Apple Tree

13 TAHUN PASCA-PERANG

Perang – jauh lebih mudah untuk dimulai daripada diselesaikan. Manusia – lebih mudah untuk bertikai dan saling menyakiti dibandingkan dengan berbicara satu sama lain dan menyiasati perbedaan mereka. Perdamaian – adalah sesuatu yang sangat sulit untuk diraih, dan terkadang dilupakan oleh generasi yang tidak pernah mengenal perang.


Disclaimer : All rights, characters, and the amazing world of Titanlore belong to Hajime Isayama. I'm just one of those who decides to execute a what-if scenario.

Warning :

Canon-divergent post-chapter 132 (mostly because I want LeviHan to live to their old age together peacefully) - Awal cerita ditulis sekitar penulis membaca chapter 127 hingga 133-134, jadi apabila ada perbedaan dengan canon, harap dimaklumi.

The Alliance all survived the war. Anggap gak ada Floch ngebolongin tangki (!) sampe Hanji terpaksa suicide mission supaya pesawat bisa tinggal landas. Ditulis karena masih mode LeviHan dan JeanKasa (dan Springlestein friendship) brainrot. Slight AruAni.

Ada beberapa perubahan kejadian dan skenario dari canon. Tidak ada pertarungan lanjutan dari Paradis, pasukan aliansi kembali ke Paradis, dan Paradis mengalami reformasi pemerintahan besar-besaran.

Kutukan Ymir musnah pasca rumbling, para pewaris titan shifter bertahan hidup lebih dari 13 tahun - tetapi sudah ada hukum untuk melarang penggunaan kekuatan titan sebagai senjata perang. Tidak ada lagi pewarisan turun-temurun kekuatan sembilan titan. Kekuatan tersebut - yang merupakan sisa-sisa terakhir dari kekuatan Ymir Fritz diniatkan untuk menghilang seiring dengan meninggalnya para pewarisnya secara alamiah (tidak langsung menghilang seperti di canon, namun para titan mindless, kembali ke wujud manusianya)

Possible OOC-ness, karena karakter di sini bertindak berdasarkan interpretasi pribadi saya.

Asumsi usia para karakter saat ini :

Levi : 47 tahun

Hange : 44 tahun

Jean, Mikasa, Connie, Armin : 32 tahun

Annie : 33 tahun


SURAT KABAR BEURG – PARADIS

Sabtu, 20 Desember 856

PARADIS-MARLEY RESMI MENANDATANGANI PERJANJIAN DAMAI

Perang antara Paradis dan Marley dinyatakan telah resmi berakhir setelah penandatanganan perjanjian damai antara kedua negara. Perundingan antara kedua negara telah berlangsung sejak akhir 854 pasca kejadian Rumbling yang telah memakan jutaan korban jiwa serta kerugian materiil yang tidak terhitung. Meskipun demikian, itikad untuk mewujudkan perdamaian dari kedua belah pihak serta Aliansi Bangsa seakan terkobar untuk mencegah kejadian serupa untuk terjadi di masa depan. Setelah melalui sidang yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Bangsa, Tuan Douglas Hammerskard – telah diputuskan bahwa Paradis dan Marley akan menandatangani perjanjian damai untuk mengakhiri perang Paradis-Marley yang dilaksanakan di Edo, ibukota Hizuru.

Perjanjian damai resmi ditandatangani pada hari Senin, 15 Desember 856 pukul 12.30 siang waktu Edo. Ratu Historia Reiss dan Komandan Hange Zoe resmi mewakili Paradis untuk menandantangani perjanjian damai. Adapun pihak Marley diwakili oleh Perdana Menteri Arturo DiTraglia dan Jenderal Bartolomeo Monaldo. Perjanjian tersebut disaksikan oleh Perdana Menteri Hizuru, Tuan Jin Yoshiyuki dan Yang Terhormat Sekretaris Jenderal Aliansi Bangsa. Turut hadir juga pasukan aliansi Eldia-Marley yang telah berpartisipasi untuk mengakhiri peristiwa Rumbling.

Peristiwa bersejarah ini telah mengakhiri konflik panjang antara kedua negara yang telah berlangsung selama lebih dari 100 tahun. Selain penandatanganan perjanjian damai, kedua negara yang terlibat juga berdiskusi mengenai kerjasama bilateral, ganti rugi pasca-perang, hukum penggunaan kekuatan Titan, riset saintifik mengenai Titan, serta hak-hak asasi warga keturunan Eldia di seluruh dunia.

"Penggunaan kekuatan Titan dalam perang telah resmi dinyatakan sebagai tindakan amoral dan tidak manusiawi. Hukum mengenai tindakan illegal ini akan segera diproses oleh kedua belah negara. Konsekuensi dari hukum ini akan mengikat pada Marley dalam hal hubungan bilateral terhadap Paradis dan terhadap warga keturunan Eldia – serta tindakan-tindakan ganti rugi pasca perang," dikutip dari ucapan Komandan Zoe pada konferensi pers resmi.

"Meskipun demikian, untuk riset saintifik mengenai Titan – tentu akan dibutuhkan diskusi yang jauh lebih panjang, mengingat hasil dari penelitian sejauh ini mengenai subjek tersebut dapat dimanfaatkan jauh di luar peperangan – seperti di bidang pengobatan, biologi, ataupun bidang-bidang lainnya. Namun, riset dalam bidang tersebut akan diawasi oleh ketat dari Aliansi Bangsa, apapun dalam tindaklanjutnya untuk mencegah terjadinya hal serupa dimanfaatkan untuk menjadi senjata pemusnah di masa depan."

"Kami percaya bahwa masih ada masa depan bagi negara-negara kami untuk memperbaiki kerusakan akibat konflik berkepanjangan ini," dikutip oleh pers dari Yang Mulia Ratu Historia Reiss.

"Apa yang kami lakukan hari ini adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju perdamaian dan kerjasama antar-negara. Pelabuhan kami telah resmi dibuka selama lebih dari lima tahun, dan kami sangat menanti kesempatan untuk bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain demi kebaikan umat manusia."

Mengikuti konferensi pers, perwakilan dari kedua negara melakukan kunjungan resmi pada desa, sekolah, peternakan, dan pabrik-pabrik di Hizuru.

Gambar Tengah – Perwakilan Marley, Paradis, dan Hizuru serta Sekretaris Jenderal Aliansi Bangsa pasca penandatanganan perjanjian damai.

Gambar Kiri – Ratu Historia, Nona Pieck Finger, dan Nona Mikasa Ackerman bertemu dengan siswa sekolah dasar Hizuru.

Gambar Kanan – Komandan Hange Zoe berdiskusi dengan teknisi-teknisi pabrik Hizuru.

Selanjutnya :

Liputan khusus mengenai perjanjian Paradis-Marley hal. 5-9

Wawancara Ekslusif dengan perwakilan Administrasi Negara dan Militer mengenai keterlibatan perdana Paradis dalam konferensi Aliansi Bangsa hal. 10-11

Liputan oleh Amelia Steinmann, Foto oleh Conrad Baier


Senin, 21 Juli 867

Kantor Dinas Militer Paradis Island

"Oi Armin!" panggil Jean. Lelaki berambut pirang yang menjabat sebagai komandan militer itu menoleh pada wakilnya. Pukul 13.00, mereka semua baru selesai makan siang dan bersiap-siap untuk kembali bekerja.

"Begini, hari ini hari pertama sekolah - dan aku sudah berjanji pada Mikasa untuk ikut menjemput anak-anak dari sekolah," jelas Jean.

"Jean, kita ini teman kan, santai saja," tanggap Armin, tetap tersenyum dan menepuk pundak Jean. Kedua lelaki itu bertatapan. Dua belas tahun sudah berlalu, namun terkadang masih terasa aneh bahwa mereka bisa hidup dengan tenang tanpa mengkhawatirkan nyawa mereka setiap harinya. Perang telah usai, dan kini ada generasi baru yang terlahir dari mereka yang tidak lagi mengenal perang.

"Aku tahu, tapi sebagai wakil komandan - tentu aku tidak memberikan contoh yang baik pada bocah-bocah itu kalau aku bolos begitu saja, kau tahu!" tambah Jean, mengekeh.

"Baik, aku mengerti. Salam untuk Mikasa dan calon anak ketiga kalian ya. Oh ya, Jean - titipkan saja nota izinmu di meja surat depan, biar diarsipkan. Habis ini aku juga sebenarnya ingin menjemput Audrey, namun... seperti biasa, ada audiensi bulanan antara militer dengan Ratu Historia," Armin berkata sambil menaikkan bahu "Tapi aku sudah berjanji pada Annie aku akan pulang secepat mungkin setelah audiensi..."

"Dan ini adalah kenapa kau menjadi komandan dan aku adalah wakilnya. Thanks, sobat."

Jean melangkah ringan di bawah sinar matahari bulan Agustus. Baru dua belas tahun berlalu sejak perang berakhir, namun dunia seakan-akan sudah berubah setidaknya lima puluh tahun. Anak-anak berlarian pulang sekolah, beberapa berebut mainan, beberapa yang lain mengunjungi pedagang camilan kesukaan mereka.

Dari sudut matanya, ia melihat seorang gadis kecil berambut cokelat dan dua orang anak lelaki temannya berebut roti isi sosis di depan penjualnya, seorang lelaki paruh baya gemuk pendek yang tertawa seperti Sinterklas sambil berusaha mendamaikan tiga bocah cilik itu.

'Apakah ini hidupku bersama Connie dan Sasha andaikan kita tidak perlu berperang?' pikirnya. Mungkin gadis kecil itu adalah Sasha yang terlahir kembali. Ia terlahir kembali - bertemu dua orang teman yang akan menyayangi dan peduli dengannya sepenuh hati bahkan tanpa tekanan perang. Ia bebas, sebebas burung merpati yang bisa melakukan apapun dan menjelajah kemanapun.

'Apabila benar itu dirimu Sasha, aku berharap kamu tidak perlu tahu lagi apa itu perang - selamanya,' batin Jean.

Dua belas tahun perang berlalu. Bumi hangus nyaris terjadi tiga belas tahun yang lalu. Enam belas tahun yang lalu, mereka semua baru menyaksikan laut untuk pertama kalinya. Bukankah waktu adalah sesuatu yang ganjil? Kurang dari dua puluh tahun yang lalu - mereka semua masih berlindung di balik tembok besar dari serangan raksasa-raksasa pemakan manusia. Kurang dari dua puluh tahun yang lalu - yang mereka inginkan hanyalah bertahan hidup, syukur-syukur bisa melihat apa yang ada di balik tembok besar Maria, Rose dan Sina.

Sementara anak-anak sekarang, mereka semua bercita-cita untuk naik pesawat dan naik kapal. Mereka semua senang dibawa naik kereta keliling Paradis, termasuk si kembar. Sesuatu yang bahkan Jean tidak pernah ketahui sampai lima atau enam belas tahun yang lalu. Betapa anehnya "waktu" itu bukan?

Paradis kini membuka dirinya pada dunia, angin semilir menjeda teriknya matahari di bulan Juli. Jalanan batu di pulau sekarang terbuat lebih lebar, karena sesekali orang menggunakan mobil untuk mengangkut muatan barang di dalam kota. Banyak yang masih takut pada mereka (tentu, reputasi dua ribu tahun –ataupun seratus tahun bila hanya menghitung sejak Perang Titan pertama– bukan sesuatu yang mudah untuk diubah) namun lihat, beberapa penduduk luar sudah berani menginjakkan kakinya untuk tinggal di sini. Seperti penjual kunafeh yang bau keju, almond, dan gulanya sampai ke penciuman Jean dari bukaan tendanya. Ia tergoda untuk membeli satu, mengingat Irene sangat suka dengan camilan khas Timur Tengah itu, tetapi si kembar dan Mikasa pasti sudah menunggunya di gerbang sekolah mereka.

Kurang dari lima puluh meter lagi gerbang sekolah. Sangat berbeda dengan rumah kayu sederhana yang dulu disebut oleh Mikasa 'sekolahnya' (Jean ingat tidak banyak orang yang seberuntung dirinya dulu) - Irene dan Frederick kini belajar di sebuah gedung bata dengan jendela-jendela besar serta buku buku baru yang membuka pandangan mereka pada dunia. Di bawah pohon ceri berdiri tiga orang kesayangannya, Mikasa yang semakin cantik dengan rambut hitam panjangnya dan si kembar yang melompat-lompat bahagia menyambut ayah mereka.

"Rene! Fred!" seru Jean, memanggil dua kembar brunette itu.

"Ayaaaahhh!" pekik keduanya, melompat ke atas pangkuan Jean. Meskipun Jean adalah seorang tentara dengan fisik yang terlatih, energi anak-anak tetap luar biasa, keduanya cukup membuat ayah mereka sedikit terhuyung ke belakang.

"Bagaimana? Uwah! Tahun depan kalian sudah masuk sekolah dasar! Kalian sudah besar ya sekarang?" tanya Jean pada keduanya. Dua pasang mata oriental anak-anak itu berkilat bahagia.

"Iya dong Yah! Tadi aku sudah belajar membaca lho!" pekik Frederick - alias Fred "...tapi tadi Irene ngambek karena kita nggak sekelas lagi sama Angie," adunya.

Irene yang sebelumnya berbinar-binar, seketika cemberut raut mukanya, malu diadukan oleh saudara kembarnya.

"Cuma sebentar kok Yah," protesnya "Aku sudah punya teman baru juga kok!"

"Iya, iya, lagipula kalian bisa main sama Angie waktu istirahat kan?" sambung Mikasa, mendekati suami dan kedua anaknya.

"Itu Ethan!" teriak Fred, telinga Jean serasa berdenging karena Fred berteriak tepat di telinganya. Tangannya menunjuk pada seorang bocah lelaki berambut hitam dan berkacamata yang digandeng oleh ayahnya, keduanya berjalan beriringan dari gedung Sekolah Dasar. Irene dan Fred berhamburan lompat dari pangkuan Jean mengejar teman mereka. Jean berdiri tegak, menggandeng Mikasa, dan menyusul kedua anak-anak energik itu.

"Levi-san," sapa Mikasa pada ayah Ethan, Levi Ackerman.

"Mikasa, Jean," balas pria itu, mantan atasan mereka di Survey Corps.

"Di mana Hange-san?" tanya Jean, mencari keberadaan wanita tinggi berkacamata itu.

"Ck. Kami sudah bukan atasan kalian lagi. Sudahlah, sebut nama saja," jawab Levi "Hange tidak bisa menjemput anak-anak hari ini, ada audiensi tim peneliti dengan Ratu."

Sama seperti Armin, batin Jean. Memang tidak mudah untuk membangun kembali negara yang sebelumnya luluh lantak dan terisolasi. Banyak yang harus dikorbankan, waktu, tenaga, pikiran. Jean bersyukur ia bisa menikmati hari ini bersama keluarganya.

(Setelah bayinya lahir nanti seharusnya ia juga bisa bergantian dengan Armin. Pria itu butuh istirahat.)

Begitu pula Mikasa, ia mengelus perutnya yang mulai membesar. Bersyukur, karena ia sedang mengandung, Ratu mengurangi porsi pekerjaannya. Tugasnya lebih banyak bisa dikerjakan dari rumah, seperti membaca dan mereview arsip-arsip dari Hizuru untuk keperluan diplomatis kedua belah negara. Tugas yang ada hubungannya dengan bepergian ke Hizuru dipindah tangankan pada Heather, salah satu anggota tim diplomasi Hizuru-Paradis. Beruntung juga Azumabito dan para delegasi Hizuru terlanjur sayang padanya.

Di saat ketiga anak-anak tersebut sibuk bermain di halaman sekolah, para orang dewasa mencuri waktu untuk berbicara satu sama lain. Hal yang jarang mereka lakukan karena kesibukan mereka.

"Levi, bagaimana kedai tehmu?" Jean membuka percakapan. Kedai teh, salah satu topik percakapan yang selalu berhasil membuat Levi Ackerman menyajikan senyum langkanya.

"Baik. Semakin laku. Apalagi sejak ada jenis teh baru dari Java, orang-orang ternyata menggilainya. Legit dan kental kata mereka," jawab Levi.

"Wah, berarti kami harus mencobanya..." ucap Mikasa "sepertinya rasanya sangat berbeda dengan genmaicha dari Hizuru ya?"

"Asal saat kalian ke sana, si kembar dan Lily harus dijauhkan dari konter dessert," komentar Levi, menyebut nama anak sulungnya yang tidak kalah berisiknya dengan si kembar.

Jean dan Mikasa tertawa. Irene dan Fred yang kebanyakan gula di bawah komando Lily adalah resep asli untuk kekacauan. Terakhir kali tiga orang anak itu nyaris bereksperimen dengan 3D Maneuver Gear (tolong, jangan tanya dari mana Lily berhasil mendapatkan benda itu!) di pohon kersen belakang kedai teh Levi. Mereka tidak pernah melihat Levi dan Hange dengan ekspresi semarah itu sejak dua orang veteran itu resmi berhenti menjadi prajurit.

"Bagaimana kabarmu Mikasa?" tanya Levi "Kau sehat?"

"Baik. Masih sedikit sibuk di rumah bekerja dan mengurus si kembar, tapi kurang lebih baik," jawab Mikasa "Sepertinya Jumat ini aku akan rapat dengan Hange dan tim peneliti."

"Ah, mengenai instrumen penelitian baru yang didatangkan dari Hizuru itu ya?" tebak Levi "Hange tidak berhenti berceloteh mengenai hal itu di rumah," tambahnya, memutar bola mata - tapi Jean dan Mikasa tahu sendiri bagaimana perasaan mantan kapten mereka pada istrinya itu.

"Kalian sudah makan siang?" tanyanya pada pasangan yang lebih muda itu.

"Belum," kata Jean "kami berencana untuk makan di restoran Niccolo. Sudah lama kami tidak bertemu dengan Niccolo..."

Pasca perang, para anggota Survey Corps memang berteman dekat dengan koki asal Marley itu. Selain masakannya yang memang luar biasa enak, bersama dengan Niccolo, mereka bisa mengenang Sasha dan persahabatan mereka semua di masa lalu. Mereka juga tahu, Niccolo berteman dekat dengan keluarga Sasha. Ia masih rutin mengunjungi makam Sasha tiap bulannya, kadang ditemani Connie, Jean, atau Mikasa saat sedang tidak sibuk. Tidak ada yang bisa sepenuhnya melupakan Sasha dan senyumannya yang secerah mentari di musim panas.

"Mau ikut dengan kami, Levi?" tawar Mikasa (menelan kembali panggilan hormat ataupun sebutan Kapten pada Levi. Tiga belas tahun perang berakhir, bahkan dengan pertemuan mereka sehari-hari, sulit melepaskan panggilan hormat tersebut. Bagaimana mereka bertarung bertahun-tahun memiliki ingatan yang sedalam itu dalam hidup mereka).

"Tidak, terima kasih. Aku masih harus mencari Lily, entah di mana anak itu tidak terlihat dari tadi batang hidungnya. Silakan, kalian nikmati makan siang kalian..."

Kedua sejoli itu mengangguk maklum.

"Rene! Fred! Ayo cepat sini, kita makan siang di restoran Paman Niccolo!" panggil Jean, disambut pekikan bahagia kedua anaknya. Levi berjalan menghampiri Ethan yang masih melambai pada dua orang teman mainnya.

"Ayo, Ethan. Kita juga pulang dulu. Ngomong-ngomong, di mana kakakmu?"

Mata cokelat Ethan menatap wajah ayahnya. Bibirnya cemberut. Lalu ia menggumam seakan takut dimarahi akan jawabannya.

"...aku tidak tahu. Aku bahkan tadi dipanggil Ms. Sonja karena Lily kabur sebelum bel pelajaran terakhir. Aku tidak tahu Lily kabur ke mana. Jadi aku memutuskan menunggu Ayah saja...," gumam Ethan.

Levi berlutut agak tingginya sejajar dengan Ethan. Pria berambut hitam itu menghela napas dan memijat keningnya.

"Tenang Ethan. Ayah tahu harus mencari kakakmu mulai dari mana, kita cari Lily bersama ya? Ayo, jangan menangis. Anak Ayah jangan menangis ya?" bujuk Levi, mengelus rambut hitam Ethan. Anak lelaki itu mengangguk dan menyambut gandengan tangan ayahnya, berjalan ke arah perpustakaan yang terletak tidak jauh dari sekolah. Entah apa lagi yang ingin dicari tahu oleh Lily sekarang.


Suara air yang mengalir mengiringi kegiatan keluarga Ackerman siang itu. Cuci piring. Iya cuci piring dengan spons dan sabun. Sebuah kegiatan yang amat-sangat biasa bukan?

Tapi ya itulah kegiatan mantan prajurit terkuat Paradis alias Levi Ackerman setiap hari setelah makan siang. Membereskan meja makan dan mencuci piring bersama pemuda dan gadis kecilnya. Oh untuk hari ini hanya gadis kecilnya, Ethan mengantuk setelah makan siang (mungkin lelah, baru hari pertama masuk sekolah lagi setelah liburan musim panas) dan tertidur di sofa depan.

Waktu memang sesuatu yang aneh. Untuk orang-orang mengenalnya sebagai Kapten Levi Ackerman sampai 13 tahun yang lalu, mereka mengenalnya sebagai prajurit terkuat di seantero Paradis, sang pembantai titan. Sekarang para pengrajin dan juru masak yang berada di sekitar kafenya kebanyakan mengenalnya sebagai Tuan Ackerman, si pemilik kedai teh yang gila kebersihan dan jarang tersenyum - namun teh serta camilannya luar biasa enak.

Kedai tehnya.

Begitu perang usai, hal pertama yang Levi lakukan adalah mengundurkan diri sebagai prajurit. Ia dibesarkan sebagai seorang petarung, namun ia sudah terlalu lelah bertarung. Dengan uang pesangonnya sebagai prajurit, ia membuka kedai teh kecil di tengah kota - mempekerjakan Cecil, seorang gadis remaja dari bawah tanah Sina yang tidak sengaja ditemuinya. Ia memang tidak bisa menyelamatkan seluruh umat manusia (tidak ada yang bisa, bahkan sebagai prajurit terkuat sekalipun). Namun, biarkanlah ia menyelamatkan beberapa dari mereka yang senasib dengannya dan ibunya dulu. Seiring kedai tehnya yang semakin laku, Cecil lalu membawa Hugo, adiknya untuk bekerja di sana. Lalu remaja putri lain - Adelia, juga dari bawah tanah, awalnya datang malu malu meminta roti sisa. Hingga kini, sepertinya ada tujuh orang muda-mudi yang bekerja di kedai, semuanya berasal dari kota bawah tanah Sina. Termasuk Cecil yang sebenarnya lebih sering mengatur keseharian kedai.

Namun secara umum, Levi sangat menikmati menjadi orang biasa. Rakyat sipil. Ia sudah selesai bertarung. Ia sudah cukup menyaksikan pertarungan untuk seumur hidupnya.

Sudut matanya menangkap ekspresi Lily yang sedikit merengut. Sepertinya Lily masih kesal karena ditarik paksa keluar dari perpustakaan tadi siang. Dan Levi adalah pembuka pembicaraan yang buruk.

"Bagaimana sekolahmu?"

"Membosankan. Lebih seru belajar bersama Ibu,"

"Itukah kenapa kamu kabur ke perpustakaan pada jam pelajaran terakhir?"

Lily cemberut. Levi menghela napas. Lily sama sekali bukan anak yang nakal, ia hanya terlalu ingin tahu. Bahkan guru-gurunya seringkali tidak bisa menjawab pertanyaan gadis kecilnya, karena banyak hal. Dan Lily luar biasa gigih apabila ia sudah ingin tahu akan sesuatu. Belum lagi instingnya yang tajam - ia tahu apabila seseorang menutupi jawaban atau membohonginya. Levi sedikit menyalahkan Hange yang sempat mengusulkan nama "Erwin" untuk anak pertama mereka. Untung saja Lily terlahir perempuan.

"Lily Louise Ackerman, tolong jawab pertanyaan Ayah,"

"Baiklah. Aku belajar Geografi tadi siang. Guruku mengajarkan bahwa Marley adalah negara tetangga Paradis - lalu Warren berteriak bahwa Marley itu musuh yang harus dimusnahkan! Tentu saja itu tidak benar kan Ayah!" jelas Lily berapi-api.

Levi terdiam. Pikirannya tergerak, namun sebelum ia sempat berbicara apapun, Lily sudah menyambar secepat kilat.

"Aku tahu kok, Paradis pernah berperang dengan Marley! Tapi sekarang kan kita sudah tidak bermusuhan. Bahkan berteman! Bukankah Onyakopon teman Ibu, Yah? Dia orang Marley kan! Juga paman Niccolo!"

Pemikiran anak-anak memang lugas. Orang dewasa lah yang membuat segalanya sulit. Namun, orang dewasa lah yang dituntut untuk bertanggung jawab di dunia ini. Levi tidak heran apabila masih banyak masyarakat Paradis yang belum bisa percaya sepenuhnya mengenai perbaikan hubungan Paradis-Marley.

Dari sudut pandangnya, sekilas ia melihat api di mata Lily meredup.

"Aku balas berteriak pada Warren, namun, Warren malah menangis. Ia bilang, kalau Marley bukan musuh, kenapa Marley membunuh paman, bibi, dan sepupu-sepupunya..."

Bagaimana menjelaskan perang pada putrinya yang berusia sepuluh tahun.

Tuhan, meskipun dirinya adalah seorang (mantan) prajurit, namun ia pun tidak bisa menyanggah bahwa perang adalah wujud terburuk dari egoisme manusia. Wujud termengerikan dari keserakahan manusia. Entah berapa ribu, puluhan, ratusan... bahkan jutaan nyawa yang dikorbankan demi kepentingan dan ideologi segelintir orang. Bagaimana sekelompok orang mencekoki doktrin dan pemikiran mereka pada khalayak luas -bahkan anak-anak, demi Tuhan, ia terpikirkan Gabi dan Falco - dengan ujaran kebencian dan membakar api amarah yang luar biasa besar. Ia menyaksikan sendiri bagaimana perang mengubur habis harapan seorang pemuda, membumihanguskannya dan menggantikannya dengan dendam. Dendam itu pula yang membuat sang pemuda nyaris membumihanguskan dunia yang dianggapnya telah membunuh cita-cita dan kebebasannya.

Sebelum Levi menemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Lily, kilat di balik netra gadis itu kembali - dan ia langsung meneruskan ceritanya, tidak kalah berapi-api dari sebelumnya.

"Ibu guru di kelas langsung memotong pembicaraan kami, dan mengganti dengan pelajaran lain. Kenapa ia tidak menjawab saja kan, apa susahnya?" protes Lily.

"Jadi Ayah! Ternyata aku berhasil menemukannya sendiri! Marley dan Paradis memang bermusuhan kan? Namun semua itu berubah ketika Eren Yeager melakukan rumbling dan terbentuk pasukan aliansi Eldia-Marley yang berperang gagah berani demi kemanusiaan! Peperangan yang luar biasa, kata buku tersebut, dengan pesawat tempur dan kekuatan titan untuk menghentikan apa yang akan disebut-sebut sebagai bencana terbesar kemanusiaan!"

Mata kelabunya kembali menangkap Lily. Putrinya yang energik dan bersemangat. Ia menatap mata putrinya - seperti biasa - berkilat-kilat cemerlang. Persis seperti ibu gadis kecil itu saat rasa keingintahuannya memuncak. Raut wajah Lily sangat mirip dengan ibu Levi, Kuchel Ackerman. Levi sering menghabiskan harinya hanya dengan menatap Lily. Lily adalah segala yang ia harapkan pada dua orang wanita yang paling dicintainya di dunia ini. Kuchel, andaikan dunia tidak membuangnya dan Hange, andaikan dunia tidak memaksanya untuk maju berperang dan memimpin pasukan.

'Lily. Ayah harap kau dan Ethan tidak pernah merasakan perang seumur hidupmu.' batin Levi.

"Ayah!" panggil Lily, menghentikan racaunya sesaat.

"Ayah melamun..." protes Lily.

"Darimana kau memperoleh cerita itu? Di perpustakaan kah?"

"Tentu saja," ujar Lily bangga "Ibu pernah bilang kan, buku adalah jendela dunia. Dan di perpustakaan banyak sekali buku baru. Aku melihat salah satunya adalah tentang Perang Titan Paradis-Marley. Dan aku melihat nama Ayah dan Ibu tercetak di sana. Kapten Levi Ackerman dan Komandan Hange Zoe itu Ayah dan Ibu kan! Kok Ayah dan Ibu tidak pernah cerita sih?" celoteh Lily.

'Dasar mata-empat... Ini anakmu! Cepat pulang sini' pikir Levi. Pria berambut hitam itu lalu menghela nafas singkat, mata kelabunya beradu tatap dengan netra kelabu lentik putrinya.

"Bukan berarti kau boleh kabur dari sekolah begitu saja, Lily. Lagipula, Ayah dan Ibu… Kami berpikir bahwa kalian masih terlalu muda untuk kami ceritakan hal itu," Levi memulai.

"Tapi, Yah! Kalian pahlawan! Ayah dan Ibuku pahlawan! Bukankah itu keren sekali?!" sambar Lily penuh semangat.

'Nak. Tidak ada istilah pahlawan dalam perang,' pikir Levi, hatinya terasa diremukkan melihat senyum dan tatapan berbinar Lily.

'Perang adalah permainan membunuh atau dibunuh. Entah ada berapa nyawa yang melayang begitu saja sia-sia.' lanjutnya dalam hati. Tangannya bergerak mengelus rambut hitam Lily.

Manusia terlalu mengelu-elukan pahlawan saat perang, menyamakan tindakan sang pemenang sebagai sesuatu yang 'heroik'. Sejarah memang selalu ditulis dari sudut pandang seorang pemenang, namun apa yang terjadi di balik itu? Ratusan-ribuan bahkan jutaan nyawa melayang dan terlupakan begitu saja. Ayah kehilangan anak, anak kehilangan ayah. Manusia saling menikam, saling bertikai menyakiti satu sama lain atas nama kesetiaan buta pada satu hal yang abstrak. Masyarakat memuja-muja sosok yang mereka anggap 'pahlawan' padahal orang tersebut bisa jadi tak ubahnya seorang pembunuh dengan darah segar yang mengotori tangan mereka.

"Buku itu terlalu berlebihan," ungkap Levi "Ayah dan Ibumu bukan 'pahlawan'. Ayah dan Ibu hanya..."

Hanya apa?

"...melaksanakan tugas kami. Mungkin suatu saat, nanti saat kau sudah lebih dewasa, Ayah dan Ibu akan bercerita tentang ini,"

Karena cerita ini bukan hanya apakah kau siap untuk mendengarnya Lily, tapi juga apakah kami sanggup untuk menceritakannya, batin Levi.

"Ayah janji," tambahnya.

"Kenapa tidak sekarang?" Lily masih bersikukuh pada keinginannya.

"Ceritanya panjang - dan banyak hal tentang perang yang Ayah tidak bisa ceritakan padamu sebelum kamu dewasa. Tapi Ayah janji, suatu saat nanti Ayah dan Ibu akan menceritakan semuanya pada Lily. Nanti malam, setelah Ibumu pulang, tetapi – Ayah harus bercerita mengenai tindakanmu tadi siang. Sekarang, apa kau sudah menyelesaikan PR-mu?" Lily menggeleng. Ia lupa waktu di perpustakaan tadi. "Kerjakan sana! Nanti sore kita jemput Ibu bersama Ethan."

Lily mengangguk. Rambut hitamnya yang diikat ekor kuda bergerak-gerak seirama. Datang ke laboratorium Ibu adalah kegiatan favoritnya! Oh, bukan. Bukan favoritnya. Kedua setelah menghampiri hangar pesawat dan dibawa menyetir pesawat bersama Onyankopon.

Levi tersenyum tipis memandang punggung anak gadisnya yang mulai tumbuh besar. Pikirannya melayang pada kotak berisi lencana-lencana kehormatan miliknya dan Hange. Sejak mereka berdua resmi keluar dari militer, semua seragam, lencana, kartu identitas, dan lain-lain mereka kunci rapat-rapat di sebuah laci paling dalam lemari. Terlalu banyak memori menyakitkan akan perang yang tersemat di sana. Ia hanya menyisakan satu surat yang ditulis dari Ratu Historia setelah perang di laci meja nakas bagi semua pasukan Aliansi, dengan salam khas militer Paradis pada masanya : 心臓を捧げよ! Hanya sebagai pengingat, bahwa pada satu titik, mereka bertempur demi umat manusia. Juga untuk meluruskan hati bahwa apapun yang akan mereka lakukan selanjutnya, hanya akan mereka lakukan demi umat manusia.

'Sejujurnya, aku sama sekali tidak mau bercerita apapun soal perang padamu dan Ethan, Lily. Ayah berharap kau dan adikmu sama sekali tidak tahu apa itu perang. Tapi... tidak adil bagi kami untuk menutupi semua ini darimu,' pikir Levi.

Pria paruh baya itu lantas berpindah, duduk di sofa di samping putranya yang bergelung tertidur. Seperti anak kucing, pikirnya - melepas kacamata Ethan yang masih menempel di batang hidungnya. Sudah dua belas tahun lebih ia hidup damai seperti ini. Sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan, bahkan sejak lahir. Waktu kecil, ia kerap bertengkar dengan anak-anak lain di kota bawah tanah yang mengejeknya karena ibunya wanita penghibur. Ketika ia bertumbuh besar dan remaja, Kenny memaksanya untuk belajar bertarung agar ia bisa bertahan hidup. Saat dewasa, ia ditarik paksa untuk bertempur bersama Survey Corps. Bertempur, bagi seorang Levi Ackerman, tak ada ubahnya selain cara untuk bertahan hidup. Selama 34 tahun hidupnya, ia tidak benar-benar merasakan hidup - hanya bagaimana bertahan dan tidak mati. Ia sangat sangat menyusukuri bahwa sekarang, ia mempunyai alasan untuk benar-benar hidup. Kedai tehnya, Cecil dan para pemuda bawah tanah, Ethan, Lily, dan tentu saja... Hange.

Dua belas tahun yang lalu, ada dua hal yang langsung dilakukan oleh Levi Ackerman. Mundur dari posisinya sebagai serdadu dan menikahi Hange Zoe, yang saat itu masih menjabat sebagai komandan Survey Corps. Ketika ditanya mengapa, ia hanya menjawab bahwa itu adalah jawabannya pada 'lamaran' Hange saat mereka bersembunyi di hutan. Namun, di salah satu sudut terdalam hatinya, ia amat sangat takut kehilangan orang lain yang ia cintai. Selama lebih dari tiga dekade, hanya ada dua warna dalam kehidupan Levi : Pertempuran dan kehilangan. Sekali saja dalam hidupnya, ia ingin mengikat satu orang yang dicintainya – sehidup semati dengannya.

Telinga Levi menangkap suara buku yang diletakkan Lily di meja makan. Satu hal yang benar-benar disukai Lily adalah belajar, setidaknya dalam hal itu Levi tidak seperti orang tua lainnya yang setengah mati untuk mengingatkan anak mereka mengerjakan PR atau mengulang pelajaran menjelang ujian. Karena Lily (dan Ethan) pula, Levi mulai menikmati belajar kembali - mulai dari matematika sampai sastra, yang tidak pernah dipelajarinya sewaktu muda dulu.

Buku-buku dan kertas Lily bertebaran di atas meja makan. Di sudut lain ruangan terdapat rak kayu, juga berisi berkas-berkas kertas entah berapa tumpuk. Bukan milik Lily atau Ethan. Tetapi, milik ibu dari kedua anak itu.

Berperang memang sulit, namun memulihkan negara yang carut-marut akibat perang jauh lebih sulit. Perundingan, perjanjian, pembangunan, diplomasi dan diskusi. Semuanya seakan tak berujung. Namun ketika Levi melihat wajah berpikir Lily yang sedang mengemut ujung pulpen, ataupun wajah tertidur Ethan yang damai, maka, demi mereka, ia rela melakukan apapun demi mempertahankan kedamaian. Demi anak-anaknya yang tidak perlu menghabiskan satu haripun dalam hidupnya untuk bertempur.

Makan malam di kediaman keluarga Ackerman, umumnya selalu ramai dengan ocehan. Levi tidak pernah menyangka – dirinya yang lebih menyukai ketenangan akan amat sangat menikmati hal ini. Terutama Lily, yang heboh menceritakan ia diajak mengunjungi rumah kaca saat menunggu Hange selesai rapat di Badan Riset dan Teknologi. Lembaga yang terhitung baru, namun dibentuk dengan segera pasca-perang – demi mengejar ketertinggalan Paradis selama 100 tahun dibandingkan dengan dunia luar. Tentu saja dikepalai oleh mantan komandan Survey Corps yang sudah lama menjadi seorang peneliti pula, Nyonya Hange Zoe.

Banyak yang berubah dari Paradis pasca perang. Reformasi militer, pembentukan lembaga-lembaga pemerintahan baru, reformasi pendidikan dan sekolah – Paradis benar-benar seperti terlahir kembali menjadi negara baru. Bukan berarti tidak ada kesulitan, namun dengan bantuan dari Aliansi Bangsa-Bangsa dan bagian dari perjanjian damai Paradis-Marley sebagai ganti rugi pasca-perang, Paradis seakan dituntut untuk mempercepat penyelarasannya dengan dunia. Awalnya banyak masyarakat yang berteriak, namun perlahan, semua mulai terbiasa, atau bahkan dipaksa untuk terbiasa untuk membuka diri dan belajar hal-hal baru bersama sebagai satu negara.

Tetapi bagi Hange, saat Ratu menunjuknya langsung sebagai kepala Badan Riset dan Teknologi Paradis – ia merasa bahwa dirinya bebas. Ilmu pengetahuan, baginya adalah sayap kebebasan yang sesungguhnya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat memperluas cakrawalanya sendiri di luar batas-batas kasat mata.

Sebuah tanggung jawab yang benar-benar baru, namun ia sama sekali tidak merasa terbebani dengan hal tersebut. Dari awal pun, alasannya bergabung dengan Survey Corps adalah untuk mempelajari dunia luar lebih lanjut. Hal yang sayangnya tidak dapat ia lakukan apabila memilih untuk menjadi guru atau bergabung ke universitas yang seluruhnya dikontrol oleh kerajaan. Ketika diberi mandat sebagai komandan, ia bekerja keras untuk membangun pelabuhan, menjelajah dengan pesawat, menjelajah ke luar Paradis untuk pertama kali. Dunia luar – pada saat itu, bukanlah sesuatu yang bisa menerima mereka dengan baik. Namun keinginannya untuk belajar dan terus belajar mendorong dirinya dan pasukannya semakin jauh. Tetapi jiwanya sebagai seorang peneliti, adalah hal lain yang harus ia kubur dalam-dalam demi baktinya sebagai seorang pemimpin.

Jabatan komandan pun akhirnya diserahkan pada Armin Arlert, seorang pemuda dengan keberanian luar biasa. Sebagai seorang peneliti penuh waktu, akhirnya ia tidak lagi terkekang dengan batasan-batasan militer, dan tidak lagi ia harus bertaruh nyawa di garis depan. Bukan, sama sekali bukan karena ia tidak lagi rela untuk mempertaruhkan jiwanya demi negara. Namun – biarkanlah kali ini ia bersikap egois, dan menghabiskan waktunya bersama dua buah cintanya dengan Levi, tanpa dibayang-bayangi oleh kematian.

"Jadi tadi, Anne-Marie menunjukkan padaku tanaman-tanaman tropis yang dibawa dari rumah kaca! Ada bermacam-macam buah-buahan berbau manis... dengan nama-nama yang aneh pula. Sayang sekali kau tadi tidak ikut ke dalam, Ethan!" celoteh Lily.

Hange menepuk rambut hitam Lily, tertawa pelan.

"Kau lebih tertarik dengan tanaman kah sekarang, Lily? Bukan pesawat lagi?" tanyanya pada gadis kecilnya.

"Tanaman memang menarik, Ibu, tetapi tidak ada yang bisa menandingi pesawat terbang," kilahnya "Lagipula, Ibu tahu kan di mana letak negara tropis asal tanaman tersebut? Kata Anne-Marie, kita hanya bisa ke sana setelah perjalanan satu bulan di kapal laut! Bayangkan, Ibu. Satu bulan! Tetapi dengan pesawat terbang, kita hanya butuh tiga hari dengan beberapa perhentian! Luar biasa kan? Kalau aku menjadi pilot seperti Paman Onyankopon aku pasti bisa membawakan tanaman-tanaman tropis untuk rumah kaca dan banyak bunga yang cantik untuk Ibu dari seluruh dunia!"

"Kau sendiri bagaimana Ethan?" tanya Hange pada si anak lelaki, yang tenang seperti biasa.

"Aku cukup senang bisa membaca waktu menunggu Ibu selesai rapat. Lagipula tadi paman Christof menunjukkanku buku sketsanya, aku ingin belajar menggambar seperti itu juga, Ibu," jawabnya pelan, sedikit tersipu karena tadi Paman Christof juga memuji gambarnya. Hange tidak tahan untuk mencium pucuk kepala puteranya. Seniman kecilnya.

Levi berdeham untuk mendapatkan perhatian keluarga kecilnya.

"Lily, sepertinya ada sesuatu yang harus kau sampaikan pada Ibu kan?"

Lily menoleh dari piring makanan pencuci mulutnya yang hampir habis. Raut mukanya seperti antara takut dimarahi dan bingung harus mengatakan apa, namun sorot matanya tegas – ia siap menyatakan tindakannya dan menerima konsekuensinya.

"Aku..."

Mata cokelat Hange bertemu dengan mata kelabu puterinya. Membaca netranya sekilas, ah – ia paham pengakuan macam apa ini.

"…kabur dari sekolah tadi siang dan pergi ke perpustakaan. Ayah dan Ethan dipanggil Ms. Sonja ke ruangannya dan aku diberi surat detensi untuk seminggu ke depan."

Hange menghela nafasnya. Baru minggu pertama sekolah dan Lily sudah berulah. Tarik nafas, hembuskan, jangan marah sebelum semuanya dibicarakan baik-baik.

"Kenapa kau kabur ke perpustakaan?"

"Karena aku bertengkar dengan Warren ketika dia berkata Marley adalah musuh. Padahal mereka bukan musuh kan Ibu? Tetapi Ms. Sonja tidak menjawab pertanyaanku di kelas, jadi aku ingin mencarinya sendiri saja…"

Tarik nafas lagi, hembuskan, baru jawab pernyataan Lily.

"Tetap saja kau melanggar aturan sekolah Lily. Kenapa kau tidak menunggu sampai sekolah selesai lalu pergi ke perpustakaan dengan Ayah dan adikmu?"

"Karena Ms. Sonja langsung mengganti pelajarannya dengan pelajaran sastra dan kami disuruh membaca Rebecca dan Pertanian Sunnybrook lagi padahal aku sudah menamatkan buku itu minggu lalu! Lebih baik aku mencari tahu mengenai Paradis-Marley saja!"

"Bagaimana kau bisa kabur pada jam sekolah di bawah pengawasan guru-gurumu Lily?"

"Aku berpura-pura sakit perut, lalu kabur melalui jendela belakang kamar mandi… dan melewati jalan pintas di samping sekolah ke perpustakaan."

Hange menepuk keningnya sendiri. Astaga, Lily Ackerman. Rasa penasaran itu serupa dengan dirinya di masa kecil dulu. Satu hal yang bagus Lily tahu apa yang ia suka dan ingin ia pelajari. Namun ilmu pengetahuan saja tidak cukup. Sekolah – sesungguhnya adalah tempat di mana anak-anak juga belajar rasa hormat, sadar diri, dan disiplin.

"Besok pagi, kau harus datang sangat pagi ke sekolah. Pagi-pagi sekali, lalu datangi Ms. Sonja, dan minta maaf padanya. Kau tahu Lily, guru-gurumu bukan hanya ada di sana untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, mereka dititipkan oleh Ayah dan Ibu, juga Ayah dan Ibu teman-temanmu untuk menjaga kalian semua selama di sekolah. Apabila kau kabur begitu saja, lalu terjadi sesuatu denganmu, kau pikir gurumu tidak khawatir? Ibu kecewa, Lily, ayolah, kau sudah 10 tahun… Kau bisa lebih baik dari ini"

"Maaf Ibu…"

"Besok pagi, Lily Ackerman, minta maaf pada Ms. Sonja…"

Mata kelabu Lily seketika tertunduk, menatap ujung kakinya yang berselimutkan kaus kaki.

"Dan, akhir pekan ini, kau boleh bertanya mengenai Marley pada Ibu dan Ayah. Ethan juga. Lily, sebagai hukumanmu, kau akan mencuci piring sendirian malam ini," tambah Levi. Mata Lily yang sebelumnya sendu tetiba kembali melebar seperti sebelumnya. Bukankah Ayahnya tadi siang berkata bahwa ia hanya akan bercerita mengenai perang setelah ia dewasa nanti?

Hange menatap suaminya, tatapannya menyiratkan pertanyaan apakah mereka siap untuk bercerita mengenai perang pada anak-anak mereka. Jemari Levi bergerak untuk menggenggam jemarinya di bawah meja. Tidak semuanya, batin Levi, tapi cukup untuk mereka mengerti. Lagi pula, lima hari cukup waktu untuk mereka berpikir jawaban apa yang akan mereka berikan, kan?

Bukan begitu, Komandan?

Tentu saja, Kapten.


Jumat, 25 Juli 867

Pukul 19.00, mentari masih mengintip malu-malu sebelum tergelincir ke langit malam musim panas. Meskipun demikian, kebanyakan orang sudah berada di rumah masing-masing, siap berleha dan bersantai menyambut akhir pekan. Termasuk keluarga Ackerman di kediaman mereka. Hari yang sangat ditunggu oleh Lily Ackerman. Bukan hari istimewa seperti ulangtahun atau perayaan, namun ia tahu orangtuanya bukan orang yang suka ingkar janji. Ia telah menyelesaikan detensinya dan tadi sore – terakhir sebelum ia pulang ke rumah, ia menundukkan kepalanya dan sekali lagi meminta maaf pada Ms. Sonja. Makan malam disajikan lebih cepat, sepertinya orangtuanya memang akan bercerita banyak hari ini.

Dan itulah, mengapa bahkan di saat matahari belum sepenuhnya terbenam, ia dan Ethan sudah terduduk di lantai kamar orangtuanya, sambil menunggu Ayahnya yang mengeluarkan satu kotak kayu dari laci bawah lemari.

"Pertama-tama, Ibu tidak berjanji akan menjawab semua pertanyaan kalian. Ada beberapa hal yang Ibu dan Ayah rasa kalian belum cukup dewasa untuk pahami saat ini - tapi Ibu dan Ayah akan mencoba menjawab pertanyaan kalian sebisa mungkin, oke?"

Lily dan Ethan mengangguk.

Levi kembali dengan membawa kotak tersebut. Sedikit berdebu, namun ia sudah menyiapkan satu lembar kain basah untuk menyapu permukaannya. Ia mengusapnya, sekali, dua kali, sampai lapisan debu menghilang dari permukaannya. Ia membuka kenop logam yang menyegel kotak tersebut, dan hal pertama yang muncul adalah sebuah lencana kain sayap berwarna biru dan putih.

"Kalian tahu kan apa ini?" tanyanya.

Lily dan Ethan langsung berbinar antusias melihatnya.

"Itu logo sayap kebebasan kan yah? Survey Corps!" sambar Ethan.

"Jadi memang benar, Ayah dan Ibu bagian dari Survey Corps!" seru Lily "Lalu, apakah memang benar Ayah adalah Kapten Levi Ackerman yang terkenal itu dan Ibu adalah Komandan Hange Zoe?"

"Ya. Kau tidak salah Lily," jawab Levi, meskipun dalam hati ia meringis mendengar julukan Kapten yang terkenal itu.

"Kenapa Ayah dan Ibu merahasiakannya dari kami?" protesnya seketika.

"Tidak pernah merahasiakan Lily," jawab Hange "Ayah dan Ibu tidak pernah berpura-pura menjadi orang lain atau mengganti nama kami di depan kalian kan? Survey Corps dan militer memang bagian dari masa lalu Ayah dan Ibu. Kami hanya belum menceritakannya pada kalian, karena – bercerita tentang perang bukan hanya berat untuk anak-anak seusia kalian. Tetapi juga berat untuk Ayah dan Ibu. Berat sekali nak, mungkin kalian tidak akan terbayang - dan tidak apa-apa - sejujurnya, karena Ayah dan Ibu berharap bahwa kalian, anak-anak Ayah dan Ibu tidak pernah mengenal atau merasakan perang lagi di masa depan nanti."

"Apakah… banyak orang yang mati saat perang, Ibu?" tanya Ethan, ragu-ragu.

"Banyak sekali. Bahkan teman-teman, saudara-saudara Ayah dan Ibu sendiri," ujar Levi.

Kedua anak itu tertunduk, bahkan ketika Gloria, kucing kelabu berkaki tiga peliharaan mereka mati bulan lalu, keduanya menangis karena tahu mereka tidak akan bisa bertemu dan bermain dengan Gloria lagi. Sampai kapanpun. Dan ini adalah teman-teman dan saudara Ayah-Ibu mereka. Mereka tidak terbayang apabila tidak bisa bertemu dengan Irene, Fred, Bibi Mikasa, Paman Jean, Paman Armin, Bibi Annie, Audrey, Paman Connie, Abigail… dan lain-lain, untuk selamanya.

"Apakah Marley… yang membunuh mereka?" tanya Lily. Teringat pernyataan Warren di kelas, mengenai Marley yang membunuh saudara-saudaranya. Suaranya sedikit bergetar, tidak lagi sepercaya diri tadi.

"Ibu tidak bisa menjawab itu. Tidak untuk saat ini, setidaknya. Lily, bagaimana kalau kau bercerita sedikit mengenai apa yang kau pelajari mengenai perang Paradis Marley, baik di sekolah ataupun dari apa yang kau baca di perpustakaan?"

Lily mulai bercerita. Nada suaranya tidak seperti celotehnya sehari-hari. Ia terdengar lebih… sendu? Entahlah, mungkin ia paham seserius apa pembicaraan ini. Dari sorot tatap Ayahnya yang berbeda dari biasanya dan dari warna suara Ibunya yang sedikit kelabu. Ia bercerita tentang pelajaran Geografi di sekolah, tentang Pulau Paradis dan Marley. Tentang sejarah Pulau Paradis – tanggal di mana mereka diakui sebagai negara resmi oleh Aliansi Bangsa, hari yang mereka peringati setiap tahunnya. Lalu berkilas balik jauh sebelumnya. Tentang Raja Fritz ke 145 yang mengasingkan bangsa Eldia ke pulau Paradis. Tentang perang Titan yang berlangsung 100 tahun lamanya, masa di mana Paradis terkungkung diantara tiga tembok raksasa Maria, Rose dan Sina. Tentang sayap kebebasan – Pasukan Survey Corps yang legendaris dan perlawanan mereka melawan titan hingga tahun 850. Tentang ketika Paradis kembali membuka dirinya dari isolasi satu abadnya. Lalu berujung pada konflik Paradis-Marley dan berpuncak pada rumbling pada tahun 854.

Sejarah mereduksi semuanya menjadi kumpulan nama, tanggal dan angka. Lebih mudah untuk dipelajari, memang. Namun, apakah mereka yang hanya mendengar sadar bahwa tanggal dan angka tersebut bukan sekedar tanggal dan angka? Jutaan nyawa yang melayang saat rumbling – mereka bukan hanya representasi dari angka. Mereka adalah manusia dengan hidup dan cita-cita masing-masing. Dengan keluarga yang mengharapkan mereka selamat. Waktu seratus tahun dalam perang titan – terbayangkah mereka betapa selama satu abad, para bangsa Eldia tidak dapat hidup tenang? Setiap hari seakan dibayang-bayangi kematian, suasana terkungkung dan mencekam yang membayangi seperti awan kelabu menaungi hari, bulan, dan tahun mereka di dalam tembok? Seperti apa kacaunya hari itu ketika Rumbling terjadi dan bagaimana pasukan aliansi setengah mati berpacu dengan waktu untuk menghentikan kehancuran besar-besaran?

Lalu… nama-nama tersebut, Komandan Erwin Smith yang gugur pada pertarungan Shiganshina – apakah dunia melihatnya sebagai sebuah sosok pemimpin pertarungan yang gagah berani, bukan seseorang yang setengah mati mengejar mimpi kosongnya – dan membuangnya begitu saja saat ia terpaksa memberikan nyawanya sendiri demi kepentingan dan harapan-harapan orang lain? Bukan. Bukan hanya Erwin sang komandan, tetapi Erwin yang pemberani, yang tidak bisa melawak, yang membuang cintanya sendiri, yang lebih menyukai air jahe dibandingkan bir? Apakah ada yang mengenal itu?

Dan sang pemberontak Eren Yeager… Mendengar nama itu disebut kembali setelah bertahun-tahun…

Hange menghela nafasnya. Levi memejamkan matanya sekilas. Membukanya kembali, dan menatap mata kelabu dan cokelat putera-puterinya.

Mereka adalah generasi anak-anak yang terlahir tanpa mengetahui apa itu perang. Di satu sisi mereka lega bahwa Lily dan Ethan lahir pada masa di mana mereka harus mencemaskan hidup mereka di setiap harinya. Namun, untuk hal ini – mereka seakan harus menyebrangi sebuah jurang tak terlihat. Antara sepasang orangtua yang menghabiskan masa kanak-kanak dan dewasanya untuk berperang dan dua orang anak yang hanya mengenal perdamaian seumur hidupnya. Namun, bagaimanapun mereka harus menceritakan ini – agar Lily dan Ethan menyadari, betapa berharganya perdamaian yang mereka rasakan saat ini, dan bagaimana sulitnya usaha bukan hanya untuk menggapainya, tetapi juga untuk mempertahankannya.

"Hebat Lily. Bagaimana bisa kau tahu sebanyak itu mengenai perang Paradis-Marley?" puji Hange. Puterinya yang masih belia itu ternyata sudah melahap entah berapa buku sejarah, sehingga dapat menceritakan mengenai sejarah Paradis-Marley dengan cukup lengkap.

"Nah, sekarang, coba kalian baca artikel ini."

Sebuah artikel dari surat kabar Beurg, sekitar hampir 11 tahun yang lalu. Kedua anak itu memegang carikan surat kabar tersebut di tangan mereka, mata memindai satu persatu kata dan huruf yang tercetak.

"Aku tahu ini! Ini perjanjian Edo yang disebut di buku sejarah kan? Perjanjian damai antara Paradis dan Marley!" seru Lily.

"Dan ini pasti foto Ibu ketika menandatangani perjanjiannya kan!" jemarinya menunjuk foto di tengah-tengah artikel surat kabar tersebut.

"Tepat sekali. Itu Ibu… dan Lily," tambah wanita paruh baya berambut cokelat itu, menatap anak gadisnya.

"Ibumu belum sadar waktu itu, tetapi kenyataannya waktu itu ia sudah mengandung hampir dua bulan," ucap ayah mereka.

"Jadi aku ikut menandatangani perjanjian damai Paradis-Marley? Keren!" pekik Lily, matanya yang besar berbinar-binar. Levi tidak tahan untuk mengacak rambut hitam Lily yang tergerai.

"Dan itu adalah tugas terakhir Ibu sebagai Komandan Survey Corps," Hange menyatakannya dengan bangga. 'Sudah seharusnya seperti itu,' batin Levi. Ia lega – setidaknya sebelas tahun setelahnya, Hange dapat menyatakan dengan bangga mengenai masa jabatannya sebagai komandan Survey Corps. Meskipun luar biasa berat (bahkan pernyataan tersebut, menurut Levi, tidak dapat menggambarkan bagaimana masa jabatan istrinya sebagai komandan pada masa itu) ia berhasil membawa Survey Corps sebagai pasukan yang membuka gerbang Paradis pada dunia. Bukankah itu tugas mereka sebagai Survey Corps?

Setelahnya, Paradis menjalani reformasi pemerintahan besar-besaran. Sebuah negara terisolir yang sebelumnya hampir seluruhnya di bawah kendali militer dan kini membuka diri mereka pada dunia, banyak yang harus diubah. Mereka tidak lagi melawan titan, sehingga ketiga divisi – Military Police Brigade, Garrison Regiment, dan Survey Corps dileburkan. Reformasi militer dengan seorang pemuda luar biasa, Armin Arlert sebagai pemimpinnya. Pembentukan badan-badan baru seperti Badan Riset dan Teknologi, Biro Transportasi dan Logistik yang mengelola pelabuhan dan rel Paradis, hingga menunjuk duta besar Paradis untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain. Proses revolusi yang berat – terutama pada tahun-tahun pertama dengan pemberontakan dan protes di sana-sini. Paradis benar-benar terlahir kembali sebagai sebuah negara, merangkak mencoba mengejar ketertinggalan mereka pada dunia.

"Nah, sekarang Ibu bertanya sedikit pada kalian. Apakah kalian sudah benar-benar membaca surat kabar tadi?"

Keduanya mengangguk.

"Jadi, siapa Marley sekarang bagi Paradis?" tanyanya lagi.

"Negara tetanga….?" jawab Ethan ragu-ragu.

"Benar sekali Ethan."

"Lalu apa bedanya penjelasan Ibu dan Ayah dengan penjelasan Ms. Sonja di sekolah?" protes Lily.

"Sudah kami duga kau pasti akan bertanya demikian Lily," potong Levi sebelum gadis cilik itu melanjutkan protesnya.

"Sekarang, sudah berapa lama Marley dan Paradis berdamai?"

"11 tahun…"

"Dan perangnya?"

"Lebih dari 100 tahun," gumamnya.

"Ayah dan Ibu," Levi memulai "dulu harus memerangi Titan, dan pasukan Marley. Selama belasan tahun. Kami semua, dulu hidup dalam ketakutan akan Titan yang dikirim dari pelabuhan Marley – bahkan jauh sebelum kami mengetahui asal-usul mereka"

Ia menghilangkan bagian bahwa Titan sendiri adalah aslinya bangsa Eldia yang telah diubah menjadi raksasa pembunuh oleh Marley. Belum saatnya. Sampai detik ini terkadang Levi masih mual apabila ia memikirkan bahwa ia adalah seorang pembunuh - yang telah membunuh entah berapa ribu orang Eldia dalam wujud Titan mereka. Ia akan melakukan apapun agar Lily dan Ethan, mereka, sama sekali tidak perlu mengotori tangan mereka dengan darah seumur hidupnya. Tidak sepertinya dan Hange.

"Hidup dalam ketakutan seperti itu," sambung Hange "Kita semua berpikir bahwa Marley adalah musuh. Terlebih, Ibu dan Ayah adalah prajurit. Kita dilatih untuk berperang. Melawan. Dalam perang – pilihannya adalah kau menyerang atau diserang. Banyak teman-teman kita yang terluka, bahkan sampai meninggal.

Bayangkan apabila ada yang menyakiti teman atau saudaramu? Kau pasti marah kan? Dan ingin melawan?"

Kedua mantan prajurit itu kembali menarik nafas. Mengingat kembali masa-masa perang di tengah perdamaian, bukan sesuatu yang mudah. Apalagi dengan dunia yang mengglorifikasi kemenangan mereka – sementara pada faktanya, mereka pun telah melumuri tangan mereka dengan darah rekan mereka sendiri.

"Namun, ketika kami bertemu dengan Onyankopon, Niccolo, Pieck, Jenderal Magath, Gabi, Falco, bahkan Reiner dan Annie – kami akhirnya bisa berbicara satu sama lain," di suatu malam, di tengah api unggun, sambil berbagi sup. Astaga, entah betapa normalnya hal tersebut terdengar. Melupakan bahwa waktu itu yang mendorong mereka untuk bersatu adalah fakta bahwa mereka harus mencegah sebuah peristiwa bumihangus untuk terjadi.

"Dan ternyata, mereka ternyata tidak jauh berbeda dari kita semua. Benar kan, kenyataannya, coba lihat sini – Lily, Ethan, Ayah, Ibu, Paman Onyankopon, Paman Niccolo, Bibi Annie, Paman Armin, Audrey... Kita semua manusia kan?" tambahnya, mengenggam tangan Ethan dan Lily sebagai penegas. Tanpa kata-kata. Lihat, rasakan. Genggaman tangan ini, kulit dan tulang ini – kita sama kan? Manusia.

"Warna kulit, bahasa, dan negara kita mungkin berbeda, tapi kita semua tetap manusia," lanjut Hange pada kedua anaknya. Menirukan apa yang diucapkan oleh Onyankopon pada Sasha, belasan tahun yang lalu.

"Lalu… Untuk apa sebenarnya kita saling menyakiti satu sama lain kan? Karena dendam? Sesuatu yang telah terjadi ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu? Apakah hal tersebut harus kita lakukan terus? Saling menyakiti, saling berperang tanpa henti?"

"Kau tahu, Paman Armin itu sangat cerdas," potong Levi "dulu ia selalu berkata bahwa 'bisakah kita berbicara dulu?'" dan pada saat itu banyak orang yang meremehkan pria yang saat ini menjadi komandan militer Paradis itu.

"Dan ia benar. Kau lihat kan bagaimana perang ini diakhiri? Ibu dan Ratu Historia, juga Paman Armin, Bibi Mikasa, para pasukan aliansi dan Marley – kita berbicara satu sama lain," jari telunjuk Hange kembali menunjuk pada foto di surat kabar. Bukan, bukan hanya di sebuah aula besar di ibukota Hizuru. Mereka berbicara sejak malam itu, mengelilingi sebuah api ungun dibayangi sebuah peristiwa katastrofik. Namun mereka akhirnya dapat berbicara satu sama lain. Tanpa membunuh satu sama lain, pikirnya, teringat ucapannya pada aliansi di malam itu, menyantap sup dan menghangatkan diri dari api unggun. Betapa bodohnya mereka? Selama ini untuk apa mereka saling membunuh?

Ya, benar, pembicaraan pertama mereka tidak benar-benar damai – mereka tetap saling memukul, saling berteriak dan menyalahkan satu sama lain, namun luapan emosi itu yang akhirnya membuat mereka sadar bahwa yang berada di hadapan mereka sama sekali bukan iblis tetapi manusia.

Levi mengambil satu buah foto berbingkai di meja kerjanya. Foto yang diambil pertama kali ketika mereka di Marley, di studio foto sederhana milik seorang warga keturunan Eldia. Ada tujuh orang di sana, tentu kedua anak itu langsung mengenali kedua orangtua mereka yang duduk di tengah. Di sisi kanan, ada Paman Armin dan Bibi Mikasa. Di sisi kiri ada Paman Connie dan Paman Jean – semuanya terlihat begitu muda. Dan seorang gadis berambut cokelat.

"Ini… Bibi Sasha kan?" tanya Ethan, menunjuk gadis berambut cokelat dengan rambut yang diikat.

"Benar," jawab Levi "Ia meninggal saat kita berperang dengan Marley."

Mereka berdua mengenal nama Sasha Braus. Namun melihat wajahnya yang tersenyum bahagia dan berfoto bersama Ayah-Ibu dan Paman Bibi mereka, seketika Sasha Braus bukan hanya seseorang yang mereka pernah dengar namanya. Ia seorang manusia sungguhan. Seorang gadis yang pada suatu waktu dekat dengan orangtua mereka dan berteman dengan paman bibi mereka. Dan ia telah pergi selamanya karena peperangan. Perang… memang bisa merenggut teman dan keluarga seseorang begitu saja, dan tidak meninggalkan apa-apa kecuali rasa kehilangan.

Jari kedua anak itu menelusuri wajah Sasha di dalam foto. Senyumnya. Mata dan rambutnya yang serupa dengan ibu mereka.

"Siapa… yang membunuh Bibi Sasha?" tanya Lily.

Para veteran prajurit itu tersentak. Tidak, untuk hal ini mereka tidak bisa menceritakan siapa. Apa yang terjadi dalam perang – kau membunuh atau terbunuh, hanya akan menyisakan dendam tak berujung.

"Ibu dan Ayah berada di sana, kalian tahu," Hange memulai ceritanya "Pertarungan Liberio. Kalian tahu kota Liberio kan? Kita bertarung dengan pesawat terbang. Kita tidak hanya kehilangan Bibi Sasha malam itu, tetapi kota Liberio juga hancur lebur akibat penyerangan. Waktu itu paman bibimu menangis semalaman setelah pertarungan. Meskipun kehilangan bibi Sasha, kita memenangkan pertarungan itu."

"Yang mengejutkan Ibumu justru Paman Jean-mu," sambung Levi "Kalian tahu, Paman Jean dan Paman Connie adalah sahabat dekat Bibi Sasha-mu."

Terbayangkah kalian betapa sedihnya ia? Kata-kata itu tidak terucap, namun terdengar di telinga keduanya.

"Dua minggu setelahnya Paman Jean meminta untuk berbicara pribadi dengan Ibu. Ia bertanya, apakah kita harus melakukan penyerangan lagi berikutnya? Ibu berpikir, mungkinkah Paman Jean masih khawatir ia akan kehilangan teman lagi? Ternyata tidak, ia bertanya pada Ibu – apakah kita harus berperang dan membunuh lagi? Kota Liberio hancur lebur malam itu – banyak penduduk tak berdosa yang meninggal, belum lagi rumah mereka yang runtuh? Kalian terbayang apabila rumah ini tiba-tiba runtuh karena diserang?

Bukan hanya kami yang berduka malam itu. Tapi… begitulah perang. Kejam. Kejam sekali, dan apabila kita terus menerus membalaskan dendam dan saling menyakiti satu sama lain – tidak akan ada akhirnya, nak. Paman Jean dan Paman Armin kalian benar."

Ethan mengangguk. Begitupun Lily, namun sorot matanya masih berapi-api. Hange tersenyum, bibirnya yang penuh melengkung. Jemarinya bergerak.

"Itulah mengapa, apabila kau harus menyelesaikan masalah," mulainya.

"Pertama, kau gunakan dulu kepalamu," telunjuknya menyentuh dahi Lily.

"Lalu kata-katamu," menunjuk bibir tipis Lily.

"Baru terakhir, tanganmu," jarinya menepuk pelan punggung tangan Lily.

Levi lalu mengeluarkan sebagian besar isi dari kotak kayu tersebut dan meletakkan satu persatu isinya di lantai. Kotak yang mengubur kenangan mereka sebagai prajurit selama bertahun-tahun. Lencana, penghargaan, medali, dan entah berapa banyak pernah-pernik lainnya.

"Besok pagi kalian libur kan?" tanya Levi "Kalian boleh bertanya semalaman ini pada Ayah dan Ibu."

Di dasar kotak kayu, ada satu lagi cetakan foto serupa dengan foto tersebut. Masih utuh, mereka duduk bersama. Delapan orang, Levi dan Hange di tengah, di sisi kiri mereka Jean, Connie, lalu Sasha. Di sisi kanan mereka Armin, Mikasa – dan Eren di ujung kanan. Senyum mereka terekam permanen dalam gambar. Senyum tulus terakhir seorang Eren Yeager. Sebelum ia berlari keluar tiba-tiba dari studio foto, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. Biarkanlah dulu memori itu terkubur untuk saat ini, biar menjadi cerita untuk di lain waktu. Suatu saat, mereka harus menceritakan juga mengenai hal tersebut, bagaimana seorang pemuda yang mencita-citakan kebebasan – terdorong pada titik kataklismik, mengambil amarah dan hampir memusnahkan semua orang yang akan merenggut kebebasannya.

Suatu hari nanti, ketika kedua anak tersebut sudah cukup dewasa, sudah lebih tenang, dan paham bahwa memahami dan memaafkan lebih kuat daripada menyimpan dendam.

Levi dan Hange bersumpah, setidaknya, mereka harus bisa menanamkan hal tersebut di dalam hati Lily Louise Ackerman dan Ethan Raymond Ackerman. Kedua anak yang terlahir dalam perdamaian. Dan akan besar menjadi orang-orang dewasa yang menghargai perdamaian yang mereka miliki. Apa yang sebelumnya telah diraih susah payah oleh perjuangan pendahulu mereka.


Those who does not learn from history, are bound to repeat it

And those who are fed by grudge and revenge are bound to be consumed by it


Sabtu, 26 Juli 867

Pukul 06.00. Hari masih pagi. Matahari sudah naik cukup tinggi, tapi itu semata-mata karena musim panas. Kebanyakan orang masih memilih untuk menutup tirai mereka dan bergelung di balik selimut tipis. Cuaca hari ini indah, tidak terlalu panas. Seorang pria berambut cokelat tengah menalikan tali sepatunya di depan pintu ruang tamunya. Meskipun hari masih pagi, ini adalah hari ulang tahun sahabatnya. Biarlah ia mengunjunginya terlebih dahulu.

"Ayah," ujar Frederick, menarik ujung jaket Jean.

"Fred?"

"Ayah… akan ke makam Bibi Sasha kah hari ini?" tanya anak lelaki itu.

Jean mengangguk, biasanya mereka berdua pergi sebelum anak-anak terbangun, dan kembali dengan membawa sarapan.

"Ayah tidak pergi bersama Ibu kah? Hari ini hari ulang tahun Bibi Sasha kan?" tanya Fred. Anak lelaki berambut cokelat itu sudah hafal dengan kebiasaan orangtuanya. Mengunjungi "teman lama" mereka di tiap hari ulangtahunnya.

"Ibumu masih kelelahan Fred. Coba lihatlah ke meja makan, banyak berkas-berkas pekerjaan ibumu yang diselesaikannya sampai larut malam. Ditambah sekarang sedang ada adik bayi di perut ibumu kan?" Jean menjelaskan pada putranya.

"Mungkin Ibu akan menyusul nanti siang, kalau tidak pun – biarkan ia beristirahat dulu. Sekarang apa kau mau ikut Ayah?" ajaknya pada puteranya.

Fred mengangguk dan menggenggam tangan ayahnya. Ayah dan anak itu pun melangkah di bawah cerah mentari bulan Juli. Melewati kios bunga di ujung jalan, membeli sebuket bunga tulip merah muda dan bunga matahari, diikat dengan seutas pita berwarna kuning.

Pemakaman prajurit Paradis terlihat senyap seperti biasa. Dengan jajaran nisan batu kelabu, bertuliskan nama dari sang mendiang. Bahkan sinar mentari tidak dapat menembus suasana duka yang ada, tetapi, untuk hari itu Jean datang dengan senyum tipis di bibirnya. Setiap kali ia mengunjungi Sasha, ia berusaha untuk tersenyum – seperti senyum Sasha untuk dirinya dan Connie yang ia lihat untuk terakhir kalinya. Ia tidak mau Sasha bersedih melihat dirinya yang murung. Sasha, yang selalu ceria dan membawa kebahagiaan bagi teman-temannya seumur hidupnya.

Ternyata sudah ada orang yang mendahuluinya tiba di sana, seorang pria sebayanya dengan rambut tercukur botak yang sudah menjadi ciri khasnya sejak remaja.

"Connie," sapa Jean pada sahabat kentalnya "Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Aku? Tentu saja baik!" jawabnya, ceria seperti biasa. Ia tampak menggandeng seorang anak perempuan. Gadis cilik berambut sebahu itu terlihat masih mengantuk, sama seperti Fred. Ah, ya, biasanya mereka tidak bangun sepagi ini di hari Sabtu.

"Hahaha... ada yang masih mengantuk sepertinya. Abigail kukuh ingin ikut ayahnya tadi pagi," kekeh Connie "Abby, ayo sapa temanmu."

Gadis cilik berusia lima tahun itu menguap, namun melambaikan tangannya pada bocah lelaki di hadapannya.

"Hai Fred…"

"Hai Abby…"

Jean dan Connie terkekeh. Pandangan mata Jean menangkap sebuket bunga marigold yang dibawa Connie.

"Hey, Connie, langsung saja kah?"

Connie mengangguk. Mereka menuntun anak-anak ke hadapan sebuah nisan dengan tulisan nama "Sasha Braus".

Sasha Braus

Daughter of Arthur Braus

A brave soldier, hunter, and beloved friend

Dedicated her heart to Paradis

"Selamat ulangtahun, Sasha," bisik Jean dan Connie, meletakkan buket bunga di atas pusara Sasha. Marigold yang berwarna jingga dan kuning, cerah berapi-api, bunga matahari – cerah seperti Sasha yang lahir pada musim panas, dan tulip merah jambu yang lembut. Dan sebuket bunga heliotrope ungu dan carnation merah muda. Bukan dari Jean atau Connie, apalagi dengan kelopaknya yang sedikit dihiasi tetes embun.

Pasti Niccolo. Pria itu pasti telah meletakkan bunga ini, bersama dengan keluarga Sasha, bahkan sebelum embun pagi muncul. Jean paham perasaan itu. Sekali kau mencintai seseorang, kau tidak akan pernah melupakan orang tersebut. Seperti apa yang selalu dilakukan Mikasa pada hari ulangtahun Eren. Dan ia tahu, Armin pun melakukan hal yang sama. Ikatan emosional manusia – adalah sesuatu yang bahkan lebih kuat daripada kematian.

Jean dan Mikasa memang saling mencintai, namun Mikasa akan tetap selamanya mencintai Eren pula. Ia sama sekali tidak akan pernah menjadi pengganti Eren. Jean adalah Jean dan Eren adalah Eren. Mikasa mencintai keduanya dengan berbeda, dan ia menerima itu. Bahkan, ketika ia akhirnya berani menyatakan perasaannya pada Mikasa – mereka berdua membicarakan hal tersebut dengan sungguh-sungguh. Betapa bahagianya ia ketika Mikasa mengatakan ia mau membuka hatinya, dan ia bersumpah akan menjaga hati itu hingga akhir hayatnya.

Jean menepuk punggung puteranya.

"Apa kabarmu Sasha? Hari ini kau kedatangan tamu spesial di hari ulangtahunmu. Bagaimana kalau kau memperkenalkan dirimu?" tanyanya.

Fred meletakkan kepalan tangannya di atas jantungnya, dan tangan satunya di belakang pinggangnya. Penghormatan khas tentara Paradis, sering ia tiru dari Ayahnya.

"Siap! Frederick Alexander Kirschtein! Usiaku 5 tahun!"

Jean tertawa dan mengelus kepala puteranya. Fred tetap pada posisi salute-nya. Bibi Sasha adalah seorang prajurit – ia harus menghormatinya seperti seharusnya kan?

"Abby, giliranmu," sambung Connie, mengelus rambut jingga gadis ciliknya.

"Bibi Sasha! Namaku Abigail Sasha Springer. Bagus kan? Nama tengahku sama seperti namamu!" serunya. Kantuknya seperti lenyap entah kemana.

"Ayah, apa bibi Sasha bisa mendengar kami, yah?" tanya Abby.

"Bisa nak," jawab Connie sabar "Namun – kita tidak bisa bercakap-cakap dengannya. Tetapi, bagi Ayah dan Paman Jean – terlepas dari apakah kita bisa bercakap-cakap atau tidak dengan Bibi Sasha, kami hanya ingin ia mengenal keponakannya yang sudah semakin besar ini. Kau tahu, Bibi Sasha pasti akan sangat senang bermain dengan kalian apabila ia masih hidup. Ia adalah orang yang paling menyenangkan yang pernah Ayah kenal. Ayah, Paman Jean, dan Bibi Sasha – kita bertiga sudah seperti kakak beradik selama menjadi prajurit dulu."

Jean mengangguk. Sepenuhnya setuju. Sasha yang hangat, ramah, dan menyenangkan pasti akan senang bertemu dengan keponakan-keponakannya. Bahkan – bukan tidak mungkin, apabila Sasha masih bertahan hidup hingga sekarang, ia juga telah memiliki seorang anak? Sasha dan putra-putrinya yang berambut cokelat dan pirang – ia pasti akan menjadi seorang ibu yang luar biasa. Anak-anak mereka akan bermain sepulang sekolah dan makan bersama di akhir pekan.

Mungkin, hal itu dapat terjadi di sebuah dunia yang tidak mengenal perang. Untuk saat ini, biarlah Jean dan Connie mengenang Sasha, bercerita mengenai hari-hari yang mereka lalui – hingga mungkin suatu saat nanti mereka dapat berkumpul kembali, dan mereka akan memiliki waktu yang tak hingga untuk kembali bercanda seperti dulu kala.

Ia dan Connie menangkupkan tangan mereka berdua, lalu menunduk dan berdoa. Keduanya lanjut berbicara pada Sasha, duduk di sisi makam. Bagaimana keluarganya, ayah dan ibu Sasha yang memperlakukan Jean dan Connie seperti anak kandung mereka sendiri. Tentang anak-anak panti asuhan yang diasuh oleh orangtua Sasha. Peternakan yang dikelola orangtuanya. Lalu, tentang Kaya yang kini memulai pekerjaannya sebagai seorang insinyur di pelabuhan. Juga bagaimana ibu Connie yang sangat hobi memanjakan Abigail. Bagaimana pekerjaan mereka akhir-akhir ini. Bagaimana Jean sering merasa tidak enak pada Armin yang sepertinya semakin sibuk. Tentang restoran Niccolo. Tentang kedai teh Levi, dan mereka yang sering berkumpul di akhir pekan di sana – bernostalgia, lalu berkomplot dengan Hange dan Lily untuk mengerjai mantan kapten itu. Tentang jajanan baru yang dibawa oleh para imigran ("Sasha pasti iri sekali tidak pernah bisa mencoba bunggeoppang berisi kacang merah atau baklava Ankara yang berlapis-lapis!").

Sayup-sayup Jean mendengar suaranya dipanggil. Ia kenal sekali suara itu.

"Jean!" panggil Mikasa, menggandeng tangan Irene seraya mengenggam sebuket mawar kuning dan pear blossom. Mikasa ternyata menyusulnya!

"Mikasa? Bukankah kau masih tertidur tadi?" tanyanya.

"Aku terbangun tidak lama setelah kau berangkat," jawab Mikasa "Kau tahu, aku juga ingin memberikan ucapan selamat ulangtahunku pada Sasha. Ia juga sahabatku dan teman sekamarku selama bertahun-tahun."

Wanita berambut hitam itu memelankan langkahnya, sebelum berlutut dengan sangat berhati-hati untuk meletakkan buket bunga miliknya pada makam Sasha, lalu mengelus nisannya.

"Maaf aku sedikit terlambat, Sasha, selamat ulang tahun," bisiknya.

"Kurasa, ada seorang lagi yang ingin bertemu denganmu hari ini. Irene, ucapkan salam pada Bibi Sasha," ucap Jean, ganti mendorong pelan pundak puterinya.

Irene menundukkan kepalanya, seperti kebiasaan orang-orang Hizuru.

"Bibi Sasha – Namaku Irene Alexandra Kirschtein. Senang bertemu denganmu."

Semilir angin bertiup, menyebarkan harum bunga dan beberapa kelopaknya berterbangan di sekitar mereka. Mungkin di benak ketiga orang itu berpikir bahwa dunia tidak adil, mengapa hanya mereka yang semakin dewasa dan menua, sementara Sasha sudah terbekukan oleh waktu. Tangan-tangan saling menggenggam di dekat pusara tersebut. Untuk sementara ini – biarkan mereka menikmati waktu bersama. Dalam benak mereka, seorang gadis dengan rambut dan mata cokelatnya yang hangat, tengah menatap mereka dan tersenyum jenaka seperti biasa – turut senang akan kebahagiaan sahabat-sahabatnya.


Di sudut pemakaman lain, terdapat satu buah pusara tak bernama. Tidak ada yang istimewa - selain letaknya yang berada di bawah pohon besar di puncak bukit. Pusara itu terletak di antara ribuan pusara tak bernama lainnya. Milik para tentara tak bernama yang gugur pada saat perang Paradis-Marley.

Warnanya nisannya sama, kelabu seperti nisan-nisan lainnya. Hanya ada tanda bintang, seperti nisan anonim lainnya. Adapun pengunjung yang datang mengunjungi pusara-pusara tersebut umumnya tidak khusus mengunjungi satu makam, namun menyampaikan doanya untuk teman atau kerabat mereka yang hilang begitu saja saat perang tanpa sempat teridentifikasi.

Namun berbeda dengan pusara tersebut, apabila kau duduk di bawah bayangan pohon, kau bisa melihat sebuah ukiran kecil di sudut bawah, hampir tidak terdeteksi – ukiran sayap kebebasan, huruf inisial E.Y. serta tulisan sahabat dan cinta pertama.

Tak lain dan tak bukan, makam sang Pemberontak Eren Yeager. Ironisnya ia dimakamkan bersama ribuan tentara tak bernama lainnya, yang gugur akibat tindakannya. Di mata dunia, entah dosa apa yang telah ia perbuat hingga mengakibatkan jutaan nyawa melayang dan kehancuran pada entah berapa belahan dunia. Begitupun di mana pasukan aliansi Eldia-Marley yang pada masanya terpaksa menumpahkan darah untuk menghentikan peristiwa yang hampir meratakan bumi. Dunia memandang Eren Yeager sebagai seorang penjahat perang yang tidak memiliki perikemanusiaan.

Mereka semua masih teringat hari itu. Kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Pada saat matahari terbenam, setelah mereka menghentikan Rumbling. Pesawat Onyankopon yang membawa mereka semua dari medang perang mendarat di satu tebing di tepi pantai Pulau Paradis, dan para pasukan aliansi yang kelelahan dan berdarah-darah berhenti untuk bermalam.

Setelah mengecek cedera dan luka satu sama lain - para anggota Survey Corps langsung menangis sejadi-jadinya. Mereka semua menangis, meraung, dan menjerit. Awalnya hanya Mikasa seorang yang jatuh terduduk lalu terisak dalam diam, kemudian Armin... dan ketika melihat wajah sahabatnya berderai air mata, tangisan Mikasa semakin deras, dan kemudian ia menjerit. Jerit yang sulit dijabarkan sebagai emosi apapun itu. Lalu Jean dan Connie, yang sudah meneteskan air mata seusai bertarung dengan Titan Eren - dan kali ini kembali gagal membendung emosi mereka. Bahkan kapten Levi, yang biasanya terlihat hanya dengan ekspresi congkak atau bosan - ikut berurai air mata dengan wajah hampa, sambil memeluk Hange yang tengah histeris. Reiner dan Annie pun tampak menitikkan air mata.

Mungkin bagi para pasukan Marley, mereka menangis karena lelah akan peperangan dan harus membunuh teman sebangsa sendiri. Namun semua lebih dari itu. Bagaimana bisa kau membunuh seseorang yang kau anggap sebagai teman, saudara, bahkan anak sendiri? Ini kah hukuman mereka karena selama ini sebagai prajurit mereka telah banyak membunuh?

Mikasa dan Armin - semua anggota Survey Corps tahu bagaimana hubungan mereka dengan Eren. Keduanya pernah diselamatkan oleh Eren di masa lalu. Armin, sahabat masa kecil Eren, dan Mikasa, entah bagaimanapun – Eren adalah cinta pertamanya. Jean dan Connie, yang selama ini berjuang bersama, bercanda, bertengkar dengannya. Jean akhirnya mengerti bagaimana perasaan Sasha yang menangis ketika mereka harus menghabisi Reiner di Shiganshina. 'Sasha, Connie, maafkan aku tidak bisa mengerti perasaan kalian saat itu,' batin Jean saat masih menangis. Reiner dan Annie - bagaimanapun pernah merasakan berlatih bersama di masa muda mereka. Dan mungkin juga tangis mereka adalah rasa dihantui perasaan bersalah, karena kejadian ini juga buah dari tindakan mereka di masa lalu?

Sayup-sayup Jean mendengar Hange berbisik 'Eren idiot. Eren…' di sela-sela tangisnya. Sudah rahasia umum, komandan mereka itu seperti sosok ibu bagi para prajurit muda di Survey Corps yang kebanyakan sudah kehilangan orangtua - khususnya para pejuang pertarungan Shiganshina.

Rasa sakit akibat pengkhianatan kawan seperjuangan, bercampur dengan keputusasaan bahwa dunia yang sebelumnya telah memutuskan untuk menghancurkan Pulau Paradis yang dipandang sebagai Pulau Iblis. Entahlah semuanya terasa surreal dan luar biasa berat bagi para pasukan Survey Corps yang dulunya berjuang bersama dengan Eren Yeager. Entah apa yang mereka rasakan dalam malam itu, tidak ada kata yang mampu untuk menggambarkannya – dan selamanya tidak akan ada.

Mereka semua meratap sampai tertidur malam itu. Pasukan Marley seperti Pieck dan Onyankopon bergantian berjaga, membiarkan mereka semua tumpah terlarut dalam emosi untuk semalam. Ketika mentari kembali menampakkan dirinya dari ufuk Timur, Hange selaku pemimpin aliansi membangunkan mereka semua satu persatu - untuk berangkat kembali menuju ibukota Paradis. Mereka segera memasang kembali seragam mereka – serta topeng netral tanda ketabahan seorang prajurit. Perjalanan panjang menanti mereka.

Di sana mereka semua mendapatkan sambutan bagai pahlawan, bahkan perwakilan dari Aliansi Bangsa menyempatkan diri untuk hadir di samping perwakilan Parlemen. Medali-medali dan upacara-upacara kehormatan menanti mereka. Sorak-sorai kerumunan mulai dari kedatangan mereka hingga akhir dari rangkaian upacara panjang penyematan medali entah apa itu oleh Sekretaris Aliansi Bangsa, semuanya seakan memudar ke latar belakang. Semua ini….

Entah apa artinya…

Apa yang mereka rasakan, seperti pasca-pertarungan Shiganshina. Tidak. Ini lebih parah. Ribuan kali lebih parah dibandingkan itu. Ya, mereka memang telah memenangkan pertarungan yang hampir meluluh lantakkan seluruh dunia. Namun, atas dasar apa?

Mengapa hanya mereka yang kini berdiri di sini? Apakah dunia memang harus memiliki seseorang untuk dibenci dan dijadikan musuh bersama dulu untuk berdamai? Apakah harus mereka membunuh dulu untuk mencapai titik ini? Apakah ini yang harus mereka pertaruhkan demi perdamaian? Demi… kebebasan?

Setinggi apapun penghargaan yang mereka peroleh hari itu, semuanya berakhir di dalam sebuah kotak berdebu yang tak tersentuh. Lencana itu, sebetapapun indahnya, tidak ada artinya apa-apa.

Suatu hari nanti – mungkin mereka akan menceritakan kisah tentang Eren Yeager pada anak-anak mereka. Bukan sebagai pahlawan, bukan juga sebagai penjahat. Tetapi sebagai seorang anak laki-laki yang diperbudak oleh kebebasan – yang bertindak sinting karena penglihatan akan masa depan dan kehancuran. Bukan berarti tindakannya benar. Membunuh, apalagi genosida tetap merupakan tindakan salah. Sebuah dosa besar yang tak termaafkan. Tapi, lihatlah bagaimana dunia dapat mendorong seseorang untuk menjadi seorang maniak demi sesuatu yang seharusnya dapat dicapai tanpa pertumpahan darah. Lihat bagaimana manusia yang selalu bertikai tidak akan bisa berdamai apabila tidak dipaksa – oleh sebuah bencana, bahkan. Mungkin mereka tidak bisa menceritakan kisah ini pada dunia, tetapi biarkan mereka membaginya pada orang-orang yang kini menjadi bagian dari dunia mereka.


Senin, 28 Juli 867

Di luar sana langit biru, mentari bersinar. Suara kanak-kanak ramai terdengar diiringi derai tawa, bersahutan dengan derap langkah kaki mereka dan dentang lonceng sekolah. Burung berterbangan bebas dengan latar langit biru tanpa ada dinding yang mengurung mereka.

Bukankah kebebasan dan perdamaian seperti ini yang membuat mereka semua bertarung – mempertaruhkan nyawa dan membaktikan hati mereka?


Our mighty fallen

Begotten power

Shoulder to shoulder

Never surrender

Apples drop beside the tree

Old man please, remember me and

All of us still chase our dream

Underneath the canopy

Steady we ride

Silhouette flying over the grass

As the daylight now dies

Our stallions breathing their last

Duty chains us

Our demons haunt us

Fighting for seeds of our crown

Death by sundown!

Steady we ride

Watching scenes playing out from our past

Like the smell of her hair

Those times always fly by so fast

Needles broken

The feeling's woken

Should we just let it all fade

Is it just time?

Apple Seed - Hiroyuki Sawano


Jakarta, 9 April 2021 – 00.09.51 WIB

For you who have dedicated your hearts to the story of the young men and women who sought for freedom

With love, Nana ( elliptical29 on twitter)

.

.

.

.

.

Arti nama anak-anaknya

LeviHan :

Lily Louise Ackerman

リリ・ ルイゼ・アッカーマン

10 tahun - Lily : 'Lily flower' (same meaning as Kuchel) - Louise (A famous warrior, Hange acknowledgement for Levi, who were once known as a famous warrior)

Ethan Raymond Ackerman

イーサン・レイモンド・アッカマソ

7 tahun - Ethan : 'Life'- same meaning as Zoe (Life) - 'Raymond' - A wise protector (Levi's acknowledgement to a wise person who once protected him on the brink of death)

JeanKasa :

Irene Alexandra Kirschtein

アイリーン・アレクサンドラ・キルシュタイン

5 tahun : Irene - 'Peace' – Alexandra - from Sasha (a diminutive form for Alexandra, meaning "protector of mankind")

Frederick Alexander Kirschtein

フレデリック・アレクサンダー・キルシュタイン

5 tahun : Frederick - 'Peaceful ruler' - Alexander - similar to his twin

AruAni :

Audrey Arlert

オードリー・アルレルト

Audrey : 'Noble Strength'

Connie x OC :

Abigail Sasha Springer

アビゲイル・サシャ・スプリンガー

Abigail : 'My father's joy

Additional notes :

Afterthoughts of chapter 139

It's such a rollercoaster ride, and it's definitely such an Isayama take to this wonderful series that has lasted for more than a decade. Luar biasa sih bisa bertahan menyelesaikan sebuah serial selama 11 tahun... butuh dedikasi pasti dari Isayama-sensei dan team.

Khas Isayama sekali dengan pendekatan nihilis dan realistisnya. Seperti yang Erwin Smith bilang di season 2 (apa 3? saya lupa?) manusia akan selalu bertikai hingga jumlah mereka berkurang hanya di 1 orang atau kurang. Memang... realistis banget, be it Paradis Island yang di takeover Yeagerist, konflik yang masih berlanjut, dan aliansi yang memutuskan untuk kabur dan menjadi duta perdamaian. Dan lagi, saya sepertinya membuat Mikasa move-on dari Eren terlalu cepat :") I'm sorry EreMika fans. Semoga suatu saat saya bisa bikin EreMika juga... hiks :")

Story note :

Hange dan Mikasa mempertahankan nama gadis mereka untuk urusan professional (they stay as Head of Paradis Research and Technology Bureau Mrs. Hange Zoe (or Commander Hange Zoe, during the case of the Paradis-Marley Peace Treaty event) and Ambassador Mikasa Ackerman profesionally) tetapi anak-anak mereka lahir dengan nama keluarga ayahnya. Kalau fic ini rame, aku mungkin mau bikin chapter 2-nya :")

I'm sorry I can't bring Sasha back even though she's my favorite character through the story.

P.S ada yang tahu arti bunga-bunga yang diberikan untuk Sasha kah? ;)

Once again, thank you for dedicating your hearts!