Naruto Fanfiction
Belongs to Masashi Kishimoto
WARNING!
AU! TYPO bertebaran! OOC!
Selamat membaca!
guardians
Uzumaki Naruto berlari sepanjang koridor panjang dan gelap. Dia tidak melambatkan temponya barang sedikitpun. Suara derap kakinya bergema di dinding-dinding batu dan napasnya beradu dengan detak jantungnya.
Kumohon, kumohon, gumamnya dalam hati. Perasaannya kalut, seperti ada yang meremas-meras dadanya dan membuatnya tidak bisa bernapas. Setelah terus berlari, setitik cahaya terlihat dari kejauhan. Pria itu mempercepat kakinya menuju sumber cahaya.
Semakin dia berlari mendekati sumber cahaya, suara bergaung dengan keras, memekakkan telinga. Kilatan-kilatan cahaya menyambar satu sama lain, membuat mata perih. Semakin lama, cahaya itu semakin besar dan angin dingin berhembus ke arah lorong. Angin itu membuatnya menggigil dan membangkitkan ketakutannya yang paling dalam.
Di depan matanya sedang terjadi sebuah pertempuran yang sengit. Para Penjaga Perbatasan sedang merapalkan mantra-mantra untuk menyegel sebuah asap hitam tak berbentuk yang seolah keluar dari udara yang retak. Dengan sigap, Naruto mengambil posisinya dan mulai merapalkan mantra.
"ITACHI!" seru Naruto ketika dia melihat seorang lelaki yang juga sedang susah payah merapalkan mantra penyegel. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung membasahi wajahnya dan kimono hitamnya. Lambang Negara Api di punggung kimono-nya sudah bernoda lumpur dan darah.
"Senior Itachi!" seru Uchiha Itachi meralat panggilan yang ditujukan untuknya. Dia kembali fokus dalam merapalkan mantra. Naruto berdiri di depannya, mengambil beberapa kertas mantra untuk menyerang mahluk berbentuk asap tersebut.
"Berapa lama lagi?" tanya Naruto.
"Tahan selama yang kau bisa!" balas Itachi. Naruto mengangguk dan dia menapaki udara dengan mudah untuk menyerang mahluk tersebut. Kertas-kertas mantra beterbangan di sekitarnya, mengeluarkan percikan api dan berusaha memukul mundur mahluk tersebut. Namun, mahluk tersebut hanya terbuyar dan asap-asap hitam kembali bersatu lagi, membentuk sebuah siluet.
"Jangan sampai dia berbentuk!" teriak seorang penyerang. Naruto mengenali suara tersebut, milik Kapten Yamato. Yamato merapalkan mantra dan sulur-sulur kayu beterbangan dan membuyarkan tubuh yang hampir terbentuk tersebut.
Naruto melirik ke bawah, tempat Uchiha Itachi masih berdiri dengan tenang di lingkaran segel yang dibuat dari darahnya sambil merapalkan mantra. Konsentrasinya tinggi dan dia tampak tidak terganggu dengan serangan-serangan di udara. Melirik lebih jauh, rekan-rekannya banyak yang sudah mati tak bernyawa.
Naruto menghela napas. Dia menggeleng. Saat ini dia harus fokus. Kematian memang teman baik di dalam pekerjaannya ini sebagai Penjaga Perbatasan. Ini bukan pertama kalinya Naruto kehilangan teman dan ini juga tidak akan menjadi yang terakhir kalinya. Saat ini, dia harus fokus menjalankan tugasnya, urusan berduka bisa dipikirkan setelah menang. Namun, kalau mereka kalah disini, seluruh dunia akan berduka.
Yamato merapalkan segel lagi dan membuat sulur-sulur kayu menjadi sebuah pnejara besar yang mengurung mahluk tersebut. Naruto mengangkat kertas mantranya, merapalkan mantra pengikat dan kertas-kertas itu menempel di sulur-sulur kayu milik Yamato.
"Itachi, sebaiknya sekarang!" seru Yamato.
Mahluk di dalam kurungan tersebut berusaha menghancurkan penjara sementara yang dibangun oleh Yamato. Mantra pengikat yang diberikan Naruto berpendar menjadi warna emas, mengelilingi seluruh penjara dan menahan pergerakan mahluk tersebut. Namun, itu tidak akan bertahan lama, karena mempertahankan mantra membutuhkan banyak tenaga, belum lagi Naruto harus mempertahankan mantra agar dia tidak terjun bebas dari langit.
"Shiki Fujin!"
Segel darah milik Itachi berpendar keemasan yang semakin lama semakin terang, bersamaan dengan hancurnya penjara kayu milik Yamato dan segel pengikat milik Naruto. Pria itu terlempar akibat gelombang kejut dan menggunakan sisa tenaganya untuk menahannya ketika jatuh ke tanah, supaya dia tidak langsung remuk redam.
"Juubi, kembalilah ke tempatmu! Ini bukan tempatmu!" seru Itachi sambil terus memukul mundur mahluk tersebut.
"Tim Penyegel, Bersiap!" perintah Yamato. Naruto mendapatkan kesadarannya kembali, lalu dia berlari untuk mengambil posisi. Itachi terus memukul mundur sampai sebagian dari mahluk tersebut kembali masuk ke dalam retakan di udara.
Naruto mengambil beberapa kertas mantranya, membisikkan mantra pengikat dan melayangkah kertas-kertas itu di sekitar udara yang retak. Di balik udara retak itu adalah kekosongan dan kehampaan. Kegelapan yang tak berujung. Sebuah dunia yang tidak bisa dihuni oleh mahluk hidup mana pun.
Pukulan terakhir dari Itachi, membuat seluruh tubuh dari mahluk itu masuk sempurna ke dalam kehampaan. "SEGEL, SEKARANG!" teriak Yamato.
Puluhan kertas mantra melayang ke perbatasan yang retak, bersinar dengan sangat terang, dan perlahan-lahan udara yang retak mulai menutup. Suara lengkingan yang memekakan telinga dan Naruto harus berusaha keras agar konsentrasinya tidak terpecah. Rasanya gendang telinganya hampir pecah dan berdarah karena lengkingannya begitu menusuk. Udara bergetar, tetapi tidak ada satu pun dari Tim Penyegel yang bergeming.
Naruto melirik seniornya, Itachi, yang masih fokus di tempatnya. Dia berada paling dekat dengan mahluk Juubi tersebut, dan Naruto yakin kalau kedua telinga Itachi sudah mengeluarkan darah.
Udara yang retak telah tertutup. Mantra penyegel di rapalkan berkali-kali agar tidak terbuka lagi dan menyebabkan kekacauan. Semua orang turun ke tanah dan mulai berjatuhan. Naruto menghampiri Itachi, yang masih berdiri tegak sambil memunggunginya.
"Itachi! Kita berhasil!" serunya riang, melupakan semua rasa lelah dan sakitnya.
Senior dari Klan Uchiha itu berbalik menghadap Naruto, dan ketika Naruto mengulurkan tangannya untuk merayakan kemenangan, pria itu tumbang ke dada Naruto, membuat mereka berdua jatuh ke tanah.
"ITACHI!?" seru Naruto sambil membenarkan posisi seniornya di dalam pelukannya.
Kondisinya parah. Darah keluar dari kedua matanya, kedua lubang telinganya, dan juga dari dalam mulutnya. "Itachi! Bertahanlah!" seru Naruto.
Itachi bernapas putus-putus. "Jangan… lengah…" katanya susah payah.
"Jangan bicara!" kata Naruto. Dia menoleh ke arah Yamano. "Kapten! Kita harus kembali ke Ibu Kota!" serunya.
Yamato berlari menghampiri Itachi. Dia merapalkan mantra dan menyentuh perut Itachi. Ekspresinya kacau. "Luka ini bukan luka fisik," kata Yamato, "chakra-nya kacau."
"Nenek Tsunade bisa mengobatinya!" kata Naruto. Dia menatap Itachi yang masih dipelukannya. "Kita akan membawamu ke nenek sekarang juga!"
Yamato menggeleng. "Aku tidak yakin Itachi bisa bertahan dalam perjalanan sampai ke sana," katanya dengan pesimis.
Mendengarnya, Naruto menggertakkan giginya dengan kesal. Dia memeluk erat seniornya. "Jangan mati," katanya pada Itachi.
Itachi hanya tersenyum lemah. Matanya terbuka, tetapi dia tidak bisa melihat apapun. suara Naruto yang heboh dan nyaring saja terasa sangat jauh. Dengan sisa tenaganya, Itachi berhasil meraih tangan Naruto dan menyentuhnya.
Naruto tidak pernah melupakan sensasinya. Tangan Itachi hangat, dan nadinya berdenyut, meskipun tidak teratur. Itachi sekarat, tetapi juga sangat hidup di dalam pelukan Naruto.
"Kurasa ini adalah akhir dari diriku," katanya.
"Jangan bicara seperti itu! Kau tidak boleh pesimis!" seru Naruto memotong kata-kata Itachi. Namun, Yamato memegang bahu Naruto. Tatapannya tegas dan serius, meskipun sedih. Melalui tatapan itu, Naruto sadar bahwa dia tidak boleh bersuara. Ditelannya rasa pahit dan bongkahan batu di tenggorokannya. Dia menggigit bibirnya sendiri agar tidak terisak, sementara Itachi mati perlahan-lahan di pelukannya.
"Yang berikutnya adalah tugasmu," kata Itachi lemah. Naruto, masih menggigit bibirnya sampai berdarah, hanya mengangguk kaku seperti robot. Air matanya menetes dan membasahi jubah Itachi yang sudah bernoda darah.
"Jangan kehilangan tujuan, Naruto," ujar Itachi. Naruto mengangguk lagi. Ingusnya menetes dari hidungnya dan dia menyedotnya lagi. "Jangan biarkan matahari itu direnggut dari dunia ini."
"Itachi," panggil Naruto parau, "jangan bicara lagi. Kau harus dirawat."
Itachi mulai menutup matanya. Bibirnya yang penuh dengan bekas darah menyunggingkan sebuah senyuman. "Aku punya seorang adik lelaki, usianya mungkin sama denganmu." Genggaman tangan Itachi semakin lama semakin lemah dan akhirnya terlepas. "Mungkin kau bisa akrab dengannya."
Dan Uchiha Itachi tidak lagi membuka matanya. Jantungnya berhenti berdetak, suara napasnya tidak terdengar. Naruto mulai terisak dan dia memeluk Itachi semakin kuat. Airmatanya jatuh dan ingusnya mengotori jubah Itachi. Namun, dia tidak peduli. Para Penjaga Perbatasan mengelilingi jasad Itachi yang masih berada di pelukan Naruto. Tidak ada satupun dari mereka yang bersuara.
Kematian adalah sahabat dekat dari Para Penjaga Perbatasan, dan ini bukanlah pertama kalinya mereka kehilangan rekan, dan bukan juga yang terakhir kalinya. Namun, Uchiha Itachi adalah seorang yang sangat ahli. Dia seorang jenius. Dia adalah yang terbaik dari yang terbaik. Dan sekarang, dia telah meninggal, mewariskan semuanya kepada adik kelasnya.
"Aku tidak bisa menjadi sepertimu, Itachi," gumam Naruto dalam tangisnya. Dia masih memeluk erat tubuh Itachi yang terasa hangat. Sebentar lagi, tubuhnya akan mulai kaku dan dingin.
Yang membuat Naruto berhenti menangis adalah tepukan pelan dari Yamato. Kedua matanya basah dan jejak airmata masih terlihat di kedua pipinya, tetapi pria itu berhasil menguasai dirinya.
"Naruto, kita harus kembali," katanya. "Kita harus melapor pada Yang Mulia dan… mengantarkan Itachi pada keluarganya."
Naruto kembali melihat seniornya. Itachi tidur dengan damai. Ekspresinya seperti orang yang melepas lelah setelah seharian bekerja tanpa henti. Naruto berpikir bahwa Itachi berhak mendapatkan tidur yang nyenyak. Dia menyibak poni yang jatuh ke atas wajahnya dan disesapinya dalam-dalam wajah seniornya itu.
"Kapten benar," kata Naruto. "Kita harus memulangkan Itachi kepada keluarganya."
.
10 TAHUN KEMUDIAN
Meja rapat digebrak dengan kuat, membuat cawan-cawan yang ada di atas meja tersebut tumpah dan mengotori kayu jati tersebut. Namun, tidak ada orang yang berani protes ataupun berbicara. Ruang rapat dipenuhi oleh aura yang berat. Kaisar Kerajaan Negara Api, Senju Tsunade, bersiap untuk menghancurkan meja rapat karena emosinya yang meluap-luap.
"Yang Mulia, Anda harus tenang," saran Menteri Keuangan, Hyuuga Hiashi. Ekspresinya datar, seperti tidak terpengaruh oleh kemarahan Tsunade.
Tsunade meliriknya dengan sengit. "Itu saranmu sekarang? Tenang?" tanyanya. "Sebuah surat dari perbatasan baru saja tiba dan mengatakan bahwa segel mulai kembali retak. DAN SARANMU ADALAH TENANG?" teriaknya diakhir. Meja digebrak lagi.
"Yang Mulia," panggil seorang Menteri Perang, Nara Shikaku, "saran Hyuuga masuk akal. Jika Kerajaan panik, maka masyarakat juga akan panik. Kepanikan massa adalah hal terakhir yang harus dikhawatirkan."
Tsunade menyenderkan punggungnya di punggung kursi. Dia memelototi satu per satu menterinya. "Kirim surat ke 9 Penjaga," perintah Tsunade.
Nara Shikaku membungkuk. "Baik Yang Mulia," katanya.
Tsunade mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. "Apakah warga harus diungsikan?" tanya Tsunade pada Menteri Sosial, Uchiha Fugaku.
Uchiha Fugaku membungkuk sebelum menjawab. "Kalau keadaan semakin memburuk, warga mungkin harus mengungsi. Desa terdekat dari sini adalah Desa Konoha," jelasnya.
"Itu desa miskin," kata Tsunade, "bagaimana persediaan makanan? Bagaimana kalian akan mengungsi? Kita tidak tahu kapan segel akan hancur dan Juubi kembali meneror."
"Saya akan berkoordinasi oleh Kapten Penjaga Perbatasan, agar kami punya waktu untuk mengungsikan orang-orang."
Tsunade mengangguk. Kepalanya semakin berdenyut-denyut karena masalah seperti ini. Juubi adalah monster yang terlahir dari kegelapan dunia. Juubi adalah kumpulan dari seluruh emosi negatif. Ada yang mengatakan Juubi berasal dari neraka terdalam, ada yang mengatakan Juubi lahir dari kehampaan. Untuk pastinya, tidak ada yang tahu dari mana Juubi itu muncul.
"Bubar," katanya. Para Menteri membungkuk dan keluar dari ruang rapat. Tinggallah Senju Tsunade sendirian dengan masalah yang tidak kunjung usai di dalam Negara yang diperintahnya.
"Aku butuh sake."
.
"Selamat datang," kata Uchiha Mikoto ketika suaminya sampai di kediaman mereka. "Bagaimana rapatnya hari ini?" tanyanya.
Fugaku menghela napas. Mereka berjalan bersama ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Fugaku menatap istrinya. "Segel sudah mulai hancur," katanya. Mikoto menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sebuah perasaan sesak dan duka kembali menyelimutinya.
"Mereka akan mengutus Para Penjaga untuk memperbaiki segel kan?" tanya Mikoto.
Fugaku menatap langit-langit ruang tamu. "Yang Mulia sudah menyuruh Nara untuk mengutus 9 Penjaga," katanya, "tapi sisanya tidak tahu."
Mikoto tanpa sadar terisak. Fugaku membawa istrinya ke dalam pelukannya. "Maaf," katanya di dalam pelukan Fugaku, "tanpa sadar aku terbawa emosi."
Fugaku menggeleng. "10 tahun sudah berlalu, tetapi aku pun tidak dapat melenyapkan duka ini." Dia mengecup puncak kepala istrinya. "Tapi ini adalah jalan yang telah dipilih olehnya. Keluarga ini telah memilih jalannya."
"Apa kau akan berangkat?" tanya Mikoto.
"Aku akan sibuk jika warga diungsikan. Kau juga, berkemaslah. Kita tidak tahu kapan harus mengungsi."
Mikoto memegang lengan suaminya. "Kau juga akan ibut mengungsi kan? Bersama dengan kami?" tanyanya. Ada desakan di dalam pertanyaan tersebut.
Fugaku memutuskan untuk tidak menatap istrinya. Hatinya perih jika mengingat akan yang mungkin akan mereka hadapi. "Dimana Sasuke?" tanya Fugaku.
"Di dojo," jawab Mikoto, "sedang berlatih sendirian."
Fugaku mengangguk dan berjalan ke belakang rumahnya. Sebuah taman dan hutan kecil memanjakan matanya. Beberapa burung merak berjalan dengan anggun dan sombong. Fugaku terus berjalan sampai dia melihat sebuah dojo tua. Dari kejauhan, dia dapat mendengar sayup-sayup suara lantang dari orang yang berlatih.
Dari pintu dojo yang terbuka, Fugaku bisa melihat Uchiha Sasuke, putra bungsunya, sedang berlatih dengan pedang kayu. Keringat menetes-netes dari seluruh tubuhnya, tetapi lelaki muda itu tidak hilang fokus. Tatapannya tajam ke depan.
"Butuh teman untuk latihan tanding?" tawar Fugaku.
Sasuke menghentikan kegiatannya dan menatap Ayahnya yang berdiri di depan pintu dojo. Dia menurunkan pedang kayunya, membungkuk untuk menyapa Ayahnya. "Dengan pakaian seperti itu?" tanya Sasuke.
Fugaku mendengus. "Dengan pakaian seperti inipun, kau masih belum bisa menang dari Ayahmu." Fugaku melangkah masuk ke dalam dojo. Sasuke mengelap keringatnya dengan hakama putihnya.
"Aku selalu dibilang tidak bisa menang dari semua orang di keluarga ini," katanya. Fugaku tertawa mendengarnya.
"Kau memang masih kecil."
Sasuke tidak setuju dengan Ayahnya, tetapi dia tidak membalas kata-katanya. Dia malah menanyakan hal lain. "Apa yang dibahas dalam rapat tadi?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan Sasuke, Fugaku hanya menghela napas berat. "Hal biasa," katanya, "mendengar Yang Mulia murka, lalu teriak-teriak."
"Itu bukan rapat," kata Sasuke.
"Tidak ada yang harus kau khawatirkan," kata Fugaku.
Dan jelas sekali, bahwa Sasuke harus mengkhawatirkan sesuatu. Namun, Fugaku tidak mau melibatkan putra bungsunya. Kini, Sasuke adalah satu-satunya keturunan asli dari Uchiha Fugaku. Uchiha Sasuke adalah penerus dan satu-satunya penerus dari Klan Uchiha. Putra pertamanya sudah meninggal, dan dia tidak akan membiarkan takdir yang sama merenggut putra bungsunya. Jika demi menjauhkan Sasuke dibutuhkan kebohongan, Fugaku rela berbohong seumur hidupnya agar Sasuke bisa terus hidup.
Sasuke tahu bahwa Ayahnya menyembunyikan sesuatu. Kedua orangtuanya selalu menyembunyikan sesuatu darinya. Bahkan, mendiang kakaknya, Itachi, juga selalu menyembunyikan sesuatu darinya. Di keluarga Uchiha, rasanya hanya Sasuke saja yang tidak tahu apa-apa.
Sebuah perasaan marah menyusup ke dalam hati Sasuke. Kenapa semua orang selalu memperlakukannya berbeda? Kenapa semua orang selalu menyembunyikan sesuatu darinya? Apa karena Sasuke tidak cukup dewasa? Apa karena mereka tidak percaya pada Sasuke? Atau karena Sasuke bukanlah orang penting, sehingga mereka tidak merasa perlu memberitahu Sasuke?
Sasuke menunduk. "Begitu," katanya. Dia ingin berteriak pada Ayahnya, bahwa dia adalah putra Fugaku, dan penerus Klan Uchiha di masa depan.
Dia memang bukan Itachi, si jenius yang bisa melakukan semuanya, tetapi dia tetap putra Fugaku. Bahkan, setelah kematian Itachi pun, Ayah dan Ibunya tidak ada memberitahu apapun pada Sasuke.
Fugaku menyentuh pundak Sasuke. "Ayo kembali," katanya, "kita makan malam bersama."
Sasuke menaruh pedang kayunya, menutup pintu dojo dan mengikuti Ayahnya kembali ke kediaman Uchiha yang mewah.
.
Sebuah batu dilempar dan mengenai kepala Uzumaki Naruto, membuat lelaki itu bangun mendadak dari dahan pohon yang menjadi tempat tidurnya dan jatuh ke tanah dengan suara yang menyakitkan.
"APA-APAAN SIH?" serunya marah. Dia melotot pada orang yang melempar batu dan nyalinya langsung ciut begitu rambut merah milik Nyonya Uzumaki Kushina berkibar dengan mengerikan.
"Siapa yang kau bentak tadi, HAH?" bentak Ibunya murka. Naruto menelan ludahnya dan langsung duduk bersimpuh.
"Mohon maaf Yang Mulia," katanya sambil bersujud. Kushina mendengus.
"Aku tidak butuh permintaan maafmu," katanya. Naruto bangkit dari posisinya dan kembali berdiri. "Ada surat untukmu."
Naruto mengeluh. "Bu, aku kan sudah bilang kalau aku sedang ambil liburan," katanya, "paling isinya supaya aku laporan ke Kapten Yamato."
Kepala Naruto dijitak kuat oleh Kushina. "Anak bodoh!" bentaknya, "dasar beban keluarga!"
Naruto mengusap-usap kepalanya yang berdenyut. "Aku tetap Kepala Keluarga Klan Uzumaki, begini-begini."
"Kalau begitu, bertindaklah seperti kepala keluarga!" seru Ibunya, lebih galak. Dia menyerahkan surat yang diterimanya tadi pagi. Naruto mengambilnya ogah-ogahan. "Itu bukan surat dari Perbatasan, tapi dari Ibu Kota."
Kalimat terakhir dari Ibunya membuat Naruto mau tidak mau tertarik pada surat tersebut. Dia melihat cap lilin yang berlambang Api dan Klan Senju. Jelas, ini memang bukan dari Perbatasan.
Naruto membuka surat tersebut dan membacanya. Untuk beberapa menit, tidak ada yang bersuara, Kushina juga hanya diam menunggu putranya selesai membaca. "Bagaimana?" tanya Kushina ketika Naruto menaruh kembali kertas tersebut ke dalam amplop yang dicap.
Naruto hanya menghela napas dan melihat raut putranya, Kushina bisa bilang kalau itu bukan berita bagus. "Aku diminta ke Ibu Kota," kata Naruto.
"Kenapa?"
"Sebenarnya 9 Penjaga diminta ke Ibu Kota," jelas Naruto, "segel retak dan kami diminta untuk melindungi Ibu Kota."
"Dan kau akan pergi?" tanya Kushina.
Naruto menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku Penjaga Kyuubi, tentu saja aku harus pergi." Dia menghela napas. "Semoga Yang Mulia mau membayar jasaku."
Keluarga Uzumaki adalah satu dari 9 Keluarga Penjaga Negara Api. Mereka adalah bangsawan negara yang bertugas melindungi negara dari balik layar, bagaimanapun caranya. Kenapa 9 Penjaga? Karena dahulu, Negara Api lahir dari 9 Pendiri yang memiliki kekuatan chakra unik. Kesembilan pendiri ini masing-masing menjaga seekor monster yang harus dikurung demi menjaga keseimbangan Negara.
9 Keluarga ini tidak tinggal di Ibu Kota, tetapi mereka berpencar sesuai dengan arah mata angin, melindungi negara dari ancaman apapun, yang bersifat fisik maupun spiritual. Chakra unik mereka adalah tiang pondasi awal berdinya Negara Api dengan kokoh.
"Berhati-hatilah," kata Kushina.
Naruto hanya tersenyum tipis mendengar Ibunya seperti itu. "Bagus kan, jadi Ibu tidak harus marah-marah setiap hari. Biar awet muda."
Mendengar Naruto berkata seperti itu, Kushina kembali menjitak kepala Naruto. "Karena siapa aku marah setiap hari? Dasar anak badung!" serunya kesal. Naruto hanya tertawa. "Jangan hanya tertawa! Kau tidak boleh pulang ke rumah kalau tidak bawa calon istri!"
Kalimat terakhir Ibunya benar-benar membuat Naruto mati kutu.
"Jadi sekarang aku diusir dari Klan ku sendiri?" tanya Naruto sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berlebihan. "Apa jadinya Klan ini tanpa aku?"
Kushina melotot, "yang pasti lebih tenang dan damai setiap hari."
Naruto meringis. "Kejamnya, Ibuku ini."
Kushina tidak menanggapinya. Namun, dia serius ketika mengatakan Naruto harus berhati-hati. Kalau Naruto tidak kembali, Kushina akan sendirian. Wanita itu tahu rasanya sendirian. Sebelum ia bertemu dengan mendiang suaminya, Kushina adalah kepala keluarga Uzumaki. Memimpin sebuah klan besar dan juga penjaga Kyuubi bukanlah hal mudah bagi seorang gadis muda. Lalu, ketika Uzumaki Naruto berusia 17 tahun, gelar Kepala Keluarga diserahkan oleh Kushina pada anaknya, karena yang boleh menjadi kepala keluarga hanyalah darah murni dari Uzumaki. Suaminya tidak bisa menjadi kepala keluarga.
Ketika punggung Ibunya tidak terlihat lagi, Naruto menatap langit biru yang berawan. "Sepertinya kita akan bertemu lagi, Itachi."
.
Para Menteri dan Pejabat Pemerintah berdiri berjajar di Aula Singgasana Kerajaan. Senju Tsunade, dengan balutan jubah kaisarnya, duduk tegak di singgasana, di belakangnya adalah asisten pribadinya, Suzune.
"9 Penjaga telah tiba dan siap menghadap Yang Mulia," lapor salah seorang abdi sambil bersujud.
Tsunade mengangguk. "Suruh mereka masuk."
Pintu aula dibuka, dua orang prajurit masuk dan dibelakangnya terdapat rombongan orang. Sang abdi tersebut membacakan satu per satu nama.
"Sabaku Gaara, Penjaga Ichibi."
Dia adalah seorang pemuda berambut merah darah, berwajah datar, dan memakai kimono merah yang sewarna dengan rambutnya. Dia bersujud di depan singgasana Tsunade.
"Yugito Nii, Penjaga Nibi."
Seorang perempuan berambut pirang, matanya berkilat tajam dan memakai kimono berwarna hitam. Dia juga bersujud di depan singgasana Tsunade.
"Yagura, Penjaga Sanbi."
Seorang lelaki yang jauh lebih muda dari Gaara maju ke depan. Bisik-bisik mengudara di seluruh aula. Yagura adalah seorang yang sudah berusia sangat tua, rumornya, usianya sudah lebih dari 100 tahun. Dia mempertahankan penampilan mudanya dengan chakra unik milik Sanbi. Hanya sekilas saja, dia tampak seperti remaja. Dia ikut bersujud di depan singgasana Tsunade.
"Roshi, Penjaga Yonbi."
Seorang pria berusia 40 tahunan maju ke depan. Wajahnya keras dan tegas, serta terkesan menyeramkan. Jambangnya panjang, serta kumis dan jenggotnya tebal. Badannya tegap dan yukata yang digunakannya tidak bisa menutup seluruh dadanya yang berambut lebat. Dia bersujud di depan singgasana juga.
"Han, Penjaga Gobi."
Han adalah pria yang lebih tinggi dari Roshi. Separuh wajahnya dibalut oleh kain. Ketika dia berjalan untuk bersujud, beberapa prajurit bergerak tidak nayaman, karena tubuhnya yang lebih besar dari kebanyakan orang. Dia bersujud di depan Tsunade.
"Utakata, Penjaga Rokubi."
Kali ini, adalah seorang lelaki kurus dengan rambut yang poninya menutupi separuh wajahnya. Kimono-nya berwarna putih. Dia bersujud di depan singgasana.
"Fuu, Penjaga Nanbi."
Seorang perempuan dengan warna rambut hijau lumut maju ke depan. Dia adalah perempuan kedua dari 9 penjaga. Bawahan Kimono-nya tidak begitu rapat, sehingga ketika dia berjalan, kain itu tersibak dan dapat terlihat pahanya. Dia bersujud di depan singgasana.
"Killer Bee, Penjaga Hachibi."
Seorang pria berotot, lebih besar dari Roshi, tetapi tidak sebesar Han datang. Seluruh tubuhnya penuh dengan otot, sampai yukata-nya dapat mencetak jelas otot-ototnya. Dia bersujud di depan singgasana.
"Uzumaki Naruto, Penjaga Kyuubi."
Tidak ada orang yang datang ke dalam aula. Sang Abdi berdeham dan membaca ulang. "Uzumaki Naruto, Penjaga Kyuubi."
Tidak ada siapa-siapa yang datang. Seluruh orang di ruangan saling berpandangan satu sama lain karena bingung. Ada juga yang bergerak-gerak gelisah.
"Dimana Uzumaki?" tanya Tsunade, suaranya menggelegar.
Sang Abdi langsung bersujud. "Tampaknya rombongan Klan Uzumaki, Penjaga Kyuubi, belum sampai, Yang Mulia."
Tsunade melihat ke arah Menteri Perangnya, Nara Shikaku. "Kau mengirim surat ke 9 Penjaga?" tanyanya.
Nara Shikaku langsung bersujud. "Benar Yang Mulia. Hamba mengirimkan surat untuk 9 penjaga."
"Kenapa dia belum di sini?" tanyanya.
Pertanyaan itu tidak bisa dijawab oleh Nara Shikaku. Senju Tsunade melihat semua orang yang ada di dalam Aula Singgasana. Semuanya menunduk dan tidak ada yang bersuara. "Cari Uzumaki Naruto!" perintahnya, "kalian berdelapan, terima kasih sudah mau datang jauh-jauh ke Ibu Kota. Uchiha Fugaku akan mengantar kalian ke pavilion kalian selama kalian berada di Istana ini."
"Terima kasih banyak Yang Mulia."
Senju Tsunade bangkit dari singgasananya, lalu berjalan keluar dari aula tersebut, diikuti oleh Suzune. Sepeninggalnya Tsunade, semua orang menghela napas lega. Nara Shikaku bangkit lagi dan dia menarik salah satu prajurit.
"Temukan Uzumaki Naruto sekarang juga! Atau kepala kita semua akan dipenggal."
Prajurit itu mengangguk.
.
Uzumaki Naruto membenarkan topi Jerami yang menjadi penutup kepalanya. Dia mendongak menatap plang di pintu masuk ibu kota dan 2 orang penjaga berdiri, memeriksa semua orang yang masuk dan keluar dari Ibu kota. Naruto berjalan masuk, diperiksa, dan dipersilahkan melanjutkan perjalanan setelah terbukti aman. Pemuda itu tersenyum ketika akhirnya dia masuk ke dalam Ibu Kota.
Suasana Ibu Kota sangat ramai, semua orang berjalan dan berjualan. Wanita-wanita memakai kimono yang berwarna-warni dan motif yang bermacam-macam. Anak-anak berlarian dan saling bercanda satu sama lain.
"Suatu hari nanti, aku akan membawamu melihat Ibu Kota," kata Itachi suatu hari. Kenangan itu sudah lama, lebih lama dari kematian senior sekaligus sahabat Naruto. Dia tersenyum simpul ketika melihat pemandangan ramai di depannya.
"Aku sudah di Ibu Kota sekarang, Itachi."
Naruto pernah ke Ibu Kota sekali, ketika Penjaga Perbatasan datang melapor dan memulangkan Uchiha Itachi kembali kepada keluarganya. Saat itulah Naruto tahu bahwa Itachi adalah putra sulung dari Pasangan Uchiha, Menteri Sosial. Naruto ingat bagaimana histerisnya Nyonya Uchiha ketika Kapten Yamato menjelaskan semuanya dengan pelan dan lembut. Naruto juga ingat bagaimana wanita itu pingsan dan Menteri Sosial berusaha sekuat tenaga untuk tidak tumbang.
Saat itu, Naruto tidak ikut upacara pemakaman Itachi. Ketika prosesi pemakaman, Naruto memilih datang ke kedai terdekat dan mabuk sampai dia lupa caranya menangis dan melupakan rasa sakitnya. Kini, Naruto kembali ke Ibu Kota, untuk tugas yang sama seperti 10 tahun yang lalu.
Pria itu tahu kalau dia harus segera ke Istana untuk melaporkan kedatangannya, tetapi kakinya malah memilih jalan memutar. Naruto melangkah melewati pasar, menolak semua pedagang yang menawarkan dagangan mereka, hingga akhirnya Naruto sampai ke pinggiran kota, dimana padang luas terhampar.
Kalau ingatan Naruto tidak salah, jika dia terus berjalan, kediaman Uchiha akan terlihat. Itachi dimakamkan di pemakaman khusus milik Klan Uchiha, jadi untuk masuk ke dalam makam tersebut, Naruto harus masuk ke dalam kediaman Uchiha.
Pintu masuk Klan Uchiha dijaga oleh dua orang prajurit yang membawa bendera berlambang kipas putih dan merah, lambang Klan Uchiha. Naruto membenarkan topi jeraminya dan memutuskan untuk memutar jalan. Dia tidak mau terlihat mencolok ataupun cari masalah. Dia hanya ingin mampir ke makam Itachi sebentar, untuk melepas rindu pada sahabatnya.
Setelah berjalan memutar agak jauh, Naruto melompati pagar pembatas dengan mudah dan mendarat dengan lembut di rumput yang terawatt. Naruto masuk dari sayap timur kompleks kediaman Uchiha. Beberapa dayang perempuan dan laki-laki berjalan membawa barang-barang. Mereka sibuk bekerja.
Naruto berjalan dengan langkah ringan, dia juga merapalkan mantra agar kabut menyamarkan keberadaannya. Kakinya tetap melangkah sesuai ingatannya. Pemakaman khusus Klan Uchiha berada di bukit pribadi. Semakin ke arah bukit, para dayang semakin sedikit yang terlihat. Suasana semakin sepi dan pohon-pohon semakin lebat.
Naruto mulai mendaki bukit. Dari kejauhan, atap-atap kompleks Klan Uchiha terlihat sangat kecil, dan dapat terlihat juga area kandang kuda, area latihan para prajurit, serta taman yang indah beserta burung meraknya. Klan Uchiha memang Bangsawan Negara yang kaya raya. Sudah beratus-ratus tahun Klan ini mengabdi pada Negara Api sebagai Pejabat pemerintah.
Setelah terus berjalan, akhirnya Naruto sampai di pemakaman tersebut. Dia berjalan melewati makam-makam yang nisannya diukir lambang Uchiha. Di tempat yang paling bagus, dimana matahari selalu dapat menyinari tanah, adalah makam milik Uchiha Itachi. Ketika dia berdiri di depan makam dingin itu, Naruto membuka topi jeraminya dan menaruhnya di tanah.
"Sepuluh tahun telah berlalu, tetapi kediaman Klan Uchiha tidak berubah juga," kata Naruto. Dia duduk di atas tanah, mengeluarkan satu botol sake dan dua cawan. Sake itu dituang ke cawan miliknya dan satu lagi dia letakkan di depan makam Itachi. "Ini sake dari Utara. Kau selalu bilang ingin mencoba sake yang dibuat dalam dinginnya salju, jadi aku membawakannya untukmu."
Ketika Naruto berhenti bicara, tidak ada yang membalas. Dia berbicara sendiri, bahkan angin pun tidak bersua. Namun, itu tidak jadi masalah bagi Naruto. "Kalau segel tidak retak, mungkin aku tidak punya alasan untuk datang ke Ibu Kota dan aku tidak bisa bertemu denganmu. Mengurus Klan sangat merepotkan, kau tahu. Oh iya, Ibuku bahkan mengusirku dari rumah kalau tidak dapat calon istri, benar-benar merepotkan." Naruto mendengus geli. Lagi-lagi, tidak ada yang bersuara.
Dia menatap makam Itachi. "Beruntung sekali kau tidak harus jadi kepala Klan. Tapi, kalau kau jadi kepala Klan, kau tidak bisa lagi jadi Penjaga Perbatasan. Kau harus meneruskan pekerjaan Ayahmu sebagai Menteri Sosial. Kalau seperti itu, berarti aku harus bersujud saat bertemu denganmu." Naruto membayangkan kalau suatu hari Itachi akan memakai jubah kebesaran para Menteri, berjalan di istana, dan Naruto harus bersujud untuk berbicara.
"Sepertinya tidak menyenangkan," katanya, "aku tidak mau bersujud padamu. Aku lebih suka kita bertarung bersisian dan mabuk bersama setelahnya. Itu lebih menyenangkan." Naruto meneguk sake-nya. Rasanya manis dan dingin. Salju dari Utara memiliki daya magis sendiri, alamnya lebih dingin, kaku, abu-abu, dan lebih ganas. Namun, Utara memiliki aurora yang indah, dan cantik. Langit selalu berdansa setiap malam. Salju Utara adalah abadi.
"Kau benar-benar harus mencoba sake ini," kata Naruto. Sebagai balasan, angin berhembus dan satu lembar daun jatuh ke cawan sake yang diletakkan di depan makam. Naruto tersenyum. "Enak kan?" retoriknya.
Naruto meminum 3 kali dari cawannya sebelum dia memutuskan untuk berhenti. Dia memasukkan lagi sake dan cawan miliknya ke dalam tas yang dibawanya. Cawan yang di depan makam, dibiarkan begitu saja. "Sepertinya sudah tidak ada lagi yang bisa kuceritakan padamu," katanya, "kau juga tidak bisa mendengar ceritaku. Aku hanya ingin mampir sejenak karena aku harus menghadap Yang Mulia. Selamat tinggal Itachi."
Naruto mengambil topi jeraminya dan memakainya. Lalu, dia bangkit berdiri. Namun, ketika dia hendak berjalan, bilah pedang yang dingin terhunus sangat dekat dengan lehernya.
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di depan makam kakakku?"
.
Hari ini Uchiha Fugaku sangat sibuk. Pagi-pagi sekali dia sudah berangkat ke Istana. Salah satu pelayannya mengatakan hal-hal seperti "9 Penjaga" dan "telah tiba", dan setelah itu Fugaku ke Istana begitu saja. Dia tidak memberitahu Sasuke apapun, seperti biasanya. Namun, rasanya lama-lama gerah juga jika Sasuke selalu diperlakukan seperti itu. Jika nanti Fugaku pensiun, maka Sasuke akan naik jabatan menjadi Menteri Sosial, dan seharusnya Fugaku mulai mengajarkan banyak hal pada Sasuke, tetapi Ayahnya itu tampak menyembunyikan segalanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi di istana?" tanya Sasuke di pavilion miliknya. Dia mengundang beberapa temannya untuk minum bersama karena dia frustasi.
"Hal merepotkan," balas Nara Shikamaru. Dia terlihat malas. Malas untuk mabuk, malas untuk tidur, tetapi malas juga untuk bangun.
"Semua adalah hal merepotkan bagimu," kata Akimichi Chouji. Dia memakan semua camilan yang dihidangkan, sementara para dayang tidak henti-hentinya memberinya camilan. "Aku diberi tahu bahwa hari ini 9 penjaga akan sampai di Ibu Kota."
"9 penjaga?" tanya Sasuke. Telinganya terasa tergelitik mendengar kata-kata itu.
Chouji mengangguk. "Begitulah. Yang Mulia mengundang mereka ke istana."
"Kenapa?" tanya Sasuke.
Shikamaru mendengus. "Karena Penjaga Perbatasan mengatakan segel retak. Mungkin tragedy 10 tahun yang lalu akan terulang."
Chouji bergidik, "semoga tidak. Aku tidak mau Ibu Kota dihancurkan oleh Juubi. Bagaimana dengan makan malam?"
"Tidak ada makan malam kalau seluruh Ibu Kota hancur, bodoh."
Sasuke berusaha mengikuti percakapan kedua orang tersebut, tetapi dia semakin bingung. "Segel retak? Juubi?" tanyanya.
Shikamaru menatapnya malas. "Jangan bilang Tuan Muda Uchiha ini tidak tahu sejarah dan spiritual dari Negara Api, karena aku tidak mau memberimu pelajaran tambahan."
Sasuke menggeleng. "Tentu saja aku tahu!" protes Sasuke. "Tapi, 10 tahun yang lalu?" tanyanya.
Shikamaru dan Chouji saling pandang. "Ya," kata Chouji. "10 tahun yang lalu segel pernah retak, dan Para Penjaga Perbatasan berhasil menutupnya lagi."
"Bukankah itu juga menyebabkan kakakmu meninggal?" tanya Shikamaru.
Sasuke berusaha tidak membalikkan meja mereka berdua. Rasa marah menyelimuti hatinya. Ayahnya tidak mengatakan apapun padanya, tentang 9 penjaga yang dikirim ke Ibu Kota, tentang segel yang retak dan Juubi yang mungkin akan meneror Ibu Kota, dan tentang kematian Itachi 10 tahun yang lalu.
Sebenarnya, Sasuke sudah bisa menebak ketika Penjaga Perbatasan datang ke kediamannya di hari itu. Hari itu hujan turun dengan deras. Dua orang anggota Penjaga Perbatasan meletakkan jasad Itachi yang sudah dibungkus oleh kain putih. Sasuke ingat jeritan Ibunya yang memecahkan keheningan malam.
Tubuh Itachi sudah dingin dan kaku. Lalu, seorang yang bernama Yamato menjelaskan secara lambat dan pelan. Di sampingnya ada seorang lelaki yang terlihat seperti hantu. Laki-laki itu berambut pirang dengan bola mata biru. Dia sangat kontras dengan ekspresi wajahnya yang kosong. Lelaki itu tidak bicara apapun, hanya menemani Yamato saja.
Lalu, ketika pemakaman Itachi, semua Penjaga Perbatasan datang, tetapi Sasuke tidak bisa menemukan lelaki berambut pirang itu. Sasuke mencari ke semua pelayat, tetapi tidak ada lelaki itu. Lelaki itu benar-benar seperti hantu, menghilang begitu saja.
Jentikan jari Shikamaru menyentak Sasuke kembali ke permukaan. "Kau oke?" tanyanya. Sasuke mengerjap. "Kau pucat."
Sasuke menggeleng. Dia bangkit berdiri. "Kalian lanjutkanlah, aku mau pergi sebentar," katanya. Dan dia meninggalkan pavilion tersebut.
Entah kenapa, Sasuke ingin pergi ke makam Itachi. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakannya, tetapi dia hanya merasa ingin menemui makam Itachi saja. Kakaknya selalu berjalan lebih dulu dari Sasuke, kakaknya adalah si jenius Uchiha yang dibanggakan oleh semua orang. Itachi lahir sebagai pemimpin, tetapi Sasuke lahir sebagai tambahan saja. Sebagai pemain cadangan yang perannya tidak terlalu dibutuhkan. Seperti itulah gambaran kehidupannya.
Mungkin karena itu juga, keluarganya tidak pernah menceritakan apapun pada Sasuke. Sasuke dibiarkan sendirian di dalam kegelapan, meraba-raba sendiri, bertanya-tanya sendiri. Ayah dan Ibunya tidak pernah mau membahas kematian putra pertama mereka, dan sekarang, meskipun sejarah akan terulang, Ayahnya diam seribu bahasa.
Perjalanan menuju makam Itachi terasa berat dan menyakitkan. Sasuke merasa seperti berjalan di dalam lumpur. Namun, dia tetap melanjutkan perjalanan. Akhirnya, dia sampai di pemakaman Klan Uchiha. Pria itu sudah hapal sekali dimana makam Itachi berada, karena dia selalu berkunjung ke makam kakaknya tanpa pernah absen.
Namun, langkahnya terhenti ketika dia melihat ada seseorang duduk di depan makam kakaknya. Orang itu tidak memakai jubah milik Klan Uchiha. Dia memakai yukata berwarna oranye dan merah, dengan lambang api dan lingkaran yang berputar. Orang itu memakai topi Jerami untuk menutupi kepalanya dan dia bangkit dari posisinya.
Dengan pelan, Sasuke mengeluarkan pedangnya dari sarung, dan menghunuskan pedang itu dekat dengan leher pria asing tersebut.
"Siapa kau dan apa yang kau lakukan di depan makam kakakku?"
Gerakan pria itu terhenti. Dengan tenang, pria asing itu berbalik menatap Sasuke. Sasuke tidak bisa melihat wajahnya, karena tertutup oleh topi Jerami. Yang dapat dilihat oleh Sasuke hanyalah hidung dan mulut dari lelaki tersebut.
"Kakakmu?" tanya pria asing itu, "Ah! Kau pasti Uchiha Sasuke." Pria itu menyunggingkan sebuah senyuman. Namun, Sasuke mengeratkan pegangannya pada pedangnya. Pria itu menyentuh bilah tajam pedang tersebut. "Kau tidak boleh mengacungkan benda tajam seperti ini pada orang. Sangat berbahaya."
"Apa urusanmu di sini, orang asing? Jawab sebelum aku memenggal lehermu," ancam Sasuke.
Pria asing itu mengangkat tangannya. "Aku tidak bermaksud jahat kok! Aku hanya kebetulan berjalan-jalan di Ibu Kota, dan memutuskan untuk mengunjungi kawan lama saja."
"Kau masuk dari mana? Bagaimana caramu lepas dari penjaga?" tanya Sasuke lagi. Laki-laki didepannya terlalu mencurigakan.
Pria itu menggeleng. "Aku juga sudah mau pergi kok!" katanya lagi. Dia menyunggingkan senyum lagi. "Aku teman kakakmu. Kakakmu pernah bilang kalau dia punya seorang adik. Sepertinya kita bisa akrab ya, Uchiha Sasuke."
"Dari tadi kau tidak menjawab pertanyaanku!" seru Sasuke marah. Pedangya diangkat semakin tinggi. Pria asing itu masih tampak tenang.
"Sampai bertemu lagi, Uchiha Sasuke."
Dan setelah dia mengatakan kalimat itu, dia menghilang begitu saja. Lenyap di udara, seperti kabut. Hilang, seperti terbangun dari mimpi. Saking kagetnya, Sasuke sampai menjatuhkan pedangnya. Dia bernapas putus-putus dan mengerjap berapa kali. Berusaha memulihkan kesadarannya. Namun, jejak dari pria asing tadi tidak ada juga.
"Apa aku bermimpi?" tanyanya pada dirinya sendiri. Dia mengambil lagi pedangnya yang terjatuh, dan kembali menaruhnya di dalam sarung. Lalu, dia melihat makam Itachi dan di depan makam tersebut ada sebuah cawan kecil yang terisi penuh dengan sake. Ada sehelai daun di dalam genangan sake tersebut.
Sasuke mengambil cawan sake tersebut dan cairan itu diendusnya. Wanginya harum, tetapi juga beraroma dingin. Rasanya seperti ada badai salju di dalam sake tersebut. Wanginya terasa asing, tidak seperti semua sake yang dijual di Ibu Kota. Sake ini terasa jauh, dari tempat yang tidak pernah diinjak oleh Sasuke sebelumnya. Dari tempat yang tidak terjangkau oleh Sasuke.
Dia menaruh kembali cawan sake tersebut. Ini pastilah dari pria asing yang menghilang begitu saja. Sasuke berjalan keluar dari pemakaman, dan menuruni bukit dengan terburu-buru. Lalu, ketika dia bertemu seorang prajurit milik Klan Uchiha, dia berkata, "ada seorang pria yang menyusup ke Klan ini, cari dan temukan dia!" perintahnya.
.
Sebuah pisau meluncur mulus, memotong 3 helai surai pirang milik Uzumaki Naruto dan menancap dengan mantap di dinding kayu di ruang kerja milik Senju Tsunade.
"Seharusnya kau sudah dihukum mati karena tingkah lakumu!" bentak Tsunade sambil melotot menatap pria di depannya.
"Aku tidak keberatan. Paling-paling Ibuku jadi gila dan bunuh diri. Lalu, setelah itu tidak ada lagi darah murni Uzumaki yang dapat menjaga Kyuubi dan akhirnya keseimbangan pun hilang." Naruto kembali menghindari sebuah pisau yang dilempar oleh Kaisar perempuan tersebut. Dia tersenyum lima jari.
"Jangan seenaknya bocah!" bentak Tsunade. "Meskipun kau kerabat jauh Senju, kau tetap harus menghormati aku! Berani-beraninya kau tidak datang di Aula Singgasana!"
Naruto menghela napas. Dia membungkuk. "Aku mengunjungi kawan lama. Mohon maaf, Yang Mulia."
Tsunade mendengus. "Sekarang kawan lama lebih penting daripada tugasmu sebagai bangsawan negara?"
Naruto menggeleng. "Kalau aku datang ke istana dulu, nenek pasti mengurungku di pavilion untuk penyucian. Aku tidak bisa kemana-mana. Karena akhirnya aku akan dimarahi, sekalian saja aku mengunjungi kawa lama."
"Jangan panggil aku nenek!" bentak Tsunade lagi. Dia menghela napas. Menghadapi Naruto 10 menit sudah berdampak pada wajahnya yang kencang. "Kau membuatku sakit kepala. Aku bisa-bisa bertambah tua kalau berurusan denganmu."
Naruto tidak menanggapinya.
"Malam hari ini ada perjamuan makan dengan 9 penjaga dan para Menteri," kata Tsunade. Dia melotot dengan seluruh kekuatannya pada pria dari Klan Uzumaki tersebut, "kau akan habis kalau tidak datang malam hari ini!" ancamnya sambil mengepalkan tangannya.
Naruto menelan ludahnya. Dia mengangguk. "Aku paham."
Tsunade membuat gerakan mengusir. "Pergi dari ruang kerjaku." Naruto membungkuk dan keluar dari ruang kerjanya. Lalu, ketika dia berjalan di koridor, Nara Shikaku sudah menunggunya.
"Kau ini hobi sekali membuat Yang Mulai marah ya," kata pria tua itu.
Naruto hanya menyunggingkan senyum sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku habis mencari oleh-oleh untuk Yang Mulia," katanya.
"Alasan saja," jawab Nara Shikaku. Mereka berjalan bersama. "Kau hanya datang sendiri?" tanya Nara Shikaku.
Naruto mengangguk. "Merepotkan jika membawa serombongan penuh ke Ibu Kota. Itu akan sangat mencolok," kata Naruto.
"Kau benar-benar seperti putraku," kata Shikaku, "selalu alasannya merepotkan."
Naruto mengangkat bahunya acuh. "Tapi memang benar. Aku tidak suka hal merepotkan."
Shikaku mendengus. "Aku akan mengantarmu ke pavilion," katanya, "jangan melakukan hal aneh-aneh selama kau di kompleks kerajaan."
Naruto mengangguk. "Aku tahu," jawabnya. "Ngomong-ngomong, makan malam nanti, berapa banyak orang yang akan ikut?" tanyanya.
"Semua rombongan, Para Menteri dan keluarga mereka, pejabat pemerintah, dan lain lain."
Naruto mengeluh dalam hati. "Rombongan Uzumaki akan menjadi rombongan tersedikit," katanya.
"Nikmati saja," kata Shikaku, "lalu, kau juga cari saja kesempatan untuk berkenalan dengan para perempuan." Naruto menatap Menteri Perang tersebut. "Siapa tahu ada yang bisa kau jadikan istri."
Naruto mendengus. "Anda dan Ibu saya sama saja, selalu menyuruh mencari istri. Saya belum setua itu untuk membangun keluarga."
"Bagi kami sudah setua itu."
Naruto menghela napas panjang. "Akan saya pikirkan belakangan masalah seperti itu."
Mereka berjalan melalui taman istana, yang lebih bagus dan indah dari milik Klan Uchiha. Dan sampailah mereka pada jajaran pavilion tempat ke 9 penjaga dan rombongannya menginap.
"Jangan lupa datang jamuan makan malam nanti," kata Shikaku untuk terakhir kalinya. "Jangan membuat Yang Mulia menghancurkan satu aula hanya karenamu."
Naruto membungkuk. "Baik Tuan Nara Shikaku."
Lalu, Shikaku pergi dari kompleks pavilion tersebut. Naruto membuka pavilion nya dan dimanjakan dengan berbagai fasilitas mewah. Ukurannya mungkin 2 kali lebih besar dari pavilion pribadinya di kediaman Uzumaki. Dia meletakkan topi jeraminya di meja terdekat, menaruh tasnya dan membuka pintu belakang yang mengarah ke kolam ikan dan juga hutan istana.
"Kau memang selalu membuat kehebohan," kata seseorang.
Naruto menoleh dan menatap Killer Bee yang sedang merokok di beranda pavilion nya. "Halo paman Bee! Otot-ototmu apa kabar?" sapa Naruto sambil melambai.
"Jangan menghina ototku yo! Hampir saja Aula Singgasana hancur lebur," gerutu Bee.
"Namanya juga anak muda ya," balas Roshi. Dia sedang membersihkan pedangnya dengan serius. "Adrenalin mereka masih banyak."
"Aku sudah tidak semuda itu lagi," kata Naruto. "Tapi tidak setua kalian juga!" Dia tertawa.
Sebuah sandal kayu dilempar dan mengenai pelipisnya. Yang melempar adalah Yugito Nii. "Jangan berisik siang-siang. Ini waktunya tidur."
Naruto mengelus-elus kepalanya. Semua perempuan yang dikenalnya sangat kasar dan suka melempar barang. "Kau jadi semakin mirip dengan matatabi."
"Kalian memang heboh."
Sabaku Gaara berjalan dengan tenang. Naruto melambai padanya. "Halo juga Gaara," katanya, "kulitmu semakin mulus, meskipun kau tinggal di padang tandus."
"Dan kulitmu semakin hitam padahal kau tinggal di pegunungan bersalju."
Naruto menepuk tempat kosong di sampingnya. Gaara duduk di sebelahnya. Dia mengeluarkan sake miliknya.
"Apa itu sake dari Utara?" tanya Han yang baru saja bergabung. Utakata dan Fuu berjalan di belakangnya.
"Jangan terlalu mabuk, Uzumaki," kata Utakata, "nanti malam kau harus datang perjamuan."
Naruto hanya menanggapinya santai. "Kau tidak akan berkata seperti itu kalau sudah mencoba sake ini."
"Wah," kata Killer Bee. Entah sejak kapan dia sudah berada di beranda pavilion Naruto dan meneguk sake tersebut. "Seenak yang dirumorkan."
"Pak Tua! Aku saja belum ada minum," gerutu Naruto.
"Kau bisa mendapatkannya kapan saja," kata Killer Bee. Dia menuang sake Utara itu seenaknya.
"Dan sejak kapan kalian semua membawa cawan sake, hah?" protes Naruto. Dia dipukul mundur oleh Fuu dan Yugito, sementara Killer Bee seperti tuan rumah yang ramah yang menjamu para tamu.
Naruto mendengus menatap pemandangan di depannya. "Lihat ini," katanya, "orang-orang merepotkan."
"Biarkan saja," kata Gaara. "Sake Utara memang sulit didapatkan."
Naruto menyeringai. "Kau harus ke Utara sesekali, Gaara," kata Naruto, "kau akan ketagihan tinggal di sana."
"Chakra-ku saja sifatnya bertolak belakanga dengan chakra-mu. Bukan hanya aku yang tidak suka Utara, Shukaku juga."
"Kalian orang-orang padang pasir memang keras kepala," kata Naruto.
"Kau juga seperti itu."
"Kakak-kakakmu datang juga?" tanya Naruto.
Gaara mengangguk. "Begitulah. Tetua Klan sepertinya sangat takut kalau tiba-tiba aku lepas kendali dan menghancurkan Ibu Kota."
"Dan apakah kau seperti itu?" tanya Naruto lagi.
Gaara menggeleng. "Mana aku tahu. Selama kau tidak menyulut Shukaku, sepertinya baik-baik saja."
Naruto mengangguk. "Mungkin memang seperti itu. Kita tidak akan pernah tahu."
.
"Apa kau sudah siap, Sasuke?" tanya Ibunya.
"Sebentar lagi Bu," jawab Sasuke dari dalam ruangannya.
Malam hari ini, Kerajaan mengundang para Menteri dan para pejabat pemerintahan dalam sebuah jamuan makan malam. Jamuan makan malam ini digelar untuk menyambut 9 Penjaga yang baru saja tiba di Ibu Kota. Sasuke menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Yukata hitam dengan motif burung gagak. Di belakangnya adalah lambang Klan Uchiha.
Sasuke keluar dari ruangannya. Uchiha Mikoto memakai kimono berwarna ungu tua dengan motif bunga tulip. Rambutnya disanggul tinggi dan gelang giok bersinar di pergelangan tangannya.
"Ayo kita berangkat," ajaknya.
Klan Uchiha berangkat ke Istana untuk menghadiri pesta jamuan makan malam.
Para prajurit berjejer siaga di sepanjang jalan dari pintu masuk istana. Kereta kuda mengantri untuk menurunkan penumpangnya.
"Klan Yamanaka," kata Mikoto sambil menatap Sasuke, "putri tunggalnya seorang perempuan cantik dan pintar. Kalau ada kesempatan, kau harus menyapanya."
Sasuke hanya mendengarkan dalam diam. Dia sama sekali tidak tertarik untuk berkenalan dengan perempuan di jamuan makan malam ini. Pikirannya sejak pagi ini dipenuhi oleh 9 Penjaga dan juga lelaki asing di makam Itachi.
"Apa penyusup itu sudah ketemu?" tanya Sasuke.
Mikoto menggeleng. "Tidak ada jejak yang ditemukan," katanya. Lalu, dia menepuk tangannya. "Lupakan penyusup itu malam hari ini. Pokoknya Sasuke, kau harus berhasil berbicara dengan salah satu perempuan di pesta malam ini." Mikoto menatap putranya dengan tatapan tegas. "Kau tidak boleh berdiri sendirian di ujung ruangan seperti sebelumnya. Ibu akan menarikmu agar kau bisa berkelanan."
Ketika Sasuke membayangkan dia akan ditarik oleh Ibunya untuk berkenalan dengan perempuna-perempuan, itu merupakan hal yang mengerikan. Akhirnya, dia menghela napas. "Aku paham. Ibu tidak perlu sampai menyeretku."
Mikoto baru tersenyum puas.
Ketika mereka sampai di depan aula perjamuan, seorang prajurit membuka pintu kereta kuda mereka dan membantu Mikoto turun. Lalu, mereka berdua memasuki aula perjamuan makan malam.
Pesta malam hari itu benar-benar meriah. Semua hidangan dari sepenjuru wilayah kekuasaan Negara Api dihidangkan. Para dayang berjalan hilir mudik menawarkan minuman dan makanan. Para bangsawan dan pejabat pemerintahan dapat terlihat sejauh mata memandang. Baru di pintu masuk saja, Sasuke sudah merasa mual dan ingin pergi.
Ibunya menyodok perut Sasuke dengan sikunya dan saat itu Sasuke tahu bahwa itu adalah kode untuknya. Sasuke mengangguk dan mulai berjalan. Dia berjalan ke arah pinggir, menghindari keramaian dan tidak membuat kontak mata dengan siapapun. Dia memang tidak suka pesta seperti ini.
Dari pinggir aula, Sasuke hanya berdiri sambil berusaha menghindari siapapun dan mengamati sekitarnya. Di antara semua pejabat dan bangsawan, ada beberapa rombongan yang cukup mencolok untuk dilihat. Ada seorang lelaki muda yang memakai yukata merah dengan wajah yang dingin dan seperti manekin. Lalu, ada seorang perempuan berambut pirang yang membawa kipas super besar di punggungnya. Ada juga seorang lelaki yang sangat tinggi dan besar, dan membuat semua orang di sekitarnya tampak seperti kurcaci.
Ada pula orang yang bertubuh kekar, berkulit hitam sedang tertawa terbahak-bahak dengan beberapa perempuan di sekitarnya. Ada juga perempuan yang memakai kimono yang minim bahan. Sasuke menyimpulkan bahwa orang-orang dengan dandanan mencolok adalah para 9 penjaga. Akhirnya, Sasuke mulai menghitung semua orang yang berpenampilan sangat mencolok.
Semuanya ada 8 orang, yang artinya 1 orang lagi tidak ada. Sasuke menyusuri lagi aula perjamuan, mencari orang-orang dengan dandanan mencolok yang mungkin bagian dari 9 penjaga, tetapi dia tidak bisa menemukan atau menduga siapa yang cocok.
"Tuan Sasuke."
Suara seorang perempuan memanggilnya dan ketika Sasuke menoleh, itu adalah salah satu tabib istana, Haruno Sakura. Sasuke mengangguk sopan pada wanita tersebut. "Sakura."
Haruno Sakura memakai kimono berwarna merah muda lembut dengan motif Sakura, persis seperti namanya dan juga warna rambutnya. Rambutnya yang pendek di kepang dan diselipi konde dengan motif bunga Sakura juga.
"Sendiran saja, Tuan?" tanya Sakura basa-basi. Pipinya merona merah ketika tersenyum.
"Kau juga sendirian," katanya.
Sakura mengangguk. "Begitulah. Pesta seperti ini memang tidak cocok dengan saya."
Sasuke hanya mengangguk singkat dan kembali mengamati kerumuman orang di aula. Sekarang dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tidak ingin berbincang dengan siapapun. Akhirnya, dia menatap Sakura. "Saya permisi." Dan dia pergi dari sisi gadis itu.
Sasuke berjalan keluar dari aula lewat pintu belakang. Ketika dia berada di luar, rasanya seperti bisa bernapas lega. Udara malam tidak lagi terasa menyesakkan. Kerlap-kerlip lampu pijar dan obor yang dipasang berusaha menerangi gelapnya malam. suara-suara dari Ibu Kota terasa jauh. Pria itu berjalan menyusuri koridor sampai akhirnya dia tidak lagi bisa mendengar suara-suara di dalam aula perjamuan.
Suara serangga-serangga malam terasa jauh lebih merdu daripada dia mendengar orang yang bersuara secara bersama-sama. Rasa pusingnya berkurang dan Sasuke memilih duduk di sebuah bangku dekat dengan kolam buatan. Istana ini begitu luas, sehingga Sasuke tidak yakin kalau dia bisa kembali ke aula perjamuan jika pergi terlalu jauh.
"Pesta yang membosankan, bukan?"
Sasuke terlonjak kaget mendengar pertanyaan seperti itu. Dia menatap ke samping kanannya dan ternyata ada seorang pria yang juga duduk sambil menatap kolam. Pria itu memakai kimono berwarna jingga tua dengan motif api hitam dan burung gagak. Sasuke tidak pernah melihat motif seperti itu sebelumnya.
"Maaf?" tanya Sasuke.
Pria itu menegak sake dengan tenang sambil mendongak menatap bulan yang baru muncul sebagian. "Aku juga tidak suka pesta seperti itu. Membuat pusing."
Sasuke mengamati lelaki di sebelahnya. Rambutnya jabrik, berwarna pirang dan di wajahnya terdapat kerutan-kerutan halus. Mungkin usianya sepantaran dengan Sasuke, atau mungkin juga lebih tua beberapa tahun karena kerutan-kerutan di wajahnya.
Pria itu menatap Sasuke dan sesaat rasanya Sasuke tidak bisa bernapas. Kedua bola mata pria itu berwarna biru muda, seperti langit di musim panas. Sangat cerah dan sangat mudah diingat. Rasanya perut Sasuke bergolak.
"Apa kau mau sake juga?" tawar pria itu.
Sasuke membuka mulutnya dan mengangkat tangannya, dia menunjuk pria itu tanpa sadar. "Kau… Penjaga Perbatasan," katanya. Dia ingat pria itu, berada di dalam ruangan yang sama dengan Ayah dan Ibunya, ketika kematian Itachi. Dia adalah pria yang bereskpresi seperti hantu. Orang yang juga di cari Sasuke di hari pemakaman Itachi, tetapi tidak ada.
Pria itu mengerjap dan akhirnya mengendalikan ekspresi wajahnya. Dia tersenyum pelan. "Benar," katanya. "Dan kau putra kedua dari Uchiha Fugaku dan Uchiha Mikoto, Uchiha Sasuke."
Sasuke memalingkan wajahnya. "Semua orang tahu hal itu," kata Sasuke.
Pria itu menuang sake ke cawan baru dan menyerahkannya pada Sasuke. "Apa kau mau mencoba sake ini?" tanyanya.
Sasuke menatap cairan bening di dalam cawan sake tersebut. Dia menatap ragu lelaki itu. Seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Sasuke, pria itu tertawa. "Aku tidak meracuninya. Salju utara tidak boleh dipakai untuk meracuni orang."
"Utara?" tanya Sasuke. Dia menatap pria asing, tetapi tidak asing itu juga. Rasanya, pria itu tidak mungkin berbohong. Dia mengambil cawan sake tersebut dan mengendusnya. Aromanya manis dan juga dingin.
"Ini sake dari utara, dibuat langsung dari salju pegunungan," jelas pria tersebut, "tidak semua orang beruntung untuk mencicipi sake ini."
Dengan ragu dan juga penasaran, Sasuke menyesap sake tersebut. Rasanya manis dan juga segar di dalam mulut Sasuke. Alkoholnya terasa lembut, tetapi juga bisa tajam. Rasanya seperti ada badai salju yang menyelimutinya.
"Bagaimana, enak?" tanyanya.
Sasuke menatap pria asing itu. Lalu, dia tiba-tiba mendapat satu pemahaman. "Kau orang yang berkunjung ke makam Itachi tadi pagi," katanya.
Pria itu tidak tampak kaget ketika Sasuke mengatakan hal seperti itu. Dia malah tersenyum lima jari. "Namaku Uzumaki Naruto. Ini pertemuan formal kita yang bertama kali ya."
Sasuke menaruh cawan sake itu dan menatap Naruto dengan tajam. "Aku pernah bertemu denganmu," katanya, "ketika kau mengantarkan tubuh Itachi ke kediaman Uchiha." Naruto menatap bulan sabit di langit. "Tapi kau tidak datang ketika pemakamannya."
Naruto memejamkan matanya. Duka 10 tahun silam kembali diingatnya. "Benar," katanya, "aku tidak datang ke pemakamannya."
"Kenapa?"
Naruto mengingat lagi wajah damai Itachi untuk terakhir kalinya. Dia mengingat hangat tubuh senior yang meninggal perlahan di dalam pelukannya. Dia membuka matanya dan menatap Sasuke. "Kau punya rokok?" tanyanya.
Sasuke hanya diam sejenak ketika mendapati pertanyaan seperti itu. Lalu, dia menggeleng. "Aku tidak merokok," katanya.
Naruto mengangguk. "Terlihat," katanya.
Sasuke mengamati Naruto lagi. Sebuah pertanyaan sudah berada di ujung lidahnya, hanya saja dia masih menahan lidahnya untuk bertanya. Namun, setelah perdebatan panjang, akhirnya Sasuke bertanya, "apa kau termasuk 9 penjaga?" tanyanya.
Naruto mengangguk. "Kau pintar ya," katanya, "tebakanmu benar semua."
"Apa Itachi juga termasuk 9 penjaga?" tanya Sasuke lagi.
Naruto menatap pria keturunan Uchiha itu. "Kau banyak bertanya."
Sasuke menatapnya dengan tajam. "Apa itu salah?" tanyanya.
Naruto menggeleng. "Tidak," katanya, "rasa penasaran dapat membimbing manusia menuju sebuah hal yang baru." Dia tersenyum. Senyumnya lembut, tetapi penuh dengan misteri. "Tapi kadang ada beberapa hal yang tidak seharusnya ditanya."
Sasuke mendengus muak. "Kau berkata sok bijak," katanya. Dan semua orang selalu memperlakukan Sasuke seperti itu, bahkan orang yang baru pertama dikenalnya.
"Kau seharusnya beruntung," katanya, "kadang ketidaktahuan adalah sebuah berkah sendiri."
"Kalau semua orang tahu tapi hanya kau saja yang tidak tahu, itu bukan berkah. Itu namanya penghinaan," kata Sasuke sengit. Amarah kembali menguasai hatinya.
"Karena rasa sayang," kata Naruto. "Tapi apapun yang berlebihan juga tidak baik."
Sasuke mendengus muak. "Beritahu aku tentang Itachi!" katanya. Naruto mengamati lelaki didepannya. Wajahnya sudah mulai merona dan sake utara itu sudah habis setengah.
"Wah, wah, sepertinya kau sudah mulai mabuk," kata Naruto. "Memang ini sake keras bagi orang yang jarang minum."
"Aku tidak mabuk!" sanggah Sasuke.
"Benar," katanya, "kau hanya mulai melantur karena sake."
Lalu, dari gelapnya malam, sebuah burung gagak berwarna hitam terbang rendah dan mendarat di bahu kanan Naruto. Burung gagak itu memiliki mata berwarna merah. Burung itu berkoak dua kali dan setelah itu dia mulai terbakar oleh api berwarna hitam hingga tidak bersisa. Tidak ada asap, tidak ada rasa panas, burung itu menghilang begitu saja.
"Sepertinya aku harus pergi," kata Naruto sambil bangkit dari bangku. Sasuke masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi di depannya. "Kapan-kapan kita mengobrol lagi ya," katanya.
Sasuke ikut bangkit. "Kau mau kemana?" tanya Sasuke.
"Ada hal yang harus aku cek," jawabnya, "kau kembalilah ke aula perjamuan."
Sasuke menggeleng. "Aku tidak mau kembali ke sana!" katanya, lebih seperti merajuk. "Aku tidak tahan mendengar suara bisingnya dan aku tidak mau mengobrol dengan perempuan."
"Aku juga tidak suka, tapi sudah tugas seorang lelaki untuk menyenangkan para perempuan."
Naruto mulai membuat segel dengan kedua tangannya dan dia bersiap untuk teleportasi. Namun, sebelum dia benar-benar menghilang, Sasuke meraih jubahnya dan pria itu ikut berteleportasi bersama dengan Naruto.
.
Itu adalah pengalaman paling buruk dalam hidup Sasuke. Perutnya terasa dilipat dalam pola yang sangat kecil, lalu dilepas begitu saja. Rasanya seperti seseorang membuat adukan berbagai macam cairan pahit menjijikan di dalam perut Sasuke. Dia jatuh terduduk sambil berusaha tidak muntah. Penglihatannya berputar-putar menyakitkan dan dia harus memfokuskan diri beberapa kali sampai dia bisa melihat dengan jelas.
Uzumaki Naruto hanya menghela napas melihat Sasuke. "Tidak disangka, kau nekat juga." Dia mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Sasuke. Naruto membantunya berdiri.
"Apa-apaan tadi?" tanya Sasuke. Namun, Naruto tidak menjawabnya. Dia sudah beralih pada fokus yang lain.
Sasuke menatap sekitarnya, dan dia tidak lagi berada di depan kolam belakang aula perjamuan, tetapi dia berada di Menara pengawas Istana yang paling tinggi. Angin malam menerpa mereka berdua, membuat yukata mereka berkibar dengan keras.
Sasuke menatap sekelilingnya dengan pandangan bingung dan tidak percaya. Ibu Kota terlihat sangat kecil dari Menara pengawas ini. Suara-suara dari kota tidak terdengar, karena angin sangat kencang.
"Apa aku sedang bermimpi?" gumamnya pada dirinya sendiri.
"Jangan terlalu dekat dengan jendela," kata Naruto, "nanti kau bisa jatuh. Dan aku tidak mau menyelamatkanmu kalau jatuh."
Dia berbalik menatap Naruto. "Apa yang kau lakukan? Bagaimana caramu melakukannya? Apa ini nyata?" tanya Sasuke beruntun.
"Jangan banyak tanya," kata Naruto, "keluarkan pedangmu," perintahnya.
Sasuke menyipit dan menggeleng. "Aku tidak bawa pedang," katanya.
Naruto tampak berpikir, "kalau begitu, sembunyi saja di tempat yang aman. Aku tidak mau repot melindungimu."
"Apa yang terjadi? Kau hendak melakukan apa?" tanya Sasuke lagi, melihat Naruto mengeluarkan beberapa lembar kertas segel. Naruto merapalkan mantra, membuat kertas segel itu berpendar lembut dan melayang hingga menempel dengan erat di dinding-dinding Menara pengawas.
"Aku dapat laporan bahwa ada dua roh yang berusaha keluar dari segel yang retak," kata Naruto, "dan aku harus mengembalikan mereka ke tempat asal mereka."
Sasuke berjalan mendekati Naruto. "Kau bicara apa?" tanyanya masih dengan bingung.
Naruto menatap Sasuke. "Kau ingin tahu siapa Uchiha Itachi, kan?" tanyanya, "kalau begitu, ini adalah pekerjaannya." Naruto mengulurkan tangannya dan udara di sekitarnya membelah. Dia memasukkan tangannya dan ketika dia menarik tangannya, sebuah pedang berada di genggamannya.
Sasuke menatapnya tidak percaya. "Apa yang baru saja terjadi?"
"Masukkan tanganmu dan ambil pedangmu," kata Naruto. Namun, pria itu hanya melangkah mundur. "Ini tidak akan menyakitimu."
"Apa yang baru saja kau lakukan?" tanya Sasuke lagi.
"Ini adalah seni teleportasi," kata Naruto, "aku belajar banyak dari Ayahku. Waktu kita tidak banyak. Kau ambil pedangmu atau aku tidak bisa menjaminkan apapun."
"Bagaimana aku tahu kalau itu adalah pedangku?" tanya Sasuke lagi.
"Teleportasi akan mengantarkanmu ke tujuan yang kau inginkan," jelas Naruto, "jadi tidak akan pernah salah."
Sasuke menatap lubang pada udara yang retak. Lubang itu benar-benar mencurigakan, tetapi kakinya maju perlahan-lahan. Lalu, dengan pelan, dia memasukkan tangannya ke dalam retakan udara tersebut. Hawa dingin menerpa tangannya, tetapi dia tidak menarik lengannya. Lalu, ketika dia sedang mengulurkan lengannya, sesuatu berada digenggamannya. Ditariknya keluar dan termyata pedangnya berada di genggamannya. Retakan di udara menutup.
Sasuke menatap pedang di tangannya. Terasa nyata. Dia mengamati ukiran pedangnya, dan benar itu adalah pedangnya. "Aku tidak percaya hal ini," katanya.
Naruto mendengus. "Banyak hal-hal yang berada di luar nalar manusia. Hanya karena manusia tidak percaya, bukan berarti mereka tidak ada. Kami ada bagi yang percaya dan juga bagi yang tidak percaya."
Sasuke menatap Naruto. "Apa Itachi juga punya kemampuan seperti ini? Berteleportasi atau sebagainya?" tanyanya.
"Chakra setiap orang berbeda-beda," kata Naruto. Mereka mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Naruto menutup matanya, memasang seluruh indranya, menyebarkan chakra-nya ke seluruh penjuru ruangan. Lalu, dia membuka matanya dan bola matanya berubah menjadi hitam dengan iris yang tajam, seperti mata kucing.
Pedangnya dihunus ke udara kosong, tetapi suara lengkingan terdengar dengan jelas. Lalu, sebuah cairan berwarna hitam menetes dari ujung pedang Naruto, jatuh ke lantai kayu dan melubangi kayu tersebut.
"Apa itu?" tanya Sasuke.
"Tulah," kata Naruto.
"Apa aku harus menyerang juga?" tanya Sasuke.
"Belakang kirimu. Tikam dengan kuat dan jangan ragu-ragu," kata Naruto.
"Sekarang?"
"Sekarang."
Sasuke berputar cepat, menghunus pedangnya ke udara kosong. Lalu, jeritan melengking terdengar dan cairan hitam mengalir di bilang pedangnya. Cairan itu menetes dan melubangi kayu.
"Ada lagi yang harus kulakukan?" tanya Sasuke.
Naruto membersihkan bilah pedangnya dengan kain yukata-nya dan memasukkan lagi pedang itu ke dalam sarungnya. Anehnya, kain yukata milik Naruto tidak berlubang seperti kayu.
"Berikan pedangmu," kata Naruto. Sasuke memberikannya tanpa banyak bertanya. Naruto membersihkan noda cairan tersebut dengan kain yukata-nya dan setelah bersih, dia mengembalikannya pada Sasuke.
"Bagaimana caramu melakukannya?" tanya Sasuke.
"Utara memiliki daya magis sendiri," kata Naruto, "karena itu rakyat kami juga tidak mudah dikalahkan." Dia mengatakannya dengan bangga.
"Kau dari utara," simpul Sasuke akhirnya.
Naruto mengulurkan tangannya. "Aku tidak yakin kau bisa turun sendiri," kata Naruto, "aku akan mengantarmu kembali ke aula perjamuan." Sasuke meraih uluran tangannya. Mereka bergandengan tangan dan Naruto berteleportasi.
Sensasi mual dan sesak kembali dirasakan oleh Sasuke. Dia jatuh terduduk di bangku dekat kolam.
"Sasuke!"
Seruan dari Mikoto membuat Sasuke terlonjak kaget. Dia menoleh dan melihat Ibunya berjalan ke arahnya dengan ekspresi marah. "Kenapa kau malah melarikan diri dari pesta?" tanyanya sengit. "Sekarang gadis Yamanaka itu sedang mengobrol dengan Putra Shikaku!" kata Ibunya kesal.
Sasuke mengerjap. "Aku tidak sendiri," katanya, "tadi ada…"
Tidak ada siapa-siapa. Sasuke melihat sekelilingnya, tetapi di kolam itu tidak ada siapapun. Bekas sake ataupun cawannya, tidak ada. "…orang bersama denganku disini," gumamnya tidak yakin.
Ibunya menghela napas gusar. "Kalau tahu kau akan jadi seperti ini, harusnya tadi aku menyeretmu untuk ikut bersosialisasi."
Sasuke menggeleng. "Tadi aku melawan tulah!" serunya.
Ibunya menyipitkan mata. "Kau mabuk," katanya.
Sasuke menggeleng. "Lihat, ini pedangku," katanya sambil mengangkat tangan kanannya. Namun, di tangan kanannya tidak ada apapun.
"Sasuke," panggil Ibunya berbahaya. Sasuke hanya mendengus antara geli dan miris. Dia pasti akan disangka sangat mabuk oleh Ibunya, karena mengatakan hal yang tidak masuk akal. Namun, memang yang terjadi tidak masuk akal.
Dasar sial, gerutunya pada diri sendiri.
.
Ruangan itu gelap dan banyak sekali ukiran-ukiran rumit di dalamnya. Masing-masing Penjaga berdiri di tempatnya masing-masing. Semuanya membuat segel dengan tangan mereka, dan merapalkan mantra.
"Terror Juubi harus dihentikan sekarang atau kejadian ini akan terus terulang," kata Gaara.
"Bagaimana caranya? Juubi adalah kumpulan dari emosi negatif. Dia dalah representative dari neraka. Neraka tidak bisa dihentikan," kata Yugito.
"Tidak ada segel abadi di dunia ini," kata Han, "selama manusia hidup, semuanya tidak akan menjadi abadi. Keabadian hanya milik kematian."
"Kata-katamu mengalahkan kakek Yagura," kata Roshi sambil terkekeh.
"Kau mau kucabik-cabik?" ancam Yagura sambil menatap Roshi tajam. Meskipun penampilannya seperti anak kecil, tetapi dia sangat mengerikan ketika marah dan tidak ada yang mau membuatnya marah.
Persis seperti nenek Tsunade, batin Naruto. Mungkin itu adalah masa krisis dari para orang tua.
"Bisa tidak, fokus dulu?" protes Fuu sambil memandang para lelaki di sekeliling ruangan dengan kesal. "Saling mengancamnya setelah selesai memperbaiki segel."
"Ngomong-ngomong, siapa penjaga segel di Ibu Kota?" tanya Utakata.
"Selama 30 tahun terakhir, dijaga oleh ketiga Sannin," jawab Naruto, "Ada Yang Mulia, Tuan Orochimaru, dan Guru Jiraiya. Tapi Guru Jiraiya meninggal 11 tahun yang lalu, dan Yang Mulai menyerahkan semuanya pada Tuan Orochimaru."
"Kematian Tuan Jiraiya sangat disayangkan," kata Yugito Nii, "beliau salah satu legenda hidup."
"Jadi sekarang, penjaga segel Ibu Kota dipegang sepenuhnya oleh Tuan Orochimaru?" tanya Gaara.
Naruto mengangguk. "Begitulah."
Gaara tidak mengatakan apapun, tetapi Naruto memperhatikan ekspresinya. Naruto tidak perlu bertanya mengenai apa yang dipikirkan Gaara, karena pria itu juga memikirkan hal yang sama. Naruto kembali memfokuskan pandangannya pada segel di bawahnya.
Pinjamkan kekuatanmu, bisik Naruto pada dirinya sendiri. Namun, dia tidak berkata itu pada dirinya. Dia berkata pada seekor monster yang dijaga olehnya. Seekor monster yang terus diturunkan secara terus-terusan di Klan Uzumaki, persis seperti kutukan.
"Bersama-sama," perintah Gaara.
Tubuh para penjaga berpendar dalam berbagai warna, yang semakin lama semakin terang, tetapi tidak menyakitkan. Cahaya itu seperti diserap oleh segel ruangan dan menghilang dengan cepat.
Setelah itu, ruangan tampak hening. Semua orang menampilkan wajah waspada, tetapi setelah beberapa menit, tidak ada yang terjadi. Semuanya menghela napas lega.
"Bisa tahan berapa lama dengan segel baru ini?" tanya Fuu.
"Yang pasti tidak lama," kata Yugito, "secepatnya kita harus membuat segel di seluruh Ibu Kota."
"Perlukah warga mengungsi?" tanya Han.
"Semakin cepat mereka mengungsi, semakin baik."
Suara tepuk tangan dan langkah yang bergema di dalam ruangan itu mengalihkan perhatian ke 9 penjaga. "Kerja bagus kalian semua. Terima kasih banyak."
"Tuan Orochimaru," sapa Gaara sambil membungkuk hormat. Semuanya mengikutinya. Orochimaru adalah pria yang memiliki kulit putih pucat, wajah lancip dan mata sipit yang tajam. Rambutnya panjang dan kimono-nya bermotif seperti perempuan. Usianya sama dengan Yang Mulia, tetapi dia juga memiliki chakra unik yang membuatnya selalu tampak muda.
"Untunglah negara ini punya 9 penjaga yang hebat," pujinya, "bisa memperbaiki segel dalam waktu sebentar, itu menakjubkan."
"Ini bukan apa- apa yo!" kata Killer Bee, "segel yang kami lakukan hanya bersifat sementara, yo!"
Orochimaru tersenyum, "tetap saja, menakjubkan." Dia merentangkan tangannya yang kurus dan pucat. "Kekuatan yang kalian miliki benar-benar hebat. Itu sudah cukup membuat iri banyak orang."
Yugito mendengus. "Hanya orang gila yang menginginkan kutukan. Daripada hebat, ini lebih tepat disebut kutukan."
Orochimaru masih mempertahankan senyumannya. "Sebagian mengatakan itu kutukan, tetapi kutukan itu bisa menjadi kekuatan di tangan orang yang tepat."
"Anda benar," kata Yagura, "kalau tahu cara menggunakannya, kutukan bisa menjadi kekuatan."
"Sepertinya Anda tampak tertarik pada kutukan 9 penjaga ini," kata Naruto.
"Aku bukan saja Sannin," jawab Orochimaru, "tapi aku juga seorang ilmuwan dari istana ini. Hal-hal spiritual seperti ini sangat menarik perhatianku." Dia menangkupkan kedua tangannya, seperti orang berdoa. "Semakin misterius, semakin membuat penasaran."
"Dan terkadang, tidak semua rasa penasaran harus dipuaskan," kata Naruto, "kadang, hal misterius harus tetap menjadi misteri untuk keselamatan manusia." Dia menatap Orochimaru dengan serius, "bukan tanpa alasan beberapa hal disembunyikan dalam misteri."
Orochimaru terkekeh mendengarnya. "Klan Uzumaki, penjaga Kyuubi. Kalau menurut legenda, kekuatanmu merupakan kekuatan yang paling besar. Apakah itu benar?" tanyanya.
"Jangan membandingkan kekuatan bijuu seperti itu, yo!" seru Killer Bee. Naruto bersyukur bahwa Killer Bee yang menyahut, karena kalau tidak, entah apa yang akan Naruto katakan. "Kekuatan kami tidak diukur dengan seperti itu, yo!"
Orochimaru membungkuk. "Mohon maaf," katanya. "Sepertinya lebih baik kalau kita berbincang sambil makan siang. Saya sudah menyiapkan hidangan makan siang untuk kalian semua." Dia berjalan keluar lebih dulu, "mari ikuti saya."
Masing-masing mulai meninggalkan tempatnya dan mengikuti Orochimaru, termasuk Naruto.
.
Uchiha Sasuke tidak bisa fokus dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Pikirannya penuh dengan dua hal, yaitu segel yang rusak dan sosok Uzumaki Naruto. Sejak pertemuan mereka di perjamuan makan malam, Sasuke tidak bisa berhenti memikirkan apa yang telah terjadi padanya. Di bawa teleportasi ke Menara pengawas, melawan tulah, sampai mengambil pedang dari kehampaan.
Sasuke mengangkat tangannya ke udara kosong, tetapi tidak terjadi apapun. tidak terjadi retakan di udara ataupun lubang yang mencurigakan. Dia menurunkan lagi tangannya. Lalu, Sasuke menghela napas.
"Kau mau lanjut atau selesai?" tanya Uchiha Obito, partner latihannya hari ini.
"Lanjut," kata Sasuke.
Obito mendengus, "kau bahkan melamun." Dia menghela napas dan meletakkan pedang kayunya. "Sudahlah, kita akhiri saja sesi hari ini. Aku juga lelah." Lalu, dia berbaring di lantai kayu dojo. Sasuke ikut meletakkan pedang kayunya dan duduk bersila di sebelah Obito.
Obito memejamkan matanya, tapi dia bisa tahu bahwa Sasuke sedang menatapnya. "Katakan apa yang mau kau katakan," katanya, "menatap orang terlalu lama itu tidak sopan."
"Apa Itachi bisa teleportasi?" tanya Sasuke.
Pertanyaan itu membuat Obito langsung membuka matanya dan duduk sambil menatap Sasuke. 10 tahun telah berlalu sejak kematian putra sulung Uchiha Fugaku, tetapi ini pertama kalinya Sasuke menanyakan hal mengenai kakak lelakinya.
"Kenapa kau bisa bertanya seperti itu?" tanya Obito.
Uchiha Obito memiliki wajah yang lucu, bagi Sasuke. Rahangnya panjang, tetapi pipinya lebih tembam dari kebanyakan orang dan wajahnya ramah. Namun, dia menatap Sasuke dengan serius. Bola mata mereka memiliki warna yang sama, tetapi kilatan tajamnya berbeda.
"Aku bertemu dengan seorang yang bisa teleportasi," kata Sasuke. Dia tidak peduli jika Obito menganggapnya gila. "Dan dia adalah anggota 9 Penjaga." Sasuke memutuskan untuk melanjutkan kalimatnya. "Dia juga anggota Penjaga Perbatasan."
Obito tampak berpikir. "Siapa yang bertemu denganmu?" tanya Obito lagi.
Sasuke menggigit bibir bawahnya sebelum menyebut namanya. "Dia memperkenalkan diri sebagai Uzumaki Naruto." Dia mengamati ekspresi Obito. "Kau tahu sesuatu kan?" tebaknya.
"Kau sudah bisa menebak," kata Obito. Sasuke mendengus. Lagi-lagi tidak ada yang menjawab pertanyaannya.
"Tentu saja aku bisa menebak! Aku bukan orang idiot!" serunya kesal, "tidak bisakah Klan ini berhenti memperlakukanku seperti orang idiot?"
Obito menatap Sasuke. "Tidak ada yang mengatakan kau idiot," katanya.
"Memang tidak, tapi semua yang kalian lakukan itu mengatakan kalau aku idiot! Menyembunyikan kebenaran, tidak memberitahuku apapun!" dia menatap Obito marah.
"Tuan Fugaku punya alasan," kata Obito, "beliau tidak mau kau mengambil jalan yang sama seperti Itachi. Beliau menghindarkanmu dari bahaya."
Sasuke mendengus muak. "Alasan basi," gerutunya, "aku tidak butuh perlindungan seperti itu."
"Tapi nyatanya kau butuh," kata Obtito. "Sekarang kau penerus utama Klan Uchiha. Kau akan duduk di kursi kepala keluarga ini suatu saat nanti. Kau akan menggantikan Ayahmu sebagai Menteri Sosial."
Sasuke tidak bisa membalas kalimat Obito, karena setiap katanya adalah benar. Itachi sudah meninggal, dan satu-satunya harapan Fugaku adalah Sasuke. Dia tidak punya anak lain. Tidak ada yang sanggup, jika bukan Sasuke.
Pria itu menunduk menatap lantai kayu dojo. Keheningan melanda. Obito menghela napas. "Itachi bergabung dengan Penjaga Perbatasan ketika usianya 12 tahun," kata Obito, "meskipun Tuan dan Nyonya sudah melarang, tetapi Itachi tetap bergabung menjadi anggota Penjaga Perbatasan. Dari dulu pandangan Itachi memang berbeda dari kebanyakan orang. Pandangannya lebih luas, lebih jauh, dan dia lebih dewasa dari anak-anak seusianya. Itu yang menjadikan dia jenius dalam usia yang sangat muda."
Sasuke mendengarkan dengan saksama. Ingatan dan kenangannya mengenai Itachi samar-samar. Sasuke masih terlalu muda saat itu, dan kebersamaan mereka sangat sedikit. Sasuke hanya ingat bahwa dia selalu menatap punggung kakaknya. Kakaknya tidak pernah berbalik untuk menatapnya. Kakaknya selalu berjalan lurus ke depan, sementara Sasuke berusaha sekuat tenaga untuk mengejarnya.
Lalu, suatu hari, punggung kakaknya hilang. Kakaknya telah pergi terlalu jauh, ditelan kabut dan Sasuke tidak bisa melihatnya kembali. Ketika dia berkesempatan, kakaknya telah kembali dalam balutan kain putih dan tubuh kaku. Sasuke tidak sempat bertanya apapun atau mempelajari apapun dari kakaknya. Dan sekarang, dia sendirian.
"Uzumaki Naruto adalah juniornya," kata Obito, "dan sekarang dia adalah kepala keluarga Klan Uzumaki, menggantikan Ibunya, Uzumaki Kushina."
"Dimana Ayahnya? Kenapa Ibunya yang menjadi kepala keluarga?" tanya Sasuke penasaran.
"Uzumaki adalah klan unik. Selain bangsawan, mereka juga adalah penjaga Utara dan Kyuubi. Yang bisa menjadi kepala keluarga hanyalah darah murni Uzumaki, karena chakra mereka unik. Karena itu suami Nyonya Uzumaki tidak bisa menjadi kepala keluarga."
Sasuke mengangguk paham. "Dan Itachi? Apakah dia juga salah satu penjaga?" tanya Sasuke.
Obito menggeleng. "Para Penjaga adalah Klan pendiri negara ini. Itachi bukan salah satu dari penjaga, tetapi kemampuannya setara dengan para penjaga. 10 tahun yang lalu, Itachi berhasil menutup segel yang rusak dengan segel khas Klan Uzumaki, Shiki Fujin." Obito tersenyum miris, "dan bayarannya adalah nyawanya sendiri."
"Dia mempelajari segel Uzumaki?" tanya Sasuke.
"Tidak sempurna, tetapi cukup untuk menutup segelnya."
Sasuke diam dan merenung. Begitu banyak hal yang tidak dia ketahui mengenai Itachi, dan sekarang Sasuke merasa bahwa dia sebenarnya tidak layak sebagai adik dari Itachi. "Apa aku ini pantas menjadi adiknya, Obito?" tanya Sasuke.
Obito menatapnya penuh perdebatan. "Kenapa kau berkata seperti itu? Tentu saja kau pantas!"
"Tapi aku tidak tahu apapun mengenai hidup Itachi. Apa yang dia lakukan selama hidup, apa yang dia rasakan, apa yang dia ketahui, semua terasa asing. Itachi ketika di rumah dan Itachi di dalam ceritamu terasa berbeda."
Obito menatap Sasuke dengan prihatin. "Itachi sayang padamu, begitu pula dengan Ayahmu, Ibumu. Itu hal yang harus kau tahu." Dia menepuk pundak Sasuke penuh perhatian. Namun, Sasuke tidak bisa merasakan apapun.
Siapa kau sebenarnya, Itachi? Bisik Sasuke pada angin.
.
Berjalan-jalan di Ibu Kota merupakan pelarian Sasuke. Dia mengamati setiap kehidupan yang berjalan di Ibu Kota, Ibu dengan anak-anak, pasangan kekasih, dan sepasang suami-istri yang sudah renta di beranda rumah mereka. Sasuke terus berjalan tanpa arah yang jelas. Dia hanya ingin jauh-jauh dari kediaman Uchiha.
"Tuan Muda Uchiha Sasuke!"
Ketika namanya dipanggil, Sasuke menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat ada satu orang yang memanggilnya. "Di atas sini!" Lalu, Sasuke menoleh ke atas dan terlihat Uzumaki Naruto sedang berada di kedai minum lantai 2 bersama dengan beberapa Geisha. Dia tersenyum lima jari ke arah Sasuke. "Mau bergabung?"
Dan tentu saja Sasuke mengabaikannya dan meneruskan perjalanannya.
Dia mempercepat langkahnya sambil menahan perasaan marah yang asing di dalam hatinya. Entah kenapa, dia merasa kesal melihat Naruto yang asyik minum-minum di sore hari. Ibu Kota sedang dalam masalah besar, tetapi pria itu asyik menggoda para Geisha. Rasanya seperti Naruto hanya bermain-main saja.
Bahunya dirangkul dan tiba-tiba Naruto sudah berjalan bersamanya. "Sepertinya kau buru-buru," katanya, "mau kemana?" tanyanya sambil tersenyum.
Sasuke melepaskan rangkulan Naruto dan berjalan lebih cepat lagi. "Apa urusanmu?" tanya Sasuke lebih sinis dari yang dia duga.
"Woah, apa aku menyinggungmu?" tanya Naruto. Dia berjalan menyamai langkah dengan Sasuke, "aku hanya menyapamu tadi. Kau keberatan?" tanyanya lagi.
Sasuke hanya mendengus. Dia sendiri bingung kenapa dia mendadak kesal. "Apa kau tidak punya kerjaan? Seperti memperbaiki segel atau apa?" tanya Sasuke.
"Kau pengertian ya," kata Naruto, "kami sudah sepagian memperbaiki segel."
Jawaban itu menarik perhatian Sasuke. Dia menatap Naruto. "Lalu bagaimana?" tanyanya.
Naruto tersenyum dalam diam. "Akhirnya kau melihatku juga ya," katanya. "Hanya sementara. Kau mau kita mengobrol sambil duduk atau makan, mungkin?" tawar Naruto.
"Kau baru saja minum-minum," kata Sasuke.
"Kau bisa menemaniku berjalan-jalan," saran Naruto, "aku tidak pernah datang ke Ibu Kota sebelumnya. Kau bisa menunjukkan tempat makan enak, mungkin?"
"Kau tidak diberi makan di istana?" tanya Sasuke.
Naruto mengingat bagaimana Orochimaru ketika menjamu mereka makan. Bukan ingatan yang menyenangkan. "Makanannya tidak sesuai dengan seleraku," jawab Naruto.
Sasuke menimbang-nimbang ajakan Naruto. Naruto adalah orang yang paling dekat dengan Itachi dan mungkin Sasuke bisa bertanya-tanya mengenai Itachi pada Naruto. Akhirnya, dia menghela napas dan menyetujuinya. "Aku bisa mengantarmu pada restoran paling enak di Ibu Kota, tapi aku tidak akan menjamin rasanya di lidahmu apakah sesuai selera."
Naruto tersenyum dengan lebar. "Aku akan memakan apa saja yang kau rekomendasikan," katanya. Mereka berjalan beriringan sepanjang jalan di Ibu Kota.
Sasuke membawanya ke sebuah restoran sederhana yang menyediakan berbagai menu lokal. Bukan karena dia meremehkan Naruto yang tidak punya uang. Naruto adalah seorang Bangsawan Negara, salah satu dari 9 penjaga, yang artinya kekuasaannya jauh lebih besar dari Klan Uchiha di Ibu Kota. Uang jelas bukan masalah, hanya saja, restoran sederhana menyediakan menu lokal dibandingkan restoran bintang lima.
"Wah, sepertinya enak," kata Naruto dan dia mulai memakan berbagai hidangan masakan. Sasuke mengamatinya.
"Bagaimana rasa masakan dari utara?" tanyanya. Naruto mendongak dan menatap Sasuke.
"Rempah-rempah di sana lebih sedikit, dan kami lebih banyak memakan daging rusa atau kelinci," jawab Naruto.
"Benarkah wilayah utara selalu tertutup salju?" tanya Sasuke lagi.
Naruto hanya mendengus geli mendengarnya. "Wilayah Utara memang banyak kompleks pegunungan salju dan musim dingin di sana lebih lama dibandingkan tempat lain. Tapi ada beberapa bulan dimana matahari bersinar dan petani bisa panen."
"Apa kau pernah ke utara sebelumnya, Sasuke?" tanya Naruto.
Sasuke menggeleng. Dia mendengus. "Aku belum pernah keluar dari Ibu Kota," katanya miris. Siapa yang bilang kalau kau menjadi bangsawan, kau bisa bebas berkelana? Nyatanya, bangsawan adalah tahanan negara. Seekor burung di dalam sangkar emas.
"Apa kau berkeinginan pergi ke Utara?" tanya Naruto lagi.
Sasuke hanya mengangkat bahunya. Dia memalingkan kepalanya dan menatap pemandangan Ibu Kota yang selalu sibuk. "Aku selalu berkeinginan untuk pergi dari Ibu Kota," katanya, "kalau Itachi masih hidup, aku sebenarnya sudah memutuskan untuk meninggalkan Ibu Kota. Namun, sekarang hal itu mustahil."
"Tidak ada yang mustahil di dunia ini," kata Naruto. "Selama manusia memiliki impian, apapun bisa dicapai." Naruto menyuap makanan ke dalam mulutnya dan mengunyahnya dengan berirama.
Sasuke memperhatikan setiap gerakannya. Uzumaki Naruto, orang yang misterius. Seorang Penjaga, Bangsawan Negara, dan juga anggota Penjaga Perbatasan. Dia adalah junior Itachi, dan dia bisa berteleportasi. Orangnya ramah, sering tertawa, tetapi sisanya adalah rahasia.
"Seperti apa Itachi?" tanya Sasuke.
Naruto kembali menatap Sasuke. "Maaf?" tanyanya.
"Kau junior Itachi selama menjadi Penjaga Perbatasan," kata Sasuke, "seperti apa kakakku?"
"Memangnya kau tidak tahu kakakmu seperti apa?" Naruto bertanya balik.
Sasuke mendengus. "Dia seperti orang yang berbeda di rumah. Sok baik, tersenyum seperti orang tolol, sok pintar."
Naruto tampak berpikir. "Rasanya sama saja," katanya. "Dia seorang jenius dan rasanya menyebalkan karena dia selalu berada satu langkah di depanku. Bisa menguasai segel-segel rumit dalam waktu singkat dan efisien. Pokoknya, tipe jenius yang menyebalkan."
Sasuke mengamati setiap kata yang keluar dari Naruto. Benar-benar sosok seorang kakak, batinnya. Mungkin dia lebih menjadi sosok seorang kakak bagi Naruto dibandingkan Sasuke.
"Masakan ini benar-benar enak," puji Naruto. "Dagingnya empuk sekali." Dia membuat ekspresi puas. Dia menatap Sasuke dan tersenyum begitu cerah. "Terima kasih Sasuke, sudah bersedia menemaniku sore hari ini."
Senyumannya begitu cerah, begitu kontras dengan tanah kelahirannya yang dingin dan kejam. Senyuman itu membuat Sasuke berpaling dan salah tingkah. "Ini bukan apa-apa," katanya, "kebetulan aku sedang senggang."
"Aku puas sekali makan hari ini," katanya, "ditambah minum sake mungkin semakin nikmat," gumamnya.
Sasuke menatapnya. "Kau akan minum-minum lagi?" tanyanya. Dia membayangkan bahwa Naruto akan minum ditemani oleh beberapa Geisha seperti tadi. Entah mengapa, Sasuke merasa tidak terima lagi.
"Kau mau menemaniku minum?" tawar Naruto.
"Tidak terima kasih," ujarnya dingin. Membayangkan dia dikelilingi perempuan yang wangi parfumnya sangat menyengat sudah sukses membuatnya mual dan pusing. "Aku tidak bisa minum-minum dengan Geisha sepertimu."
"Siapa yang bilang kalau aku mau minum dengan Geisha?" tanya Naruto, "aku mau minum bersama denganmu."
Sasuke memandangnya. Dia merasa malu sudah marah-marah dengan tidak jelas seperti tadi, tetapi ekspresinya tetap datar. Dia berdehem. Mereka terus berjalan sampai akhirnya sampai di sisi pagar istana. Naruto mengulurkan tangannya.
Sasuke tidak langsung meraihnya, tetapi dia menatap sekeliling. "Tenang saja," kata Naruto, "aku menandai tempat ini karena selalu sepi dari orang-orang." Dia berkata seolah tahu apa yang dipikirkan oleh Sasuke.
Akhirnya. Sasuke meraih tangan milik Naruto dan mereka menghilang dalam sekejab. Sasuke jatuh terduduk lagi ketika mereka berada di dalam pavilion milik Naruto. Teleportasi itu benar-benar pengalaman yang buruk.
"Lama-kelamaan juga nanti akan terbiasa," kata Naruto sambil menatapnya prihatin. "Aku juga dulu seperti itu."
"Oh ya?" tanya Sasuke sambil berusaha bangun. Dia masih merasa perutnya terlipat.
Naruto mengangguk. "Ayahku mengajariku dengan keras. Pelajarannya sangat menyiksa, tetapi sekarang sangat berguna." Untuk menjadi bekal seorang kepala keluarga.
Naruto berjalan ke dalam kamarnya dan mengambil dua botol sake dan dua cawan.
"Apa kau selalu membawa sake utara itu setiap kali perjalanan?" tanya Sasuke.
Naruto menggoyangkan botol sake ditangannya. "Ini? Ini sake biasa," jawabnya. Lalu, dia menuangkan cairan itu ke dua cawan kosong di depannya dan memberikannya satu pada Sasuke. Mereka meminum sake itu dalam dua teguk.
"Sake sebagai penutup memang terbaik," kata Naruto sambil menuang lagi caian sake ke dalam cawannya. Setelah Naruto selesai menuang, Sasuke meraih botol sake tersebut dan mengisi ulang cawannya. Rasa panas dan manis membakar kerongkongannya dan membuatnya ketagihan.
"Seperti apa rasanya menjadi kepala keluarga?" tanya Sasuke. Wajahnya sudah memerah dan matanya sudah sayu. Namun, dia tetap menuang sake ke dalam cawannya.
Kondisi Naruto tidak jauh berbeda, hanya saja dia masih bisa mengatur air wajahnya. "Menyebalkan," kata Naruto, "kau tidak hanya berdiri dengan berkuasa, tapi seluruh nasib wilayah berada di tanganmu. Utara adalah wilayah yang luas, kau tahu. Mengatur orang-orang tidak seindah kekuasaan."
Sasuke menggoyangkan cawan sake-nya. "Kenapa kau setuju menjadi kepala keluarga?" tanyanya lagi.
Naruto menggeleng. "Karena aku tidak punya pilihan. Ini sudah takdirku. Aku putra tunggal pasangan Uzumaki."
Sasuke menatap pantulan wajahnya di dalam cawan sake. "Menjadi kepala keluarga bukan takdirku, tapi takdir Itachi. Dia dilahirkan sebagai pemimpin. Aku ini hanya tambahan yang tidak penting di klan."
Naruto menatap Sasuke, "itu tidak benar." Naruto meneguk lagi sake di cawannya dalam satu tegukan. "Sekarang kau disini karena itu kewajibanmu."
"Karena Itachi meninggal," kata Sasuke.
"Kematian adalah bagian dari takdir," ujar Naruto, "jika memang ditakdirkan meninggal, seperti apapun caranya, orang akan meninggal. Kadang, demi menemui tujuan hidupnya, orang harus memutar jalan terjauh."
Sasuke mengamati Naruto yang masih meminum sake dengan tenang. "Kata-katamu seperti orang tua," katanya.
Naruto terbahak mendengarnya. "Sepertinya aku terlalu terpengaruh gaya bicara orang-orang tua." Dia mengusap wajahnya. "Kadang orang tidak mau mendengarkan jika kita tidak tampak dewasa."
Sasuke menggeleng pelan. "Kau benar-benar aneh."
Naruto menggoyangkan botol sake pertama. "Aku menantikan hari dimana kau akan naik dan menjabat sebagai kepala keluarga," kata Naruto. "Aku ingin melihatmu memimpin klan besar Uchiha."
Sasuke hanya mengamatinya. Kepalanya semakin berat dan alhokol meminta untuk kembali diteguk. "Kenapa?" tanyanya.
"Menurutku kau akan jadi kepala keluarga yang hebat."
Sasuke menatapnya. "Memangnya kau tidak?" tanyanya.
Naruto mengangkat bahunya dan dia bertopang dagu. Salah satu tangannya yang bebas menuang sake ke cawannya dan cawan Sasuke. Lalu, dia mengangkat cawannya. "Ayo kita bersulang," katanya.
"Untuk apa?"
"Entahlah," kata Naruto, "untuk pertemuan kita. Untuk malam hari ini. Untuk beban yang kita pikul."
Sasuke hanya mendengus miris dan geli. Mereka berdua sudah mulai melantur dan percakapan mereka sudah tidak ada isinya lagi. Percakapan mereka melompat-lompat dari satu topik ke topik lainnya. Namun, Sasuke mengangkat cawannya juga.
"Untuk Itachi dan semua rahasianya," kata Sasuke.
Dan mereka bersulang.
Malam hari itu cerah, bintang-bintang tampak berkelap-kelip di langit Ibu Kota. Angin malam berhembus lembut dan satu per satu rumah mulai menyalakan lampu pijar dan obor untuk menerangi. Bulan sabit tampak bersinar. Suara serangga terdengar dengan sangat merdu.
Di dalam pavilion Naruto, dua pria mabuk dan melanturkan kisah masing-masing. Mereka bertemu karena takdir. Empat botol sake sudah kosong dan jatuh berserakan di lantai. Sasuke sudah tidak kuat minum lagi, sehingga dia jatuh tertidur di ruang tamu pavilion. Suara dengkuran halus terdengar, sementara Naruto masih meneguk satu cawan terakhirnya.
Dia bangkit dari tempatnya dan berjalan ke arah Sasuke yang sudah tertidur dengan wajah merah dan hangat. Disentuhnya dengan lembut dahi milik Sasuke dan chakra berwarna jingga berpendar dari jarinya. Lalu, udara terbelah dan di sisi lainnya menampilkan sebuah ruangan asing yang penuh dengan lambang milik Uchiha.
Naruto mengangkat Sasuke dan mulai berjalan memasuki udara yang retak yang langsung terhubung dengan kamar Sasuke. Dia menaruh Sasuke di tempat tidurnya dengan benar, menyelimutinya, dan menatapnya untuk terakhir kali.
"Itachi benar," katanya, "sepertinya kita bisa akrab."
Lalu, dia kembali masuk ke dalam retakan udara, kembali ke pavilion-nya dan udara kembali menutup dengan sempurna.
"Selamat tidur, Uchiha Sasuke."
.
Malam sudah sangat larut, sampai serangga saja tidak bersuara lagi. Awan kelabu datang dan menyelimuti langit malam Ibu Kota sehingga bintang-bintang tidak terlihat. Kota sudah terlelap dan jalanan sudah sepi. Hanya terdengar suara percikan dari obor yang dinyalakan di setiap koridor agar menerangi gelapnya malam. Prajurit yang bertugas, berdiri dengan sigap di titik-titik tertentu dan beberapa dari mereka berpatroli di sekitar istana.
Langkah kaki milik Naruto nyaris tidak terdengar gemanya di lantai. Dia berjalan seperti melayang di udara. Langkahnya sangat pelan dan halus, hingga akhirnya dia sampai di sebuah pintu besar yang penuh dengan segel. Naruto membentuk segel di tangannya dan dia menghilang dari depan pintu itu. Dia berteleportasi ke dalam ruangan besar. Ruangan itu adalah ruangan tempat 9 penjaga memperbaiki segel.
Ruangan itu kosong dan gelap, selain itu lembab. Ruangan ini tidak pernah tersentuh oleh matahari dan tidak bisa sembarang orang masuk, karena ini merupakan ruangan yang suci. Naruto berjalan ke tengah ruangan, dan mendapatkan seorang lelaki sedang membelakanginya. Laki-laki itu berdiri di tengah-tengah segel.
"Musuh yang paling kejam adalah musuh di balik selimut," kata Naruto.
Suara tawa terdengar pelan, lalu menggelegar. Laki-laki itu berbalik dan Naruto sama sekali tidak kaget ketika mendapati Orochimaru adalah orang yang berdiri di tengah ruangan.
"Ini sudah terlalu larut, Uzumaki," kata Orochimaru, "di istana ini tidak ada yang boleh berjalan-jalan sembarangan."
"Itu berlaku untukmu juga." Dari bayangan yang lain, Gaara muncul. Di sekitarnya, pasir-pasir mulai menyelimuti lantai. Lalu, dari balik bayang-bayang yang lain, para penjaga muncul. Semuanya memasang wajah serius dan siap untuk bertempur.
"Anda adalah salah satu dari tiga Sannin, kenapa melakukan hal seperti ini?" tanya Yugito.
Orochimaru masih berdiri di tengah-tengah ruangan dengan tenang. Dia tidak tampak terintimidasi oleh besarnya kekuatan yang saat ini sedang mengepungnya. Wajahnya yang pucat semakin pucat dan matanya semakin tajam setiap Naruto melihatnya.
"Tahukah Anda apa yang akan terjadi jika Juubi dilepaskan?" tanya Fuu. "Kekacauan. Dunia ini akan jatuh ke dalam neraka."
"Menurut kalian, kenapa Juubi terlahir?" tanya Orochimaru. Dia menyembunyikan kedua tangannya di depan dadanya, tertutup jubah yukata-nya. "Jika kekuatan itu terlarang, kenapa Juubi ada?"
"Dia ada untuk disegel," jawab Han.
Orochimaru tertawa mendengar jawabannya. Dia menggelengkan kepalanya, seperti seorang guru yang tidak setuju dengan jawaban muridnya. "Bukan," katanya, "dia ada untuk dibebaskan di dunia ini."
Orochimaru merentangkan kedua tangannya dan segel berpendar. Naruto mundur ke belakang. Semakin lama, segel semakin semakin berpendar. "JAUHI SEGEL SEKARANG!" teriaknya.
"Sudah terlambat! Kekuatan kalian akan membantuku membangkitkan Juubi!" seru Orochimaru. Segel semakin berpendar, dan angin kencang memenuhi ruangan, membuat kimono dan yukata berkibar kasar. Angin tersebut begitu kuat, sehingga Naruto terseret ke tengah segel, mendekati Orochimaru.
"JANGAN SAMPAI KALIAN TERSERET!" teriak Naruto lagi. Dia sendiri setengah mati mempertahakan pijakannya pada lantai, tetapi angin itu benar-benar kencang. Naruto mengambil kertas mantra.
"Mantra Penahan!" Kertas itu berpendar, tetapi redup dengan cepat dan tertelan oleh angin.
"Tidak ada gunanya kalian melawan!" seru Orochimaru. Dia berada di tengah-tengah pusaran angin yang kencang. "Pada awalnya, kekuatan kalian itu milik Juubi! Kembalilah kalian pada Tuan yang sebenarnya!"
"Naruto!"
Naruto menatap ke kiri dan kanannya, Killer Bee dan Gaara sedang berusaha untuk tidak terseret. Menggunakan kekuatan mereka juga tidak ada gunanya, karena semakin mereka menggunakannya, seperti memberi makan monster.
Dia tidak bisa berpikir dengan jernih. Jika dia tertelan oleh segel, Juubi akan bangkit. Namun, dia tidak bisa kabur hanya dengan kekuatan fisik seorang manusia. Lalu, Naruto terpikir sesuatu. Dengan sisa kekuatannya yang terakhir, dia membentuk segel yang sangat kuat dan berpendar terang. Segel itu melebar, menyelimuti siapapun yang ada di dekatnya, dan Naruto berteleportasi.
.
Sebuah ledakan maha dahsyat membangunkan seisi kota di tengah malam. Sasuke terbangun dan langsung merasakan perutnya bergolak dan kepalanya pusing. Alkohol benar-benar bekerja dengan baik di tubuhnya, sehingga dia masih belum bisa memfokuskan diri.
Dia menatap sekelilingnya. Terakhir yang dia ingat, dia sedang minum bersama dengan Naruto di pavilion istana, tetapi ruangan yang ditempatinya saat ini adalah kamarnya. Sasuke menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan turun perlahan, sambil berharap rasa pusingnya hilang. Pasti Naruto yang membawanya ke ruangannya ketika dia sudah tertidur karena mabuk. Itu bukan hal yang sulit bagi seorang yang memiliki kemampuan teleportasi sepertinya.
Sasuke membuka pintu geser kamarnya, dan para dayang sedang berlari-lari. "Apa yang terjadi?" tanyanya pada seorang dayang perempuan.
Dayang itu membungkuk sebelum menjawab. "Terjadi sebuah ledakan di istana, Tuan." Lalu, dia pergi sambil berlari-lari kecil.
Sasuke kembali memasuki kamarnya, mengambil pedangnya dan kemudian berjalan cepat keluar dari kediamannya. Dari kediamannya, dia bisa melihat asap mengepul dari istana dan suara-suara orang yang berteriak.
"Sasuke!"
Teriakan Ibunya membuatnya mengalihkan pandangan. Mikoto menarik Sasuke ke dalam pelukannya. "Kita harus pergi dari Ibu Kota sekarang!" seru Mikoto.
"Apa yang terjadi?" tanya Sasuke.
Mikoto masih memakai jubah tidurnya. Rambutnya tergerai dan wajahnya polos tanpa riasan. "Segel Juubi hancur. Juubi sudah menguasi istana," kata Ibunya singkat.
"Dimana Ayah?" tanya Sasuke.
"Ayah pergi untuk mengatur pengungsian darurat." Mikoto membimbing lengan Sasuke lembut. "Ayo Nak, kita juga pergi. Ayahmu akan baik-baik saja."
Pikiran Sasuke berlomba-lomba. "Bagaimana dengan 9 penjaga?" tanya Sasuke lagi.
Mikoto menggeleng. "Ibu juga tidak tahu."
Sasuke menurut Ibunya, tetapi hatinya tidak tenang. Dia terus terpikir mengenai Uzumaki Naruto. Jika ini adalah kebangkitan Juubi, maka tidak mungkin Uzumaki tidak terlibat. Namun, dia juga tidak tahu harus pergi kemana sekarang. Dia tidak mungkin pergi begitu saja meninggalkan Ibunya sendiri. Dia tidak mungkin nekad pergi ke istana seorang diri.
Namun, sebuah kilatan cahaya panjang bersinar dari atas bukit pribadi Uchiha. Hal itu membuat Sasuke terhenti. Hatinya seperti menemui tujuan lagi.
"Sasuke?" tanya Ibunya.
Sasuke menatap Mikoto. "Ibu, maaf. Ibu pergilah mengungsi terlebih dahulu."
Genggaman tangan Ibunya mengerat. "Kau mau kemana Sasuke? Jangan gegabah!" cegah Ibunya.
"Ada hal yang harus aku lakukan terlebih dahulu," katanya dan dia melepaskan genggaman Ibunya dan langsung berlari ke arah bukit.
"Sasuke! Kau mau kemana?" teriak Ibunya panik. Dia hendak berlari mengikuti Sasuke, tetapi langkahnya terhenti ketika seseorang memanggil namanya.
"Nyonya Mikoto!" teriak seseorang. Uchiha Obito berlari menghampirinya. "Anda harus segera pergi dari Ibu Kota. Kereta kuda sudah disiapkan."
"Sasuke! Aku tidak akan pergi tanpa putraku!" seru Mikoto sambil menunjuk ke arah bukit and bayangan Sasuke yang berlari. Melihatnya, Obito menghela napas.
"Nyonya, Tuan Sasuke sudah bukan anak kecil lagi," katanya, "dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dia tahu tanggung jawabnya."
Mikoto menatap Obito keras kepala. "Aku akan pergi bersama dengan anakku!"
"Nyonya," panggil Obito, "Anda mengungsilah terlebih dahulu. Saya akan mencari Tuan Sasuke."
Dua orang prajurit milik Uchiha membimbing Mikoto yang tampak resah dan hampir menangis. Sementara itu Obito hanya menatap ke arah bukit yang mulai menggelap. Pekerjaannya bertambah satu lagi.
Sementara itu, Sasuke berlari tanpa mengurangi kecepatannya. Dia melompati batu-batuan di jalannya, terus mendaki sampai jubahnya kotor. Pedangnya digenggam erat dan jantungnya berdebar-debar.
Akhirnya, dia sampai di pemakaman Uchiha dan dia terus berlari, hingga akhirnya dia sampai di depan makam Itachi. Di depan makam, ada 3 orang asing yang tersungkur. Seorang lelaki berambut merah, seorang lelaki berbadan kekar dan satu lagi, Uzumaki Naruto.
"Dimana ini?" tanya si lelaki yang berbadan kekar. Dia menoleh ke sekelilingnya dan hanya mendapati batu nisan.
"Ini kompleks pemakaman milik Klan Uchiha," jawab Sasuke. Dua dari tiga orang menatap Sasuke.
Yang berambut merah membungkuk. "Maaf, kami tidak bermaksud datang merusuh ke pemakaman pribadi," katanya dengan tutur kata sopan.
Yang berbadan kekar membantu Naruto bangun, tetapi dia terlalu lelah hingga tidak bisa berdiri. "Dari semua tempat, kenapa kau harus meneleportasikan kita ke pemakaman?" gerutunya.
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Sasuke. Naruto tampak tidak sadarkan diri. Gaara menatap kejauhan.
"Juubi sudah bangkit," katanya.
"Dia menelan 6 dari 9 bijuu, tentu saja dia bangkit."
Killer Bee menatap Sasuke, "apa di sekitar sini ada tempat untuk beristirahat? Anak ini pingsan."
Sasuke mengangguk. Dia menuntun jalan menuruni bukit. Gaara mengikutinya dan Killer Bee menggendong Naruto di punggungnya. Di perjalanan, Obito berpapasan dengannya.
"Darimana kau?" bentaknya. "Nyonya hampir saja tidak mau mengungsi karenamu! Ayo cepat!" dia menarik tangan Sasuke.
"Tunggu Obito," kata Sasuke, "aku masih harus melakukan sesuatu."
"Tidak ada yang harus kau lakukan," kata Obito, "ayo pergi sebelum terlambat."
Sasuke tidak bergeming. Dia menunjuk kedua orang dibelakangnya. "Aku harus merawat mereka."
Obito menoleh ke belakang Sasuke. Dua orang dan satu orang pingsan tampak sangat mencolok. "Siapa mereka?" tanyanya.
"9 penjaga," kata Sasuke, "mereka berteleportasi ke bukit ini tadi." Dia menatap Obito dengan penuh tekad dan keyakinan. "Obito, tolong percaya padaku kali ini. Jangan mendorongku menjauh. Aku tidak mau menjadi orang yang tertinggal lagi."
Obito hanya menatapnya dengan penuh kebimbangan. "Jangan egois Sasuke," kata Obito.
"Kapan aku pernah egois? Selama ini aku diam dan selalu diam sementara kalian terus-menerus menyembunyikan banyak hal. Ini permintaan pertamaku, dan mungkin juga yang terakhir. Kumohon Obito."
"Jangan mengatakan hal seperti itu!" bentak Obito.
"Kembalilah pada Ibuku, Obito. Lindungi Ibu," kata Sasuke, "aku bisa menjaga diriku sendiri."
"Apa yang harus aku katakan pada Nyonya?" tanya Obito.
"Katakan padanya, bahwa putranya masih memiliki tugas yang harus diselesaikan."
Obito kembali menghembuskan napas. Kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan. Akhirnya, dia membuka matanya dan menatap Sasuke. "Kau harus kembali pada Nyonya Mikoto. Hidup." Dia menekankan kata terakhir. Lalu, Sasuke mengangguk dan Obito membantu mereka turun bukit.
"Di sayap utara ada Gudang herbal dan juga klinik kecil. Kalian bisa menggunakannya," jelas Obito. Dia kembali menatap Sasuke. "Kau harus ingat kewajibanmu."
Sasuke mengangguk untuk terakhir kalinya sebelum Obito pergi menjauh ke arah pintu keluar. Pria Uchiha itu membimbinga ketiga orang ke sayap utara, tempat Gudang herbal berada. Sebagian ruangan sudah kosong karena orang-orang sudah mengungsi. Sasuke mmebuka pintu geser klinik dan ketiga orang tersebut masuk.
"Baringkan saja dia di sana," katanya sambil menunjuk sebuah kasur berbalut kain putih. Killer Bee menaruh Naruto yang tidak sadarkan diri dengan pelan.
Sasuke menatap ke sekeliling klinik, mencari herbal apa yang cocok digunakan. Dia mengambil beberapa herbal kering, menggerusnya sampai halus dan kemudian menyeduhnya menjadi sebuah teh. Setelah itu, dia memberikan semuanya kepada ke dua orang yang sadar.
"Terima kasih," kata Gaara. Rasanya tidak enak dan sangat pahit, tetapi mereka meminumnya tanpa protes.
"Harus kita apakan dia?" tanya Killer Bee sambil menatap Naruto yang masih tidak sadarkan diri.
"Chakra-nya banyak yang terbuang untuk meneleportasikan kita bertiga tadi," katanya, "dan lagi, terserap oleh Juubi."
"Brengsek!" geram Killer Bee sambil menggebrak meja terdekat. Alat-alat di atas meja melompat dan kembali lagi.
"Kenapa Juubi bisa bangkit?" tanya Sasuke. "Bukankah kalian sudah memperbaiki segelnya?"
"Karena yang merusak segelnya adalah ilmuwan gila," gerutu Killer Bee.
Gaara bangkit dan mendekati Naruto. Lalu, tangan kanannya di taruh di atas dada Naruto yang turun naik dengan teratur. Dia menatap Killer Bee. "Kau juga bantu."
Killer Bee juga mengikuti aksi Gaara, menaruh lengannya di atas dada Naruto. Gaara merapalkan mantra dan dari telapak tangan mereka, sinar jingga berpendar lembut. Sasuke mengamatinya tanpa bisa memberi bantuan apapun.
Selang beberapa menit, pendar jingga itu menghilang dan Naruto bangkit dengan terburu-buru. Pergerakannya ditahan oleh Gaara.
"Apa yang terjadi?" tanyanya sambil melihat ke sekeliling. Ruangan sempit dan penuh dengan wangi herbal, ini ruangan asing.
"Kau pingsan," kata Gaara, "setelah teleportasi. Kau berteleportasi ke makam pribadi Uchiha dan sekarang ada di klinik mereka."
"Apa?" tanya Naruto. "Juubi? Bagaimana? Apa dia sudah mati?" tanyanya lagi.
"Tidak ada yang mati yo!" ujar Killer Bee. "Yang ada dia sudah berhasil menghancurkan istana."
"Ibu Kota bagaimana?" tanya Naruto lagi.
"Dilakukan pengungsian darurat," jawab Sasuke. "Ayahku sedang mengatur pengungsian."
Naruto menatapnya. Dia baru saha sadar bahwa Sasuke ada selama ini, tetapi berdiri paling belakang. "Ah, Sasuke," katanya. Dia memaksakan sebuah senyuman, "sepertinya kami merepotkanmu ya?"
Sasuke sedang tidak ingin melihat senyum Naruto yang terpaksa seperti itu. Rasanya terlalu palsu. "Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanyanya.
Naruto menghela napas. "Juubi sudah memakan semua penjaga," katanya, "dan sisa kita untuk menghentikannya."
"Bagaimana cara menghentikannya?" tanya Killer Bee.
Naruto turun dari kasurnya dan membenarkan yukata-nya. "Entahlah. Tapi kita bisa menemukan sesuatu di tengah perjalanan."
"Kau benar," kata Gaara, "sekarang kita harus kembali ke istana."
"Aku ikut."
Ketiga penjaga tersebut menatap Sasuke. Naruto-lah yang berbicara. "Terlalu berbahaya. Kau lebih baik mengungsi."
Namun, kalimat itu malah menyulut emosi Sasuke. "Jangan menyuruhku mengungsi!" bentaknya. Naruto sampai bungkam dan kaget mendengar Sasuke tiba-tiba marah seperti itu. "Kau tidak berhak menyuruhku mengungsi!" dia menunjuk Naruto sambil berderap maju. Naruto mundur perlahan sampai dirinya membentur tembok.
"Kau tidak mau melibatkanku tapi kau berteleportasi ke kediaman Uchiha! Apa itu namanya?" cecarnya.
Naruto melirik kedua orang lainnya yang juga bungkam. Mereka sudah melihat perdebatan Sasuke terlebih dahulu dengan Obito. Naruto memberi kode lewat matanya untuk meminta bantuan, tetapi tidak ada dari mereka yang bereaksi. "Oke Sasuke, tunggu dulu…"
"Apa karena aku bukan Itachi? Aku bukan anggota Penjaga Perbatasan?"
"Tenang dulu, Sasuke…"
"Karena aku tidak bisa berteleportasi sepertimu? Begitu? Jadi aku tidak berguna? Menghambat gerakanmu?" tanyanya beruntun.
"Tidak ada yang mengatakan hal seperti itu."
"Kau baru saja mengatakannya!"
Kepala Naruto berdenyut-denyut dan kedua penjaga lainnya tidak ada yang membantunya. Mereka malah tampak menikmatinya.
"Oke oke," kata Naruto akhirnya, "terserahmu saja. Aku tidak bertanggung jawab."
Sasuke menurunkan telunjuknya dari depan hidung Naruto. Dia mendapatkan ketenangannya kembali. "Bagaimana cara kita ke istana?" tanyanya.
Gaara berdeham. "Naruto sepertinya tidak sanggup jika berteleportasi dengan empat orang," katanya dan Naruto mengangguk setuju.
"Bagaimana dengan kuda?" tanya Sasuke. Ketiga orang lainnya menatapnya. "Ada beberapa kuda di kandang. Bagaimana?"
"Sasuke kau jenius!" seru Naruto sambil tersenyum cerah. Namun, tatapan tajam super menyebalkan dari Sasuke melenyapkan senyum Naruto.
"Kuda. Kita akan ke istana dengan kuda," simpul Naruto.
Sasuke membimbing mereka ke kandang kuda. Bau kotoran kuda bercampur dengan tanah dihiraukan oleh mereka. Sasuke membuka kandang tersebut dan ada beberapa kuda meringkik. Di istal kuda tersebut terdapat 8 kuda yang masih di dalam kandang masing-masing. Masing-masing orang memilih kuda sendiri.
Naruto memilih kuda berwarna hitam yang tampak gagah. Dia mengelus-elus rambut kuda tersebut sambil membimbingnya perlahan keluar dari kandang. Lalu, ketika dia sudah berada di luar kandang, Naruto menaikinya dan langsung mempecut kuda tersebut. Ketiga orang lainnya melakukan hal yang sama.
Derap langkah kuda memecah jalanan. Orang-orang menyingkir dengan cepat, sementara Naruto sendiri tidak sempat melihat kondisi jalanan. Matanya terfokus pada istana yang sudah hancur sebagian dan di dalam asap tersebut, ada sebuah banyangan mahluk yang sempat dilawannya 10 tahun yang lalu.
Juubi, batin Naruto. Angin menampar-nampar wajahnya dan yukata-nya berkibar. Namun, Naruto mempecut kudanya agar semakin cepat berlari. Pintu masuk istana sudah hancur sebagian. Para prajurit sudah banyak yang tergeletak tak bernyawa. Naruto melompat turun dari kudanya dan langsung berlari ke dalam lorong istana. Para bangsawan dan pejabat pemerintah berlarian, masih dalam jubah tidur mereka.
Naruto merunduk ketika sebuah batu besar melesat ke arahnya dan jatuh dengan keras di tanah belakangnya.
"YANG MULIA!" teriak Naruto sembari menghampiri Senju Tsunade yang mengeluarkan batuk darah. Pedang sepanjang 90 senti menjadi penopangnya agar dia tidak tumbang.
"Bocah," katanya sambil menatap Naruto. Dengan siaga, Naruto berdiri di depan Tsunade sambil merapalkan segel.
"Ini ulah Orochimaru," kata Naruto.
Tsunade mendengus. "Kenapa aku tidak terkejut?" sindirnya. Para prajurit khusus, mereka memakai topeng di wajah mereka, datang menghampiri Tsunade.
"Orang tolol itu," gerutu Tsunade sambil bangkit. Dia berdiri di sisi Naruto dengan pedang terhunus, "selalu menginginkan kekuatan dari dulu. Tentu saja dia mengincar kebangkitan Juubi."
"Yang Mulia," kata ketua dari pasukan khusus tersebut. Dia memakai topeng kelinci yang lucu, tetapi sudah bernoda darah. "Sebaiknya Anda segera mengungsi ke tempat aman."
"Bagaimana dengan warga?" tanya Tsunade. Dia meludahkan darah.
"Tuan Uchiha Fugaku sedang mengatur para pengungsi," jawabnya.
"Aku tidak akan kemana-mana," jawabnya. Dia mengeratkan pegangannya pada pedang di tangannya. "Aku akan buat perhitungan dengan si tolol itu."
Tsunade menggigit jempolnya hingga berdarah, membuat segel di telapak tangannya dengan darah tersebut dan merapalkan mantra. Lalu, segel itu bersinar dengan sangat terang dan bunyi berdebum menggelegar.
Seekor siput raksasa muncul begitu saja di tengah lapangan. "Yang Mulia," sapa siput raksasa tersebut.
"Lindungi warga!" perintahnya.
"Baik, Yang Mulia." Lalu, siput tersebut membelah dirinya menjadi ratusan siput kecil-kecil dan berpencar ke seluruh Ibu Kota. Setelah itu, Tsunade tumbang.
"Yang Mulia!" tubuhnya ditangkap oleh ketua pasukan khusus tersebut.
"Tidak apa-apa," katanya Tsunade lemah. Perlahan-lahan, kulit kencangnya mulai berkeriput. Rambut pirangnya yang lebat mulai menipis dan memutih. "Aku belum selesai membuat perhitungan."
Naruto berlutut didepannya. "Yang Mulia, saya yang akan membuat perhitungan dengannya." Naruto menatap wajah Tsunade yang menua dengan cepat. Sisa-sisa kemudaannya tidak ada lagi. "Sebagai salah satu dari 9 Penjaga, saya akan mengalahkan Juubi."
Lalu, Naruto berlari ke arah Juubi seorang diri.
"Tunggu."
Di belakangnya, ketua pasukan khusus ikut berlari. Dia membuka topeng kelincinya. Dia adalah seorang lelaki berusia paruh baya yang sebagian wajahnya ditutup oleh masker hitam. Rambutnya berwarna putih dan Naruto merasa dia tersenyum ramah pada Naruto.
"Nama saya Hatake Kakashi," katanya, "saya akan mendampingi Anda."
Naruto hanya mengangguk dan terus berlari.
"Naruto!"
Namanya dipanggil lagi, dan yang kali ini memanggil adalah Gaara. Dia berlari bersama Killer Bee dan juga Sasuke. Untuk sesaat, Naruto melupakan keberadaan mereka semua. Dia terlalu terfokus pada Juubi yang mengamuk sehingga lupa pada rekan-rekannya. Dia menghela napas lega ketika melihat Sasuke baik-baik saja.
Mereka berdiri bersisian, lima manusia dihadapan monster yang meraung-raung setinggi ratusan meter.
"Nah, sekarang bagaimana cara kita mengalahkannya?" tanya Killer Bee, menyuarakan pertanyaan yang ada di kepala masing-masing.
"Kita harus kurung dia di tempat dia bebas," jawab Naruto. "Di Ruang Penyucian."
"Aku tidak yakin tempat itu masih utuh," kata Gaara.
Naruto menggeleng. "Justru tempat itu akan dipertahankan. Bentuknya belum sempurna. Kalau dia menghancurkan tempat itu, bentuknya tidak akan sempurna."
"Berarti ada kemungkinan yang lain juga masih hidup," kata Gaara.
Naruto mengangguk. "Dia belum menyerap semua kekuatan para bijuu. Aku bisa merasakan hal itu."
Naruto menatap Kakashi, Gaara dan Killer Bee. "Kalian bertiga, pikirkan caranya agar dia bisa masuk kembali ke Ruang Penyucian. Aku akan menyiapkan segel dan memulai ritual."
Mereka bertiga mengangguk dan berlari menjauh.
"Aku akan ikut denganmu," kata Sasuke.
Naruto tidak mau lagi berdebat. "Ya sudah, terserah saja." Mereka berlari bersama menuju Ruang Penyucian.
"Sial," kata Naruto sambil memukul pintu besi yang kokoh dan tersegel. Dia tidak punya kekuatan untuk berteleportasi lagi, dan dia tidak bisa membuka pintu tebal ini.
"Mundur."
Naruto menatap Sasuke. Dia sudah menghunuskan pedangnya dan tatapannya tajam. Naruto mundur sesuai instruksi Sasuke. Lalu, dengan gerakan cepat, pedang itu terayun di udara. Gerakannya begitu cepat, hingga Naruto tidak bisa melihatnya. Namun, tak beberapa lama, pintu besi besar itu bergeser dan runtuh.
Naruto menganga melihatnya. Dia berulang kali menatap Sasuke dan pintu yang sudah runtuh itu. Namun, Sasuke tidak mempedulikannya dan masuk ke dalam Ruang Penyucian dengan percaya diri. Naruto mengikuti langkah Sasuke.
Ke-6 penjaga lainnya tergeletak tidak sadarkan diri di sekitar segel. Sasuke menghampiri salah satu dari mereka dan mengecek nadi serta pernapasannya. "Mereka masih hidup," katanya.
Nauruto menghela napas lega, tetapi tidak lama dia kembali waspada. "Tapi tidak akan lama lagi. Kalau Juubi terus-menerus ada, chakra mereka akan habis." Dia menatap segel yang retak di lantai. "Sudah tidak ada waktu lagi."
Naruto dan Sasuke memindahkan tubuh-tubuh rekannya ke pinggir Ruang Penyucian yang lebih aman, sementara Naruto berdiri di tengah segel yang rusak.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" tanya Sasuke.
Namun, Naruto menatap Sasuke. "Apa kau bisa mengeluarkan Susanoo?" tanyanya.
"Apa?"
"Susanoo adalah bentuk pertahanan paling sempurna dari Klan Uchiha," kata Naruto.
"Aku tahu itu," kata Sasuke, "kenapa kau memintaku?"
"Karena kau adalah anggota Uchiha."
Sasuke menghela napas. "Aku belum pernah mencobanya."
"Kalau kita mau mengalahkan Juubi, kau harus mencobanya sekarang. Kekuatanku saja tidak akan bisa."
Terdengar jeritan yang menggelegar dan membuat seluruh ruangan bergetar. "Sepertinya Ichibi dan Hachibi sudah mengamuk."
Sasuke hanya menatap Naruto dengan bimbang. "Aku tidak pernah mengontrol chakra-ku dengan baik sebelumnya."
"Aku bisa membantumu," kata Naruto, "aku bisa membimbingmu." Naruto memejamkan matanya, dia memfokuskan chakra-nya dan ketika dia membuka kembali matanya, pupilnya sudah menjadi seperti iris kucing. Tajam dan bersinar.
"Pegang tanganku," katanya sambil mengulurkan tangan. Sasuke meraihnya dan kehangatan menjalar. "Fokuskan semuanya ke dalam titik perutmu."
Sasuke berusaha memfokuskannya seperti yang dikatakan Naruto. Rasanya ada energi hangat yang berputar-putar di dalam tubuhnya. Dengan desakan chakra Naruto, rasanya energi itu menjadi berkali-kali lipat lebih hebat. Ketika Sasuke membuka matanya, dia berada di sebuah tameng berwarna ungu.
"Kau berhasil," kata Naruto. Mereka berdua masih bergandengan tangan, berada di dalam Susanoo. "Apa kau bisa menghancurkan langit-langit Ruang ini?" tanya Naruto.
Sasuke mengikuti instingnya, mengangkat tangannya. Rupanya, tameng super besar itu juga terangkat dan merobohkan langit-langit. Mereka berjalan ke arah pertarungan sengit. Ichibi adalah monster pasir berekor satu sedang menyerang Juubi dengan pasir-pasirnya. Lalu, ada seekor gurita raksasa yang berusaha melilit pergerakan Juubi.
Naruto duduk bersila di dalam Susanoo sambil membentuk segel. Dia turun ke alam bawah sadarnya yang paling dalam, paling gelap, dan paling mengerikan. Di depannya ada sebuah penjara yang sangat besar yang tersegel dengan sebuah segel kuat. Naruto berjalan ke arah penjara tersebut dan menghindar dengan cepat ketika sebuah cakar besar hampir mengoyaknya.
"Aku tersanjung dengan sapaan hangatmu, Kyuubi."
"Apa yang kau inginkan?" tanya monster di dalam jeruji besi tersebut.
"Ini saatnya kau mengabdikan diri kepada Uzumaki."
Sebuah tawa yang menggeram menggelegar di sepenjuru ruang hampa tersebut. "Kalian manusia memang mahluk lemah yang merasa superior. Mengamati tingkah idiot kalian merupakan kesenangan tersendiri."
Naruto hanya menatapnya datar. "Juubi sudah bangkit," katanya, "dan kekuatanmu dibutuhkan untuk mengalahkannya."
Kyuubi mendengus. "Dan sejak kapan kau bisa menjadi percaya diri seperti sekarang?" tanyanya mengejek. "Ah, aku tahu. Bocah Uchiha itu kan?" tebaknya.
Naruto masih diam seribu bahasa.
"Dia bukan Itachi," kata Kyuubi, "sampai kapanpun, kau tidak bisa membangkitkan orang yang sudah mati."
"Aku tidak ingin membangkitkan siapapun," katanya. "Aku hanya ingin terror Juubi ini selesai dan kita pulang ke Utara."
"Kau merasa bersalah pada Itachi." Suara Kyuubi bergema. "Karena kelalaianmu, orang yang paling kau sayang meninggal."
Naruto menutup matanya. Dadanya berdenyut menyakitkan. Kyuubi memang selalu bisa membuat orang merasa sakit hati dengan kata-kata. Monster itu senang memakan kemarahan dan kesedihan orang.
"Apa kau berniat membuatku hilang kendali?" tanya Naruto, "itu tidak akan berhasil."
Kyuubi tertawa. "Benar. Kau memang tidak berguna."
Naruti mengangguk. "Memang. Karena itu aku membutuhkan kekuatanmu sekarang."
Naruto menapaki udara agar dia sejajar dengan segel yang mengurung monster tersebut. "Kau bisa melanjutkan cemoohanmu setelah kita memang, Kyuubi. Sekarang musuh kita hanya satu."
Dan segel itu di buka.
.
Hatake Kakashi sudah mengabdi pada Kerajaan seumur hidup yang bisa dia ingat. Dia sudah banyak menerima misi kejam dan banyak membunuh. Dia telah banyak menanggung dosa hanya agar Negara Api bisa terus berjaya. Namun, melihat pertarungan antar monster dari jarak dekat adalah hal baru baginya.
Awalnya dia juga ingin membantu, tetapi ketika kedua penjaga tersebut berubah menjadi monster tepat di depan matanya, dia sadar bahwa yang bisa dia lakukan sangat terbatas.
"Ketua, apa kita harus melakukan sesuatu?" tanya salah seorang anggotanya.
Kakashi menggeleng. "Biarkan mereka," katanya, "kita fokus saja menyelamatkan orang-orang yang masih terjebak."
"Baik!"
Ketika Kakashi akan berbalik pergi, pemandangan lain membuatnya semakin tidak percaya. Susanoo legendaris milik Klan Uchiha berpadu dengan monster rubah berekor sembilan. Tingginya sangat besar, bahkan lebih besar dari Ichibi dan Hachibi. Tombak milik Susanoo terhunus dan itu memukul mundur Juubi sampai monster itu terjatuh.
"Saya pikir Susanoo hanya legenda," kata seorang bawahannya. Ternyata yang terpana dengan pemandangan itu bukan dia sendiri. Dan Kakashi yakin sekali, bahwa pemandangan itu disaksikan oleh seluruh orang di Ibu Kota.
"Negara ini hidup dari legenda," kata Kakashi.
"Lama sekali kau bergabung yo!" sapa Killer Bee dalam bentuk Hachibi. Tentakelnya membelit kaki-kaki Juubi, membuatnya hilang keseimbangan dan pasir-pasir milik Ichibi menutupi penglihatannya.
"Persiapannya panjang, maaf!" seru Naruto.
"Bagaimana cara kita mengeluarkan para bijuu dari dalam Juubi?" tanya Gaara.
"Kita akan mengeluarkannya di Ruang Penyucian." Tombak Susanoo memukul mundur lagi Juubi. Namun, kali ini Juubi menghempaskan ketiganya secara bersamaan. Para monster itu terpukul mundur dan menghancurkan beberapa bangunan istana lagi.
"Sialan, dia benar-benar kuat yo!" gerutu Killer Bee.
Sasuke mengeluarkan pedangnya dan menghunus udara. Udara terbelah dan melukai sebagian dari Juubi. Naruto kembali menganga. "Bagaimana cara kau melakukannya?" tanyanya.
"Aku adalah ahli pedang terbaik di Ibu Kota," katanya, "bukan hanya kau yang punya kemampuan khusus." Dia menyeringai dengan cara yang menyebalkan.
Naruto mendengus. "Uchiha dan semua kesombongan mereka."
Darah berwarna hitam mengalir menetes dari luka Juubi yang terbuka. Para monster itu bergegas menyerang Juubi lagi.
Hachibi melilit kaki-kaki Juubi sementara pasir Ichibi memburamkan pandangannya. Tombak Susanoo memukul mundur Juubi terus-menerus sampai Ruang Penyucian terlihat.
"Lanjutkan sisanya," kata Naruto pada Sasuke dan dia keluar dari perlindungan Susanoo.
Naruto langsung merasa lemas begitu dia tidak lagi di dalam Susanoo. Mengeluarkan Kyuubi menguras energinya, tetapi dia tidak boleh tumbang sekarang. Dia berlari masuk ke dalam Ruang Penyucian, menggores tangannya dan darahnya tertumpah di lantai. Lalu, dia mulai mengukir segel dari darahnya sendiri.
Pandangannya buram dan kakinya bergetar, tetapi dia tidak boleh tumbang dulu. Dia akan mengakhiri Juubi sekarang dan untuk selamanya. Pertarungan para monster semakin mendekati Ruang Penyucian dan Naruto sudah selesai membuat segel. Dia duduk bersila di tengah segel dengan tangan penuh darah. Dia mulai membuat segel, dan tak beberapa lama, rantai-rantai berwarna kuning emas mulai bermunculan dari dalam tubuhnya. Rantai-rantai itu melilit seluruh tubuh Juubi dan menancap dengan erat di tanah.
Naruto langsung menyemburkan darah segar dari mulutnya, tetapi dia tidak berhenti berkonsentrasi. Karena rantai-rantai itu, chakra-chakra bijuu yang lain mulai meninggalkan tubuh Juubi dan kembali ke dalam para Penjaga.
Ukuran Juubi mengecil, tetapi masih besar. Chakra milik Uzumaki pun tidak bisa menghentikan pergerakannya. Juubi mulai melepaskan rantai tersebut.
"WAKTU TIDUR SIANG SELESAI!" teriaknya si seluruh Ruang Penyucian. Para penjaga yang lain mulai bangun dan mempelajari situasi. "BAWA JUUBI ITU KE HADAPANKU SUPAYA BISA KUSEGEL!" teriak Naruto lagi. Darah kembali muncrat dari dalam mulutnya.
Lalu, para Penjaga mulai berubah wujud menjadi monster-monster yang mereka jaga.
"Begini baru seru yo!" kata Hachibi menggelegar.
Matatabi menyerang dengan api biru yang sangat panas, Fuu menyerang dengan bisa yang sangat asam. Berbagai jenis monster mengepung Juubi dan memberinya serangan bertubi-tubi.
Sasuke sendiri tidak mempercayai apa yang sedang dilihatnya. Semua monster yang hanya dapat dilihatnya di buku-buku sejarah, sedang bertempur bersama dan Sasuke bertarung bersisian dengan mereka.
Sasuke tidak percaya juga bahwa dia bisa mengeluarkan Susanoo yang legendaris di Klan Uchiha. "Rupanya aku pun masih bisa berguna," gumamnya pada diri sendiri. Namun, dia tidak kehilangan fokus. Dia terus mendesak Juubi dengan tombak Susanoo dan menebas bagian tubuh yang terjangkau oleh pedangnya.
"Berapa lama lagi bocah!" seru Yagura.
"Sekarang!" seru Naruto dari Ruang Penyucian. Rantai chakra milik Uzumaki membuat Juubi tidak bisa bergerak dan monster itu akhirnya roboh.
Naruto bangkit dan segel ditangannya berpendar. "Shiki Fujin!"
Udara disekitarnya retak dan perlahan-lahan hawa dingin dari kehampaan menerpa Naruto. Arus neraka menyeret tubuh Juubi masuk disertai lengkingan yang memekakan telinga. Tubuh Juubi tersedot sepenuhnya, tetapi wadahnya, Orochimaru, tertinggal di dunia.
Tubuh itu jatuh begitu saja dan tidak sadarkan diri. Tubuhnya tercabik-cabik dan kulitnya mengering. Sari-sari kehidupannya telah diserap sepenuhnya oleh Juubi hingga menyisakan kulit dan tulang yang menghitam.
Naruto kembali memuntahkan darah dan dia tumbang tidak bisa bergerak. Tubuhnya seperti disemen ke lantai. Dia tidak bisa melihat dengan jelas karena kesadarannya mulai menjauh. Terakhir yang dia lihat adalah Sasuke yang berlari ke arahnya dengan pandangan cemas.
.
Untuk sesaat, semua hening. Juubi menghilang begitu saja diserap oleh kehampaan. Udara yang retak kembali pulih dan hanya ada sisa-sisa pertarungan saja. Para Penjaga kembali berubah menjadi wujud manusia dan begitu pula dengan Kyuubi yang menyatu dengan Susanoo-nya. Susanoo tersebut menghilang begitu saja dan Sasuke baru merasa tubuhnya sangat berat.
Namun, ketika dia melihat Naruto yang terjatuh di atas darahnya sendiri, dia melupakan seluruh rasa lelahnya dan langsung berlari ke arah pria tersebut. Dengan pelan, dia membalikkan badan Naruto dan menyadari bahwa sedari tadi Penjaga Kyuubi itu sudah muntah darah dan tangannya sendiri masih berdarah akibat membentuk segel.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Gaara yang berjalan ke arah mereka. Dia meletakkan tangannya di atas perut Naruto.
"Chakra-nya tipis," katanya, "dia menghabiskan chakra-nya untuk banyak hal."
Lalu, para penjaga yang lain meletakkan lengan mereka, saling bertumpuk satu sama lain, di atas perut Naruto. Mereka saling berbagi chakra.
"Perdarahannya harus berhenti terlebih dahulu, baru bisa merawat luka lainnya," kata Yugito.
Han, yang tubuhnya paling besar, mengangkat Naruto dengan mudah. Sasuke ikut bangkit. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyanya.
"Seharusnya," kata Yagura. "Uzumaki memiliki chakra berlimpah. Kalau pertolongannya cepat, mungkin dia masih bisa diselamatkan."
Mereka berdelapan mulai keluar dari Ruang Penyucian. Sasuke mengekor dari belakang. Namun, ketika Sasuke mau mengikuti mereka ke rumah sakit kerajaan, namanya diteriakkan dengan lantang dan ketika dia berbalik, tubuhnya ditubruk dengan kuat.
Uchiha Fugaku memeluk putranya dengan erat dan seluruh tubuhnya bergetar.
"Sasuke… Sasuke…" gumamnya.
Sasuke tidak siap dipeluk begitu saja oleh Ayahnya, hanya melongo, sebelum membalas pelukan Ayahnya. "Ayah… bagaimana dengan pengungsian?" tanya Sasuke masih dalam pelukan Ayahnya.
"Apanya yang pengungsian? Bagaimana aku bisa fokus bekerja kalau aku melihat Susanoo-mu bertarung bersama dengan Juubi?" tanya Ayahnya.
"Ayah melihatnya?" tanya Sasuke tidak percaya. Selama pertarungan Sasuke tidak bisa berpikir apapun, kecuali cara mengalahkan Juubi. Dia bahkan baru sadar bahwa pertarungan monster itu pastilah terlihat dengan jelas di seluruh penjuru Ibu Kota.
"Maaf Sasuke," kata Ayahnya. "Maaf selama ini Ayah selalu meragukanmu. Ayah tidak ingin kejadian Itachi terulang lagi dan Ayah berpikir bahwa menjauhkanmu adalah langkah terbaik." Fugaku mendengus. "Namun rupanya kau malah bertarung bersisian dengan para Penjaga untuk melindungi Ibu Kota ini."
Sasuke mendengarkan Ayahnya dalam diam, meskipun matanya mulai memanas. "Dasar, kau dan Itachi sama saja."
Sasuke tertawa mendengar Ayahnya menggerutu seperti itu. Fugaku melepaskan pelukannya. "Ayo kita kembali pada Ibumu," kata Fugaku. Bersama, Sasuke saling merangkul dengan Fugaku.
"Apa menurut Ayah, Ibu melihat juga?" tanya Sasuke.
"Ibumu mungkin sudah hampir pingsan," jawab Fugaku.
Sasuke kembali tertawa. Percakapan itu begitu hangat dan ringan tanpa ada yang disembunyikan. Sasuke melirik langit Ibu Kota yang sudah mulai bersemu dengan warna jingga. Fajar telah menyingsing. Terror sudah selesai.
Ibu Kota sudah kembali aman.
.
Ibu Kota sedang dalam pemulihan pasca serangan Juubi. Para tukang bahu membahu memperbaiki infrastruktur kota yang hancur lebur dan juga istana. Mayat dari Orochimaru dibakar sampai jadi abu dan abunya dibuang ke sungai yang paling kotor. Tidak ada upacara kematian yang layak baginya. Para 9 penjaga juga mulai memulihkan diri mereka dan bersiap untuk pulang ke wilayah masing-masing.
"Mau pergi Sasuke?" tanya Ibunya.
Sasuke mengangguk. "Aku ingin bertemu dengn seseorang," katanya. Lalu, dia pergi dari kediaman Uchiha. Sasuke menyusuri jalanan kota yang masih dibangun dan direnovasi. Sasuke terus berjalan ke ujung kota, tepatnya ke sebuah Pelabuhan yang masih sepi. Banyak kapal-kapal nelayan masih berjajar rapi di dermaga, dan para nelayan menurunkan hasil pancingan mereka semalaman.
Sasuke berjalan ke sebuah kapal yang sederhana. Disana, seorang lelaki memakai yukata putih sedang berdiri memunggunginya dan sedang berbincang dengan seseorang.
"Tidak ada yang tertinggal?" tanya Sasuke.
Naruto berbalik dan tersenyum dengan cerah padanya. "Apa kau datang untuk mengantar kepergianku?" tanya Naruto.
Pertanyaan itu dibalas dengan dengusan, tetapi Sasuke tidak mengelak juga. "Apakah Juubi akan tersegel untuk selamanya?" tanya Sasuke.
Mereka berdua berdiri bersisian memandang lautan yang luas. Ombak bergulung dengan lembut. "Kata selamanya memiliki berbagai macam makna," jawab Naruto, "tetapi selama manusia hidup, Juubi akan terus terbentuk." Naruto merasakan angin laut berhembus lembut, membawa rasa asin dan lembab. "Manusia selalu memiliki sisi negatif di dalam hidupnya, dan selama manusia masih berada di dunia ini, emosi itu akan terus terlahir kembali."
"Dan tugas kami para penjaga adalah melawan kumpulan emosi tersebut. Terus dan terus menerus. Dari generasi ke generasi."
Sasuke menatapnya. "Setidaknya sekarang kita sudah berhasil mengalahkan Juubi," katanya. "Untuk pertarungan selanjutnya, kita serahkan pada masa depan."
Naruto tertawa. "Kau benar. Masa depan selalu punya rencana rahasia untuk manusia."
Kapal sudah mulai berbunyi dengan nyaring dan Naruto memakai topi jeraminya lagi. "Jika kita ditakdirkan lagi, ayo kita bertarung bersama lagi di masa depan," kata Naruto.
Mendengar kalimatnya membuat Sasuke menyunggingkan senyum. "Aku akan jadi lebih kuat lagi dari sekarang. Kau bisa lebih mengandalkanku nantinya."
Naruto hanya tersenyum mendengarnya. Pertemuan mereka tidak begitu baik, tetapi setidaknya, mereka mengakui kemampuan satu sama lain di akhir pertemuan. "Klan Uzumaki selalu menerimamu, jika kau ingin berkunjung sewaktu-waktu. Kau tinggal menyebut namaku dan aku bisa membawamu ke tempat mana pun yang kau inginkan."
Sasuke mengangguk. "Akan aku pikirkan tawaranmu."
Naruto mulai melangkah menuju kapal yang akan membawanya pergi dari Ibu Kota, kembali ke wilayah Utara. Jangkar ditarik dan perlahan-lahan kapal mulai meninggalkan dermaga. Sasuke masih setia berdiri di pinggir dermaga, mengamati kapal tersebut sampai bayangannya menghilang ditelan horizon.
"Sampai berjumpa lagi, Naruto."
.
SELESAI
A/N: lagi kangen sama fandom FFN Naruto, apalagi buat cerita tentang dua sejoli ini. Karena cerita ini super panjang, jadi gak dicek lagi untuk typo-nya (maafkan saya yang terlalu malas). Oh ya, cerita ini juga terinspirasi sama film China di Netflix yang berjudul The Yin Yang Master: Dream of Eternity. Parah, itu film bagus bangeet!
Sepertinya itu saja bacotan dari saya. Silahkan tinggalkan komentar atau hanya berupa tombol favorite dan follow
Sampai jumpa di karya selanjutnya!
Salam,
Sigung-chan
