Belajar bersama sambil mengisi waktu menunggu saat buka puasa bukanlah ide yang buruk. Daripada menghabiskan waktu dengan tidur, Halilintar memutuskan untuk membantu adiknya, hitung-hitung menambah pahala.
Author note:
-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-Boboiboy Thorn: 17 tahun.
-Boboiboy Ice: 16 tahun.
-Boboiboy Solar: 16 tahun
Puasa Hari Keenam
Dahi Thorn berkerut-kerut sementara air mukanya serius dan kaku. Dengan penuh konsentrasi ia mengerjakan soal-soal pekerjaan rumah dari sekolahnya di meja makan, dekat ruang keluarga rumahnya.
"Duuh," keluh Thorn sembari menggaruki kepalanya. "Apa sih dasar pernyataan hak asasi manusia." lanjutnya menggerutu sembari membolak-balik halaman buku pelajaran sejarahnya.
Sudah hampir lima belas menit Thorn membaca buku pelajarannya untuk menemukan jawaban, namun hasilnya buntu. Entah ia yang terlalu cepat membaca bukunya atau ia membuka halaman yang salah. Pastinya Thorn tidak mendapatkan jawabannya.
"Jawabannya Magna Carta, Thorn," celetuk Halilintar yang baru saja melangkah keluar dari kamar mandi.
"Eh iyakah?" Thorn langsung meraih pulpennya dan menuliskan jawaban yang ia terima dari kakaknya. "Terima kasih Kak Hali."
Halilintar menengok ke arah tumpukan pekerjaan rumah Thorn yang sebagian sudah selesai. "Banyak juga PRmu, Thorn," komentar si kakak.
"Iya nih ... Blaze katanya mau bantuin, tapi dia malah pergi main sama Ice," keluh Thorn lagi sembari menghela napas panjang. Tumpukan pekerjaan rumah di atas makan yang masih harus ia kerjakan membuat semangatnya surut.
"Lho? PRnya Blaze sudah selesai?" tanya Halilintar sembari mengangkat sebelah alis matanya.
Thorn menganggukkan kepalanya, "Sudah, malah dia duluan selesai."
Hallintar menghela napasnya. Netra merah rubinya menatap tangga rumah yang terletak di dekat meja makan tempat Thorn berada. Sebenarnya ia berencana untuk menjiplak cara Ice menghabiskan waktu menunggu buka puasa dengan tidur, namun mimik muka Thorn yang kusut dan mengiba mengerakkan hati Halilintar.
"Apa saja PRmu itu, Thorn?" tanya Halilintar sembari menggeser posisi berdirinya. Kini ia berada di samping Thorn yang duduk menghadap meja makan.
"Pelajaran sejarah, lalu Bahasa Inggris."
"Hmm ..." Halilintar menengok ke arah jam dinding pada tembok rumahnya. Waktu menunjukkan pukul dua siang yang artinya waktu berbuka puasa masih cukup jauh. Oleh karena itu Halilintar memutuskan untuk membantu adiknya itu mengerjakan tugas sekolahnya. "Sini kubantu," ucap Halilintar menawarkan diri sembari menarik sebuah bangku kosong di samping Thorn.
"Waaah." Wajah Thorn yang tadinya terlihat muram langsung berseri-seri. Tak pernah disangkanya bahwa Halilintar akan mau membantunya mengerjakan tugas sekolahnya. "Terima kasih, Kak!"
Bahkan Halilintar tidak bisa tidak tersenyum melihat tingkah polah adiknya yang polos itu. "Iya, ngga masalah kok, Thorn," ucap si kakak sembari mengacak-ngacak rambut adiknya itu. "Ayo kita mulai."
"Okee." Thorn menelusuri soal pelajaran sejarah yang harus dijawabnya. "Apa latar belakang Perang Dunia ke dua?"
"Menurutmu?" Halilintar bertanya balik.
"Uh .,... Jerman menyerang Polandia?"
Halilintar tetap bersikap netral dengan jawaban Thorn. "Ngga salah, tapi yang kamu bilang itu cuma sebagian kecil. Coba kamu telusuri mundur lagi, peristiwa besar apa yang terjadi sebelum Jerman menyerang Polandia. Tanya jawabanmu sendiri, mengapa bisa terjadi. Tapi jawabanmu harus berhubungan dekat dengan pertanyaan awalnya."
Thorn menganggukkan kepala. Ia terdiam ketika otaknya berpikir. Semakin dalam Thorn berpikir semakin berkerut pula keningnya.
"Karena perjanjian Versailes?" jawab Thorn yang malah bertanya balik. "Kalau tidak ada perjanjian Versailes mungkin rakyat Jerman masih bisa terima kekalahan mereka di Perang Dunia pertama?"
"Nah, Thorn. Pertanyaan latar belakang seperti ini bukan jawabannya saja yang akan dinilai tapi juga kemampuanmu menganalisa," jawab Halilintar. "Kalau kamu merasa jawabanmu benar, maka tulislah."
Sejenak Thorn terlihat ragu, namun diturutinya saran Halilintar itu dan Thorn pun menulis jawaban yang dianggapnya benar pada buku tulisnya.
Tidak berapa lama berselang dan Tugas pelajaran sejarah pun selesai dikerjakan. Thorn bisa merasakan bahwa bantuan dan motivasi dari Halilintar membuatnya lebih bersemangat mengerjakan tugas sekolahnya.
Begitu pula dengan pelajaran Bahasa Inggris. Kemampuan linguistik Halilintar yang cukup baik mampu membangkitkan keyakinan Thorn dalam mengerjakan tugas sekolahnya.
"Nah, kalau ada bentuk kata past tense bertemu dengan kata berakhiran -ing seperti ini," Halilintar menunjuk pada kalimat berbahasa Inggris di buku pelajaran adiknya. "Maka disebut apa?"
"Uhm ... Past continuous tense!" jawab Thorn penuh keyakinan.
Senyum kepuasan melintas di wajah Halilintar setelah ia mendengar jawaban adiknya itu. "Wah hebat juga kamu dalam bidang hafalan, Thorn," puji si kakak sambil mengacungkan jempolnya. "Terbaik."
"Terima kasih, Kak." Thorn terkekeh dan tersipu sembari menggaruki pipinya.
"Nah ayo kita lanjut ..."
Halilintar melanjutkan mengajari Thorn yang memperhatikannya dengan penuh perhatian. Si kakak tidak pernah menyangka bahwa adiknya yang terkenal polos itu berotak encer dan cukup cepat mengerti materi pelajaran yang diberikan oleh Halilintar.
"Nah coba ubah kalimat itu menjadi present continuous tense." Halilintar menunjuk pada sebuah kalimat di buku pelajaran Thorn.
Namun tidak ada jawaban balik dari Thorn.
"Thorn?" Netra merah rubi Halilintar melirik ke arah Thorn.
"Zzzz ... zzzz ..." Hanya itu jawaban yang diberikan Thorn. Ia sudah terkulai lemas dalam posisi duduk dan masih memegangi pulpennya.
"Astaga, ketularan penyakit tidurnya Ice." Halilintar menggelengkan kepalanya. Walaupun begitu, si kakak tidak pernah menyangka akan menyaksikan langsung bagaimana Thorn bisa tertidur dalam posisi duduk seperti itu.
"Yah sudahlah, toh PRnya sudah selesai juga." gumam Halilintar seorang diri sebelum ia bangkit dari kursi yang didudukinya.
Dengan hati-hati Halilintar menggendong tubuh Thorn yang terkulai bagaikan boneka marionet yang putus talinya.
"Mhh ... Kak Hali ..." Terdengar gumaman lembut Thorn ketika ia diletakkan di atas sofa ruang tengah oleh Halilintar. Kedua kelopak mata Thorn nampak terpejam selagi sebuah bantal sofa kecil diletakkan di bawah kepalanya sebagai tumpuan tidurnya.
Tidak lupa Halilintar menyalakan sebuah kipas angin untuk mengusir hawa udara panas dan membuat istirahat adiknya lebih nyaman.
"Selamat tidur, Thorn," ucap Halilintar selagi ia membelai kepala adiknya itu.
Thorn yang pulas tertidur tidak menjawab, namun bibirnya yang melengkung membentuk senyuman tipis sudah cukup menjadi jawaban bagi Halilintar.
"Nah, sekarang waktunya membuat takjil ... Hm ... Waffle dengan sirup maple sepertinya cocok untuk buka puasa ..."
.
.
.
Tamat
Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.
Sampai jumpa lagi pada kesempatan berikutnya.
