karena kurangnya awas pada kemungkinan yang terjadi. Salahnya tidak bisa menyadarkan sang ibu.
Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Cukup sudah ia kehilangan sosok ayah yang pergi tanpa tanggung jawab, kemudian bertambah ibu yang tidak bisa menahan kesedihannya, dan sekarang … adiknya yang tidak mengetahui apa yang terjadi pun kena imbasnya.
Kepada siapa Taufan bisa mengadu?
"Kuatkanlah hati hamba, Ya Allah. Hamba hanya bisa bergantung padamu saja."
Demikian mengagumkan pertolongan-Nya. Pihak rumah sakit berbaik hati merawat Solar, asal setidaknya Taufan menyicil iuran pengobatan. Solar tak akan dipulangkan selagi belum dibayar lunas. Mulai dari sini Taufan berusaha meraup uang.
Tidak mudah bagi Taufan mencari pekerjaan. Sedikitnya peluang yang menerima pelajar SMA biasa sepertinya. Selain itu ia tidak ingin mengabaikan kewajibannya sebagai pelajar.
Berjualan koran sebelum berangkat sekolah, bantu-bantu di toko swalayan milik tetangga sepulang sekolah, lalu pada malam harinya Taufan akan menginap di rumah sakit untuk menemani Solar. Namun, itu masih belum cukup.
Taufan hanya bisa berharap semoga Solar cepat bangun dan sehat kembali.
Itu sudah cukup.
—:888:—
Sore ini Halilintar mampir sebentar ke toko swalayan 'tuk membeli minuman. Sebotol air dingin sebagai penghilang dahaga. Gadis berjaket hitam-merah itu sangat puas karena bisa mengalahkan seniornya yang menyebalkan dalam sparring saat latihan karate tadi. Dendamnya terbalasankan, begitu pikirnya.
Halilintar melenggang ke lemari pendingin dan segera mengambil minuman isotonik lalu menyetorkannya pada kasir. Namun siapa sangka kalau kasirnya ialah Taufan.
"Ngapain kamu di sini?" tanya sang gadis.
"Lagi gabut," canda Taufan menyengir. Halilintar menatap datar. Adakah yang karena bosan tidak melakukan apa pun bisa jadi kasir?
"Y-yah … jangan menatapku seperti itulah." Taufan mengusap tengkuknya. "Pulang sendiri?" tanyanya sekadar basa-basi.
"Hm," balas Halilintar seadanya. Taufan tak ambil pusing dengan jawaban cuek dari Halilintar, dia memaklumi kebiasaan si gadis. Kemudian menyerahkan belanjaannya.
Tiga langkah Halilintar terhenti, ia lupa ada sesuatu yang harus disampaikannya pada Taufan. "Taufan, kita satu kelompok untuk tugas Sosiologi."
Astaga, Taufan hampir saja lupa. "Oke ... Mau kapan?"
"Kita bicarakan besok saja di sekolah," kata Halilintar tanpa menoleh dan berjalan keluar.
—oOo—
Seperti yang dikatakan Halilintar kemarin, ia kemudian menghampiri Taufan pada jam istirahat. Namun, lihatlah anak itu malah tertidur. Memang, sih, Taufan akhir-akhir ini sering ketiduran di kelas.
Dengan kesalnya tangan yang biasa melumpuhkan lawannya kini menggebrak meja Taufan. "Hoi, bangun!" geram sang gadis.
Dibangunkan dengan cara yang tak biasa tentu Taufan juga dibuat kaget sekaligus dongkol.
"Apa, sih?!" bentak Taufan tidak terima. Matanya masih memerah karena terbuka mendadak.
Halilintar memandang tak suka. Tak seperti biasanya Taufan berbicara dengan nada tinggi seperti itu.
"Kau tidak lupa, 'kan, kita sekelompok?" Halilintar tidak mau ambil pusing dengan perubahan sikap Taufan.
Memijit pelan dahinya, tatapan Taufan melemah. "A-ah, iya.. Maaf. Yuk, langsung ke perpustakaan saja."
Mereka berdua pun berlalu ke perpustakaan.
—oOo—
Sosok pemuda di depannya terkenal dengan sikap humble atau bisa dibilang murah senyum. Benar bila Halilintar jarang berbincang dengan Taufan, tapi ia merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Taufan. Memang masih tebar tawa, tapi entah kenapa pancaran matanya tidak bisa berbohong. Ada sesuatu yang disembunyikan.
Sudah menjadi kebiasaan Halilintar bila memerhatikan sekitarnya. Dan Taufan tidak luput dari pengawasannya.
" … li?"
"Hali?"
"Halilintar?!"
"Hah? Apa?" Sang gadis berkedip kebingungan. Taufan menatap khawatir padanya.
"Kamu nggak apa-apa? Aku panggil dari tadi diam terus," ucap Taufan.
Halilintar menghindar dari tatapan Taufan. "Maaf, aku sedikit melamun."
Taufan tersenyum. "Hoo, pasti memikirkan aku, ya~?"
Sang gadis memandang jijik lelaki yang tengah mengangkat kedua alisnya, bermaksud menggoda dirinya. Terlalu percaya diri sekali Taufan ini.
"Astaga, hatiku sakit dipandang kejam olehmu." Taufan memegang dadanya seolah tersakiti. Namun, kemudian ia tertawa lebar. "Hahaha … ayolah, aku hanya bercanda. Jangan memandangku seperti itu."
Lihatlah, lagi-lagi Taufan bersikap bodoh. Apakah dia tidak lelah? Entah pemuda itu mengetahuinya atau tidak, tapi di belakangnya ada yang mencibirnya.
"Berhentilah seolah semua baik-baik saja. Aku membenci orang yang munafik," celetuk Halilintar tiba-tiba. Jujur saja, pikirannya dipenuhi dengan muaknya ia pada senyuman menyebalkannya Taufan.
"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."
Beberapa hari lalu saat Halilintar menjenguk bibinya yang baru saja melahirkan di rumah sakit. Saat akan pulang ia tak sengaja melihat Taufan tengah merenung di lorong rumah sakit, gadis itu ingin menyapanya tapi ia urungkan niatnya. Raut wajah Taufan begitu kusut dengan air mata yang mengalir.
"Lusa kemarin kamu ngapain di rumah sakit?" selidik sang gadis. Manik rubinya memandang lekat manik safir lelaki di depannya, meminta penjelasan.
Taufan terhenyak. Bagaimana bisa Halilintar tahu dirinya ada di rumah sakit?
"Kamu tahu dari mana?"
"Aku sedang ada urusan di sana. Jadi … kenapa kamu di rumah sakit? Ditambah menangis sendirian di ruang tunggu," tanya sang gadis sekali lagi.
"Kamu salah lihat kali," elak Taufan. Melihat netra Halilintar tidak kunjung melembut, akhirnya memberanikan diri untuk bercerita. "tapi penjelasanku akan panjang," lanjutnya.
"Aku akan mendengarkan."
Taufan dibuat takjub dengan kesediaan sang gadis. Karena sikap ramah Halilintar jarang ditunjukkan.
"Pasti waktu itu aku begitu memalukan di matamu. Adikku dibawa bunuh diri terjun ke jurang dengan ibuku. Syukurlah, dia bisa selamat. Tapi tidak dengan ibuku."
Halilintar mendengarkan dengan sabar. Gadis itu paham bila tak mudah untuk menceritakan segalanya pada orang lain, mereka berdua pun tak begitu dekat. Namun, Halilintar paling benci pada orang yang suka membohongi diri sendiri.
"Aku bingung harus melunasi biaya rumah sakit dari mana. Kemarin saja aku sudah ditagih biaya sekolah." Taufan memijit dahinya.
"Taufan …"
Panggilan lirih Halilintar membuat Taufan mengalihkan pandangannya padanya.
"Tidak usah sok kuat, kalau ternyata kamu itu lemah."
Sebelum Taufan protes, Halilintar melanjutkan ucapannya, "Bukan masalah jika kau ingin mengeluh sekali-kali. Kamu sejauh ini sudah berjuang. Kamu hebat."
Tidak bisa dipercaya bahwa seorang Halilintar bisa berkata demikian. Namun, perlahan pertahanan Taufan runtuh dibuatnya. Anak sungai mengalir perlahan ke pipi, tanpa sadar Taufan mulai terisak.
"K-kau benar … aku ini lemah. Rasanya … aku ingin menyerah saja, Halin."
"Tidak boleh. Kalau kamu menyerah, bagaimana dengan adikmu? Dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kakaknya, yaitu kau, Taufan."
Ditarik kedua tangan Taufan, lalu digenggam erat oleh Halilintar. "Adikmu masih butuhkan dirimu. Pamanku memiliki restoran cepat saji. Mungkin aku bisa membujuknya untuk menerimamu sebagai pramusaji di sana."
Taufan begitu malu. Mengapa seorang yang bahkan jarang bercakap dengannya bisa memedulikannya? Bahkan selain Halilintar tidak ada yang peduli padanya.
Taufan melepaskan genggaman pada tangannya, ia berdiri dan segera direngkuhlah sang gadis. Taufan tak peduli bila nantinya Halilintar akan membencinya setelah ini. Sungguh ia ingin memeluk seseorang seraya mengadu betapa lelah dirinya.
"Ta-Taufan??"
"Sebentar saja biarkan seperti ini," ucap pemuda itu pelan. Menenggelamkan kepalanya di pundak sang gadis dengan tangan yang mengerat memeluknya.
"Aku ada di sini. Kamu hebat, jadi jangan menyerah semudah itu."
——————————
FINISH
Apa feel-nya dapat? Udah lama nggak bikin one-shot lagi. Semoga nggak mengecewakan ya !!
Fanfict ini bukan yaoi (BL), ya~ Kalian bayanginnya Halilintar itu perempuan yang suka dikucir kuda, ahli karate. Baddas nggak tuh?
Hidup memang berat. Namun, kita ini kuat. Jangan menyerah! Ada banyak jalan selagi kita ada usaha.
——————————————
Publish in May 25, 2021
