.

.

- KnB belong to Fujimaki Tadatoshi

NijiAka

slight NijifemAka (Akashi fersi cewek tapi punya marga Kagami, namanya Kagami Seina, pura2nya dia jadi adeknya Kagami ea ... :))

...

..

...

Bagi kalian yang sudah taken, pernah gak, sih, mengalami situasi yang membuat lo kepikiran terus tentang si doi?

Pagi, siang, sore dan malam, bahkan sampai ke alam mimpi, tanpa sadar terus memikirkan tentangnya. Tentang kehidupan di masa depan bersamanya. Menikah dan memiliki anak. Susah maupun senang selalu bersama. Terus bersama setia sampai tua dan menjadi debu. Pokoknya she or he is the one!

Namun, realitanya tidak selalu begitu.

Seperti yang dialami seorang pria berusia dua puluh lima tahun. Namanya Nijimura Shuuzou. Pria yang bekerja di kantor asuransi itu dua bulan yang lalu baru saja menjalani kehidupan baru bersama sang istri tercinta, Kagami Seina. Mereka saling menyayangi dan mencintai. Hubungan mereka baik-baik saja tanpa ada pihak ketiga. Kehidupan mereka begitu harmonis dan romantis. Namun kehidupannya yang adem ayem bersama sang istri harus berakhir ketika Seina meninggal karena terkena penyakit kanker paru-paru.

Rupa-rupanya penyakit itu memang sudah lama dialami. Nijimura sedikit kecewa karena Seina tak memberitahu kalau dirinya memiliki penyakit itu dan selalu menutupinya. Hingga sang istri pada akhirnya meninggal seusai menjalani pengobatan selama beberapa bulan di rumah sakit.

Dan kini ia tengah menggalau karena merasa ditinggalkan. Suara dering ponsel sedari tadi tak dihiraukan. Ada nama kakak ipar yang terpampang dalam layar ponsel. Namun diabaikan begitu saja. Ia masukkan lagi ponselnya dalam saku jas hitam.

Nijimura sudah tahu apa maksud kakak ipar menelpon. Harusnya hari ini ia mendatangi kediaman sang istri yang akan dikebumikan. Si kakak ipar pasti mengharapkan ia datang. Sayangnya, Nijimura tak sanggup melihat hanya untuk terakhir kalinya sebelum dikubur. Hatinya tak rela. Nijimura tak mau mempercayai kalau Seina telah tiada.

Di sepanjang jalan, Nijimura menunduk suram. Kakinya melangkah pelan tak bertenaga menapak di sepanjang jalan sendirian seperti orang hilang. Tapi Nijimura tidak peduli. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Seina seorang. Kebahagiannya bersama belahan jiwa selama ini.

Bayangan wajah istrinya dalam kepala terus berputar. Betapa ia rindu memandangi mata dwi warna sang istri, rambut merah panjangnya yang lembut dan kecantikan wajah ayunya ketika tersenyum. Tanpa sadar Nijimura ikut tersenyum. Tetapi bayangan ketika Seina tengah sekarat, membuat senyuman Nijimura luntur. Ia sempat berhenti melangkah untuk sejenak. Merutuki diri yang saat itu tidak bisa berbuat apa-apa.

Tin! Tin!

Suara klakson mobil menyadarkan kesadaran, membuat Nijimura mengayunkan tungkai kakinya kembali.

Ia harus menghilangkan ingatan menyedihkan itu. Untuk sementara waktu biarlah Nijimura melupakan sang istri agar kewarasannya tetap ada. Maka langkah kakinya tanpa sadar berhenti di sebuah bar kecil.

.

.

.

Keesokan harinya tiba begitu cepat. Nijimura berangkat agak telat akibat mabuk-mabukan semalam suntuk.

"Oh, Shuu. Apa kabarmu? Apa kau oke?"

Ketika hendak menuju ruang kerjanya, Nijimura berpapasan dengan Himuro Tatsuya, teman satu devisinya. Pria yang punya senyum menawan itu menyapa Nijimura dengan ekspresi khawatir.

Nijimura membalas dengan senyuman tipis yang tidak mencapai mata. Tapi kemudian senyumannya luntur. Nijimura tidak suka diberi ekspresi iba begitu. Dari Himuro maupun dari orang-orang kantor lainnya yang beberapa saat berjumpa disepanjang jalan menuju ruangan ini. Tatapan mereka entah kenapa membuat hatinya semakin mendung. Tatapan itu mengatakan seolah Nijimura adalah orang yang paling menyedihkan sedunia.

Beberapa hari lalu, Nijimura memang diijinkan untuk tidak berangkat kerja oleh bosnya setelah tahu istrinya telah berpulang. Hampir semua orang kantor tahu mengenai kabar ini. Makanya mereka memberi tatapan memuakan itu. Cih!

"Aku oke kok. Sudahlah jangan ikut-ikutan mengasihaniku dengan tatapan begitu. Aku tidak suka."

Himuro menepuk pelan pundak sang kawan. Senyumannya masih terpatri. "Aku tidak mengasihanimu, Shuu. Aku khawatir."

"Hm. Terserahlah." Nijimura hendak melanjutkan langkahnya yang tertunda, tapi Himuro malah menghalangi. "Ada apa?"

"Aku lupa mau bilang kalau ada seseorang yang sedang menunggumu di ruang tunggu." Himuro menunjuk seseorang di pojok ruangan yang dibatasi dengan sekat.

Nijimura menyergit. Ia mengikuti arah jari telunjuk Himuro dan mendapati pelototan dari kakak iparnya. Tunggu! Kenapa dia ada di sini?!

"Well, kusarankan sebaiknya kau cepat menemuinya sebelum dia mengamuk. Dia sudah menunggumu sejak sejam yang lalu, btw."

Menelan ludahnya dengan gugup, Nijimura mengangguk, lalu menghampiri sosoknya yang tampak siap meledak kapan saja.

Uh, oh, Nijimura jelas tahu perihal tampang sangar sang kakak ipar. Maka dengan sebaik mungkin Nijimura bersikap tenang menyambutnya.

"Hei, apa kabar?"

Melihat Kagami Taiga -nama kakak iparnya itu- tidak memberi respon apapun, namun wajahnya tampak lebih merah padam. Memelototi Nijimura dengan mata berang.

"Err, bagaimana jika kita bicarakan di luar saja? Sambil minum kopi kurasa tidak buruk ju-"

"KENAPA KAU TIDAK MENGANGKAT TELEPONKU DAN KENAPA KAU TAK MENDATANGI PEMAKAMANNYA, HAH?!" sela Kagami mulai murka. Mengundang tatapan heran dan bingung dari beberapa orang di ruangan itu.

Nijimura mendadak merasa tidak enak pada teman-teman kantornya. "Nah, kalau begitu lebih baik kita bicarakan di luar. Ayolah-"

"KENAPA KAU BERSIKAP BIASA-BIASA SAJA SEOLAH KAU TIDAK PEDULI AKAN KEMATIANNYA? APA KAU TIDAK PUNYA HATI? APA KAU SENGAJA MENUNGGU HAL INI TERJADI?! KAU SABENARNYA TIDAK PUNYA RASA PADA ADIKKU KAN?! ... JAWAB?!" bentaknya sambil mencengkram kerah baju Nijimura kasar.

Di sisi lain Nijimura berusaha menenangkan Kagami begitu beberapa orang mulai mendekat.

"Maaf, ada apa ya? Kenapa kalian ribut-ribut?" tanya salah satu teman kerja Nijimura.

Nijimura tersenyum kaku. "Haha, tidak. Tidak ada apa-apa kok, dia ini cuma sedang-"

Buagh!

Kepalan tangan Kagami sampai memerah begitu memukul tulang pipi Nijimura. Beberapa orang langsung menahan tubuhnya ketika Kagami berniat memberi pukulan selanjutnya.

Himuro Tatsuya yang sedari tadi menjadi penonton pun segera mendekati Nijimura untuk membantu berdiri.

.

.

Nijimura berjalan gontai. Ia mengusap pipinya yang sedikit bengkak akibat pukulan Kagami. Membuatnya jadi badmood. Pak kepala devisi entah kenapa hari ini pun memberinya tugas lapangan secara mendadak. Ia diberi kepercayaan penuh untuk menuntaskan masalah di kantor. Mendapati seorang klien yang merupakan temen CEO di tempatnya bekerja tidak sengaja menabrak seseorang yang buta. Kemudian kepala devisi mendapati amanah untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya. Lalu dengan seenak jidatnya menyerahkan semua tugas itu pada Nijimura.

Yeah, meski agak kesal, tapi Nijimura berusaha menerima dengan lapang dada. Lagipula tugas beginian tidak merugikan juga. Dengan waktu satu minggu ini terlalu berlebihan menurut Nijimura. Padahal kasus begini biasanya akan cepat usai bahkan Njimura bisa menyelesaikannya dalam waktu satu dua hari. Lumayan, sisa harinya bisa buat santai di apartemennya yang sepi. Yang biasanya ditinggali bersama Seina.

Nijimura menggeleng. Tidak! Ia tidak boleh mengingat istrinya yang telah tiada itu. Kalau terus diingat begini, lama-lama Nijimura bisa stress dan gila.

Pintu berbahan kaca didorong pelan oleh Nijimura. Beberapa resepsionis di depan menyambutnya hangat. Bahkan banyak perawat dan petugas rumah sakit yang menyapa. Mereka jelas mengenalnya. Nijimura sudah sering berkunjung di rumah sakit ini untuk menuntaskan kasus yang sama.

Nijimura berjalan santai disepanjang koridor rumah sakit. Pandangannya di arahkan pada jendela kaca. Menatap beberapa pengunjung dan pasien rumah sakit dari orang tua sampai anak-anak yang tengah berkumpul bersama keluarganya maupun sekedar berjalan-jalan menghirup udara pagi yang segar. Kebetulan cuaca dipagi ini begitu hangat disinari cahaya matahari dari ufuk timur.

Nijimura mendongak mempertemukan pandangannya dengan langit biru dengan awan putih tipis di atas sana. Lalu ada seorang anak remaja bersurai merah. Anak itu tengah duduk di tepi atap gedung yang menjulang tinggi. Sungguh pemandangan yang begitu cerah, namun tak secerah hati Niji- tunggu, kenapa ada seseorang di sana? Apa dia mau bunuh diri?

Nijimura mendadak panik. Bersamaan dengan itu seorang dokter muda bersurai hijau menyapanya.

"Nijimura-san, apa kabar?"

Adalah Midorima Shintaro. Mantan adik kelas semasa SMP yang kini sudah sukses menjadi seorang dokter.

"Ah, ya. Kabarku baik. Lama tak berjumpa ya, Midorima," jawab Nijimura dengan senyuman tipis. Namun begitu mengingat seseorang di atap gedung, senyuman Nijimura luntur dan berganti dengan ekspresi panik. Tangannya menunjuk ke atas gedung.

"Oya, ada seseorang di sana. Kita harus segera menyelamatkannya sebelum terlambat. Sepertinya dia mau bunuh diri."

"Hah?" Sontak Midorima menoleh mengikuti arah jari telunjuk sang mantan senpai. Tapi, apa yang ditunjuk Nijimura hanyalah atap gedung yang kosong. Tidak ada siapapun di atas sana. "Seseorang? Tapi di sana tidak ada siapa-siapa."

"Kau ini bicara apa, jelas sekali di sana ada-" ucapan Nijimura terhenti ketika ia menoleh, ternyata sosok si rambut merah tidak ada di manapun.

Heh? Bagaimana bisa?

Midorima seperti menatapnya kasihan. Mungkin ia mengaggap apa yang dilihatnya hanya halusinasi semata akibat kepergian sang istri. "Sepertinya kau memang harus lebih banyak beristirahat. Aku permisi." Midorima menepuk bahunya prihatin sebelum berlalu.

Nijimura bergeming. Ia termenung. Dilihatnya kembali ke atas gedung seberang yang masih berhubungan dengan rumah sakit ini. Dan tidak menemukan sosok seseorang di mana pun.

Selang beberapa menit berlalu, Nijimura menghela napas lelah. Mungkin perkataan Midorima ada benarnya. Ia pasti masih stress akibat kepergian sang istri.

Kakinya dilangkahkan kembali. Nijimura mencoba untuk tidak memikirkan kejadian barusan. Yang terpenting adalah ia perlu menyelesaikan urusan di sini. Setelah selesai, Nijimura perlu mengistirahatkan diri seperti yang dikatakan Midorima barusan.

.

.

Cklek!

"Permisi." Pintu ruang rawat inap dibuka pelan. Nijimura melongokkan kepalanya menyisir seluruh ruangan itu. Tidak ada orang lain selain si pasien yang kini tengah berbaring lemah dengan banyak alat-alat penunjang kehidupan di beberapa tubuhnya.

Ketika Nijimura memasuki ruangan itu, alisnya bertaut begitu matanya mengarah pada sosok si pasien.

Rambut merah mencolok, kulit putih pucat dan sepertinya Nijimura merasa tak asing dengan orang ini. Tunggu ... bukannya dia yang tadi berada di atap rumah sakit?!

Nijimura mengerutkan dahinya bingung. Apa anak ini pura-pura sakit setelah kelayaban di atap gedung? Tapi kalau dilihat dengan kondisinya, seperti sangat tidak mungkin jika orang ini pergi untuk sekedar berjalan-jalan di sekitar rumah sakit.

Nijimura menggeleng. Ini pasti hanya kebetulan saja. Yeah, kebetulan anak ini sama persis seperti sosok yang dilihatnya di atas gedung tadi.

Dengan itu, Nijimura melanjutkan tujuan awalnya datang kemari. Beberapa lembar kertas-kertas penting dikeluarkan dari dalam tasnya.

"Uh, oke. Karena di sini tidak ada orang selain kau, jadi aku akan menjelaskan tujuanku datang kemari." Nijimura tidak peduli dengan keadaan si pasien. Yang penting ia datang untuk menyelesaikan tugasnya. Mungkin saja si pasien bisa mendengar dan setelah keadaannya memulih, maka pasien ini harus tahu apa yang akan dilakukan.

"Blablabla ... nah, sekarang kau perlu tanda tangan di sini, juga-" Nijimura terdiam sesaat. Menatap kembali sosok pasien yang tampak tertidur lelap. Ia merutuki dirinya sendiri akan kebodohannya. Sudah jelas sekali orang ini dalam keadaan tidak memungkinkan untuk sekedar menandatangi surat-suratnya. Apalagi mendengar semua penjelasannya.

Ia menghela napas. Surat-surat ditangannya dimasukan kembali dalam tas.

Seingat Nijimura, kepala devisinya mengatakan kalau si pasien yang punya nama Akashi Seijuuro berasal dari panti asuhan. Orangtua walinya menuntut si tersangka yang merupakan klien temen CEO untuk tetap membiayai Akashi sampai sembuh. Sedangkan sudah beberapa bulan ini keadaan si pasien tak kunjung membaik. Sementara biaya pengobatan semakin lama semakin mahal. Si klien ingin segera menuntaskan segera karena mulai merasa kewalahan.

Nijimura mendengkus. Ia tidak terlalu percaya dengan keadaan si pasien. Dari selama pengalaman Nijimura bekerja di kantor asuransi dan bertugas turun langsung ke lapangan, banyak pasien yang pura-pura sakit -tidak sepenuhnya pura-pura sakit sih, dalam artian memang pada awalnya sakit beneran, namun sengaja memperpanjang pengobatan meski sabenarnya sudah sembuh hanya untuk mendapati keuntungan dana asuransi. Padahal uang dari perusahaan asuransi mereka buat untuk bersenang-senang atau sekedar menjadi sebuah pekerjaan. Nijimura sudah sering melihat hal beginian.

Maka dilangkahkan kakinya menuju lemari samping kiri ranjang pasien. Ada satu ponsel berlayar retak, dompet berisi beberapa lembar uang yang tak begitu banyak, kabel charger, power bank, dan satu foto bayi imut berusia kira-kira lima tahunan yang tengah tersenyum manis. Rambutnya merah, kulit putih, pipinya tembem menggemaskan, di kedua tangan mungilnya tengah memegang bola basket. Nijimura jelas tahu siapa si bayi unyu itu. Dari rambut dan wajahnya mengindikasikan kalau bayi ini adalah sosok si pasien saat berusia lima tahunan.

Netra Nijimura menjelajah. Tidak ada tongkat khusus orang buta di dalam lemari. Bukannya berdasarkan kata kepala devisi mengatakan bahwa si pasien memiliki kebutaan sebelum kecelakaan? makanya anak ini tidak melihat jalan dan pada akhirnya tertabrak.

Nijimura mendebas. Tidak ada tongkat berarti sabenarnya anak ini tidak buta. Berarti kecelakaan yang dialaminya hanyalah sebuah alasan untuk mendapatkan jasa asuransi. Dan bisa dipastikan kalau anak itu berniat bunuh diri.

Sekarang yang perlu dilakukan Nijimura adalah mencari bukti. Semua barang dalam lemari diabadikan oleh Nijimura dengan ponselnya untuk laporan nanti.

"Apa yang sedang kau lakukan dengan barang-barangku?"

"Hwaaa!" Saat sedang sibuk memotret, Nijimura dikagetkan dengan sosok pasien tepat di sampingnya. Sosok itu tengah berdiri menatapnya penuh tanya.

"Loh? Kau ...?" Salah satu alis Nijimura naik. Dilihatnya anak itu dari atas ke bawah lalu ke atas lagi. Dia tampak sehat. Tidak dalam keadaan sakit sama sekali.

Dahi Nijimura berkedut kesal. Jadi sabenarnya pasien ini sudah benar-benar sembuh?! Sudah Nijimura duga kalau pasien ini sengaja memperpanjang pengobatannya.

Nijimura berkacak pinggang. Berdiri berhadapan dengan si merah, membelakangi ranjang tanpa tahu kalau di atas ranjang masih ada sosok Akashi yang masih berbaring lemah.

Diamatinya lekat-lekat anak tersebut. Tingginya cuma sedada, ada poni yang panjangnya sampai di atas alis, iris mata merahnya bulat besar seperti cewek, dan warna kulitnya putih.

"Tampaknya kau sudah kelihatan baik-baik saja."

Respon Akashi tampak kaget. Nijimura mengira kalau dia baru menyadari bahwa Nijimura adalah petugas asuransi. Mungkin Akashi tengah ketar-ketir begitu ketahuan pura-pura sakit di depannya.

"Kau-"

"Ah, apa anda petugas asuransi?" Ucapan Akashi terpotong oleh seorang pria berparas cantik yang baru saja memasuki ruangan itu.

Nijimura menoleh. "Oh, iya benar," jawab Nijimura cepat. Dalam hati bertanya-tanya, siapa pria itu? Apakah saudara si pasien atau walinya?

Nijimura kembali menatap pasien bersurai scarlet yang masih melihatnya. Tadi berekspresi kaget, tapi kini netra merah itu tampak berkilat penuh ketertarikan.

"Heh, kenapa kau melihatku begitu?!" Agaknya Nijimura merasa risi dipandangi seintens itu oleh mata merah bak kucing yang tengah menemukan mangsanya.

"Jangan menatapku begitu, dasar kau ini!" Tangannya terangkat hendak menyentil dahi si merah, namun gerakannya terhenti katika pria di hadapannya berkata,

"Pak, anda ini sedang bicara dengan siapa?"

Nijimura mengernyit. "Tentu saja dengannya," jawab Nijimura sambil menunjuk Akashi dengan ujung jempol.

"Hah, sudahlah, karena aku sudah bertemu dan mengobrol dengan pasien, aku pamit. Permisi."

Merasa tidak ada urusan lagi di tempat ini, Nijimura segera berlalu.

Pria itu terdiam dengan tatapan penuh tanya dan kebingungan.

"Orang itu gila atau bagaimana? Sei-chan kan sedang koma, mana bisa diajak mengobrol," gumamnya lirih sambil melangkah menghampiri ranjang, lalu membenarkan selimut pasien yang disebutnya 'Sei-chan'.

Matanya menatap sendu pada sosoknya yang masih bergeming di atas ranjang. "Sei-chan, kapan kamu bangun?"

.

.

"Halo, Pak. Bapak bilang pasien itu buta?" konfir Nijimura sambil melihat-lihat data pasien bernama Akashi Seijuuro. Ia tengah menelepon pak kepala devisi.

"Iya. Memangnya ada apa?" jawab Pak Sanada si kepala devisi di sambungan telepon.

"Oh, tidak. Tidak apa. Aku hanya memastikan."

Sebab apa yang dilihat Nijimura kemarin adalah Akashi yang tampak sehat bugar, bahkan menatapnya seperti orang biasa pada umumnya. Orang itu tidak buta!

"Hmm, begitu. Ya sudah, aku serahkan kasus ini padamu sepenuhnya. Kalau ada yang ingin ditanyakan lagi, telpon saja langsung ya?"

"Oke, terima kasih pak." Sambungan telepon terputus. Nijimura berjalan melewati koridor rumah sakit.

Di tengah jalan, ada pemandangan menarik yang membuat Nijimura menyeringai sebal. Yaitu sekumpulan pasien yang tampak sehat sedang bermain kartu remi di taman rumah sakit. Nijimura berbelok keluar untuk menghampiri mereka.

"Wah, sepertinya seru ya? Boleh aku ikutan?" ucap Nijimura bergabung duduk di antara mereka yang sedari tadi terfokus dengan kegiatan masing-masing.

"Oh, tentu saja. Tapi tunggu sampai permainan ini selesai. Tanggung bentar lagi gue menang, fufufu," jawab salah satu dari mereka yang belum menyadari siapa sabenarnya Nijimura.

Yang lainnya menyahut sama sambil tertawa-tawa senang. Kebanyakan dari mereka memang tidak mengenal Nijimura, kecuali seorang pria bersurai abu-abu. Pria itu memandangnya sedikit terkejut dibalik ekspresi datarnya. Nijimura balas melempar tatapan sinis.

"Ahem," pria itu berdehem, mengundang perhatian yang lainnya, "uh, semuanya perkenalkan dia itu adalah Nijimura Shuuzou, seorang petugas asuransi."

Begitu mendengar profesi Nijimura, seketika orang-orang berpakaian pasien namun tampak sehat itu mematung. Melirik horror Nijimura yang kini tersenyum sarkas.

"Aduh, duh, kepala dan tanganku masih sakit, aku perlu ke kamar nih."

"Ah, tampaknya aku pun harus beristirahat juga. Kata dokter aku tidak boleh beraktivitas terlalu lama di luar."

"Permisi, Pak. Saya mau kembali ke ruang rawat inap. Hehe, saya lupa ini jam minum obat saya."

Dan satu-persatu dari mereka mulai meninggalkan tempat itu dengan ber-acting pura-pura kesakitan.

"Ugh, kakiku sepertinya mulai kambuh juga," kata si pria abu-abu dengan nada datar. Ia ikutan ber-acting dengan mendudukan diri di atas kursi roda.

Nijimura berdecih. Menghalangi jalan si pria itu yang hendak mengikuti jejak teman-temannya. "Heh, Chihiro. Ini setahun berlalu dan kau masih enak-enakan di tempat ini dengan berpura-pura sakit. Kau itu sudah sembuh total. Setahun yang lalu, aku masih berbaik hati membiarkanmu melakukan hal ini. Namun sepertinya aku perlu melaporkan atas kebohonganmu kali ini."

Mayuzumi Chihiro si pria bersurai abu-abu itu menghela napas lelah. "Oh ayolah, Shuuzou. Kau itu temanku atau bukan sih? Biarkan aku di sini untuk beberapa tahun lagi."

"Itu terlalu lama, sialan! Lagi pula kau kan masih bisa kerja yang lainnya. Jangan cuma bisa memanfaatkan dana asuransi seperti ini!"

Chihiro tak membalas. Hanya memberi ekspresi datar andalan. Ia mendorong kursi rodanya.

"Jangan laporkan aku, dasar bibir monyong!" katanya sebelum pergi.

"Apa kau bilang, cih dasar pantat panci! Pokoknya kalau besok kau masih di sini, aku akan melaporkannya!" Nijimura murka. Terlebih setelah dirinya disebut dengan sebutan lucknut tersebut.

..

..

Cukup sudah untuk hari ini. Nijimura sudah mengumpulkan info mengenai Akashi. Ternyata anak itu memang berasal dari panti asuhan. Mungkin besok Nijimura akan pergi ke panti asuhan guna mencari alamat orangtua Akashi, lalu mencoba mengumpulkan info di tempat kecelakaan berlangsung. Mencari saksi atas kejadian sabenarnya juga.

Ketika berjalan menuju ke rumah, Nijimura agak kaget mendapati Ibu mertua yang tengah berjongkok di depan pintu apartemennya. Nijimura buru-buru mendekat.

"Ya ampun, Bu. Kenapa jongkok di sini?"

"Oh, Nijimura, akhirnya kamu pulang juga." Kagami Shiori tersenyum sumringah.

Nijimura segera memersilakan memasuki tempat tinggalnya. Membereskan kekacauan ruang depan yang belum sempat dibereskan secara mendadak.

Shiori menatap miris keadaan tiap ruangan. Padahal ketika Seina masih hidup, rumah ini selalu rapi dan bersih. Dan hal itu membuat Shiori merasa kasihan pada Nijimura.

"Ini aku bawakan sup tofu, ibu buat khusus untukmu." Wanita yang masih kelihatan cantik itu meletakkan bungkusan berisi sup tahu di atas meja.

"Oh, ya, terima kasih." Nijimura menerimanya dengan suka cita. Sup tofu adalah makanan kesukaan sang istri. Dulu ketika Seina masih ada, Shiori memang selalu berkunjung membawakan makanan tersebut.

Waktu itu Nijimura suka iseng menghabiskan sendiri makanan itu, sehingga mendapati kemurkaan Seina dengan gunting keramat sebagai senjata andalan.

Nijimura termenung. Ia mendadak rindu.

"Nak, kau baik-baik saja 'kan? Kenapa melamun?" Suara lembut Shiori menyadarkan Nijimura dari lamunan.

Buru-buru Nijimura menggeleng dan tersenyum kaku. "Ah, tidak apa kok. Oh iya, mau aku buatkan minuman? Bagaimana kalau teh hijau atau kopi?"

"Tidak perlu. Nanti biar ibu bikin sendiri. Sekarang lebih baik ibu bantu bereskan ruangan ini dan yang lainnya saja, bagaimana? Biar enak dipandang." Shiori agak risi juga berada di rumah yang berantakan dan menyesakkan mata itu.

"Ha? apa? Tidak usah. Nanti aku bereskan sendiri."

"Beneran bisa beresin sendiri?"

"Iya, tentu saja, Bu."

"Baiklah." Pada akhirnya Shiori cuma mengangguk saja. Lalu menatap penuh simpati pada Nijimura. "Kudengar Taiga sempat membuat keributan di kantormu ya? Maafkan aku, sabenarnya aku sempat mencegahnya agar tidak perlu berkunjung dan membuat ulah di kantormu, tapi dia terlalu keras kepala. Padahal tidak apa kau tidak mendatangi pemakamannya. Ibu tahu kalau kau pasti sedang sibuk dengan kerjaan kantor kan?"

Nijimura terdiam. Saat itu dia tidak sibuk. Bosnya bahkan memberinya libur. Nijimura saja yang terlalu pengecut karena tidak sanggup untuk sekedar menghadiri pemakaman sang istri. Sampai saat ini, bahkan Nijimura belum mengunjungi makamnya. Nijimura merasa pantas mendapatkan bogem mentah dari Kagami waktu itu.

.

.

Berkat kedatangan ibu mertua, Nijimura jadi galau lagi. Semenjak mengantarkannya pulang, Nijimura terus memikirkan bayangan sang kekasih hati yang selalu mendampinginya dulu. Pasti Seina tengah marah di alam sana karena Nijimura tak mengunjungi makamnya.

Ketika Nijimura mengamati tiap ruangan dalam rumah, sosok Seina terus terngiang-ngiang. Akhirnya Nijimura tak jadi membereskan rumahnya. Terutama di ruang perpustakaan yang dulu menjadi tempat favorit Seina. Tempat itu menjadi yang paling berantakan.

Ketika Nijimura mencoba untuk tidur, bayangan sang istri mendatangi mimpi. Tersenyum dan mengajak ngobrol. Saat terbangun Nijimura tak sanggup menahan air matanya.

Ia terbangun di tengah malam. Nijimura pun memilih untuk berjalan-jalan ke luar rumah agar pikirannya jernih. Dan berakhir berkunjung ke bar lagi.

"Murasakibara, aku ingin mabuk. Berikan aku minuman yang dapat membuatku melupakan kehidupan yang suram ini," seru Nijimura pada sang bertender.

Si bertender yang punya tubuh kelewatan tinggi itu hanya menggumam bosan mendapati Nijimura datang lagi.

.

.

Usai mabuk-mabukan, Nijimura keluar dari pintu bar. Kepalanya pusing dan jalannya gontai, tapi Nijimura masih bisa terjaga meski pandangannya agak berputar.

Awalnya Nijimura berniat untuk pulang ke rumah, namun tidak jadi. Nijimura yakin ia tidak akan bisa tidur dengan tenang. Bayangan akan sosok sang istri yang selalu hadir dalam mimpi akan mengusik ketenangannya. Tampaknya meski sudah mabuk-mabukan, sosok Seina masih tak mau hilang juga.

Karena itulah sadar tidak sadar, Nijimura melangkahkan kakinya menuju rumah sakit.

Mendorong pintu rawat inap nomor 104 di mana pasian bernama Akashi Seijuuro berada. Nijimura menjatuhkan tubuhnya tepat di samping ranjang Akashi yang masih terbaring. Mendudukan diri di atas lantai ruangan yang dingin.

Lalu ia terkekeh sendiri. Memandang wajah pucat Akashi sambil tertawa kecil. "Hehe, kau tahu tidak? Katanya istriku sudah meninggal, haha. Padahal tiap malam dia selalu hadir di rumah dan menemaniku, ahaha."

Nijimura menjatuhkan kepalanya yang dirasa semakin pening di sisi ranjang Akashi. Kemudian ditariknya ponsel dalam saku jas.

Mengotak-atik sebentar demi membuka galeri kenangan bersama sang istri. Jarinya menekan satu video yang berisi sosok Seina bersama dirinya di sisi pantai saat liburan kerja dulu.

Nijimura terkekeh senang sekaligus sedih.

"Istriku cantik sekali kan? Kau harus lihat ini," celotehnya tak menyadari sosok transparan Akashi di dekat jendela yang mengintip penasaran video di tangan Nijimura.

...

..

Hal pertama yang di dapati Nijimura ketika membuka mata adalah Akashi. Anak itu sedang berjongkok mengamatinya dalam jarak yang begitu dekat.

"Kau?!" Dahi Nijimura mengerut. Agak risi dipandangi sedekat ini oleh Akashi. Maka Nijimura mengangkat tubuhnya. Menghadap Akashi yang ikutan berdiri.

Dan tanpa sadar, lagi-lagi Nijimura membelakangi raga Akashi yang terbaring di atas ranjang.

"Apa yang kau lakukan dan ... uh, kenapa aku ada di sini?" gumam Nijimura merasa kebingungan. Ia tidak ingat dengan kejadian semalam.

Akashi menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman tipis. "Semalam kau mabuk dan tidur di sini."

"Ha? Iyakah?" Nijimura menatapnya linglung. Ia segera merapikan penampilan dan rambutnya yang berantakan. Tubuhnya baru terasa pegal ketika menyadari kalau dirinya tidur di atas lantai dingin.

Nijimura menegakkan tubuh. Melakukan sedikit peregangan sebelum berdiri dan mengecek ponsel untuk sejenak. Barangkali ada notifikasi penting. Hanya ada beberapa pesan dari teman devisinya yang menanyai masalah kerjaan.

Usai membalas pesan dari kawan-kawannya, dimasukkan ponsel itu dalam kantung celana. Netranya beralih kembali pada Akashi yang masih menatapnya penasaran.

Alis Nijimura bertaut, bingung. Tidak mengerti kenapa Akashi menatap begitu.

Akashi tersenyum misterius. "Awalnya aku kaget dan ragu, tapi ternyata kau benar-benar bisa melihatku."

"Hah?" Dan kebingungan Nijimura mengganda mendengar ucapan Akashi barusan.

"Aku punya mata. Tentu saja aku bisa melihatmu," kata Nijimura lagi.

Akashi hanya terkekeh sebagai respons. Dan entah kenapa Nijimura merasa tidak suka mendengar kekehan itu.

"Kau itu ... kenapa melakukan hal ini?" Nijimura mengganti topik pembicaraan.

Kini giliran Akashi yang berekspresi bingung. "Maksudmu?"

Nijimura mendebas tidak suka. "Sudah sembuh dan pura-pura sakit."

Akashi diam tidak mengerti. Jelas-jelas ia dalam keadaan sakit. Bahkan ia masih koma, sampai-sampai sukmanya keluar dari raga. Namun, Akashi memilih untuk membisu mendengarkan penjelasan Nijimura.

"Apa kau itu sedang mengalami krisis moneter? Umurmu berapa?" tanya Nijimura kemudian. Sebab biasanya yang melakukan kasus ini biasanya dilakukan oleh orang-orang dewasa yang sedang kesulitan mencari pekerjaan. Nijimura baru tahu ada anak seumuran Akashi berani memanfaatkan hal ini sebagai pekerjaan.

"Dua puluh tiga tahun."

Nijimura melotot tidak percaya. Ia sempat mengira kalau Akashi masih anak remaja yang masih sekolah di tingkat SMA. Tidak disangka kalau usianya bahkan lebih tua tiga tahun di atas usia mendiang istrinya.

"Wajahmu tidak terlihat seperti orang berusia duapuluh tahunan."

Akashi hanya mengedikkan bahunya, tidak peduli. Nijimura mendengus kesal.

"Yah, sudahlah. Apapun itu, aku akan menyelesaikan kasusmu. Kuharap setelah ini kau dapat mencari kerjaan yang lebih bermanfaat lainnya."

Nijimura segera berlalu usai mengatakan hal itu. Tidak mengerti mengapa orang-orang lebih suka mencari uang dengan cara instan sedangkan masih banyak pekerjaan lain dan lebih halal di luar sana.

Tepat saat berjalan di lorong rumah sakit, netra Nijimura mendapati sosok Chihiro yang baru saja berbelok dan berjalan berlawanan arah dengannya. Pria itu tampak terkejut dan hendak balik badan, sebelum Nijimura mengejar dan meneriaki namanya. Chihiro pun berhenti melangkah sambil menggerutu.

"Kau masih di sini? Bukannya sudah kubilang untuk berhenti pura-pura sakit?" Sepasang manik abu Nijimura berkilat jengkel menghujani manik serupa pria itu.

Chihiro menggeram. "Itu bukan urusanmu."

Dia melenggang pergi melewati Nijimura begitu saja. Tentu saja Nijimura tidak akan membiarkan Chihiro kabur.

"Kalau besok kau masih berkeliaran di sini, aku akan benar-benar melaporkanmu!" Nijimura balik badan dan menyeru punggung Chihiro yang berhenti melangkah.

Chihiro menoleh dengan tatapan sengit untuk beberapa saat, sebelum kemudian menghela napas kesal. "Baiklah. Beri kesempatan selama seminggu ini, oke?! Aku benar-benar dalam keadaan mendesak."

"Tiga hari!" Nijimura melipat kedua tangannya. "Satu minggu itu kelamaan!"

Chihiro berdecih. Bersamaan dengan itu, Akashi menampakkan sosoknya di belakang Chihiro sambil menyeringai. Menatapi Nijimura dengan kedua manik rubi yang berkilat jenaka.

Nijimura menaikkan salah satu alisnya. "Kau mengikutiku?!" serunya terdengar tidak suka. Akashi hanya melebarkan seringai.

Sedangkan Chihiro keheranan. Menengok ke belakang barangkali Nijimura tidak berbicara padanya. Namun, tidak ada siapa pun di sana. Maka Chihiro balik menoleh pada mata Nijimura yang tertuju pada sesuatu di belakang tubuhnya.

"Heh, kau ini ...?" Chihiro kehilangan kata-kata.

"Aku butuh bantuanmu," kata Akashi mengabaikan eksistensi Chihiro.

"Mau minta bantuan apa?" Begitu pula dengan Nijimura. Tidak memerdulikan Chihiro yang menatapnya penuh tanda tanya.

"Aku ingin pergi ke suatu tempat. Bisakah kau mengantarkanku dengan mobilmu ke sana?" Akashi melangkah mendekati Nijimura.

"Kau pikir aku supirmu?!"

"Please, hanya kau yang bisa membantuku." Akashi memohon dengan wajah datar.

"Tidak bi-"

"Kau itu sedang bicara dengan siapa?"

Ucapan Nijimura disela Chihiro yang kini menatapnya horror.

"Dengan dia," jawab Nijimura polos. Ditunjuknya Akashi dengan ujung jari. Padahal dari pandangan Chihiro, tidak ada siapa-siapa dari arah telunjuk si pemilik bibir monyong itu.

Nijimura beralih menatap Akashi lagi sambil memanyunkan bibir. "Dengar ya, aku tidak bisa mengantarmu. Aku ini orang sibuk!"

"Hanya kau satu-satunya yang bisa menolongku, Paman. Tolong." Akashi tidak menyerah.

Diam-diam Chihiro melarikan diri ketika Nijimura sibuk berbicara sendirian seperti orang gila.

'Sepertinya dia mulai tidak waras,' batin Chihiro merinding disko.

...

..

"Paman, ayolah." Akashi memburu. Mengikuti Nijimura yang terburu-buru keluar dari rumah sakit itu.

"Jangan mengikutiku. Pergi sana!" Langkah Nijimura dipercepat, hampir berlari. Mengabaikan orang-orang yang menatapnya aneh.

Akashi berhenti mengikuti Nijimura ketika pria itu keluar dari pintu kaca rumah sakit. Ekspresinya masih datar, tapi meredup, penuh kecewa.

...

..

TBC