STEM
Levi Ackerman, Hanji Zoe
Kuchel Ackerman
Attack on Titan belong to Hajime Isayama
And this story is mine
Penulis tidak mengambil keuntungan apapun dan hanya ingin menyalurkan imajinasinya.
I hope you enjoy my story!
Aroma pasta dan teh kamomil yang menguar dari dapur seharusnya dapat menyeret Hanji ke mari. Namun selama apapun Levi menunggu, tiada tanda-tanda kekasihnya akan datang dan berseru kelaparan. Entah apa yang tengah Hanji lakukan, Levi tak bisa menahan sabar lagi. Ia pun memutuskan pergi ke ruang tamu setelah melepas apron.
"Hanji," panggil Levi, menemukan wanita berkacamata itu duduk bersandar di sofa, memunggunginya. Ia mendesah gusar lantaran Hanji tak kunjung menjawab.
"Oi, Hanji."
Masih tidak ada jawaban.
"Telingamu sudah tidak berfungsi, hah?" Meski berkata demikian, Levi melanjutkan langkah menghampiri Hanji yang senantiasa bergeming di tempatnya. Pria itu hendak meraih kunciran rambut wanitanya, menariknya seperti biasa. Tetapi, dengkuran halus Hanji yang terdengar tenang menghentikan pergerakan tangan Levi; Hanji tertidur, tampak pulas hingga Levi bertanya-tanya kapan kali terakhir wanita itu tidur tanpa meminum obat.
Seminggu ini insomnia Hanji kambuh. Proyek perusahaan yang membebani membuat wanita itu tidak tidur selama berhari-hari. Levi sudah bersusah-payah memaksa mata itu terpejam—bahkan tidak memarahi Hanji yang hampir tidak mandi dua hari. Tetapi, wanita itu tetap bersikeras menyelesaikan pekerjaannya. Moblit, salah satu bawahannya di kantor sampai menceramahi Hanji yang lembur seminggu penuh.
"Kacamata bodoh," gumam Levi. Ingatannya terlempar pada kekonyolan Hanji tadi siang.
Pria itu pun mengambil sebuah bantal untuk menyangga kepala Hanji. Memindahkan wanita itu hanya akan membangunkan dan membuat Hanji terjaga semalaman. Dan apabila Hanji sakit, Levi tidak mau bertanggung jawab atas semua pekerjaannya. Walau Levi sedikit berharap agar Hanji sakit sih. Karena dengan begitu, kekasihnya akan benar-benar beristirahat dengan tenang.
Saat Levi membaringkan tubuh Hanji, pintu apartemen tiba-tiba terbuka. Kuchel Ackerman tampak kepayahan membawa barang-barang belanjaannya masuk. Wanita yang masih terlihat cantik di usianya itu terkesiap mendapati Hanji tertidur di sofa.
"Vi? Sejak kapan kalian pulang?" tanya Kuchel seraya meletakkan kantung kertas di ambang pintu. Levi kembali menatap Hanji dan melepas kacamatanya, membungkus wanita itu dengan selimut tebal.
"Satu jam yang lalu." Ia melirik jam dinding. "Dan Kacamata Sialan ini tidur sebelum makan malam."
"Dia pasti lelah," ucap Kuchel, "rona wajahnya sama sekali tidak baik, Vi. Apa Hanji cukup tidur dan makan?"
"Makan, ya. Tidur, tidak."
Kuchel menghela napas. "Makanya, kau jangan marah-marah terus pada Hanji. Jika bukan dia, siapa lagi yang sanggup menghadapi lidah tajam dan kekakuanmu?"
"Itulah mengapa orang-orang menyebutnya wanita aneh."
"Dan kau pria yang menyebalkan. Beruntunglah kau mendapatkan wanita aneh ini, Boy."
Benar. Diam-diam Levi menyetujui perkataan ibunya. Ibu benar. Aku beruntung mendapatkannya.
Kuchel tersenyum. Sepanjang ia membesarkan Levi, anak itu tidak pernah merasa sebahagia ini. Pertemuannya dengan Hanji memberikan warna yang berbeda dalam kehidupan Levi. Orang lain mungkin tidak melihat kebahagiaan yang terpancar dari sorot mata putranya, namun sebagai ibu, Kuchel dapat memastikan binar-binar samar yang bersemayam di balik iris kelabu pria itu; kehangatan untuk Hanji, satu-satunya wanita yang Levi cintai.
Wanita itu membungkukkan tubuh kemudian menyingkirkan anak-anak rambut di kening Hanji. Levi diam memperhatikannya. Sedari tadi pria itu berlutut di depan sofa tempat tidur Hanji.
"Bu."
Mendengar putranya memanggil, Kuchel menoleh. "Ya, Boy?"
"Aku tidak mengerti Hanji."
Oh, dia dalam mode serius, batin Kuchel. Ia menduduki sofa tunggal. Levi mengganti posisi duduknya lantas menyisir rambut ke belakang. Air mukanya menunjukkan rasa frustasi akan sesuatu.
"Apa sih yang mengganggumu?" Kuchel penasaran. Diliriknya Hanji yang berbalik membelakangi Levi. Sejenak Levi memandangi wanitanya sebelum beralih pada Kuchel. "Kalian bertengkar?"
"Tidak."
"Lalu?"
Butuh waktu lama supaya Levi mengungkapkan kegundahan hatinya. Sembari menunggu, Kuchel mengikuti sumber aroma sedap yang menggoda indra penghidunya. Levi juga belum makan malam rupanya.
"Si Idiot ini menganggap dirinya akar," ucap Levi, dahinya berkerut dalam. Ia menambahkan, "Ada anak magang baru di kantor, namanya Petra. Hanji membandingkan dirinya dengan gadis itu. Aku tidak mengerti dengan pikiran Kacamata Sialan ini."
"Apa dia gadis yang cantik?"
"Hah?"
"Ibu tanya apa Nona Petra gadis yang cantik, Levi," ulang Kuchel gemas. Jika urusan wanita, Levi memang kurang peka. "Kurasa Hanji merasa sensitif pada Nona Petra. Tubuhnya lelah, otaknya lelah. Kukira Hanji adalah wanita yang percaya diri. Tapi, dia sama seperti para wanita kebanyakan; kami memiliki sisi sensitif, Vi."
"Artinya, kau dan Hanji sama-sama merepotkan," komentar Levi acuh tak acuh.
Kuchel menjitak kepalanya kesal. "Sesekali bersikaplah manis pada Hanji. Jangan memarahinya terus. 'Kan sudah Ibu bilang, kau beruntung mendapatkan Hanji."
Masalahnya, apa Mata Empat ini merasa beruntung mendapatkanku? Kelopak mata Levi berkedut. Tatapannya berubah sayu. Bagaimanapun, aku hanyalah awan mendung yang menghalangi sinar matahari secerah Hanji.
Sial, Levi benci menjadi muram. Ini bukan seperti dirinya.
Kuchel mencoba memahami perasaan Levi. Pria itu juga merasa tidak percaya dengan dirinya sendiri.
"Vi, kau belum menjawab pertanyaan ibu loh."
"Cih." Levi mendecih. "Jangan memaksaku menjawab pertanyaan sialan itu."
"Apa Nona Petra sangat cantik?" Kuchel bertanya tegas.
"Ya," jawab Levi. Semua pria di kantor mengakui kecantikan Petra. Jadi, wajar dia beranggapan demikian bukan? Lagipula kecantikan merupakan hal yang relatif bagi wanita. "Seandainya aku mengatakan ini di depan Hanji. Mata Empat ini pasti akan merajuk."
"Kau menyukainya?"
"Siapa?" Oh, ayolah, kenapa semua wanita di sekitar Levi suka sekali mempersulit kata?
Kuchel berdehem pelan. "Nona Petra."
"Dia anak yang rajin," jawab Levi. Ia bangkit setelah menarik selimut Hanji yang merosot. Wanita itu banyak tingkah ketika tidur.
"Wah, Levi, kau jadi tinggi hehehe."
Igauan Hanji mengundang umpatan Levi. "Brengsek."
Kuchel tertawa geli. "Astaga, Hanji selalu mengejutkanku."
Levi menatap Hanji dan Ibunya bergantian, memijat kening, kemudian mengambil belanjaan sang ibu yang tergeletak di depan pintu. Biarlah Hanji beristirahat malam ini. Ia akan makan sebelum mengerjakan laporannya.
Hal pertama yang Hanji tangkap saat membuka mata adalah penerangan yang remang. Lampu kuning menerangi ruang tamu, selimut tebal membalut tubuh kurusnya, dan Hanji menemukan sebuah bantal menyangga kepalanya. Awalnya, sulit bagi Hanji untuk mencerna apa saja yang terjadi sebelum dirinya terlelap. Hingga suara ketikan laptop merenggut atensinya, dan Hanji memutar kepalanya ke samping; pada Levi yang masih terjaga tak jauh darinya.
"Levi?" Kelopak Hanji mengerjap cepat. "Kau tidak tidur?"
"Pakai kacamatamu dan lihat aku, Mata Empat." Levi sama sekali tak mengalihkan perhatiannya. Jemarinya gesit menari di atas keyboard. Map, berkas, dan laptop yang menyala di tengah keremangan; Hanji menyukai pemandangan ini. Ternyata Levi menemaninya di sini.
"Jangan tersenyum. Kau mengerikan."
Hanji merengut sebal, namun detik berikutnya senyuman kembali menghiasi sudut bibirnya. "Terima kasih tidak memindahkanku. Kau tahu aku mudah terbangun. Kenapa kau manis sekali sih?"
"Tch."
"Eits, jangan marah, dong." Hanji beranjak duduk. "Aku sedang memujimu loh."
Kini, Levi memandangnya. Jemari pria itu berhenti bergerak. Sebelah tangannya meraih cangkir teh yang isinya tinggal separuh. "Apa?"
"Jam berapa sekarang?"
"Sebelas malam."
"Begitukah?" Sambil mencari keberadaan kacamatanya, Hanji merangkak menghampiri Levi. Ia duduk di sebelah pria itu, menyandarkan kepala ke pundaknya. Intensitas cahaya laptop yang tak terlalu terang perlahan beradaptasi dengan mata Hanji. "Vi, apa Maman sudah pulang?" tanya Hanji, menyipitkan mata berusaha membaca sesuatu yang ditulis Levi. "Semoga Maman tidak mengkhawatirkanku. Aku menyesal tiap kali mengunjungi apartemen kalian, kondisiku selalu tidak fit. Maafkan aku, ya."
Levi menutup file tersebut, membuka dokumen lain. "Dia memakan pastamu. Kau tidur selama lima jam seperti orang mati."
"Syukurlah. Tapi—eh? Tunggu sebentar! Tidur seperti orang mati 'kan lebih baik ketimbang tidur karena meminum obat tidur. Aku bosan mendengar omelanmu, tahu!"
"Kalau begitu, diamlah dan kembali tidur, Kacamata Sialan. Berhenti mengoceh."
"Jahatnya, Tuan Cebol." Gerutuan Hanji tak ditanggapi Levi. Pria itu fokus pada pekerjaannya.
Tatkala suara keroncongan yang khas terdengar, wanita itu buru-buru menyentuh perutnya. Ia tertidur ketika Levi masih berkutat di dapur. Dan ia tak bisa menyembunyikan rasa laparnya karena cacing-cacing di dalam perut sudah meronta minta diberi makan.
Levi melirik Hanji yang sebenarnya sudah memerah menahan malu. Ia mendesah berat. "Merepotkan. Kau punya mulut untuk bicara. Jadi, gunakan mulutmu, Mata Empat," kata Levi sambil bangkit berdiri. Hanji mendongak, bibirnya tertarik membentuk seulas senyum simpul.
"Kau terlihat sibuk. Aku jadi tidak enak memintamu membuatkanku sesuatu."
Persetan dengan ucapan Hanji, Levi lebih memilih melenggang menuju dapur dan memasang apron untuk memasakkan makan malam Hanji. Kekasihnya itu memang sering melontarkan kata-kata kasar. Namun, perlakuannya terhadap Hanji sudah membuktikan bahwa pria itu juga mencintainya.
"Di mana kacamataku?"
Ketika Hanji meraba-raba meja untuk menggapai kacamata kesayangannya, mendadak pandangan wanita itu berpaling pada layar laptop Levi yang masih menyala. Ia segera memasang kacamata begitu mendapatkannya, menggeser tetikus, lalu mengarahkan kursor pada dokumen lain yang pria itu sembunyikan.
Niat Hanji untuk menyusul Levi ke dapur pun tertunda. Matanya terpaku, tubuhnya membeku, dan Hanji merasa dadanya seakan diremas dengan kuat karena ternyata Levi memikirkan ucapannya di resto.
"Maafkan aku," gumam Hanji, hatinya berdenyut sakit. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. Ah, pria itu sampai menulis kalimat 'menjijikkan' begini hanya demi sebongkah akar seperti Hanji. Levi jelas mencintainya dan selamanya akan selalu begitu. Bagaimana—bagaimana bisa ia meragukan Levi?
Hanji yang dihantui rasa bersalah langsung menutup dokumen tersebut, berlari kecil tatkala Levi menyerukan namanya dari dapur. Tanpa sadar ia justru melukai perasaan pria itu.
"Aku datang, Levi. Aku datang."
Kalian ingin tahu apa yang Levi tulis dalam dokumen tersebut? Hanya sebaris kalimat sederhana, yang memiliki sejuta arti bagi seorang Hanji Zoe.
Je vous aime, Hanji. Batang yang kaku ini hanya mencintai akar yang membuatnya tetap hidup.
.fin
author's note:
Jadi, idenya udah lama, tapi aku baru bisa nge-ekskusi story ini malam ini:") Itupun aku malah gak ngerjakan tugas huhu. Maaf ya, kalau bahasanya kaku karena lagi buntu juga. Semoga kalian suka!
