Atonement

1st — Cherry Blossom

.

.

A KakaSaku AU

(with some additional characters and OCs)

.

Tags:

Hurt-Comfort, Crime, Mystery, Character's Death, Fluffy-Angst

.

Rated:

M

.

Warning:

Harsh words, violence, blood, abusive contents, suicidal action, and any other thing leads to inhuman action.

.

Disclaimer:

This story contains some additional imaginative properties. Which means, not every of them exists in real life. Kakashi, Sakura and any other characters from Naruto belong to Masashi Kishimoto as the original author, the writer of this fiction doesn't own them.

.

.

Hidup tidak selamanya berjalan sesuai keinginan. Terlepas kau sudah berusaha dan menengadahkan kedua telapak tanganmu; dalam arti memohon dan berdoa kepada Tuhan di atas sana. Berharap bahwa hari yang baik akan selalu datang setelah mencicipi pahitnya hari yang sudah-sudah.

Suasana langit kota London malam itu tampak begitu suram. Kegelapan yang mendominasi goresan-goresan tipis berwarna kelabu khas langit mendung melengkapi buruknya hari seorang lelaki Jepang yang berstatus sebagai anggota intel khusus.

Hatake Kakashi namanya. Memiliki perawakan yang nyaris dapat dikatakan terlalu bagus, bahkan sempurna untuk seorang anggota intel dari ketentaraan Jepang. Karena biasanya, anggota elit seperti ini dituntut agar pandai menyembunyikan identitas mereka. Salah satunya, dengan terlihat nyaris sama rata dengan warga negara atau penduduk lainnya.

Tidak mencolok adalah jalan yang harus ditempuh.

Rumah sewa tempat sementara ia tinggal sudah terlihat dari jarak beberapa meter dari tempat dia berdiri. Kakashi menghela napas dengan tidak senang. Misi hari ini gagal, penyamarannya nyaris terbongkar. Di benaknya, teringat betapa dirinya merasa sedikit khawatir hanya karena diajak berbicara oleh salah satu anggota kelompok penipu yang saat ini tengah berada di bawah pengawasannya.

Baru kali ini seorang Hatake Kakashi merasa dirinya tercoreng.

"Tadaima." si kepala bersurai perak memberi sapa dan menyambut diri sendiri ketika pintu rumah sudah ditutup. Syal kelabu yang sama suramnya dengan langit malam itu digantung tepat di tiang yang berada di balik pintu. Matanya tertuju ke arah rak sepatu yang tersusun apik di bawah tangga sebagai pemanfaatan ruang di rumah sewaan yang cukup compact.

Langkah kaki Kakashi terhenti di anak tangga kesekian sebelum ia benar-benar sampai di lantai berikutnya. Dia kembali turun untuk memastikan. Sepucuk surat dari nyonya pemilik rumah masih tergeletak dengan rapi di atas meja kecil di seberang rak sepatu bawah tangga.

Ia mendengus usai merobek amplop kusam itu dan membaca isinya. "Merepotkan. Apakah aku harus mengindahkan undangan minum teh keluarga Nyonya Burke?"

Terakhir kali dia mendapat undangan jamuan makan malam, adalah seminggu yang lalu. Tepat di hari di mana dia harus menjalankan misi untuk mencari tahu keberadaan para pembelot berkebangsaan Jepang yang berkeliaran di negeri orang.

Jelas bahwa Kakashi harus menolak ajakan itu, dia tidak ada waktu untuk memanjakan dirinya atau sekadar menikmati suasana di London layaknya pergi berlibur. Karena ini adalah sebuah misi penting, bukan vacation atau semacamnya.

Lima menit dia menghabiskan waktu di pertengahan belokan tangga sebelum ke lantai dua, Kakashi lagi-lagi meremukkan kertas undangan dan melemparnya ke sebuah trash can di sudut ruangan dekat meja kecil itu berada. Dia harus segera membasuh tubuh lelahnya dengan siraman air hangat dan berendam sejenak di bathtub. Setidaknya itu akan membantu.

.

.

Hari berikutnya datang dengan sedikit harapan. Kakashi terbangun tepat lima menit lebih awal sebelum alarm ponselnya berbunyi. Rasa nyeri akibat pusing yang sempat menyiksa kepalanya dengan berat karena rintik hujan petang kemarin sudah tidak lagi tersisa. Kakashi sudah sembuh secara utuh.

Sama seperti pagi hari yang sudah-sudah, sarapan yang paling aman adalah semangkuk sereal dengan siraman susu putih dan sedikit potongan buah pisang juga stroberi di atasnya. Biasa dia mengganti jadwal sarapan dengan beberapa panekuk yang disirami sirup maple dan ditemani secangkir earl grey.

Suapan terakhir sarapan pagi kali ini terpaksa dijeda akibat berderitnya handy talky hitam miliknya di atas buffet. Sinyal radio itu sedikit mengganggu suasana hati Kakashi yang ingin bersantai sejenak di pagi yang berembun. Namun kenyataan terlalu kejam kepadanya yang sudah kerap melewatkan waktu berharga untuk diri sendiri.

"Ohayou." sebuah salam sapa melintasi sambungan sinyal mereka. Kakashi hanya diam dan menyendokkan sereal untuk gigitan terakhir.

"Kakashi-san, Anda mendengarku?" dia masih diam, kali ini hanya ada suara kerongkongan yang sibuk menenggak segelas susu dingin sampai habis.

Cepat-cepat setelah sesi sarapannya selesai, Kakashi meraih alat transmisi itu dan menekan tombol yang menghubungkannya kepada rekan di seberang. "Aku di sini. Katakan, Neji."

"Sepertinya, tim kita mendapatkan sedikit masalah."

"Lagi?"

"Hai'. Salah satu anggota komplotan itu berhasil kabur dari penjagaan polisi setempat."

"Bagus sekali. Sepertinya, hariku di London sudah terkutuk sejak misi ini diberikan kepada kita."

"Same here, Sir."

"Baiklah. Apa hari ini kita akan langsung mencarinya atau melakukan perundingan dahulu dengan polisi?"

"Misi penyamaran masih akan tetap dioperasikan. Tetapi untuk hari ini, polisi memberitahukan kalau kegiatan Anda akan sedikit lebih santai. Untuk urusan itu, mereka yang akan bertanggung jawab, karena itu adalah kelalaian mereka."

Jika boleh jujur, Kakashi senang mendengarnya. Bukan karena dia tidak ingin menyelesaikan misi dengan cepat dan ringkas. Tetapi, dia butuh menjernihkan pikiran sebelum kembali terjun ke dalam lembah penuh bahaya.

Beberapa hari belakangan ini, dirinya hanya mendapat jatah tidur paling banyak sekitar dua atau tiga jam. Begitu pula anggota lainnya yang kurang lebih bernasib sama. Tidak ada celah untuk mengeluh, mengingat sifat misi ini yang sudah menduduki level bahaya yang cukup serius.

Kakashi kembali sadar dari fantasi acak tentang nikmatnya merebahkan tubuh seharian di kasur, lalu buru-buru membalas Neji; mengatakan bahwa dia sudah mengerti dan menutup transmisi dengan terima kasih.

"Kukira aku akan berakhir menjadi lelaki single abadi jika terus hidup seperti ini." Kakashi mengundang dirinya sendiri ke dalam ruang obrolan monolog. Salah satu sudut bibirnya terangkat miris, kedua mata terpejam saat tubuhnya diempaskan ke sofa panjang three seater abu-abu yang berhadapan langsung dengan teve yang digantung di dinding.

Saat ini, tidak ada hal yang paling menyenangkan selain terlelap hingga beberapa jam ke depan selama satu hari penuh. Kakashi tentu saja tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

.

.

Di belahan lain di kota London.

Hari yang begitu lembab rasanya tidak cocok untuk melanjutkan perkembangan formula yang akan mereka pasarkan dalam waktu dekat. Kelompok mereka sudah bergerak sampai sejauh ini, bahkan sudah ada beberapa "pelanggan" tetap yang loyal dan tidak segan-segan untuk menginvestasikan uang mereka untuk menikmati keajaiban produk ilegal yang mereka kembangkan.

Adalah cairan penetral rasa sakit yang akan perlahan-lahan membunuh diri mereka tanpa rasa sedikitpun. Tujuannya sederhana; sebagai sarana "bunuh diri" yang paling ampuh pula ternikmat yang pernah ada. Tetapi sayangnya, mereka para pembeli itu tidak peduli dengan efek mematikan yang melengkapi kandungan cairan buatan organisasi itu. Meski para peracik sudah memberi peringatan akan ancaman kematian bila penggunaannya dilakukan dalam jangka panjang.

Mereka para seniman, aktris-aktor, pejabat, bahkan pengusaha yang sudah sangat lelah berada di puncak kehidupan yang begitu pahit, sangat membutuhkan obat itu. Obat yang ampuh menghapus rasa penat mereka agar dapat kembali aktif mencari uang. Obat yang tidak berbau, tidak memiliki rasa, bahkan penggunaannya sangatlah rahasia.

Bahkan penyidik kepolisian Inggris di Westminster belum berhasil membongkar lebih banyak fakta, atau bahkan menangkap satu orang dari organisasi yang terdiri dari beberapa orang Jepang itu. Gerakan mereka masih jauh di bawah level kelompok kriminal tersebut.

"Sakura-san, mau pergi jalan-jalan sebentar hari ini? Kita punya waktu yang cukup panjang untuk sekadar berfoya-foya di Westminster."

"Konan-san, aku tidak bisa, sepertinya."

"Ada apa? Kau sedang tidak enak badan?"

Sakura menggeleng pelan, "Bukan. Aku masih buta jalanan di sini. Negara ini jelas berbeda seperti ketika kita melakukan transaksi di Jepang."

Pernyataan gadis bernama Sakura menggelitik pinggang wanita bersurai biru keunguan yang duduk di dekat perapian sambil memegang cangkir teh hangat.

"Oh, ayolah. Kita mengantongi GPS masing-masing, dan jalan-jalan di sekitar sini bukanlah kali pertama kita melakukannya. Bukan begitu?"

"Hmm, kau benar. Tapi—"

"No excuse, dearest Sakura." Konan menyesap teh dari bibir cangkir yang ia pegang, sebelah alisnya terangkat penuh keyakinan. Lalu tatapan itu, seakan menarik Sakura lebih dalam ke telaga penuh godaan. Hingga saat Konan meletakkan kembali cangkir tehnya, Sakura mengangguk mengiyakan.

Obrolan para wanita tiba-tiba terpotong oleh suara seorang lelaki dengan kacamata bulat dan rambut putih sepunggungnya yang basah dan menjuntai.

Sebuah senyum tersungging di wajah pucat itu, dia memberikan sapaan berkelasnya kepada kedua wanita, "Good morning, ladies."

"Kabuto-san." Sakura membalasnya dengan senyuman tipis, disambut dengan sapaan berupa panggilan nama dari Kabuto.

"Sebentar lagi, Deidara, Itachi dan Sasori mungkin kembali." Kabuto menuangkan earl grey tea dari teko ke cangkir kosong untuk dirinya. "Mereka mendapat giliran untuk memasak hari ini kan?"

"Seingatku begitu," anggukan dan jawaban Konan dibalas anggukan kecil oleh si penanya. "Aku dan Sakura akan jalan-jalan sebentar di sekitar sini siang nanti. Jangan coba-coba untuk menghentikan kami, Kabuto."

"Hahaha, Konan-san, kau tahu aku tidak akan melakukannya bukan?"

"Tentu saja aku tahu. Setidaknya sebuah pengingat tidak menyakiti dirimu, kan?"

"Not at all."

Sakura menggeleng heran mendengar obrolan rekan "bisnisnya" di ruang tamu rumah sewa tempat tinggal mereka. Fakta bahwa kegiatan ilegal mereka masih terbungkus sangat rapi bahkan tersembunyi di sebuah rumah yang berisiko, masih menjadi misteri sekaligus kehebatan yang dikagumi Sakura. Tidak pernah dia duga sebelumnya, bahwa kegiatan terlarang akan terasa begitu menyenangkan jika itu bukan demi uang belaka.

Sakura dahulunya adalah gadis dengan segudang rasa naif, kepolosan atau keluguan yang sudah membuatnya seringkali terseret masalah dengan para bajingan di luar sana. Sakura merasa beruntung ada lelaki baik yang mau menolongnya setelah dirinya nyaris dilecehkan malam itu. Yang dia ingat, lelaki itu memiliki perawakan yang mirip dengan Kabuto. Itu sebabnya, terkadang Sakura merasa seperti dia telah diselamatkan dua kali oleh orang yang sama. Meski dirinya masih belum yakin jika lelaki itu adalah Kabuto.

Sementara pertemuan pertamanya dengan Kabuto adalah ketika dia menangis di pinggir jembatan akibat hak residensinya sebagai mahasiswa fakultas kedokteran dicabut, karena kejahatan seorang teman sefakultas yang menyimpan rasa iri terhadap kepandaian Sakura. Hal itu juga yang menyebabkan hak kelulusannya secara automatis dicabut, dan ia ditendang keluar oleh pihak kampus. Tidak tanggung-tanggung, nama baiknya juga tercemar karena satu-dua fitnah yang entah kenapa begitu hebat dalam mempengaruhi orang-orang saat itu.

Jika mengingat betapa menyedihkannya Sakura saat itu, tangisannya di tepi jembatan dan upayanya untuk bunuh diri di sana dengan sukses dihentikan oleh laki-laki bersurai putih yang kini asyik berbincang dengan Konan.

"Sakura-san, bisa bantu aku?"

"Hm, apa itu Kabuto-san?"

"Jangan mau, Sakura! Kabuto ingin memintamu untuk membuatkannya pasta."

"Memangnya kenapa, Konan-san? Aku lapar." Kabuto meringis, berusaha terdengar sedih.

"Hahaha, sudah … sudah! Aku bisa buatkan untuk kita bertiga. Lagi pula, kita belum sarapan, kan. Di luar juga masih gerimis, mereka mungkin sudah breakfast duluan."

Konan dan Kabuto saling menatap, lalu memandang Sakura seperti memujanya. "Ahh memang terbaik."

"Kalian mau pasta apa?"

.

.

Saint Espresso, 214 Baker St, Marylebone, London NW1 5RT, United Kingdom

2:00 PM

"Neji, Shikamaru, di mana Naruto dan Sasuke?" Kakashi membuka percakapan saat di meja pertemuan mereka hanya ada dua anggota yang datang.

"Katanya dia menyusul," jawab yang berambut panjang.

"Menyusul?" tanya Kakashi lagi, garis kerutan di keningnya semakin terlihat jelas.

"Haaah, Anda seperti baru mengenal Naruto, Sukea-san," jawab yang lain dengan ikat rambut gondrongnya yang mencuat ke atas, mirip buah nanas.

Sukea? Ya, nama samaran milik Kakashi jika mereka tengah berada di tempat umum.

Neji merogoh ponsel pintarnya di saku celana, dengan sigap mengetik dan mengirimkan satu-dua bubble chat kepada Sasuke untuk segera datang.

Sasuke? Siapa?

Salah satu rekan kerja satu tim yang ditugaskan bersama mereka dalam menjalani misi penangkapan para kriminal pembelot Jepang yang berkeliaran di berbagai negara. Khususnya, di benua Eropa.

Sasuke adalah yang paling junior di bawah Shikamaru dan Neji, tentu saja sebagai bawahan Kakashi yang bertugas untuk mengumpulkan data dan merekapnya dalam beberapa salinan dokumen. Baik soft dan hard copy, terjaga dengan aman di tangannya. Tentu dia tidak bekerja sendiri, ada satu orang sesama junior lagi dengan rambut blonde dan sepasang manik biru cerah bermarga Uzumaki.

Kembali ke fokus di mana Kakashi masih duduk di kursi café dengan meja bundar bersama dua rekannya, seorang waiter mengantarkan pesanan mereka; tiga buah cup kecokelatan bertutup hitam ukuran sedang dengan menu yang sama, latte panas. Cocok untuk hari yang masih bersuhu dingin dan jendela yang buram akibat embun dari sisa hujan semalam.

Langit pun masih enggan menampakkan matahari yang tersembunyi di baliknya. Bagaimanapun, Kakashi tetap suka hari dengan vibes serupa, meski saat itu masih turun salju. Aroma jalanan jadi berbeda dengan ketika keadaannya kering. Begitu pula udara yang jadi lebih menyejukkan, sehingga di rumah, keberadaan heater dan perapian diperlukan agar tetap hangat.

"Kakashi-saaa—" si surai blonde masuk ke café sambil berlari dan separuh meneriakkan nama atasannya, yang kemudian lekas dikejar dan dibungkam oleh Sasuke.

"Bodoh, dia ini Sukea!" Sasuke memarahi bocah itu usai mereka tiba tepat di meja bundar di mana ketiga rekan lainnya sudah menunggu sejak dua puluh menit lalu. "Sumimasen, senpai. Dokumenku hampir tertinggal di taksi. Penyebabnya adalah si pecundang ini."

Kakashi tampak tidak mempermasalahkan keterlambatan mereka, ia mempersilakan keduanya duduk saat itu juga.

"Kalian mau minum apa? It's on me today."

"Anosa, anosa, apakah itu benar?" si blonde berdiri dengan antusias. "Aku mau … cokelat panas saja! Kedengarannya enak."

"Pesankan aku menu yang sama, Naruto." Sasuke menambahkan. "Selanjutnya, ini beberapa daftar nama dan gambaran fisik dari masing-masing anggota kriminal yang tengah mereka selidiki. Silakan dilihat, Sukea-san."

Kakashi menerima suguhan dokumen yang disebarkan Sasuke di atas meja. Neji dan Shikamaru turut serta melihat-lihat, mereka juga butuh informasi tersebut. Tentu saja untuk berjaga-jaga.

"Cherry Blossom?" Neji mengangkat selembar dari sana, portrait milik seseorang dengan nama sejenis bunga itu menarik perhatian Kakashi.

PRANG.

Sejenak, ada sedikit keributan di bagian depan. Suara pecahan seperti gelas atau piring bersumber dari konter penerima orderan. Namun, hanya segitu saja tidak cukup untuk membuat konsentrasi Kakashi teralihkan. Ia melanjutkan kegiatannya di tempat.

"Berikan padaku, Neji."

"Hmm, itu semacam nama samaran. Menurutku," Sasuke menjelaskan ketika lembaran milik Cherry Blossom sudah berpindah tangan. "Ada satu orang lagi dengan nama samaran."

Kakashi berdeham tanpa melirik atau menatap ke arah Sasuke, "Orchid, ada di tanganku."

"Sasuke, milikmu nih." sepuluh menit sudah mereka menunggu kedatangan si blonde, lalu Naruto datang dengan dua minuman cokelat panas sesuai pesanan tetapi berbeda wadah, dan …

"Naruto, kau pesan apa lagi itu?" Shikamaru menunjuk dagunya ke arah bungkusan yang menggantung di pergelangan tangan kiri si blonde. Yang ditanya hanya membalas pertanyaan dengan senyum bodoh lugu miliknya.

… dua kotak plastik berisi croissant di dalam tas plastik buram.

"Oh makanan ini?" Naruto duduk dan meletakkan semua yang ia bawa ke atas meja. "Kau dengar suara ribut-ribut tadi, Shikamaru?"

"Hm, kenapa?"

"Cangkir cokelat panas pertamaku disenggol oleh seorang nona cantik. Dia mengganti dengan yang versi cup, dan membelikan ini. Katanya untuk kubawa pulang."

"Ah, dasar si beruntung yang merepotkan." Shikamaru menyeletuk dengan segaris seringai. Sedangkan Kakashi sudah selesai dengan beberapa dokumen yang dibacanya, ia kembalikan lagi kertas-kertas tersebut ke dalam amplop.

Kakashi yang juga mendengarkan lalu bertanya, "Apakah dia cantik?"

"Tentu saja!"

"Bagaimana ciri-cirinya?"

"Hmm, wajahnya tidak begitu bulat, tidak juga oval. Kedua matanya berwarna hijau, sehijau batu hmm … eme? Eme apa?"

"Emerald, bodoh," timpal Sasuke lalu menyeruput minumannya, yang kemudian disambut dengan anggukan Kakashi.

"Ada lagi yang kau ingat?"

"Hmm, warna rambutnya agak unik. Mungkin dia mengecat rambut itu."

Shikamaru mendengus, "Ah, orang barat sudah biasa dengan warna cat rambut yang nyentrik dan mencolok."

Naruto buru-buru melambaikan kedua tangannya di depan wajah Shikamaru sambil menyatukan kedua alis, tanda kalau Shikamaru mungkin salah.

"Tidak, tidak! Dia mengecatnya dengan warna soft. Yang ini warna merah muda. Seperti cotton candy."

Kedua mata Kakashi turut tersenyum ketika bibirnya mengembangkan sebuah senyuman, dia senang menggoda rekan-rekannya. Setidaknya lelucon mereka dapat mengangkat beban pikiran Kakashi.

"Oh, kalau dia cantik dengan ciri-ciri seperti itu, mungkin aku bisa mengencaninya. Bukan begitu, Naruto?"

"HEEEH? Tentu saja tidak Kakas—Sukea-san! Kan yang bertemu dengannya itu aku. Masa jadi kau sih?"

"Kalau saja jodohnya bukan kau, tetapi aku, Naruto. Kau bisa apa? Hahahahaha."

Naruto menenggak habis cokelat panasnya yang sudah sedikit dingin. "Ah tidak bisa, aku akan pastikan kalau aku akan bertemu lagi dengannya. Lalu, kau tidak boleh mengajaknya berkenalan."

Kakashi melipat tangannya di dada, bersandar dengan helaan napas dengan kedua mata terpejam. Dia hanya bercanda, tetapi Naruto selalu menanggapinya dengan serius.

"Hai' hai'. Semoga kau bertemu lagi dengannya ya, Naruto."

.

.

To be continued