Frère

By: baechiatto

Genre : Romance & Drama

Main Cast :

Kim Jungwoo

Jung Jaehyun

Warning : Typo(s), cheesy, BxB, incest

Disclaimer : All the character in this fanfiction belongs to themselves. Inspired from a fanfiction titled Cornucopia written by Azura Eve. Meanwhile, I own the plot of the story. Please don't plagiarize this or I'll cry

.

.

Summary :

Uang seadanya, apartemen sempit, dan perabotan lusuh tidak lantas membuat Jungwoo merindukan istana lamanya. Baginya, rumah adalah tempat di mana pun Jaehyun berada.

.

.

"Jadi," Jungwoo memainkan jemarinya di dada telanjang Jaehyun, memakukan pandangannya pada sosok bersurai coklat yang terbaring di bawahnya itu, "apa yang ingin kau beritahukan padaku, Tuan Jung?"

Jaehyun tersenyum sambil mengelus lembut surai halus Jungwoo. "Aku akan tampil sebagai pianis solo di pergelaran musik minggu depan."

"Berita yang bagus untuk hari ini!" Jungwoo berseru senang. Senyumnya terpatri begitu lebar hingga kedua gigi kelincinya terlihat.

Jaehyun mencubit kedua pipinya gemas. "Kenapa kau sama sekali tidak menua?"

"Aku baru dua puluh dua tahun, Jung. Kerutan belum mau dekat-dekat dengan wajahku," ujar Jungwoo membuat Jaehyun tertawa keras.

"Kapan kerutan-kerutan itu akan mendekat padamu?" tanya Jaehyun dengan nada bercanda.

"Mungkin dia akan mengunjungimu terlebih dahulu dibanding aku."

"Sialan," umpat Jaehyun sambil kembali tertawa terbahak-bahak. Ia acak surai halus milik Jungwoo, sementara Jungwoo juga tengah tertawa.

Setelah tawanya terhenti, Jungwoo mengeratkan pelukannya pada pinggang Jaehyun. "Apa kau senang ketika pada akhirnya bisa mewujudkan mimpimu di usia yang kedua puluh enam tahun ini?" tanya Jungwoo lembut tanpa mengalihkan tatapannya pada kedua obsidian gelap Jaehyun.

Jaehyun mengecup puncak kepalanya sekilas. "Aku senang karena bisa mewujudkannya denganmu."

Jungwoo merasakan hatinya menghangat. "Aku mencintaimu," bisiknya, tepat di depan wajah Jaehyun.

"Aku tahu." Dan Jaehyun membawanya dalam satu ciuman panjang penutup malam manis mereka.

.

.

"Kopinya terlalu manis."

Jungwoo menghentikan kegiatannya mencuci piring di wastafel dan menoleh pada pemuda yang tengah menyeruput kopi di meja makan. "Aku terlalu banyak memberikan gula," ucapnya.

"Rotinya terlalu kering."

Jungwoo kembali fokus mencuci peralatan masak yang dipakainya untuk membuat sarapan, sebelum kemudian menjawab Jaehyun, "Tidak sengaja kutinggal terlalu lama."

"Rasanya agak pahit," kata Jaehyun sambil mengintip selai kacang yang dioleskan di antara kedua lembar rotinya.

Jungwoo mengelap tangannya yang basah dan duduk di kursi depan Jaehyun. "Akan terasa lebih baik jika kau memakannya dengan cepat dan tidak banyak berkomentar," balasnya sambil mengangkat cangkir kopi miliknya sendiri.

"Jujur saja padaku. Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Jaehyun, menatap lekat pemuda bersurai hitam di hadapannya.

"Tidak ada yang aku pikirkan."

"Kau tidak bisa membohongiku, Jungwoo. Kau tidak biasanya melakukan kesalahan sepele seperti memanggang roti terlalu lama atau menaruh gula terlalu banyak. Kau akan kehilangan fokus ketika sedang ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu," urai Jaehyun panjang lebar. Kedua mata Jungwoo kini balas menatapnya dan Jaehyun tersenyum kecil. "Ceritakan padaku."

"Aku sedikit bosan," jawab Jungwoo. Tangannya memainkan garpu di atas piringnya.

"Hanya itu?"

"Hanya itu."

Jaehyun menghela napas dalam-dalam sebelum kemudian merogoh saku celananya, mengeluarkan dua carik tiket pertunjukan musik jazz yang selalu disukai oleh Jungwoo. Kedua mata Jungwoo membulat, lalu bibirnya tersenyum lebar penuh antusiasme.

"Malam ini?" pekiknya riang. Tangannya menyambar tiket tersebut, memperhatikannya lekat-lekat. "Bersamamu? Apa kau tidak latihan untuk pertunjukan minggu depan?"

"Agaknya, aku membutuhkan sedikit udara segar," ujar Jaehyun, kembali menyeruput kopinya. Wajahnya tampak puas melihat kebahagiaan Jungwoo. "Juga, sudah lama tidak berkencan dengan si anak manja bernama Jungwoo ini. Aku takut dia akan merajuk seharian jika kebosanannya memuncak."

Jungwoo memberikannya tatapan tajam yang tampak lucu alih-alih mengerikan. "Tutup mulutmu, Jung."

"Kau juga seorang Jung." Jaehyun tersenyum geli.

"Aku seorang Kim."

Jaehyun terkekeh kecil lalu menyahut, "Terserahmu, Jung."

"Aku benar-benar akan menggigitmu jika kau memanggilku begitu lagi."

"Oh, dengan senang hati," tantang Jaehyun. "Kau boleh menggigitku kapan saja. Aku akan senang jika aku juga bisa menggigitmu."

Jungwoo mendengus. "Sialan," umpatnya, namun ia tidak mampu menyembunyikan senyumnya. "Aku benci karena aku jatuh cinta padamu."

.

.

Jaehyun bisa bilang jika Jungwoo adalah penggemar nomor satunya, yang senantiasa duduk tenang di atas tempat tidur sembari memperhatikan setiap gerak-geriknya, yang menatap penuh puja pada jemari Jaehyun yang menekan setiap tuts di piano usang yang ada di sudut kamar apartemen mereka, yang tidak berhenti bertepuk tangan kala satu soneta usai dimainkan.

"Mainkan Chopin yang Nocturne op.9 No.2," pinta pemuda cantik itu pada suatu Minggu pagi yang dingin.

Jaehyun duduk di kursi kecil depan piano, masih mengenakan piama yang kembar dengan yang dikenakan Jungwoo, lalu mulai menarikan jemarinya di atas piano, memainkan lagu yang diinginkan sang pujaan hati. Diam-diam, ia melirik pada sosok yang berbalut selimut di atas tempat tidur.

Jungwoo adalah satu-satunya yang mendukung Jaehyun untuk mewujudkan mimpinya dikala semua orang menghina dan merendahkan kemampuannya. Jungwoo adalah satu-satunya yang percaya padanya, yang tanpa lelah memeluknya seraya membisikkan setiap kalimat penyemangat, dan meyakinkannya untuk tetap memilih jalan berliku disaat jalan yang mulus terbentang lebar, hanya untuk meraih yang ia inginkan. Dan Jungwoo, lagi-lagi hanya Jungwoo, yang menjadi satu-satunya orang yang mencintainya ketika dunia berlomba untuk melukainya.

Melodi dalam balutan nada-nada lembut yang berdenting dari piano akhirnya selesai dimainkan. Sempurna, seperti biasanya.

Jungwoo bertepuk tangan dengan senyuman di bibirnya. "Aku jadi tahu kenapa para pengiring orkestra itu sangat menginginkanmu untuk bergabung," ujarnya.

Jaehyun terkekeh pelan, lalu memainkan nada acak. "Aku senang bisa bertemu orang yang mengerti keinginanku, yang bisa memberikan kritik dan saran atas permainanku, dan membantuku mewujudkan mimpi untuk bermain di panggung besar."

"Aku suka mendengarmu bicara tentang mimpi," kata Jungwoo lembut. Jaehyun mengalihkan pandangan dari barisan hitam dan putih tuts pianonya ke arah kedua mata Jungwoo yang menatapnya dengan pancaran memuja. "Wajahmu tampak bersinar dan kau begitu bahagia. Kau lebih tampan dari biasanya."

"Aku memang selalu bertambah tampan setiap hari," sahut Jaehyun penuh percaya diri, menuai tawa dari yang lebih muda. Jaehyun sejenak menikmati renyahnya tawa Jungwoo, bagai alunan musik yang selalu ingin didengarnya sepanjang sisa hidupnya. Senyumnya tersungging lebar hingga kedua lesung pipinya muncul. "Selama ada kau, aku selalu bahagia."

Jungwoo tertawa semakin kencang, lalu berguling membelakangi Jaehyun, memperlihatkan sebagian punggung telanjangnya yang tidak mampu ditutupi selimut. "Dasar mulut manis! Aku tidak akan jatuh pada kata-katamu begitu saja!" serunya. Tapi Jaehyun yakin ia bisa melihat rona kemerahan dari wajah Jungwoo yang membuat hatinya menghangat.

.

.

Mereka punya sejumlah pertengkaran.

Jika Jaehyun terbiasa memendam amarahnya lalu membuka suara ketika hatinya dingin, Jungwoo sebaliknya. Pemuda itu akan meledak dan mengeluarkan berbagai kata-kata makian untuk mengekspresikan kemarahannya.

"Tidak perlu menjelaskan apapun padaku, brengsek!" Tangannya membanting selembar foto Jaehyun dan Taeyong yang tengah berdiri bersebelahan dengan senyuman lebar di wajah keduanya. "Foto ini sudah menjadi buktinya!"

"Demi Tuhan, itu hanya selembar foto, Jungwoo," desah Jaehyun sembari mengusap kasar wajahnya.

"Tapi kau bilang dia tidak datang ke acara itu!"

Taeyong selalu menjadi musuh utama Jungwoo sejak hari pertama, di mana Taeyong dengan terang-terangan menabuh genderang perang dan berambisi merebut Jaehyun darinya.

"Dia datang begitu saja tanpa diundang! Aku sendiri tidak tahu jika dia akan datang!" seru Jaehyun, bangkit dari sofa dan berdiri menghadap Jungwoo yang masih melempar sumpah serapah.

"Tapi kau berfoto dengannya! Kau mau berfoto dengannya!"

"Dia yang meminta! Bagaimana bisa aku menolak? Dia salah satu sponsor terbesar untuk grup orkestraku! Setidaknya aku tetap harus menjaga sikap!" Jaehyun berusaha membuat Jungwoo mengerti, tapi yang lebih muda masih dalam keadaan begitu emosi hingga tidak mampu mencerna segala penjelasan dengan logis.

"Berarti jika dia memintamu tidur dengannya, kau juga tidak akan menolak?" pekik Jungwoo.

Jaehyun memijat dahinya perlahan, berusaha mengalihkan segala rasa pening di kepala. Ia baru saja pulang dari latihan orkestranya untuk tampil besok lusa dan harus dihadapkan pada Jungwoo yang tengah marah.

"Jaga bicaramu, Jung," ucap Jaehyun. Nadanya lebih tajam dari sebelumnya meski ia menjaga agar tidak membentak Jungwoo.

"Kau tidak mengelak!? Apa itu artinya benar!?" Jungwoo terlalu histeris untuk dihentikan dengan kata-kata, maka Jaehyun berusaha meraih lengannya agar mereka menghentikan perdebatan itu, tapi dengan cepat Jungwoo menepis tangannya. "Jawab aku!"

"Sudah kukatakan berapa kali padamu, aku tidak berselingkuh dengannya dan tidak akan pernah selingkuh darimu! Kenapa sulit sekali untuk percaya!?" Jaehyun akhirnya tersulut, tanpa sadar menaikkan nada bicaranya hingga membuat Jungwoo tersentak kaget.

"Sulit untuk percaya ketika dia terus menempel padamu dan bahkan kau tidak bisa menolaknya!"

"Dia sponsor grup orkestraku, Jung, apa kau tidak punya telinga!? Sudah berkali-kali kukatakan hal itu! Aku selalu berusaha menjauh ketika ia mendekatiku! Aku tidak mungkin menolaknya secara terang-terangan dan membuatnya tersinggung!" seru Jaehyun. Suaranya menggema di dinding apartemen kecil mereka. Lalu suaranya mengecil, lebih seperti rengekan penuh permohonan. "Aku tidak mungkin mengkhianatimu, Jungwoo. Aku mohon agar kau percaya padaku."

Kedua mata Jungwoo basah oleh air mata. "Aku mencintaimu, Jung. Dia menginginkanmu seperti aku menginginkanmu!"

Wajah Jaehyun sama kacaunya. "Aku tahu. Tapi aku juga tahu bahwa aku tidak akan beralih darimu!" Pemuda itu kemudian berlutut dan memeluk pinggang Jungwoo, membisikan permohonan berulang-ulang agar Jungwoo percaya.

Air mata Jungwoo menetes ke lantai dan detik berikutnya, jemari lentik pemuda cantik itu mengusap lembut surai kecoklatan Jaehyun. Perlahan, ia menurunkan tubuhnya, ikut berlutut di hadapan Jaehyun dan memeluknya.

Jungwoo hanya perlu percaya.

.

.

Dahulu, Jungwoo benci untuk tumbuh dewasa. Ia hanya ingin untuk tetap berkutat dengan mainan-mainannya serta mengumpulkan serpihan lego yang tidak sengaja ia rusak, bukannya mengumpulkan serpihan kaca dari gelas yang dilemparkan ayahnya ke wajah ibunya.

Ketika Jungwoo menginjak masa remaja, semakin ia mengerti bahwa senyum ibunya tidak pernah sampai ke mata, bahwa lebam di sekujur tubuhnya bukan tercipta dengan tidak sengaja, dan bahwa tangisan ayahnya setiap malam bukanlah sekadar canda. Ia akhirnya tahu, diantara mereka tidak pernah ada rasa cinta. Ibunya menyerah dan memilih pergi ke rumah saudaranya, meninggalkan keluarganya sejak pagi buta, tanpa menoleh lagi selama-lamanya.

"Seharusnya, mereka tidak pernah menikah. Untuk apa menikah jika saling menyakiti?" tanyanya suatu malam, ketika ia menyelinap ke kamar Jaehyun yang tidak terkunci.

"Tidak pernah ada yang tahu alasan kenapa mereka menikah, Jungwoo," jawab Jaehyun singkat, sibuk berkutat dengan buku-buku di meja belajarnya.

"Apa yang sedang kau lakukan?" Jungwoo merangkak mendekatinya dari atas kasur.

"Belajar untuk ujian masuk universitas."

Jungwoo turun dari tempat tidur dan menghampiri meja belajar Jaehyun, menarik salah satu buku yang ada di sana. "Kedokteran? Kenapa kau jadi mau masuk kedokteran?"

"Ayah yang memaksa," ujar Jaehyun, kembali merampas buku itu dari tangan Jungwoo.

"Kukira kau sudah membicarakan tentang mimpimu dengannya?" Wajah Jungwoo berubah bingung, namun juga kesal.

"Memang sudah."

"Lalu, apa katanya?"

"Katanya, bermain piano hanyalah hobi yang tidak berguna dan tidak bisa menjadi suatu pekerjaan."

"Pria tua itu memang selalu membuatku emosi."

Jaehyun tersenyum kecil, namun tetap menegur yang lebih muda. "Jangan bilang begitu, Jungwoo. Dia juga ayahmu."

"Aku tidak pernah menganggapnya ayah sejak dia bilang jika aku adalah aib keluarga karena tidak bisa matematika," ucap Jungwoo.

"Tapi kau pintar menulis seperti ibu. Mungkin kau bisa menjadi penulis sepertinya," hibur Jaehyun. Kedua matanya bertemu pandang dengan kedua mata Jungwoo.

"Aku tidak yakin. Dia menyuruhku menikah selepas lulus sekolah menengah. Katanya agar aku tidak menjadi beban keluarga."

Wajah Jaehyun seketika mengeras ketika mendengar hal itu. "Kapan dia bicara begitu?" tanyanya cepat, melupakan deretan soal di depannya yang menunggu untuk dikerjakan.

"Tadi pagi," jawab Jungwoo sambil duduk di tepi tempat tidur. "Katanya, ia ingin menjodohkanku dengan putra koleganya. Kalau tidak salah namanya Lucas Wong. Kami akan dipertemukan minggu depan."

Tangan Jaehyun mengepal. "Apa dia sudah gila?" Dia tentu tahu Lucas Wong, putra pengusaha ternama yang terkenal playboy dan pemabuk.

"Dia memang sudah gila sejak awal. Aku selalu bilang begitu padamu kan," ucap Jungwoo.

Jaehyun kini menggeser duduknya agar menghadap Jungwoo. "Kita tidak bisa membiarkan perjodohan ini. Lucas bukan orang yang baik untukmu."

"Memangnya apa yang bisa kita lakukan? Si tua itu pasti akan memaksa. Apalagi katanya Lucas punya kuasa yang besar." Jungwoo melipat tangannya di dada karena kesal. "Mana peduli dia jika aku baru tujuh belas tahun?"

Jaehyun menunduk memandangi lantai, tampak berpikir keras, sebelum akhirnya bangkit menuju lemarinya. Jungwoo hanya memperhatikan dalam diam. Tidak lama kemudian, Jaehyun kembali dengan sebuah buku tabungan.

"Aku punya uang simpanan di sini. Cukup untuk kita pergi dari sini ke kota lain, memutus segala hal yang ada di sini dan memulai kehidupan baru."

"Hei, hei, tenang." Jungwoo mengangkat kedua tangannya, cemas pada Jaehyun yang tampak tergesa-gesa. "Apa maksudmu pergi dari sini? Kau selalu menolak jika kuajak pergi dari rumah ini. Kenapa tiba-tiba setuju?" tanyanya bingung. Diliriknya setumpuk buku yang ada di atas meja. "Bagaimana dengan ujian masuk universitas?"

"Persetan dengan ujian masuk universitas! Aku tidak butuh itu lagi sekarang," dengus Jaehyun. Tangannya membuka buku tabungan, memperhatikan banyaknya jumlah tabungan yang ada di sana. "Ini adalah buku tabungan atas nama temanku. Kau kenal Yuta? Dia tinggal di kota sebelah dan ahli membuat dokumen palsu—dia punya banyak koneksi. Pada hari di mana kau mengajakku pergi, aku menolak bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku masih menyiapkan segala sesuatu yang nantinya akan kita perlukan. Aku juga masih membutuhkan uang dari ayah yang terus kukumpulkan."

Jungwoo menganga takjub. Ia tahu bahwa Jaehyun selalu penuh perhitungan, tapi ia tidak menyangka jika persiapan Jaehyun akan begitu detail.

"Lalu? Sekarang semuanya sudah siap?" tanyanya.

Jantungnya berdegup cepat penuh antisipasi ketika Jaehyun tersenyum lebar. "Seminggu yang lalu, Yuta sudah menemukan apartemen yang cocok untuk kita di kota sebelah. Aku juga baru dikabarkan pagi tadi jika aku diterima di kelompok orkestra di kota itu. Kita akan hidup dengan menyandang status baru, bukan sebagai putra pengusaha Jung Yunho, melainkan sebagai masyarakat biasa, Jung Jaehyun dan Kim Jungwoo."

"Kenapa namaku menjadi Kim Jungwoo? Aku kan juga seorang Jung?" tanya Jungwoo bingung.

"Kau memakai marga ibu agar tidak ada yang tahu jika kita bersaudara," jawab Jaehyun. Matanya menatap dalam-dalam wajah Jungwoo. "Agar kita bisa hidup sebagai sepasang kekasih tanpa kecurigaan dari semua orang."

"Kenapa baru memberitahuku sekarang? Kau sudah menyiapkan ini sejak lama bukan?" Jungwoo mengerucutkan bibirnya karena sebal. "Kenapa merahasiakan semua rencanamu dariku?"

Jaehyun terkekeh pelan. "Karena aku ingin memberimu kejutan," ucapnya. "Aku juga berencana memberitahumu minggu depan, ketika aku sudah membeli perabotan untuk apartemen kita. Tapi, kukira, sekarang saat yang tepat karena minggu depan kau sudah akan dijodohkan dengan pria brengsek itu."

Jungwoo melirik ke atas meja, menyadari bahwa semua soal-soal dalam buku yang tengah dipelajari Jaehyun masih kosong, sama sekali belum dikerjakan oleh pria itu. "Karena tidak ingin ketahuan dariku, kau jadi berpura-pura belajar untuk masuk ke universitas?"

"Akan aneh jika aku tidak belajar sama sekali sementara kau tahu ujian masuk universitas tinggal sebentar lagi," tukas Jaehyun.

Jungwoo mengangguk pelan. Tatapannya kembali terarah pada Jaehyun. "Kau mengungkapkan semua rencanamu padaku sekarang karena kau takut aku akan dijodohkan dengan seorang pria brengsek atau karena kau tidak mau aku dijodohkan dengan siapapun?"

Mendengar pertanyaan itu, Jaehyun tersenyum lebar hingga menampakkan barisan giginya yang rapi, lalu berdiri dari kursi. Tangannya menaruh buku tabungan di atas meja sementara kedua kakinya melangkah mendekati Jungwoo yang masih duduk di tepi kasur.

"Bagaimana jika aku mengatakan bahwa alasan kedua sejatinya lebih tepat?" tanyanya, meraup tubuh yang lebih muda dalam pelukannya dan mendorongnya ke tempat tidur hingga tubuh itu merebah di bawahnya. "Aku tidak mau kau dijodohkan dengan siapapun karena sejak awal, kau hanyalah milikku."

Jungwoo tersenyum menatap Jaehyun yang ada di atasnya, lalu melingkarkan kedua tangannya di leher pemuda itu. "Well, aku tidak bisa mengelak lagi karena itu memang fakta."

Keduanya mendekatkan wajah mereka, haus akan bibir masing-masing, dan menutup hari dengan seks pertama mereka di atas tempat tidur Jaehyun.

.

.

Lima tahun menghabiskan waktu di kota asing hanya dengan berbekal uang seadanya, apartemen sempit, dan perabotan lusuh tidak lantas membuat Jungwoo merindukan istana lamanya. Baginya, rumah adalah tempat di mana pun Jaehyun berada.

Jika Jaehyun berhasil mewujudkan mimpinya sebagai pianis untuk grup orkestra yang cukup terkenal di kota ini, maka Jungwoo berhasil menyalurkan kemampuannya menulis lewat berbagai rubrik di surat kabar yang terbit setiap minggu. Tidak jarang ia juga mengisi kolom opini dan menulis hal-hal yang tengah ramai yang berkaitan dengan berbagai topik, mulai dari politik, kesehatan, hingga filsafat.

Pernah Jungwoo lihat berita mengenai ayahnya di surat kabar. Saham perusahaan milik pria itu jatuh seiring dengan kesehatannya yang memburuk dikarenakan ditinggal pergi oleh istri dan anak-anaknya. Juga ada berita skandal Lucas Wong, si anak orang kaya, yang tertangkap basah mengendarai mobil di atas kecepatan rata-rata dalam keadaan mabuk berat.

Hidup terus berjalan meski Jungwoo dan Jaehyun tidak jarang berada di tengah kesulitan dan masalah yang selalu bermunculan. Nyatanya, penyesalan telah lama dibuang Jungwoo jauh-jauh sejak pertama kali ia memutuskan untuk angkat kaki dari rumahnya. Meski ia tidak lagi dijodohkan, meski ayahnya telah melunak dan menginginkannya pulang, meski istana itu menunggu untuk kembali ia tempati, Jungwoo tetap memilih jalan terjal bersama kakaknya. Karena, kembali lagi, rumah baginya adalah tempat di mana pun Jaehyun berada dan Jaehyun telah memutuskan untuk selalu ada di kota ini. Maka Jungwoo memutuskan hal yang sama.

Pada malam ketika bulan purnama bersinar begitu cerah, Jungwoo menemukan dirinya duduk di antara kedua kaki Jaehyun, membiarkan kakaknya memeluk pinggangnya dari belakang dan mengistirahatkan dagunya di bahu Jungwoo.

"Kau tahu, tadi aku bertemu dengan temanmu di tempat penerbitan koran."

"Siapa?" Jaehyun tampak tertarik. Tidak banyak teman Jaehyun yang dikenal Jungwoo.

"Yuta."

"Oh, aku sudah lama tidak bertemu dengannya."

Jungwoo memainkan jemari Jaehyun yang berada di perutnya. "Dia mengatakan sesuatu padaku. Katanya, dia tidak menyangka jika setelah lima tahun berlalu, kau masih bersamaku."

"Dia suka sembarangan bicara, tidak perlu didengar."

"Dia tidak bermaksud buruk. Dia hanya terkejut karena ternyata kau benar-benar serius akan ucapanmu untuk terus menjaga dan melindungiku. Dia pikir, kau tidak akan sekuat ini dan memutuskan kembali ke rumah."

Jaehyun tertawa kecil, membuat dagunya di bahu Jungwoo ikut berguncang. "Kembali ke rumah? Yang benar saja! Aku tidak mau dibilang gila karena menjadikan adik kandungku sendiri sebagai kekasihku."

Jungwoo memandang lurus pada pemandangan kota dari atas beranda apartemen yang ia duduki. "Apa kau menyesali pilihanmu?"

"Tidak." Jawaban Jaehyun keluar lebih cepat dari perkiraan.

"Jika kau bisa mengulang waktu kembali, apa kau akan mengambil jalan yang sama?"

Jungwoo merasakan bibir Jaehyun menyentuh lehernya. "Jika aku bisa mengulang hidup hingga ribuan kali pun, aku akan tetap mengambil jalan yang sama, jalan apapun yang bisa membuatku memilikimu sepenuhnya."

Jungwoo tertegun. Ucapan Jaehyun terdengar tegas, serius, dan tidak bercanda. Jaehyun jarang bercanda, tapi Jungwoo tahu persis kapan waktu Jaehyun sedang berusaha untuk bertingkah jenaka, dan yang jelas bukan saat ini.

"Dasar mulut manis," sahut Jungwoo pelan.

Perasaannya pada Jaehyun nyata adanya, jelas ia rasakan sejak usianya menginjak lima belas tahun, tepatnya ketika ibunya memutuskan pergi dari rumah dan Jaehyun menjadi satu-satunya tempatnya bergantung. Seiring berjalannya waktu, ia tahu rasa sayangnya menjelma menjadi rasa cinta melebihi hubungan kakak dan adik. Ia pernah memberitahu Jaehyun perihal ini, berharap jika Jaehyun dapat mengoreksi perasaannya dan mengatakan bahwa itu bukanlah rasa cinta pada pasangan, melainkan hanya sebatas rasa nyaman antar saudara. Tapi sebaliknya, Jaehyun membenarkan perasaan itu, bahkan membalasnya.

Jungwoo masih terlalu muda kala itu. Bahkan masih sangat muda ketika ia memutuskan kabur dari rumah bersama Jaehyun di usia ketujuh belas tahun. Tahun-tahun yang berlalu tidak melemahkan perasaannya pada Jaehyun, bahkan semakin menguat sampai tiba di titik di mana Jungwoo memutuskan untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan kakak kandungnya itu.

Ia tidak pernah ragu akan ketulusan Jaehyun. Tapi Jaehyun sangat jarang membalas kata-kata cintanya dan meski Jungwoo tahu jika Jaehyun membalasnya lewat segala perilakunya, nyatanya Jungwoo tetap butuh validasi lewat kata bahwa pria yang lebih tua darinya itu benar-benar mencintainya.

"Aku mencintaimu," gumam Jungwoo. Suaranya terbawa angin malam.

Ia dapat merasakan hembusan napas Jaehyun menabrak lehernya dan rambut Jaehyun mencuat ke pipinya.

Waktu terasa begitu melambat.

"Aku tahu," bisik Jaehyun. Wajah pemuda itu bergerak dari lehernya dan Jungwoo dapat merasakan kecupan singkat di bahunya. Setelah itu, Jaehyun berdiri dari posisi duduknya, lalu melangkah ke dalam apartemen, meninggalkan Jungwoo terduduk sendirian di balkon apartemen.

Kedua bahu Jungwoo merosot kecewa. Air matanya menggenang di pelupuk mata tanpa diperintah. Ada rasa perih di hatinya. Ia percaya Jaehyun mencintainya, tapi ia sangat ingin mendengar kata cinta itu langsung dari mulut Jaehyun. Selama ini, Jungwoo pikir cukup hanya dengan menerima semua perlakuan lembut Jaehyun padanya, tapi ternyata ia tetap membutuhkan kata-kata sakral itu.

Langkah Jaehyun terdengar kembali mendekat ke arahnya dan dengan cepat Jungwoo menghapus air mata yang hampir meluncur turun. Ia merasakan Jaehyun menarik tangannya hingga mereka berdiri berhadapan. Jungwoo memandang Jaehyun dengan wajah bingung, sementara Jaehyun tetap memasang wajah datar. Sampai kemudian, pria itu tiba-tiba merendahkan tubuhnya dan bertumpu pada satu lutut di depan Jungwoo.

Jungwoo terkesiap kaget sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan. Obsidian mereka bertabrakan dan lidah Jungwoo terasa kelu. Matanya kembali berkaca-kaca ketika Jaehyun mengeluarkan sebuah kotak beludru merah dari sakunya, lalu membukanya. Sebentuk cincin perak dengan permata mungil menyembul dari dalam kotak.

"Kim Jungwoo," panggil Jaehyun. "Aku tahu kau sendiri tidak menyukainya, tapi izinkan aku memanggilmu dengan nama aslimu untuk saat ini." Ia tampak mengambil napas dalam-dalam sebelum berucap, "Jung Jungwoo, aku sangat jarang mengatakan ini, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku mencintaimu. Aku ingin bersamamu dalam sejuta tahun ke depan, di seluruh pelosok dunia, di semua harapan dan kenyataan. Maukah kau menikah denganku dan menjadikanku pria paling bahagia di dunia ini?"

Air mata Jungwoo jatuh di kedua pipinya, memunculkan aliran kecil ketika isak tangisnya semakin kencang. Setelah seluruh purnama yang mereka lalui bersama, pada akhirnya ia mendapatkan validasi sepenuhnya, bahwa ia memiliki Jaehyun seutuhnya.

"Aku mau."

.

.

Jika aku bisa jadi bagian dari dirimu

Aku mau jadi air matamu

Lahir dari matamu

Hidup di pipimu

Dan mati di bibirmu

Unknown

.

END