Disclaimer | All the characters belong to Hajime Isayama, no material profit is taken from making this story.
Note | AU, aruani, 1657 words (story only)
drunk
.
by oceansmyth
"Tahu, tidak? Tahu, tidak?"
Armin meracau lagi saat Eren memantik api di ujung rokoknya yang ketiga. Wajahnya merah ditangkup mabuk, dia sudah mendobrak batas toleransi alkoholnya, dan ini bukan pertanda baik. Eren menarik napas panjang, melirik pada Jean yang meminum shooter-nya sekali teguk dengan tenang. Kurang ajar. Dia sedari tadi malah mencuri pandang ke wanita bersurai hitam yang duduk sendirian meminum lime di meja bartender.
"Tidak tahu? Hah, payah!"
Maksudnya, jika diparafrasekan, kalau mabuk, Armin jadi menyebalkan. Mengurusi klien yang sulit diimpresi oleh rancangan rumah yang Eren buat bakal lebih mudah ketimbang mengurusi Armin yang kelewat mabuk.
"Armin," Eren mendesah, menghembuskan asap ke dalam udara. Dia tidak mau mendengar apa-apa lagi yang keluar dari mulut Armin. "Kau sudah habis berapa gelas, sih?"
"Gini, ya," Armin mulai melantur, nadanya serius bercampur main-main, membingungkan. Di tangan, ada segelas minuman yang belum diteguk habis. "Hey, Jean, kau dengar, nggak? Eren, diam dulu aku mau bicara!"
Jean menarik pandangannya setelah beberapa detik berlangsung, melempar tatapan apa pada Eren yang mendelik. Tolol, Eren dalam hati sibuk menggerundel dan mengutuk. Seharusnya tatapannya sudah cukup untuk menjelaskan situasi mereka. Seharusnya tadi Jean menaruh skeptisme pada ucapan Armin, aku sekarang sudah kuat terhadap alkohol, kok, bukan mengompor-ngompori agar Armin meneguk dua gelas shooter sekaligus sebagai tantangan. Eren mengisap rokoknya dengan kuat-kuat, kesal menggerogoti dadanya. Kalau bisa, dia sedari tadi sudah menyeret Armin ke kediamannya sebelum temannya itu tenggelam dalam keadaan mabuk total.
"Panggil Annie ke sini," kata Jean, jemari bermain-main di sekeliling bibir gelas, lengan menopang tubuh pada meja. "Dia mabuk bikin repot sekali. Aku nggak mau ladenin lekturannya."
Armin menggebrak meja bar, Eren dan Jean tersentak. Gebrakannya keras sekali, banyak pasang mata tertarik ke arah mereka. "Dengar dulu."
"Maksudku, tidak sekarang," Jean berkata demikian seraya memijat-mijat pelipisnya. Minumannya diteguk tandas tak bersisa. Dia memesan satu gelas lagi pada bartender yang sedang mengelap gelas-gelas dengan senyum yang terpeta di sana. Matanya melirik-lirik pada wanita itu lagi.
Eren mendengus, asap keluar dari hidungnya. "Kaukira aku mau juga?"
"Ini keren. Keren sekali! Kautahu para pengemudi taksi London, kan? Oh, ayolah, orang bodoh juga pasti tahu!" Armin mulai lagi. Bola mata Eren berputar, dia memandangi gelasnya yang menyisakan sedikit cairan untuk diteguk, menelan ludahnya sendiri lantaran mau tidak mau menampung segala ocehan Armin. "Nah, dengar, dengar! Otak mereka luar biasa keren! Kita orang London saja bisa tersesat karena jalanan London itu ribet sekali, GPS nggak berguna, tapi mereka hafal setiap sudut kota London! Itu gila!"
Alkohol yang diteguk rupanya malah meningkatkan intesitas jiwa saintis pada diri Armin.
"Oh, aku ingat Connie pernah kesasar karena sok-sokan mau ambil jalan pintas ke supermarket. Malah berakhir di sungai Thames. Kasihan banget."
Jean menimpal begitu sewaktu matanya tertarik ke arah pintu bar yang terbuka, menampakkan sesosok wanita yang menenteng mantel hitam di tangan kanannya. Kali ini rambutnya coklat muda. Mata Jean mengekori wanita itu, Eren mengikuti pandangnya. Cara jalannya anggun.
"Ujung-ujungnya kau ladenin dia juga, tuh," seloroh Eren, asap mengepul dari bibirnya yang menyungging. Pandangnya masih mengikuti wanita itu dari sudut mata, sampai dia duduk di hadapan pria berjanggut di sudut bar, menyapanya dengan ciuman di bibir, ada dua botol wine hadir di mejanya. "Menurutku kau lebih aman dekati yang rambut hitam itu, Jean."
Jean mengangguk setuju, mengabaikan Armin yang tengah meneruskan ocehannya.
"Posterior hippocampi mereka ternyata lebih besar ukurannya dibanding yang punya orang biasa. Ada studinya, pokoknya ada studinya. Aku lupa siapa studi milik siapa. Pokoknya kalian harus tahu."
Posterior hippocampi itu apa, Eren juga tidak tahu.
"Kalau nggak diladenin malah makin ngeselin," Jean menangkis, benar juga tidak Eren suarakan. Dengan satu gerakan, dia mengambil sebatang rokok, lalu menyematkannya di bibir. Dia mengoreh-ngoreh sakunya begitu bertanya pada Eren, "Sudah menghubungi Annie?" Jean mengutuk setelahnya, tidak menemukan sesuatu yang dicari.
"Sudah," Eren menjawab, menyodorkan pemantik pada Jean, "dia di jalan."
Di sampingnya, Armin masih meminum shooter-nya di tengah mabuk hebat yang melanda. Matanya menatap tajam gelas yang ada di genggamannya, tatapan lurus terpancang. Mukanya sangat serius.
"Aku bingung sebenarnya," suara Armin kembali datang setelah lima menit bergulir dalam senyap, terdengar serius, "kalau ada orang yang dinasehati jangan merokok oleh perokok, harusnya dia jangan coba ngelak dengan alasan, 'Hah! Kamu juga perokok! Ngapain nyuruh jangan merokok, sendirinya merokok!'"
Ah, tidak juga. Dia mabuk, serius bukanlah kata yang bisa disandingkan saat seseorang mabuk. Armin ada di antaranya. Di antara bicara serius dan melantur, tepatnya.
Eren mencoba menanggapi, gelas di hadapannya kosong dan dia merasa harus memesan satu gelas lagi untuk melarikan pikirannya, "Bukannya si perokok nggak konsisten tuh omongan dengan tindakannya. Ya, jelas dia salah, lah."
"Ck, ck, ck, Eren, Eren. Kamu masih kecil."
Oke, ini tidak ada hubungannya. Armin benar-benar melantur.
Di antara api yang tersulut di ujung batang dan kepulan asap yang mengitari, Eren meringis, "Jean, aku nggak tahan."
"Annie harusnya sebentar lagi sampai. Sabar."
Saat berkata begitu, Jean tidak menatap Eren, pandangannya ditarik oleh sosok wanita rambut hitam itu, lagi. Mungkin ini sudah saatnya Jean kembali menebar feromon diumurnya yang kedua puluh delapan setelah dimampiri serangkaian kegagalan hubungan asmara dan sebelum Connie mencibirnya dengan gurauan yang menusuk.
"Keliru, kamu. Logical fallacy. Ad hominem tu Quoque, menolak argumen seseorang atas dasar ketidakkonsistenan tindakan atau perkataan dari orang tersebut." Sewaktu menjelaskan begitu, Armin terdengar sangat lancar berkata-kata. Minumannya kini habis. "Paham, nggak? Harus paham!"
"Nah, itu orangnya."
Mata Jean menunjuk seseorang yang menyembul dari balik pintu bar. Mata biru dengan rambut pirang yang digerai, tubuh yang dibalut mantel coklat dengan raut wajat khawatir — itu Annie. Ada lega yang menyebar di dada bersamaan hembusan asap yang menyelinap keluar dari mulut.
"Eren, Jean," Annie menyapa dengan napas yang tersenggal, satu detik kemudian pandangnya bergulir pada Armin yang membenamkan wajah di antara tangannya. Dia menghela napas sebelum bertanya, "Armin habis minum berapa gelas?"
"Kurasa," Eren menimbang-nimbang, "tiga gelas. Dark and Stormy."
"Satu saja sudah bikin dia mabuk," Annie mendecak, matanya setengah menjengil. Tangan dijulur untuk menepuk pundak Armin. "Armin, hey. Jangan tidur di sini. Ayo, pulang."
Armin mendengung, matanya menyipit-nyipit melihat Annie. Satu detik. Dua. Dia berbisik-bisik pada Eren, cengiran muncul di wajahnya.
"Eren," suara Armin mengambang-ngambang, setelah mabuk dia sepertinya digelayuti kantuk, "kok ada cewek cantik di sini?"
"Hah?"
Eren mengerjap, rokok tersemat di antara jarinya nyaris jatuh sewaktu mulutnya menganga. Di samping kiri Armin, Jean tampaknya tersedak minumannya. Annie mematung di samping Eren.
Armin menggumamkan sesuatu yang tidak jelas apa, diiringi lemparan pujian, "Cantik sekali."
"Armin," Annie tampak mendesah, Eren bisa tahu itu, kentara sekali, "aku sudah bilang kan jangan minum sampai mabuk. Kamu malah jadi repotin Eren sama Jean."
Eren diam-diam setuju. Armin mabuk adalah bencana bagi waktu santainya.
"Wow," Armin setengah tertawa, setengah takjub, entah karena apa, "kok dia tahu namaku, ya?"
"Ann," Eren berdeham sejenak, menahan tawa yang bisa meledak sewaktu-waktu, "Armin kayaknya nggak kenal kamu."
"Kupikir begitu," kata Annie mengiyakan. Dia menyelipkan badannya di antara Eren dan Armin, membawanya lebih dekat pada Armin, mengajaknya pulang.
"Hai," Armin malah menyapa, diikuti senyuman yang terbentuk di wajahnya, "kamu cantik sekali."
"Aa. Terima kasih." Annie barangkali tidak tahu lagi harus berkata apa. Apa-apa selain, "Kamu mabuk sekali, Armin."
"Kamu sudah punya pacar?"
Gelak tawa Jean meledak di antara kepulan asap dan cuap-cuap pengunjung bar. Annie mengangkat alisnya. Eren masih berusaha menahan tawanya sewaktu Jean ada di ujung tawanya dan berujar, "Ladeni saja dulu, Ann. Ini seru."
"Nggak." Annie menggeleng, setengah tertawa. "Aku sudah menikah."
"Oh."
Ada sunyi yang hanya diisi klakson panjang dari satu truk di luar sana, denting gelas yang beradu sewaktu bartender menaruhnya dalam deret, dan gema lonceng dari arah pintu. Eren menyibukkan diri dengan rokoknya, lidah mencecap rasa tembakau dan saus manis yang menyebar, jemari membawa datang dan pergi batang rokoknya dengan asap yang terhembus di antaranya.
Jean membawa gelasnya ke bibir, tetapi urung mampir di detik-detik terakhir sewaktu telinganya mendengar isak tangis samar yang datang. "Armin, kau kenapa menangis, ha?"
"Jean, katanya dia sudah menikah," suaranya parau dan gelas kosongnya dipandangi lebih lama lagi, dia nyaris memanggil bartender kalau Eren tidak menepis lengannya. Eren menyalang pada Armin yang merengek setengah menangis. Lagaknya macam anak kecil. "Sedih sekali, padahal mau aku ajak pacaran. Soalnya cantik sekali. Dia juga tahu namaku, kukira dia naksir aku."
"Dia sekarang kalau mabuk jadi amnesia, ya?" Annie menggedikkan bahu pada perkataan Jean, mengurusi Armin yang mabuk benar-benar merepotkan. Eren tadinya ingin mengajukan ide untuk menyeret paksa Armin, tapi dia urungkan.
"Biasanya dia minum satu gelas doang," kata Eren menanggapi, nadanya ringan sekali, seringan asap yang membumbung di udara. "Ini tiga."
"Kalau sudah menikah harusnya jangan ke sini, Nyonya," kata Armin dengan suara serak, bartender menghampirinya untuk mengambil gelas kosong di hadapannya. "Kasihan, tahu, suamimu, dia pasti cariin kamu."
"Tapi aku ini istrimu, tahu." Annie menarik dirinya menjauh dari pemuda itu, menarik napas dengan tenang. "Kita pulang, ya?"
"Oh. Yang benar, ah."
Armin tidak menatap siapa pun saat berkata begitu. Annie tampaknya kehabisan cara untuk membujuk Armin pulang, Eren juga tidak tahu harus bagaimana. Jean? Dia sepertinya sibuk merangkai skenario untuk mengajak kencan gadis yang sedari tadi jadi titik fokal pandangannya.
Armin menegakkan tubuhnya, pupilnya melebar sewaktu dia menoleh pada Annie. Matanya mengerjap. "Hah? Maksudmu, kamu itu istriku? Kita menikah?"
Dia baru sadar.
"Kita pulang." Annie menjulurkan tangannya, membawa jari Armin ke dalam genggamannya, dan menariknya. Menarik senyum, dia melanjutkan kata-katanya, "Jangan minum lagi. Repotin."
Senyum mengembang di wajah Armin, segaris kurva parabolis yang elok meskipun dia masih dilanda mabuk. "Oh. Ide yang bagus."
Eren melarikan pandangnya ke arah lain. Ke arah deretan botol-botol di belakang bantender yang disaput remangnya pendaran cahaya bar. Ke arah lonceng yang bertengger di atas pintu masuk bar dan berdenting secara okasional. Ke arah jalanan yang dipadati mobil-mobil yang merayap dengan lampu putih dan merah yang menyorot dari kejauhan. Ke arah dua orang yang satu sedang membopong yang satunya, menjejak langkah menuju pintu. Jean menawarinya sebatang rokok dari kotaknya, bermaksud memperpanjang malam di tengah dinginnya bulan Desember.
"Yang tadi masih mending ketimbang harus dengar materi studi PhD-nya semalaman," rokoknya semakin pendek sewaktu Eren kembali bersuara. Pendek dan semakin pendek dimakan merahnya api di ujung, menjadi asap yang timpang tindih dengan udara. "Kau bakal gila dengarnya."
fin.
A/N | terima kasih sudah baca. kritik, saran, atau review apa pun akan saya apresiasi. x)
