Salah satu keuntungan memiliki enam saudara adalah kemudahan dalam berbagi tugas. Namun apakah yang akan terjadi apabila tugas itu dilimpahkan kepada orang yang tidak tepat?

Author note & Disclaimer

-Boboiboy dan seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta, saya hanya pinjam karakter-karakternya. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.

-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI. Elemental sibblings, AU, tanpa super power, OOC (mungkin ?).

-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut dari yang tertua:

-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun

-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.

-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.

-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.

-Boboiboy Thorn: 17 tahun.

-Boboiboy Ice: 16 tahun.

-Boboiboy Solar: 16 tahun

Puasa Hari Ketujuh.

'LARI!' Hanya itu yang melintas di kepala Ice. Otot-otot pada kedua kakinya masih mau menuruti perintah dari otaknya namun lain halnya dengan paru-parunya yang semakin sesak dan sulit untuk menarik napas. Belum pernah Ice berlari sekuat tenaga seperti ini.

Bahkan Ice tidak berani menengok ke belakang. 'Habislah aku kalau sampai tersusul!' pikirnya di tengah upayanya melarikan diri.

Ice tidak tahu sudah berapa lama ia berlari atau apakah pengejarnya itu masih ada atau tidak. Membuat jarak sejauh mungkin dengan pengejarnya adalah prioritas utamanya sekarang.

Masalahnya otot-otot di kedua kakinya sudah terasa menolak untuk berlari lebih jauh. Kalau saja otot-otot itu bisa bicara pastilah sudah berteriak minta berhenti.

"Kena kau!" Sebuah tangan menangkap pundak Ice

'Mampus! Habislah aku!' kutuk Ice dalam batinnya ketika ia meneguk ludah.

"Mau kemana kau setan kecil!?" Tangan bertenaga itu mulai menggoyang-goyangkan pundak Ice sekuat tenaga.

"Ampun! Jangan culik aku! Lepaskan aku!"

"Culik?" Mendadak suara menyeramkan yang mampir di telinga Ice bertukar. "Bangun Ice! Sahur!" Suara yang mampir di telinga Ice kali terdengar tidak asing.

Kedua netra aquamarine Ice mendelik selebar-lebarnya. Hal pertama yang ia lihat adalah sepasang netra kelabu di wajah yang sangat mengantuk. "So-Solar?"

"Kamu lupa ya, Ice?" Solar melipat kedua tangannya di depan dada. "Apa janjimu kemarin?"

Kontan Ice menggaruki kepalanya sendiri. "A-apa ya?"

"Sah-"

"Alamak! Sahur!" Kedua netra aquamarine Ice melebar sementara pupilnya mengecil. "Jam berapa ini!?"

Solar melirik ke arah jam dinding kamarnya. "Yah, setengah jam lagi masuk waktu puasa-"

"Mampus! Aku telat bangun!" Dalam sebuah pertunjukan akrobatik yang jarang terlihat, Ice melompat turun dari atas ranjangnya. Karena nyawa Ice belum sepenuhnya terkumpul, ia malah kelabakan sendiri dan tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya.

"Kamu beruntung aku ngga tidur semalaman." Solar tersenyum-senyum melihat Ice yang kalang kabut. "Habislah kamu kalau ngga kubangunkan-"

"Ah! Tolong aku, Solar!" ketus Ice yang benar-benar panik. "Bantu aku memasak makanan sahur!"

"Kamu mau sahur pakai eel jelly lagi?"

"Aaah! Sebodo amat! Apa saja jadi! Ayo turun!" Tanpa tendeng aling-aling, Ice menggandeng dan menyeret Solar keluar dari kamar mereka menuju dapur.

Solar tidak bisa dan tidak sempat protes ketika ia diseret menuju dapur dengan tidak elitnya oleh Ice. Sebetulnya ia juga tidak tega melihat kakak kembarnya yang dilanda kepanikan. Mungkin bakal lebih berbahaya kalau Solar membiarkan Ice yang fokusnya belum terkumpul itu menyiapkan sahur sendirian.

Oleh karena itu Solar memantapkan niatnya. "Sini biar kubantu deh," ucap Solar yang langsung mengambil sebuah penggorengan besar dan beberapa kaleng makanan dari dalam kulkas. "Panaskan kompornya, Ice. Pecahkan dan kocok sepuluh telur."

Tidak ada protes yang keluar dari mulut Ice. Ia langsung mengerjakan apa yang disuruh oleh Solar.

"Kamu masak apa?" tanya Ice pada Solar sembari mengaduk dan mengocok sepuluh butir telur dalam sebuah mangkuk besar.

"Lihat saja," jawab Solar sembari menasukkan berbagai macam makanan kalengan ke dalam sebuah penggorengan besar.

Sebentar saja aroma wangi makanan menyebar ke seluruh penjuru rumah yang dihuni oleh tujuh bersaudara itu. Aroma wangi gurih menyengat itu cukup menjadi sarana untuk membangunkan para penghuni rumah tanpa harus dihampiri satu per satu.

"Wuaaah! wanginya sedap!" komentar Gempa yang sudah berkumpul dengan seluruh saudara-saudaranya di meja makan.

Dengan dibantu Solar, Ice menyuguhkan semangkuk besar nasi goreng ke atas meja makan.

"Waaaah. Sahurnya istimewa nih!" Bahkan Blaze memuji hasil masakan Ice.

"Sudah, sudah mau masuk waktu puasa. Ayo sahur, aku lapar!" Taufan langsung memindahkan seonggok besar nasi goreng buatan Ice itu ke atas piringnya sendiri.

"Setuju, aku juga lapar." Halilintar mengikuti Taufan dan mengambil porsi makanan sahurnya.

Berbagai pujian terlontar dan ditujukan kepada Ice atas nasi goreng buatannya yang gurih dan menggugah selera. Bahkan Thorn yang biasanya hanya makan secukupnya saja sudah menyendokkan porsi kedua ke atas piringnya.

"Hebat nasi gorengmu ini Ice." puji Gempa setelah ia menghabiskan makanan sahurnya. "Begitu gurih, wangi. Asinnya sempurna, ngga terlalu pedas juga."

"Ah ... itu ..." Ice meneguk ludahnya dan melirik ke arah Solar.

Tanpa terlihat oleh kakak-kakaknya yang lain, Solar mengedipkan sebelah matanya pada Ice.

Tentu saja Ice mengerti isyarat dari Solar itu. Namun tetap saja, Ice tidak mau mengakui sesuatu yang bukan haknya. Ia menarik napas panjang sebelum mulai menjelaskan, "Sebenarnya ... Aku telat bangun."

Kontan semua kakak-kakak Ice terdiam. Perhatian mereka tertuju pada Ice yang berusaha untuk terlihat tenang.

"Nasi goreng ini buatan Solar, bukan buatanku. Aku cuma buat telur dadarnya saja." Ice mengakui kelalaiannya. "Maaf ya, Kak ... Aku ketiduran."

"Sudahlah Ice," Solar mengibaskan tangannya. "Aku ngga keberatan kok. Lagipula itu gunanya saudara, saling membantu," lanjut Solar sembari menepuk-nepuk pundak kakaknya itu.

Tak ayal Gempa tersenyum puas melihat kekompakan kedua adiknya yang paling kecil itu. Namun yang lebih membuatnya merasa bangga adalah kejujuran Ice. "Ya, ngga masalah kok Ice. Aku hargai kejujuranmu itu, lagipula kamu masih berusaha menyelesaikan tanggung jawabmu."

"Dan kamu juga, Solar," lanjut Gempa. "Kamu masih meluangkan waktu untuk membantu kakakmu meskipun bukan tanggung jawabmu."

Pujian kecil itu membuat Solar terkekeh. "Ajaran Kak Hali," ucap Solar dengan jujur.

Halilintar yang namanya disebut malah membuang muka. "A-aku cuma memberi tahu jalannya hidup. Aku ngga tahu bakal dijalani atau ngga."

Serta merta Gempa merangkul Halilintar dan Solar. "Aku bangga punya kakak dan adik seperti kalian."

.

.

.
Tamat.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang. Sebisa mungkin akan saya jawab satu-persatu secara pribadi.

Sampai jumpa lagi pada kesempatan berikutnya.