Obito terkesiap ketika atensinya menangkap siluet seorang pemuda di bawah sinar rembulan, membuat lekuk tubuhnya menerawang di balik kemeja putihnya yang kebesaran. Kedua tangannya masih dibelenggu plasticuffs di balik punggung. Semilir angin menggelitik wajah pucat pualam miliknya, membelai helai-helai rambut blondenya yang terlihat selembut sutera. Sepercik api perlahan mulai tampak pada pancaran mata Obito, ia membisu, terpukau pada keindahan yang dapat disaksikannya saat ini.
Mata pemuda itu terpejam damai di serambi apartemen, menyembunyikan sepasang permata amber di balik kelopak matanya. Dalam hening yang menggugah hasrat, sudut bibir Obito terangkat seiring dengan jarak mereka yang semakin terpangkas. Obito menarik dasinya, lantas menutup kedua mata pemuda itu dengan dasi yang terikat di kepalanya.
"Kau yang memintanya, Kei."
Bisikan Obito menyulut gairah sang pemuda lewat hembusan napasnya yang hangat. Tangannya meraih leher pemuda itu, menariknya ke dalam dekapan yang erat– seolah takut pemuda itu akan merentangkan sayapnya dan melesat pergi ke langit gulita meninggalkannya yang tengah memuja.
Hanya tentang waktu, percikan api itu menjelma api yang membara. Obito menggigit dan menjilat tengkuk sang pemuda yang pasrah, membuat sebuah memar kemerahan sebagai tanda kepemilikan. Terbakar. Pemuda itu mengeluarkan suara yang seketika memompa gairah Obito yang kini tidak akan dikendalikannya lagi.
"Uchiha-sama..."
Kei memanggil nama itu dengan putus asa.
.
.
.
.
.
.
BOUND Cloudsoup
Rate M untuk segala konten dewasa di dalamnya, termasuk unsur Shonen Ai yang memang menjadi point di fanfic ini. Harap menyesuaikan, yaa ^.^
Saran dan kritik yang membangun sangat diperbolehkan.
.
.
.
Disclaimer:Not mine, nor even wish.
.
.
.
.
.
.
Sebelum adegan prolog terjadi.
Ini hari yang biasa. Sebenarnya, ini hari yang seperti biasanya.
Hari Senin yang selalu berulang tiap minggu. Hari Senin yang sama pula dengan yang dibenci oleh semua orang yang harus kembali bangun subuh buta untuk banting tulang demi sesuap kuah ramen setelah terlena dengan indahnya hibernasi di akhir pekan.
Tidak-tidak, ini benar-benar Senin yang biasa. Sumpah. Well, setidaknya itulah yang berlaku sebelum bulu ketiak Obito mulai merinding ketika mendengar namanya dipanggil oleh Kakashi yang mendadak suara baritonenya berubah menjadi sopran.
"Obito~"
Si empunya nama pura-pura budeg.
"O~ O~ Obito~"
Kesalahan fatal, suara Kakashi yang semakin melengking mulai menarik perhatian beberapa orang di ruang meeting.
"O~ bi~ to~ "
"Apa?" Obito stay cool, meskipun wajahnya sudah pucat pasi.
"Bar. Malam ini. No debat." Titahnya sambil menyeruput cangkir kopinya yang kosong, serta merta membuat lubang hidung Obito mengembang jengkel karena pewaris Hatake Corp ini akhirnya bersikap tegas selayaknya seorang direktur demi ngidam ngayapnya dituruti.
Obito tidak langsung menanggapi. Dia menghela napas panjang, sangaaaat panjang hingga paru-parunya penuh dengan oksigen dan kesabaran yang tak terkira.
"Kau bertengkar lagi dengan Genma, huh?"
"Uhukk! Uhukk!" Kakashi tersedak udara yang ia seruput di cangkir kopinya.
"Hatake-san, anda baik-baik saja?"
Anko yang sedang melakukan presentasi menatap khawatir direkturnya yang terlihat seperti lelaki yang sudah uzur di seberang meja. Dengan pikirannya yang positif dan naif– tidak menyadari kalau sejak tadi presentasinya tidak didengarkan.
"Maaf, Anko-chan. Aku baik-baik saja." Kakashi menebarkan senyumnya yang sukses menghangatkan jiwa-jiwa suntuk yang berkerumun di ruang meeting. "Kau bisa lanjutkan presentasimu."
Anko manggut-manggut patuh, kemudian kembali membangkitkan jiwa-jiwa suntuk tersebut dengan presentasi penuh angka-angkanya.
"Aku tidak ikut." Obito menyahut duluan, pertanyaannya tadi sudah terjawab dengan bengeknya Kakashi. "Kau sendiri yang mengajakku bekerja sama dalam projek baru ini. Meskipun perusahaanku masih start-up, aku ingin profesional dan memastikan projek berhargamu ini sukses."
"Heee… kau sangat ambisius, seperti biasanya." Kakashi memangku kepala bersurai peraknya dengan sebelah tangan, tersenyum puas melihat antusias Obito terhadap projek baru perusahaannya. "Tapi, Obito–"
"Tidak ada 'tapi', Kakashi." Terlihat urat kepala Obito membentuk empat siku-siku. Gondok.
"Aku hanya khawatir padamu." Obito terdiam, lantas menatap mata sahabatnya. Kakashi memandangnya dengan penuh perhatian. "Sejak Rin meninggal, apartemenmu jadi bau kecoa."
Uratnya yang membentuk empat siku-siku kini hampir bangkit dari kulitnya.
"Woy!"
"A-ah, a-apa ada yang salah dari presentasi saya, Uchiha-san?"
Anko keringat dingin ketika presentasinya kembali terinterupsi. Kakashi bersiul-siul pelan mendapati death glare dari Obito yang seolah berteriak 'gara-gara elu, bangsat!'
"Maaf, Mitarashi-san. Kau bisa lanjutkan presentasimu."
Déjà vu, sepertinya Anko pernah mendengar kalimat serupa di masa lalu– tapi tanpa ambil pusing, wanita ponytail itu kembali melanjutkan presentasinya. 'Ma gud gurl', puji Kakashi dalam hati sambil mengangguk takjim.
Obito berdehem, berusaha mengumpulkan kembali serpihan-serpihan kesabarannya.
"Kakashi,"
"Ada apa, sobat?"
'Sobat biji matamu!' Seringai Obito mendadak bersuara, Kakashi masih memasang tersenyum polos tanpa dosa.
"Dari semua obrolan ini," Obito menjeda, lagi-lagi menghela nafas panjang. "Apakah gerangan hubungannya ajakanmu ke bar dengan apartemenku yang bau kecoa, hmm?"
"Ah!" Kakashi seolah mendapat ilham, matanya bersinar penuh inspirasi. "Maaf aku terlalu bertele-tele, dari awal niatku itu mau mengajakmu ke Bar Ichiraku."
"Dan… kenapa… malah… jadi… sangat… spesifik? Uh, Kakashi. Itu bahkan tidak menjawab pertanyaanku!" Obito masih dapat menahan suaranya agar tetap datar.
Kakashi tersenyum licik, seperti seorang detektif yang sudah mengetahui motif penipuan di balik hebohnya kasus babi ngepet di Sawangan, Konoha Tenggara, bahkan sebelum polisi mengetahuinya.
Ia mendekatkan kepalanya, lantas memulai bisikan persuasif tepat di depan hidung Obito sampai lelaki itu bisa mencium aroma Bakmi GM yang Kakashi makan siang tadi.
"Malam ini di Bar Ichiraku, ada pelelangan flower boys spesial akhir tahun!" Kakashi berseru riang seperti sales yang suka heboh sendiri di acara TV tengah malam.
"Hah?" Obito memutar bola matanya. "Hentikan, Kakashi. Aku bukan homo sepertimu."
"Aku tidak pernah menyuruhmu having sex dengan mereka! Kau bisa menyuruhnya untuk melakukan hal lain– membersihkan apartemenmu yang bau kecoa, misalnya. Atau memasak makanan untukmu jadi kau bisa berhenti menjadi budak micin Indomie, misalnya lagi." Kakashi membela diri, berusaha mengoptimalkan bisikan persuasifnya. "Dan sambil dicicip sedikit juga bisa, kan."
Kini Obito tidak lagi bisa menahan hasratnya untuk memukul kepala Kakashi dengan bolpoinnya. Kakashi meringis kecil, namun, hoo… tentu saja tidak menyerah begitu saja menghadapi keras kepalanya Obito yang sudah menjadi kawannya sejak di alam ruh itu.
"Ayolah! Aku janji kau tidak akan menyesal. Kau benar-benar membutuhkan seseorang untuk membantumu, Obito."
"Well, aku bisa saja menyewa asisten rumah tangga di agensi yang lebih legal, Kakashi."
"Kau terlalu terkukung dalam sistem, Obito! Cobalah untuk rebel sedikit, rasakan sensasi adrenalinmu terpacu karena melanggar stereotype masyarakat yang mainstream dan membosankan!" Kakashi masih berbisik meskipun semangatnya menggebu-gebu.
Lubang hidung Obito mengembang. "Dan kau menyebut dirimu seorang direktur ketika sekarang menghina konsumen-konsumen pencetak uangmu?"
Obito selalu bisa membalikkan ucapan Kakashi. Pikirannya yang strict dan amat-sangat-teramat keras kepala membuat Kakashi mulai lelah. Lelaki itu menghela napas panjang, ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi yang seempuk marshmallow sambil cemberut.
Ingin rasanya ia menyerah, namun harga diri Hatakenya sedang dipertaruhkan di sini. Ah, Kakashi harus menahan dirinya untuk menangis di pojok ruangan, meratapi betapa kerasnya hati Obito bahkan hanya untuk menuruti keinginan sederhana sahabatnya yang telah susah-payah membujuknya sejak meeting di mulai sampai Anko mulai tersedak-sedak membacakan laporan keuangan periode ini.
"Aku akan membelikanmu action figure Mikasa Ackerman edisi natal jika kau mau ikut."
"Deal."
'Wibu sialan.'
.
.
.
.
.
.
…
