Badai seperti tak henti-hentinya turun dalam dua dunia yang Ia hidupi saat ini. Dunia pertama adalah dunia yang nisbi; kegagalan, kepalsuan, sel penjara batu Azkaban yang basah dan membekukan raga dan sukma. Kedua, kabut dalam pikiranya yang berusaha menunjukan suatu kebenaran mutlak. Setiap kali Ia berfikir, setiap kali Ia mencoba menarik sebuah kesimpulan dari dua presumsi yang saling berlawanan, kedua dunianya bertabrakan menjadi letupan-letupan kecil yang mengganggu tidurnya.
Kabut dalam pikirannya itu mewujudkan sesuatu. Itulah yang sering Ia definisikan kepada seorang kerabatnya di hari yang sunyi. Wujudnya adalah sosok dari beberapa mahluk. Entah yang hidup maupun yang mati. Terkadang juga, wujudnya hanya sekedar campuran pigmen yang mengingatkannya pada suasana ruangan berdebu di sore hari. Terkadang lagi, hanyalah kabut hitam yang muncul dalam benaknya di kesehariannya, diantara sela-sela kesibukannya mempengaruhi orang-orang dalam beberapa tahun ke belakang. Kabut itu bercampur dengan malam harinya, dalam mimpi-mimpinya yang seksual dan sentimen terhadap keindahan surgawi yang tak terdefinisikan secara banal. Terkadang kabut itu menjerit, tertawa, bersuara begitu familiar.
Entahlah. Ia udah terbiasa dengan itu semua. Kebingungan itu selalu menjadi teman kesehariannya yang bertolak belakang dengan seluruh kesempurnaan materi dalam hidupnya. Ia menyadari eksistensinya sebagai pria yang dingin dan angkuh. Bukan hetero maupun homo. Dan bukan gila atau tidak gila. Keinginan untuk berkeluarga seperti menghilang begitu saja sedetik setelah Ia memikirkannya sehingga Ia tak pernah merasa begitu kesepian secara konstan. Ia hanya terfokus oleh satu pola pikir identitas yang mutlak; Satu-satunya Malfoy yang tersisa di dunianya yang sempit dan akan selalu mengguncang masyarakat Britania Raya dalam peristiwa-peristiwa flamboyan yang terkenang abadi dalam cetakan huruf kapital Daily Prophet; Seseorang yang akan selalu bebas berkeliaran di segala penjuru instansi dengan harta berlimpah, setelannya yang elegan, dan rambut platinumnya yang selalu terurai dan berkilau.
Lucius menutupi segala kebingungannya akan sesuatu itu dengan keangkuhannya.
Sesungguhnya, Ia menjalani paruh hidupnya dengan relatif normal. Bangun, melanglang buana, lalu tidur dan melakukannya lagi keesokan harinya. Disela-sela kekosongan, Ia membaca buku di perpustakaan istananya yang megah, menghisap tembakau berkualitas, menonton turnamen Quidditch, membeli beberapa barang di Diagon Alley, berwisata dan menyendiri bersama bayang-bayang kebingungannya.
Lalu apakah kebingungan itu? Ia tahu wujudnya namun tidak mengetahui esensi kemunculannya. Apakah ini soal menjadi pria dewasa yang memenuhi ekspetasi orang lain secara tipikal? Berkeluarga dan mengedepankan maskulinitas di segala aspek hidupnya? Atau apakah kebingungan itu hanyalah perihal dirinya yang tidak pernah merasa kesepian? Selalu dipenuhi oleh orang orang yang akan berkata iya padanya. Berkemampuan untuk menutupi segala anggapan negatif dengan warisan harta dan gen dari keluarganya yang prestisius. Sesungguhnya, tak sekalipun Ia pernah merasa ada kekurangan yang signifikan dalam hidupnya secara materi. Namun Ia juga tak dapat menemukan alasan mengapa Ia begitu kebingungan dengan kesendiriannya. Ia tidak pernah merasa kesepian sampai itu membingungkannya. Setiap kali Ia berfikir betapa hidupnya sebatang kara, pikiran itu lagi-lagi kembali menghilang begitu saja.
Peri rumahnya tidak pernah berkata apapun perihal kebingungannya itu. Ia juga tak pernah berkata apapun selain perintah untuk memasak dan membereskan kelakuannya. Bahkan foto kakek-kakek buyutnya yang terpajang megah di setiap penjuru istananya tidak pernah membicarakan perihal betapa Ia terlihat kesepian tanpa istri dan anak. Mereka hanya bicara perihal ego dan kebanggaan dari sebuah marga keluarga, supremasi kemurnian darah, bagaimana Ia seharusnya berada diatas hierarki Kementrian Sihir dan tak lebih dari itu. Semua tindakan-tindakan orang terdekatnya itu, seperti seolah olah disihir dan digerakan oleh suatu kekuatan magis.
Sihir. Lucius memikirkan soal kutukan yang membuatnya kebingungan. Namun pikiran itu kembali melayang pergi sedetik setelah Ia memikirkannya.
Ada yang sepertinya menggerakan kehidupannya, mengendalikan pikirannya sehingga terlihat sedemikian rupa. Bahwa identitasnya tak lain hanyalah sekedar identitas yang Ia tunjukan pada publik. Ada segelintir dari identitas itu yang hilang dan Ia seolah dibuat untuk tidak memikirkannya.
Entahlah, Lucius memang orang yang egois. Setidaknya berfikir demikian membuatnya merasa lebih baik akan kebingungan itu.
Hanya ada segelintir kebenaran baginya. Pertama, adalah bahwa Ia seorang Pelahap Maut paruh waktu. Tidak- sebenarnya perannya dalam memuja Voldemort adalah inti dari eksistensinya yang ditutupi oleh segala kemegahan materi dan prestisi yang Ia raih di sisi terang Kementrian Sihir. Kecerobohannya dalam mengendalikan peran menjebloskannya ke Azkaban. Orang-orang baik berfikir bahwa kecerobohannya untuk bergabung dengan Pelahap Maut adalah sebuah ego dan Ia pantas mendapatkannya. Terlebih, Ia adalah orang yang angkuh yang memiliki stigma buruk bagi segelintir pihak.
Namun bukan demikian. Sekali lagi, menjadi Pelahap Maut adalah inti dari eksistenisnya.
Di Azkaban, nasib dirinya berputar drastis. Bila Ia tak selamat dari hukuman mati, maka tak ada lagi Malfoy di dunia ini yang tersisa. Beruntungnya, Ia tidak mendapatkan vonis matinya di Wizengamot. Sebagai gantinya, Ia tetap hidup menjalani berbulan-bulan hukuman sihir yang Ia sendiri merasa tak pantas dapatkan. Ia bingung mengapa Ia seperti ini; menjadi pelahap maut, menjadi angkuh dan egois, menjadi orang yang tak pernah merasakan kesepian dalam hidupnya. Ia memikirkan hal-hal tersebut secara konstan dari hari ke hari sampai mencakarkan kuku-kuku aristokratnya ke dinding batu yang basah, meringkuk kedinginan dalam badai yang tak pernah berlalu, dan anehnya, tak sedikitpun Ia merasakan kesakitan fisik dalam dirinya. Para Auror menyebutnya gila karena Ia terus meminta kehadiran Dementor untuk menyedot isi pikirannya. Ia ingin melupakan semuanya. Setelah berkali-kali dilakukan, Untuk pertama kalinya, Ia merasa bahagia karena menemukan kesedihan.
Lucius merasa kesepian. Untuk pertama kalinya, Ia menemukan jawaban yang pasti. Dan untuk pertama kalinya, Ia tidak merasa kebingungan.
xxx
Selain peran Dementor yang 'menyembuhkannya'. Ada sesuatu yang terjadi malam itu.
"Severus," Tutur Dumledore lembut, diikuti dengan batuk yang panjang. Snape memalingkan pandangannya sesaat.
Belakangan ini, awan hitam menyelimuti Hogwarts. Petir sering terdengar bergemuruh menepis kesunyian yang terjadi. Terlebih, lilin-lilin aula besar menolak untuk menghidupkan lenteranya sebagai penghormatan terhadap duka yang terjadi dalam minggu ini. Berita kebangkitan Voldemort telah mencapai para orang tua sehingga segelintir dari mereka memaksa anak-anak mereka untuk pulang. Beberapa murid lainnya gugur dalam kejadian magis gelap yang tak masuk akal. Banyak dari mereka yang merupakan kelahiran Muggle. Sebagian lainnya adalah mereka yang aktif dalam menolak eksistensi Voldemort dan Pelahap Maut-nya. Tidak dikenali siapa pelakunya dan saat ini masih dalam investigasi pihak sekolah dengan peran serta Auror. Dumbledore telah mengeluarkan pernyataan tegas terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menginstruksikan para prefek untuk menghimpun seluruh anggotanya masuk ke dalam asrama sebelum matahari terbenam, melaksanakan makan malam pada sore hari, dan melarang secara permanen penyebutan istilah-istilah Pangeran Kegelapan dan pengikutnya.
Tanpa sepengetahuan semua orang, pernyataan tersebut adalah yang terakhir dikeluarkan Dumbledore untuk selamanya. Ia tau Ia akan mati terskenario dengan harapan semua yang Ia rencanakan kedepannya akan telaksana dengan sempurna.
"Aku sudah mati, Severus" Lanjutnya. Dumbledore tidak menunjukan kesedihan yang ekspresif. Jemari kanannya yang membusuk berbicara dengan sangat lantang perihal perkataannya. Ia tahu Ia juga akan mati cepat atau lambat akibat cincin kutukan yang pernah melingkar di tangannya, yang secara tak terduga terlihat sangat indah dan berkilau, menggodanya untuk melepaskan segala kerinduan terhadap Ariana, namun berbalik menghasilkan kabut hitam yang kian merambat ke seluruh bagian kanan tubuhnya, memberikannya kutukan kematian yang abadi. Snape masih tidak berkata apapun. Ia tahu pembunuhan Dumbledore pula terencana dari pihak yang berlawanan. Hanya dua orang di ruangan itu yang tahu persis apa yang akan terjadi dalam beberapa malam setelah ini.
Mata Snape sedikit berkaca-kaca. "Albus-"
"Aku bertemu dengan Harry, Severus" Dumbledore menepis. "Setelah aku menghancurkan cincin Marvolo Gaunt, Harry melihat sesuatu yang berkekuatan dahsyat. Dan kupikir…bukanlah bagian dari Horcrux."
Snape memperhatikan dengan serius.
"Sesosok remaja sesusianya," Dumbledore Melanjutkan. "Anehnya, Harry mengatakan Ia memiliki hubungan erat dengan Malfoy."
"Malfoy? Lucius Malfoy?"
Dumbledore mengangguk. "Kerabatmu, bukan?"
Hening sesaat, Snape mencoba menghilangkan kabut yang menumpuk dibenaknya. Hubungannya dengan Lucius dapat dibilang relatif dekat sejak masih sekolah. Mereka sering bertemu dalam beberapa pertemuan yang terencana sebelum akhirnya Lucius dijebloskan ke Azkaban bersama beberapa Pelahap Maut lainnya. Terkadang Snape hanya mendengarkan ceracau Lucius perihal masalah eksistensi dirinya. Tiba-tiba saja, kabut itu menghilang.
"Hubungan apa yang Lucius miliki dengan seorang remaja?"
"Kukira kau mengenalnya lebih dari itu." Tukas Dumbledore. "Kurasa hal ini ada kaitannya dengan kecacatan ramalan natalitas Kementrian Sihir belasan tahun lalu, Severus. Tiba-tiba saja aku sangat teringat akan hal itu. Aneh sekali," Tambahnya. "Hogwarts pernah kehilangan satu calon muridnya dan baik Voldemort maupun Malfoy sepertinya bukanlah orang yang akan bersosialisasi dengan Muggle. Aku yakin remaja itu seharusnya adalah seorang penyihir muda yang berkewarganegaraan Britania Raya."
"Aku-, Lucius tidak pernah menikah. Tidak ada yang ingin hidup bersama keparat itu. Seluruh keluarganya sudah mati. Semua orang membencinya. Dia sudah hidup sebatang kara sejak lama sekali."
"Kurasa kita semua disihir untuk berpikir demikian. Aku dapat merasakannya. Bagaimana denganmu?" Balasnya.
Snape terdiam. Menyatukan satu persatu memori yang hilang akan sahabatnya. Perkataan Dumbledore terdengar sedikit masuk akal walupun Ia tidak dapat mengingat apapun. Ia merasakan kebingungan yang aneh saat memikirkan tentang Lucius. Seperti sihir. Mungkinkah ini…"Kutukan Imperius?" Ucapnya perlahan.
Dumbledore terlihat menyetujui.
"Lalu bagaimana dengan remaja itu? dan kekuatan dashyat?"
"Aku takut itu adalah bentuk opresi terhadapnya . Kurasa kau familiar dengan konsekuensi dari hal itu."
Snape kembali terdiam sejenak. "Ini akan menjadi semakin rumit, Albus."
Saat mendengarnya, Dumbledore mengeluarkan sebuah kotak persegi panjang dengan ukiran yang terlihat kuno. Ia meniupkan debu-debu yang tersisa pada bagian tutupnya dan menyerahkannya pada Snape. Tangannya terlihat bergetar. "Aku khawatir aku harus menyerahkan semuanya padamu, Severus. Aku tidak punya banyak waktu lagi."
Snape menatap sinis kotak itu. "Kau mempercayakan itu padanya?"
"Kurasa itu bukanlah Imperius biasa. Kuharap kau menemukan cara untuk mencari tahu lebih lanjut tentangnya dan sosok remaja itu. Aku percaya padamu."
"Lucius mendekam di Azkaban."
"Tidak lama lagi." Ujar Dumbledore yakin dan tersenyum dengan menyedihkan. Snape kembali memalingkan pandangannya. Berfikir tentang kemungkinan buruk apa saja yang akan terjadi setelah kematian Dumbledore. Ia tak menunjukan kesedihan apapun seperti biasanya. Orbrolan ini sama sekali tak membuatnya berkaca-kaca. Mengkibaskan mantelnya dan menderap keluar ruangan.
xxx
Dumbledore memutuskan untuk mengganti rencana asasinasinya. Snape pikir itu ide yang menyedihkan untuk membiarkan orang sehebatnya untuk mati langsung di tangan siapapun Pelahap Maut yang menemuinya di menara astronomi. Menurutnya, kedudukan Snape sangatlah potensial untuk memegang kendali atas 'senjata' cadangan yang Voldemort sembunyikan di suatu tempat. Maka dari itu, Ia mempertahankan loyalitas Snape sebagai agen ganda dalam sisi terang. Ia juga pikir bahwa penglihatan Harry saat itu adalah sebuah kecelakaan yang manis karena apabila benar ada mantra kutukan yang seharusnya menyelimutinya, Harry sama sekali tidak dapat melihatnya. Voldemort pun seharusnya tak dapat memikirkannya. Kutukan itu perlahan hilang. Orang-orang kembali mengingat keberadaan dari entah apapun rahasia itu. Snape mempercayainya. Snape mempercayai apapun intuisi yang dimiliki oleh Dumbledore.
Masih saja, Snape pikir semua ini sangatlah menyedihkan karena harus melibatkan seorang Lucius Malfoy dalam rencananya.
Malam itu, Dumbledore berkata seolah Ia mengenal Lucius dengan dekat. Sangat yakin akan sesuatu yang tidak beres sedang terjadi padanya. Sesuatu yang gelap dan menyedihkan.
Beberapa hari kemudian, Dumbledore terbunuh di tangan Bellatrix Lestrange. Tanpa tongkat, tanpa perlawanan.
Snape memegang janji itu. Ia akan menyelesaikan urusannya dengan Lucius setelah Ia dibebaskan dari Azkaban. Kotak tua itu dipegang erat olehnya setiap saat, merasa tak yakin atas Lucius, namun lubuk hatinya selalu berkata sebaliknya terhadap gambaran besar di masa depan.
Setelah kematian Dumbledore, Voldemort mencapai puncak kekuasaannya setelah bertahun tahun sebagai penyihir terkuat di Britania Raya, atau kemungkinannya terburuknya, di seluruh dunia saat ini. London dan Wiltshire menjadi zona merah sihir hitam sejak peristiwa besar di Kementrian Sihir setahun lalu -yang juga merupakan tempat kejatuhan Lucius Malfoy sebagai penyihir yang terhormat-. Musim panas 1997, Sesuai dugaan Dumbledore pada malam itu, Ia dibebaskan dari Azkaban oleh kekuatan Voldemort dan secara paksa merebut Malfoy Manor sebagai markas utama untuk membalas budi.
Snape benar. Lucius semakin terlihat seperti pria sebatang kara yang menyedihkan pasca Azkaban. Ia melepas seluruh kemegahan yang Ia pernah miliki. Wibawanya, penampilannya, hilang dan sirna oleh..sesuatu yang jelas.
Akan tetapi, diluar dari semua kejatuhan itu, mata silver Lucius berkata lain. Mereka terlihat bening, berbinar, menunjukan seberkas harapan akan sesuatu. Sepintas, Ia terlihat bahagia. Voldemort tidak menyukainya dan menyiksanya berulang kali karena demikian.
"Dia mengambil tongkatku. Dia kecewa karena Bellatrix tak melucuti tongkat Elder milik Dumbledore. Tongkat itu tidak bersamanya." Ucap Lucius serak dalam sebuah papasan singkat dengan Snape setelah pertemuan Pelahap Maut di istananya sendiri. Untuk pertama kalinya, Ia tidak menjadi tuan rumah yang terhormat seperti biasanya.
Snape malah mencibirnya. "Kau terlihat menyedihkan"
"Aku tahu."
Lucius memeluk dirinya sendiri dalam mantel tebal. Menutupi sebagian wajahnya dengan rambut platinumnya yang tidak terawatt, meringkuk kedinginan dari udara musim gugur. Ia memanggil salah satu peri rumahnya untuk membawakan alkohol dan beberapa batang tembakau. Ia menyalakannya dan menawarkannya pada Snape. Snape menolaknya dengan halus.
Berusaha mencari posisi yang nyaman, Lucius menyandarkan tubuhnya pada teralis balkon. "Katakan, Severus," Tanyanya. "Kenapa aku seperti ini?"
Snape mendengus. "Pertanyaan bodoh macam apa itu?"
"Tentu saja. Aku selalu menyedihkan."
"Aku terkejut kau bicara begitu, Lucius."
"Sebenarnya, aku juga tidak menyangkanya."
Hening sesaat. Lucius menghembuskan asapnya beberapa kali hingga Ia mengatakannya lagi. "Aku menye-"
"Lucius." Sela Snape yang dengan tak terduga terlihat sangat antusias untuk kalimat selanjutnya. "Sebenarnya, aku ingin mengundangmu ke Spinner's End perihal itu."
"Perihal?"
"Obrolan hangat kehidupan."
"Oh." Lucius meringis . "Aku…Tentu saja, Severus,". Ujarnya sedikit yakin. Snape mengangkat sebelah alisnya, membuat Lucius mengulanginya lagi. "Aku tidak keberatan."
Mendengarnya, Snape mebetulkan jubahnya. Bersiap untuk teleportasi.
"Besok. Empat petang di kediamanku. Kuharap kau tidak terlambat." Katanya. Lalu menghilang seketika dalam asap hitam. Meninggalkan Lucius sendiri di balkon istananya.
xxx
Besoknya, Lucius berusaha untuk tepat waktu.
Ia memikirkannya semalaman. Bercermin, berskenario, merumuskan kalimat yang efektif untuk dibicarakan pada Snape agar tidak terlihat bodoh. Setelah beberapa bulan dibalut dalam pakaian lusuh Azkaban, Ia berusaha untuk kembali bermode dengan mengenakan setelan santai terbaiknya, ditutupi dengan mantel dan segelintir perhiasan emerald pada jemari jenjangnya. Walau demikian, Ia tidak mendapatkan perawatan yang pantas pada rambut dan pangkal janggutnya dalam semalam. Menyisakannya, sekaligus sebagai bentuk pertanda kerapuhannya untuk saat ini.
Saat Lucius tiba di Spinner's End, Snape sedang meramu Veritaserum di studi kecilnya. Mendengar ketukan pintu, Snape menyahutnya. "Bantu dirimu sendiri, Lucius!"
"Severus, aku tidak punya tongkat." Sahut suara Lucius yang terdengar samar-samar dari balik pintu yang sengaja dikunci dengan sihir. Snape mendengus kesal, bergegas menyelesaikan urusannya, kemudian menyimpan botol Veritaserum itu dengan hati-hati dalam sakunya. Ia meraih tongkatnya dan membukakan pintu. Lucius terlihat sedikit rapi.
"Masuklah." Perintah Snape. Lucius menurutinya.
Selangkah didalam pintu, Lucius melihat sekelilingnya; sepetak ruang tamu yang tak terawat dengan sawang yang menghiasi langit langitnya. "Impresif, Severus. Kau punya selera interior yang luar biasa." Sindirnya.
"Kau juga, Lucius," Ucapnya lembut dan tiba-tiba saja mengayunkan tongkat sihirnya. Seketika, semua jendela dan pintu rumahnya tertutup dengan besi, menghalangi cahaya matahari masuk. Membuat ruangan itu semakin remang-remang dengan lampu redup yang seketika pula menyala.
"Apa-apaan ini?!" Kejut Lucius.
"Expelliarmus!" Sihirnya. Lucius terpelanting ke tembok tak berdaya. Snape bergerak cepat, mencekiknya dengan tangan kanannya. Tangan lainnya merogoh sakunya untuk Veritaserum yang ia siapkan sebelumnya. Mencekoki Lucius dengan ramuan itu. Dalam sekejap, Lucius terlihat bereaksi. Ia merasakan seluruh tubuhnya kejang-kejang dengan balutan kencang jemari Snape pada lehernya.
"Siapa aku?!" Tanya Snape dengan seluruh energinya.
Lucius menjawab dengan gemetar. "Severus…Severus Snape.."
"Apa kau Lucius Malfoy?!" Tanyanya lagi.
Dalam ketidaksadarannya, Lucius merasa itu sebuah pertanyaan yang konyol. "Aku..Lucius..M-Malfoy!"
"Apakah kau sungguh pengabdi Pangeran Kegelapan yang setia?!" Kali ini, Ia memelankan suaranya. Lucius terdiam sesaat.
"Apa itu benar, Lucius?!" pekiknya.
"T-Tidak!" Jawabnya. "Aku membencinya…dengan seluruh nyawaku.."
Snape merasa perkataan itu menjawab semuanya. Ia bergegas ke studinya, mengambil ramuan penawar dan mencekoki Lucius dengan itu.
Untuk beberapa saat, Lucius mencoba meraih nafasnya kembali, meringkuk di lantai dengan rambut kusut yang menutupi wajahnya. Snape mengabaikannya. Beralih untuk duduk di sofa ruangan itu dengan santai.
"Bangunlah, Lucius." Ujarnya, sembari membuka pertengahan halaman Daily Prophet.
Snape membiarkannya disana selama beberapa menit hingga akhirnya Ia berdiri, merapihkan diri, berusaha menjaga keseimbangannya saat berjalan, lalu duduk di sofa yang bersebrangan dengan Snape.
"Demi merlin," Ujarnya lemah. "Kuharap ini penting."
"Kuharap juga begitu." Jawab Snape mengayunkan tongkatnya pelan, menyajikan sebotol Wine dan dua sloki di atas meja diantara mereka. "Silahkan," Tawarnya.
"Dengan senang hati." Lucius menuangkan sedikit ke dalam gelasnya.
"Kau harus berhenti meminum itu, Lucius." Sindir Snape. Sadar dengan apa yang dilakukannya.
"Bisakah kita langsung ke intinya?" Protes Lucius.
"Tentu saja." Jawabnya, beranjak dari sofa. "Tunggu disini,"
Snape kembali bergegas ke studinya untuk mengambil kotak tua pemberian Dumbledore. Sesaat ia melihatnya, menghela nafas, bersiap untuk kembali ke percakapan. Snape menaruh kotak itu diatas meja dengan hentakan yang cukup keras.
"Aku tidak tahu apa itu." Ujar Lucius.
"Kau akan tahu."
Snape sama sekali tidak menyentuh sloki miliknya. Menurutnya, itu mengganggu produktivitasnya. Walaupun secara penampilan, ia terlihat seperti peminum berat pada umumnya.
"Asumsiku, sepertinya kau sudah menemukan jawaban atas kebingunganmu," Ucap Snape. "Kau terlihat berbeda dengan tampilanmu dan…caramu berbicara, kupikir?"
"Kurasa kau benar." Jawabnya. "Kau pasti menganggapku gila, tapi aku menikmati waktuku di Azkaban. Para Auror dan Dementor itu benar-benar memberikanku ruang untuk memikirkan betapa kesepian dan menyedihkannya aku. Kurasa aku selalu seperti itu selama ini. Aku tak pernah memikirkan betapa kematian semua orang terdekatku menjadi sebuah kesedihan yang signifikan. Aku selalu merasa semua itu ditutupi oleh marga dan harta yang kumiliki."
"Tidak hanya itu," Tepis Snape.
"Maksudmu?"
"Kau terkena kutukan Imperius, Lucius."
Keheningan terjadi diantara keduanya. Lucius terlihat kebingungan. Namun binar di matanya menunjukan sesuatu yang lain. Seberkas harapan muncul walau ia dibuat untuk tidak tahu apa itu. "Siapa yang melakukannya?" tanyanya antusias dan sedikit marah.
"Pangeran Kegelapan."
Lucius tersentak. "A-apa?"
"Pangeran Kegelapan." Snape mengulanginya. "Harry Potter melihatmu dalam pikiran Pangeran Kegelapan. Dia membelah nyawanya menjadi segelintir bagian. Saat salah satunya hancur, Kutukannya terhadapmu ikut terkikis. Itu sebabnya kau mulai bersimpati terhadap bagian-bagian kecil dari hidupmu. Dumbledore sangat yakin dengan itu,"
Lucius terlihat bingung dengan ujaran itu. Penglihatan Harry? Membelah nyawa? Nyawa yang hancur? Apa maksudnya? Akibat kutukannya, lagi-lagi ia menghiraukan pertanyaan-pertanyaan itu dengan lantas menjawab "Kau bekerja pada Dumbledore?"
Severus terdiam. Lalu ia menyebutkannya. "Selalu."
Lucius berusaha tenang dengan menyesap minumannya.
"Dan kuharap kau juga akan berjuang untuk yang terlupakan dalam hidupmu." Ujar Snape lagi.
"Apakah itu begitu penting?" Tanya Lucius meremehkan. "Berpihak pada Dumbledore? Kau harusnya malu pada dirimu!" Sepatnya.
"Lihatlah dirimu keparat!" pekik Snape menggebrak meja. "Kau disihir untuk mengikuti seluruh perintah Pangeran Kegelapan! Kau disihir untuk mengikuti seluruh ego keluargamu! Kau kehilangan dirimu sendiri!"
Lucius tersentak. Teringat kembali akan sesuatu yang ia tak tahu apa.
"Kau menderita, Lucius!. Kutukan itu sangat kuat. Imperius Maxima. Dia menghapus seluruh hidupmu sampai orang-orang juga ikut melupakannya!"
"Lalu apa pentingnya bagiku, Severus?. Aku hidup sendirian. Aku tidak pernah menikah dan beranak. Lalu apa maumu? Memohon pada Pangeran Kegelapan untuk mencabut kutukan itu? Dia akan membunuhku!"
"Ada yang lain, Lucius,"
"Kuharap itu penting." Lucius berusaha menghiraukannya lagi. Ia sekejap bingung mengapa ia bertindak demikian.
"Harry melihat remaja seusianya dalam penglihatannya hari itu. Kuharap kau teringat akan sesuatu."
Kalimat itu membuat Lucius terdiam sesaat. Berusaha mengingat-ingat satu dua hal, mencari jawaban atas premis-premis yang ia buat. Namun ia tak dapat menemukannya. Yang ia temukan hanyalah kesepian yang belum lama ia rasakan dan...keinginan untuk menyelesaikannya. Remaja itu…Lucius menemukan perasaan itu bergejolak di hatinya dengan seketika, memenuhi perutnya dengan kupu-kupu. Ia ingin mencari, memperjuangkan apa yang harus diperjuangkan. Ia marah, sangat marah, namun bercampur dengan kebahagiaan yang sempurna. Akhirnya ia menemukan sesuatu dalam dirinya yang membuatnya sungguh merasakan sesuatu.
"Kurasa remaja itu pernah memiliki hubungan yang sangat dekat denganmu, Lucius. Kurasa juga ia adalah salah satu bagian dari yang terlupakan dalam hidupmu.". Severus mengatakannya dengan lembut. Membuat Lucius terdiam lagi untuk sejenak.
"Severus, aku-," Akhirnya Lucius ingin mengatakannya. Berusaha mengontrol emosinya terhadap apa yang baru saja didengarnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa kesepian. Yang ditanya menaikan sebelah alisnya. "Aku sangat ingin memiliki keluarga," Lanjutnya. Matanya sedikit berkaca kaca. "Aku sangat kesepian."
Snape menatap Lucius dengan sinis. Ia pun tidak memiliki apapun itu yang disebut dengan keluarga. Yang terpenting baginya adalah menyelesaikan amanah dari Dumbledore. Pada titik ini, keraguannya akan Lucius perlahan memudar. "Kami akan dengan sangat senang hati jika kau ingin mencari remaja itu, Lucius." Kemudian ia membuka kotak tua dihadapannya. Mengundang mata silver Lucius untuk segera melihat isinya. Sesuai dugaan Snape, ia terkejut saat melihatnya.
"Ini milikmu," Ucap Snape. Kalimat itu sontak membuat Lucius melotot. Tidak percaya akan apa yang baru saja didengarnya.
Di dalam kotak itu adalah tongkat Elder. Lucius dapat mengenalinya dari pahatan melingkar yang menjulang ke puncaknya. Tak ada apapun lagi dalam kotak itu. Hanya sebuah tongkat sihir terkuat di dunia.
"Severus, Aku-," Lucius menghentikan pembicaraannya. Tak tau apa yang harus ia katakan.
"Kau akan mengikat janji denganku untuk mencari dan melindungi remaja itu dengan seluruh nyawamu."
"Tapi Kenapa-, Kenapa harus aku yang melakukannya?"
"Remaja itu seorang Obscurial, Lucius. Ia dibesarkan untuk memiliki kekuatan jahat yang sangat besar. Pangeran Kegelapan akan menggunakannya sebagai senjata cadangan yang mematikan apabila seluruh Horcruxnya dihabisi!"
"Dia akan membunuhku jika dia tahu aku memiliki tongkat Elder!"
Tiba-tiba saja, kesendirian kembali menyelimuti hati Lucius. Ia sangat bimbang dengan pilihan yang harus ia hadapi. Ia bertanya-tanya apa saja yang telah Pangeran Kegelapan rebut dari dirinya yang tidak ia ketahui. Ia tidak tahu. Ia tidak akan pernah tahu jika ia tidak mencarinya. Bibirnya bergetar saat ia menanyakannya "Siapa dia, Severus? Siapa sebenarnya remaja itu dalam hidupku?"
"Entahlah. Tapi Hogwarts pernah menantikan seorang murid yang…menghilang begitu saja. Dumbledore yakin itu adalah efek dari kutukannya padamu."
Lucius kembali memikirkan tentang keluarga. Kemudian ia teringat tentang bagaimana ia tidak pernah memiliki niatan untuk memulai dan memilikinya. Ataukah mungkin Ini semua bagian dari kutukan itu? Lucius merasakan kehangatan yang menyelimutinya saat memikirkannya. Remaja… Hogwarts... Kelahiran…kabut hitam di kepalanya perlahan menghilang saat ia ragu-ragu mengucapkannya "Dia anakku?"
"Aku tidak yakin." Jawab Snape penuh keyakinan. "Akankah lebih menarik kalau kau sendiri yang mencari tahu tentang itu?"
Kehangatan itu tiba-tiba saja kembali menghilang. Kabut hitam itu memenuhi kepalanya lagi untuk yang kesekian kalinya. Ia berusaha menepisnya dengan harap-harap kecilnya akan ketidaksendirian. Remaja itu…Keluarga…. Gejolak pikirannya menimbulkan gerak gerik tak tentu pada raut wajahnya. Snape sedikit kasihan saat melihatnya. Memikirkan tentang bagaimana sahabat lamanya itu tak lagi memiliki kehormatan di sisi terang maupun gelap. Dicampakkan oleh dunia, kehilangan seluruh dirinya, terbutakan oleh kebingungan yang abadi. Snape mengambil tongkat Elder dari tempat penyimpanannya, memberikan gestur agar Lucius segera mengambilnya.
"Severus,"
"Bantulah dirimu sendiri," Ujar Snape. Menyodorkan tongkat itu.
Lucius menurutinya setengah sadar. Saat memegangnya, tongkat itu bersinar sangat terang. Angin bertiup dengan kencang dalam ruangan sempit itu. Figur Snape menghilang dari hadapannya. Tergantikan dengan cahaya yang sangat terang. Kemudian menampakan wujud dari sosok-sosok yang sering dilihatnya dalam mimpi bayang-bayang hitam. Namun lebih indah dan jelita. Ia terbang kesana kemari, memanggil namanya, melangkah lembut dalam melodi-melodi surgawi. Kemudian sosok itu kembali pada dirinya, menyelimuti raganya dengan kehangatan yang lembut, memasuki sela-sela kebingungannya akan sesuatu yang tak pernah ia ketahui, lalu perlahan memudar, meredup, menampilkan kembali figur hitam Snape yang melipat kedua tangannya. Lucius terlihat sangat bahagia.
"Aku akan mencari anak itu." Ujarnya dengan yakin.
"Tongkat itu memilihmu, kau ditakdirkan untuk penjelajahan ini." Snape terlihat datar. Namun begitu yakin dengan perkataannya.
Lucius meraba tekstur dari tongkat itu dengan kedua jari jemari tangannya. Wajahnya tersenyum penuh rasa iba. "Tentu saja."
Untuk yang paling pertama kalinya, Lucius merasakan sesuatu yang penuh dengan kepastian; Setelah semua ini berakhir, ia tidaklah sendirian.
Akhir bagian satu.
