Jika Bisa
Disclaimer: DMM.
Warning: OOC, typo, tidak angst sama sekali, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi.
"Andaikata bisa, aku tidak ingin hari esok datang."
Suara dan jari-jemarinya itu menggenggam Tokuda Shuusei dengan rapuh. Kepalanya kian erat bersandar pada bahu sang pemuda, tetapi Shuusei hanya semakin melihat kosong makin sentuhan-sentuhan mereka bertemu. Dia adalah Shimazaki Touson. Keduanya tengah menyaksikan malam di dalam jendela penuh bintang-bintang. Seharusnya sekadar menikmati secangkir cokelat panas, andaikata pula Touson tidak tiba-tiba berujar demikian.
"Kenapa memangnya? Ada sesuatu yang menakutimu?" tanya Shuusei retorik. Tangannya mengelus-elus lembut rambut Touson yang cokelat manis. Menghidunya yang mana Shuusei dapat merasai aroma sampo min–jejak yang tertinggal untuk membuktikan kenangan, bahwa mereka mandi bersama hari ini.
"Rasa-rasanya sebentar lagi aku akan melupakan semuanya. Jam itu seolah-olah memberitahuku, bahwa sepuluh menit lagi aku bakalan melupakanmu."
Telunjuk Touson mengarah pada jam antik yang selalu berkicau, setiap satu jam sekali. Sebentar lagi adalah pukul dua belas malam. Shuusei jadi menatap jarumnya lamat-lamat, menghela napas, tetapi selalu saja hanya menemui Touson dengan senyuman.
"Tenang saja, Shimazaki. Aku masih ingat. Artinya kau tidak sepenuhnya melupakan."
Karena separuh Touson adalah Shuusei, begitu pun sebaliknya, sehingga setiap pukul dua belas malam Shuusei akan menjanjikan, Touson pasti baik-baik saja sebagai satu-satunya.
"Bukankah Shuusei merasa enggak adil? Kau mengingat semuanya sampai nanti, sedangkan besok aku lupa. Besoknya lagi pun begitu. Ingatanku hanya bertahan 24 jam."
Mengapa harus begitu? Adalah hal yang tidak pernah Touson mengerti, ditambah lagi Shuusei menolak bercerita. Bahwa mereka sekadar menghabiskan hari dengan mengobrol, dapat merasai bersenang-senang karena syukurlah, kebahagiaan itu sementara–apabila abadi bisa dipastikan, mereka takkan dianggap oleh sukacita yang mana pun.
Kebahagiaan mereka pecah, dan melahirkan duka.
Kebahagiaan mereka pecah. Pecah semakin cepat, dan melahirkan duka lagi. Begitu seterusnya sampai di akhir, semua-muanya hanyalah kesedihan yang begitu dalam.
Apakah Touson sangat jahat, makanya ia dihukum begini? Atau sebenarnya Shuusei-lah yang dihukum. Atau lebih tepatnya lagi yang lebih memuaskan Touson jua, Shuusei sangat boleh dikatakan menghukum diri sendiri.
"Selama Shimazaki masih menerimaku esoknya, semuanya akan benar-benar baik-baik saja." Tidak bisa mengingat apa pun juga, bagi Shuusei bukan berarti Touson berhak melalui hari yang buruk, makanya Shuusei senantiasa memastikan ia memiliki hal-hal yang dapat menyenangkan Touson. Waktu mereka benar-benar tersisa sedikit. Touson jadi menatap Shuusei lekat-lekat, sampai mengganti genggaman tangan mereka dengan Touson mencengkeram yukata Shuusei.
"Berhentilah menghukum dirimu sendiri, Shuusei."
"Apa maksudmu? Kalau mau bercanda, itu tidaklah lucu, lho."
"Mencintaiku artinya menghukum dirimu sendiri. Kau membuat dirimu menerima luka dariku, kesedihanku, sakit hatiku ... apa namanya kalau bukan menghukum diri sendiri?"
Semakin Shuusei mencurahkan kasih untuk Touson seharian ini, Touson malah kian gagal memahami, kenapa seseorang bisa mencintai orang lain?
Menerima luka yang seharusnya menyakitkan, jadi Shuusei anggap membahagiakan sebab Touson dapat lega nantinya. Shuusei bahkan merasa pantas menerima segenap carut-marut hati Touson. Terus-menerus ingin menangkap; menyimpannya; padahal hanya lelah yang tak bisa disembuhkan oleh istirahat yang Shuusei peroleh.
Kau tidak berhak menghukum dirimu sendiri dengan menjadi bodoh kayak begitu.
Kalau sebegitu inginnya menjadi bodoh, jadilah bodoh karena kau tidak bisa mencintai siapa pun lagi, kecuali dirimu sendiri.
Air mata Touson lantas berjatuhan, tetapi ia tidak pernah sempat mengatakan itu, sebab jam telah melewati pukul dua belas malam. Pada akhirnya hanya tersisa Touson yang bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba ia menangis? Shuusei langsung memeluknya sembari membisikkan maaf. Bahwa semua ini salahnya, makanya Touson jadi begini.
"Siapa kau? Kenapa ... menangis?"
Pelukan Shuusei mengerat seolah-olah bertekad, akan ia susun lagi Touson yang berpecahan ini–terus Shuusei rakit yang walaupun setiap kali selesai, Touson berhamburan lagi, jari-jari Shuusei pasti setia. Habisnya Touson tidak bersalah. Karena penyakit aneh tersebut bukanlah sesuatu yang mesti Touson terima, makanya Shuusei rela tidak pernah pulang menuju kebahagiaan yang hakiki.
"Tokuda Shuusei. Kau tidak perlu mengingat aku selalu mencintaimu, karena aku akan terus melakukannya sampai kapan pun."
Sebagai representasi jiwa penulis di masa lalu, mereka abadi. Kendatipun shinshokusha membunuh Shuusei di dalam buku, ataupun Touson, sang alkemis pasti bisa memanggil lagi. Namun, semenjak serangan shinshokusha entah bagaimana berhasil merusak ingatan Touson, tentu saja Shuusei tak pernah membiarkan Touson delving. Bahkan diam-diam Shuusei pun merasa takut untuk dirinya sendiri.
"Shuusei. Maaf mengganggumu tengah malam begini, tetapi ada buku yang harus kita jernihkan."
Tanda tanya Touson layangkan pada Tayama Katai yang tanpa mengetuk, membuka pintu kamar Touson begitu saja. Shuusei beranjak dari tepi kasur. Tangannya gemetar, dingin, tetapi ia tetap tersenyum hangat kepada Touson yang tidak kunjung memahami apa-apa.
"Tunggu aku, Shimazaki. Setidaknya tolong ingatlah satu hal untuk hari ini saja, aku pasti kembali dan kita bersenang-senang."
Benar. Shuusei tidak boleh mati, atau ia akan melupakan yang terjadi pada Touson ketika dipanggil lagi. Batu alkemis sudah mulai mencapai batasnya, usai sekian dekade mereka memerangi shinshokusha. Kenangan yang telah dilalui di perpustakaan takkan pernah diingat, sebanyak apa pun diceritakan. Makanya Shuusei tak boleh kalah, bukan?
Tamat.
A/N: Aku langsung bikin ini abis selesai kerjain komisi, sebenarnya. Kisaran hari kamis, tapi baru kupublish sekarang karena merasa kurang sreg. Padahal enggak terlalu cepat atau lambat. Mau bikin panjang2 juga, entar bukan drabble lagi. Ide fic ini terinspirasi dari status temen. Fic dengan ingatan tiap hari riset juga aku pernah bikin sih di BSD, makanya di BTA ini masih baru idenya wkwkw.
Semoga kalian enjoy sama fic-nya~ maaf deh kalo enggak berasa angst.
