Merah.
Halilintar selalu dipasang-pasangkan dengan warna merah sejak dulu. Dia pun tidak tau kenapa. Orang tuanya, terutama ayahnya, sedari kecil selalu memakaikan baju yang berhubungan dengan warna merah. Katanya, supaya dia menjadi orang yang penuh cinta. Berhubung dia anak pertama, orang tuanya ingin dia menjadi seorang kakak yang penuh kasih dan selalu memberi rasa cinta pada adik-adiknya lewat ucapan, tindakan, dan perilaku. Doanya terkabul, meski tidak sesuai yang diharapkan setidaknya doanya terkabul. Sekarang pun, Halilintar hampir setiap hari selalu mengatakan rasa cintanya pada adik-adiknya. Terutama Taufan, Blaze, dan Thorn yang sudah menjadi langganan tetap. Yah, kalian pahamlah apa itu.
Lalu apa Halilintar menjadi suka dengan warna tersebut?
Hmm. Sebenarnya dia lumayan netral untuk masalah yang seperti ini. Suka tidak terlalu. Benci juga tidak terlalu. Lempeng seperti papan triplek. Dan sebenarnya, Halilintar juga tidak tau apa warna kesukaannya. Memang sering kali dia memakai baju berwarna gelap, terkadang juga warna putih dan sesuatu yang cerah, tapi tidak menjamin apa dia suka. Halilintar itu seseorang yang sangat cuek. Dia tidak bisa memerhatikan sesuatu dengan detail jika memang di rasa tidak perlu. Beda sekali dengan adik-adiknya yang rasa-rasanya langsung heboh jika ditanya hal kesukaan.
Sebagai seorang kakak, Halilintar sendiri sebenarnya tidak paham dengan arti kata 'menjaga' itu sendiri. Dia sering sekali mendengar itu dari orang sekitar. Dan mereka, yang kebanyakan berasal dari sanak saudara, seakan membebankan kata itu padanya yang dia sendiri tidak paham. Seenaknya sekali mereka. Manusia memang enak sekali dalam menyerahkan sesuatu ke orang lain tanpa pandang apa orang ini bisa atau tidak. Halilintar tidak suka. Dia ingin main. Ingin bertingkah seperti teman-temannya yang bebas berlarian tanpa beban. Dia, Halilintar, ingin sekali menjadi teman-temannya yang kebanyakan tidak punya adik yang dengan bebas melakukan kenakalan tanpa membawa embel-embel 'jadilah contoh yang baik untuk adikmu'.
Halilintar benci. Dan dia paling benci menunggu.
Entah kenapa, seperti ada semacam kesepakatan bersama tanpa voting suara darinya, Halilintar selalu kedapatan dapat shiff mengawasi Ice. Adiknya yang keempat. Kembarannya yang kesekian. Yang katanya sangat mirip dengannya jika saja warna mata mereka sama-sama berwarna merah delima.
Mereka kembar, duh. Tentu saja mirip.
Ada-ada saja orang-orang ini.
"Gak mau keluar?" Suatu hari, Halilintar bertanya setengah kesal karena lagi-lagi tidak bisa main dengan adiknya yang dia kira bisu itu. Seumur-umur, dia tidak pernah bertemu dengan orang yang diamnya sediam Ice. Adiknya itu tidak akan bicara jika tidak diajak bicara. Dia seperti robot yang di setel sedemikian rupa supaya tetap menjaga suaranya. Halilintar kesal. Dia ingin sekali pergi tapi di rumah sakit tidak ada siapa-siapa selain dia yang menemani. Ibunya pergi sebentar, entah kemana. Halilintar tidak terlalu mendengarkan jadi dia lupa ibunya kemana. Ayahnya pergi bekerja. Katanya ada panggilan mendadak padahal sekarang giliran shiffnya. Adik-adiknya yang lain tentu saja bermain di rumah dengan tetangga yang mengawasi gerak-gerik mereka tentunya. Mereka masih berumur enam tahun, masih belum bisa dilepas sendiri di rumah.
"Kakak mau keluar?" Alih-alih menjawab, Ice bertanya balik. "Kalau mau keluar, kakak keluar saja. Aku tidak apa-apa disini sendirian," katanya.
"Gak jadi," balas Halilintar. Dia sudah pernah dimarahi ibunya saat berani menelantarkan tanggung jawab dan Halilintar tidak mau mengulang. Telinganya panas dengar ceramah ibunya yang panjang itu. Sedikit tidak adil juga untuknya. Halilintar 'kan cuma mau main.
"Yasudah,"
Jawaban pendek itu seketika membuatnya kesal. Halilintar tidak mengomel, tidak biasanya, hanya membuang nafas panjang. Adiknya yang satu ini aneh. Kepalanya selalu tertunduk, selalu berusaha tidak melihat lawan bicara atau siapa pun. Matanya yang biru pucat itu agak sayu dan selalu bengkak. Halilintar selalu mengira itu karena terlalu banyak tidur. Dan Ice juga tidak pernah memulai bicara. Dia selalu bermain sendiri di dalam kamar dengan boneka beruang kutub dan pausnya. Dan tiap kali sakit, orang tuanya pasti panik sendiri. Ice juga sering keluar masuk rumah sakit hanya gara-gara demam biasa. Halilintar mengerutkan dahinya, bukankah kedua orang tuanya terlalu berlebihan? Cuma demam biasa 'loh padahal.
Menjadi kakak itu berat. Halilintar sering kali mengeluh kenapa dia yang dapat posisi ini. Kenapa bukan Gempa saja? Kenapa bukan Taufan saja? Dia terlalu kaku. Sering kali malah tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan namun adik-adiknya tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Barang kali sudah terbiasa atau kelewat paham dengan kecanggungannya. Tak jarang, Halilintar mencoba berusaha untuk lebih terbuka, lebih yang bergerak paling sering supaya tidak canggung namun memang dasarnya saja dia bukan tipe orang yang seperti itu. Akhirnya, dia menyerah dan memutuskan untuk bersikap biasa saja.
Marah-marah adalah caranya mengatakan apa yang dia rasakan. Halilintar memang tipe yang tidak bisa mengatakan perasaannya, jadi dia menggunakan cara lain. Tentu saja, tidak semuanya sepaham dengan tindakannya ini. Banyak yang malah ikut marah dan membencinya yang gampang emosian tapi ada sebagian kecil yang juga paham atau mencoba paham. Adik-adiknya sudah kebal, tapi bukan berarti mereka tidak bisa salah tangkap. Makin dewasa, Halilintar sudah bisa menekan marahnya. Jikalau sudah naik pitam, sudah di level paling atas, dia pasti mengamuk. Tapi, segalak-galaknya dia, Halilintar tidak pernah main tangan. Membentak pun setelahnya dia akan meminta maaf. Tentu dengan caranya sendiri. Meski garang hatinya itu lembut. Dia sering tidak enakan. Tapi berkat didikan dan beban seorang 'kakak', Halilintar terlalu kuat untuk menunjukkan bahwa dia orang yang peduli.
Banyak yang salah paham dengan dia. Itu hal biasa. Halilintar juga kadang tidak paham dengan dirinya sendiri. Menurutnya, wajar jika orang-orang tidak paham dirinya, toh dia sendiri saja labil.
Merah itu katanya melambangkan kemarahan, kemurkaan, keberanian, dan kedengkian.
Halilintar, namanya juga fenomena langit yang mengerikan.
Dengan kepribadiannya yang dingin dan misterius, rasanya seperti paket komplit untuk seseorang yang harus dihindari di muka bumi. Mungkin karena itulah, secara perlahan, orang yang sejak awal disuruh orang tuanya untuk selalu pasang mata dan dijaga juga melakukan sedemikian rupa. Halilintar… sedih. Entah kenapa dia merasa dikhianati. Padahal kalau ditarik kejadiannya ke belakang, dia paham kalau dia yang salah tapi Ice juga salah karena tidak pernah mengatakan apa pun. Wajar 'kan jika dia tidak tau? Wajar 'kan segala perbuatan Halilintar? Iya, dong. Iya, kan? Jadi, Halilintar tidak sepenuhnya salah dan bersalah. Bukan dia yang ingin Ice pergi, orangnya sendiri yang memilih pergi. Tapi, orang-orang tidak pernah mendengarkan. Mereka seenaknya saja selalu bilang kalau dialah yang menjadi penyebab kepergian si petugas informasi terbaik TAPOPS.
Mereka tidak bisa mendengarkan dengan baik. Dimana etika dan tata karma mereka? Kalau begini terus, jika mereka terus-terusan mengatakan sesuatu yang tidak enak, bisa-bisa Halilintar mati secara mental. Halilintar tidak sekuat itu menghadapi semua cacian. Ada kalanya dia akan menyendiri dan menangis dalam diam sambil bertanya apa salahnya.
Halilintar tidak sekuat yang orang kira. Tidak ada yang tau rahasia kecilnya ini –Oh! Ralat. Taufan tau. Dia selalu tau apa yang terjadi disekitarnya. Mengingat bagaimana sifat adik pertamanya itu, Halilintar pasrah saja jika Taufan bicara panjang lebar ke orang lain. Dia capek. Ingin sekali istirahat. Tapi ternyata kenyataannya berbeda. Taufan sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Dia mengunci rapat mulutnya dan bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.
Huh, aneh. Apa ini yang namanya berpura-pura? Taufan itu selalu merasa apa yang terjadi disekitarnya adalah urusannya juga. Makanya aneh sekali. Jika dia tidak mengurusi hal kecil ini.
"Tch." Halilintar benci dirinya. Sudah hampir seminggu dia membuka email dan berakhir tidak menulis apa pun. Kegiatan barunya itu selalu terjadi tiap pagi ketika baru bangun tidur dan malam sebelum tidur. Halilintar menghela nafas panjang dan menutup mata dengan lengannya. Mari berpikir dan mengingat sejenak, kenapa dia melakukan ini? Kenapa? Apa dia khawatir sekarang? Oh, setelah hampir dua tahun berlalu perasaan khawatir itu baru muncul rupanya. Hah, menggelikan. Bukankah sudah terlambat? Ah, tapi… Gempa sendiri pernah bilang, "Tidak ada kata terlambat untuk menyesal dan meminta maaf", berarti tak apa?
Benarkah? Semudah itu?
Mana mungkin. Halilintar tidak percaya jika caranya semudah itu. Lagi pula, jika caranya semudah itu dia tidak yakin tatapan penuh luka dari Ice yang dia lihat di hari kedua dari empat hari yang Laksamana Nakila beri bisa menghilang begitu saja. Bersembunyi, mungkin. Adik-adiknya memang hebat dalam urusan menyembunyikan sesuatu. Entah siapa yang mereka tiru sampai menjadi ahli begitu. Tapi ada yang bilang kalau mata itu adalah cerminan hati, bagian tubuh manusia yang paling tidak bisa berbohong. Jika memang benar, maka Halilintar hanya perlu menatap mata Ice agar tau dia berbohong atau tidak, begitu? Tapi bagaimana? Halilintar saja tidak bisa menatap lama-lama mata Ice yang amat kosong, tak ada gairah hidup, dan sendu. Rasanya seperti tersesat dan tidak bisa kembali.
Ah. Apa ternyata memang itu perasaannya yang asli? Perasaan kosong melompong dan merasa seperti mayat hidup dengan berbagai pikiran yang menyakinkan diri bahwa hidupnya tak akan lama karena penyakit bawaan (juga hal lain) yang sudah menghantui sejak bertahun-tahun lamanya. Terlebih dengan penjara tak kasat mata yang sengaja didirikan orang sekitar untuknya agar tetap 'aman'.
Oh. Jika memang seperti itu maka menyedihkan sekali.
Hidup diatur dan terus digiring seperti hewan ternak saja.
Oh. Halilintar mulai paham kenapa Ice mengatakan 'itu' padanya. Ini hanyalah dugaan, spekulasinya atas daya pikirnya coba merangkai semua dimulai dari awal sampai akhir. Bisa saja salah. Dia juga bukan pengamat yang baik. Bisa saja salah, kan? Halilintar itu… manusia. Dia bisa kuat seperti ini juga karena tidak sengaja menemukan power sphera yang mengaku bernama Ochobot dan dengan gampangnya memberi jam yang berisi sebuah kuasa. Juga beban lain yang tidak dia sadari. Jujur saja jika mengingat hal itu baik-baik, Halilintar merasa ditipu. Tapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah berlalu dan salahnya juga yang lumayan terlena dengan embel-embel 'pahlawan' yang nampak cemerlang di mata. Ujung-ujungnya di awal masa remajanya, dia dan para adik-adiknya, kewalahan menjadi seorang pahlawan. Minus adik keempat, yakni Ice, yang waktu itu lagi-lagi masuk rumah sakit.
Huh, kalau mengingat-ingat masa lalu membuat perasaannya campur aduk. Perlakuan orang-orang sudah mulai ada yang berubah dan beberapa kembali menanggapnya seorang remaja laki-laki beruntung (atau tidak) dengan kuasa yang digunakan untuk membantu orang. Ada juga sebagian yang membenci dan mencibir mereka. Yah, Halilintar tidak begitu peduli. Setidaknya tidak akan diladeni sampai ada yang sudah kelewatan dan ada yang berani melukai adik atau temannya, Halilintar tidak akan maju.
Karena sudah buang-buang waktu, Halilintar putuskan untuk mematikan laptop dan bersiap memulai hari baru yang makin membosankan ini. Hari ini tidak ada misi, tugas, atau kegiatan lain yang membuatnya harus pergi ke sana-sini dan membuat tubuhnya lelah seharian. Latihan? Sudah pasti. Halilintar akan berolahraga sebentar lalu istirahat dan mungkin akan ke perpustakaan lagi untuk membaca sekaligus menyendiri.
Ah, itu sudah menjadi rutinitas baru untuknya.
Halilintar sudah mulai jarang berkumpul dengan adik dan teman-temannya. Dia seakan secara terang-terangan menjauh dan menyibukkan diri dengan kegiatan yang sebenarnya bisa dikatakan penting dan tidak penting. Lebih suka merenung, membaca, intropeksi diri, dan menyendiri. Untuk orang-orang yang paham Halilintar itu bagaimana pasti akan menganggap angin lalu. Toh, bukannya biasanya seperti itu?
"Kak Hali berubah, ya? Lebih kalem dan jauh," ucap Taufan di sore hari ketika tengah bersantai di taman lima TAPOPS. Gempa yang baru datang dan duduk di sebelahnya pun hanya menghela nafas panjang. "Padahal yang pergi cuma satu orang tapi dampaknya sebesar ini. Wah! Bagaimana kalau kita semua pergi berpencar nanti? Seperti apa dia nantinya? Apa Kak Hali akan berubah menjadi patung berjalan?"
"Kak Taufan, tolong jangan melucu dengan lelucon itu. Tidak lucu," tegur Gempa. Lalu dibalas tawa garing dan ucapan maaf dari Taufan. "Aku khawatir,"
"Kenapa, nih?" tanya Taufan dengan nada jenaka.
Gempa mengabaikan itu. "Apa Kak Hali masih mengganggap keputusan Ice pergi dari sini adalah salahnya? Waktu itu mereka sedang dekat-dekatnya dan Kak Hali juga sudah terang-terangan membantu dan berinteraksi dengan Ice. Lalu, tiba-tiba dapat kabar seperti itu pastinya membuat banyak sekali pertanyaan dan rasa bersalah," Gempa menghela nafas. Duh, malangnya kakaknya ini. Sedang sayang-sayangnya malah ditinggal, mungkin begitulah maksud simpelnya.
"Lho? Tapi Gempa, Kak Hali sejak awal sudah terang-terangan melakukan itu. Masa kau tidak tau dan tidak sadar?"
Gempa bingung. "Maksudnya?"
"Aduh-aduh… adik pertamaku yang malang ini," ucap Taufan sambil geleng-geleng kepala. "Sejak kecil, Ice sudah dipercayakan pada Kak Hali oleh ayah ibu kita. Mereka bilang, 'karena kamu kakak pertama yang akan menjadi pemimpin, kami percayakan adikmu ini padamu' atau semacam itulah, tapi tanpa disuruh pun Kak Hali sudah pasti melakukannya. Kak Hali sudah menjaga Ice lebih dari yang kita lakukan. Kak Hali sebenarnya sayang, sangat sayang pada kita, hanya saja… yah, kau tau sendiri Kak Hali. Shy-shy cat, rasanya ingin jitak kepalanya lama-lama. Kesal aku jadinya,"
Lalu diam. Gempa diam karena tidak percaya dan Taufan yang diam karena ingin menikmati wajah Gempa yang menurutnya lucu.
"Dia itu aneh, kau tau?" Taufan mulai masuk ke mode bergosipnya. "Sebenarnya warna merahnya, yang selalu dipakai, merah apa? Aku tidak paham. Merahnya itu merah marah? Sayang? Berani? Atau benci? Semuanya sama. Porsinya sama. Buat bingung saja." Gempa mengernyit tidak paham. "Aku tidak memaksa dan menuntut dia, kakak kita tercinta yakni Halilintar, untuk mengutarakan perasaannya karena aku tau itu akan sangat susah dan lama. Dan lagi, Kak Hali benci sekali jika keadaan sudah sangat emosional. Bisa-bisa dia meledak karena itu. Spektrum warna merahnya itu yang sangat membingungkan."
"Em… intinya, tidak bisa ditebak?" kata Gempa.
"Iya! Begitu!" kata Taufan heboh. "Aduh, maaf, ya? Aku terbiasa bicara melantur begini sama Ice jadi keterusan, deh. Maaf ya, Gempa sayang. Lain kali langsung ingatkan saja, marah-marah juga boleh." Taufan lalu berubah panik, "Tapi jangan marah beneran! Kau seram tau kalau marah,"
"Eh, iya-iya…" jawab Gempa kemudian. Dia sendiri pun tak yakin apa dia bisa melakukannya atau tidak, dia lumayan pelupa dan tidak enakan, sepertinya opsi yang ada di urutan pertama adalah memaksa dirinya untuk terbiasa. Hitung-hitung, Gempa jadi bisa lebih akrab dan paham betul watak kakaknya yang satu ini. "Tapi," kata Gempa sambil menggoyangkan kakinya pelan. "Aku berharap Kak Hali tidak sampai menyesali dirinya sendiri dengan membuat keputusan itu. Memang sakit, tapi, aku juga ingin Ice bernafas lega dan memberinya kesempatan memilih sesuatu yang dia mau."
Taufan diam. Diamnya aneh sampai-sampai membuat Gempa menoleh dan memerhatikannya seksama. Tapi Taufan seakan tidak tau sedang di tatap intens oleh adiknya sendiri, malahan bersenandung sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Dia kembali masuk ke dunianya lagi. Dan Gempa, sayangnya, tidak punya kuasa untuk menarik pandangan kakaknya ke dunia nyata jika tanpa keinginannya sendiri. Taufan memang sering begitu. Meski mengkhawatirkan, Taufan selalu bilang jika dia terlihat 'aneh', sebenarnya dia hanya sedang memakai 'mata'nya saja. Tidak perlu dikhawatirkan. Dia tidak apa.
"Dia menyesali semuanya. Benar-benar menyesalinya sampai di lubuk hati yang terdalam. Rasanya percuma memberi kata penyemangat. Dia tidak ingin bergerak. Barang kali masih berlarut dalam kesedihan makanya belum ada perubahan. Kita tunggu saja. Jika memang dianya sendiri yang tidak mau, lebih baik angkat tangan dan tidak peduli,"
Gempa mengigit bibir bawahnya kuat. Tidak peduli jika sampai berdarah sekali pun. Taufan bersikap biasa saja bahkan melanjutkan bersenandung. Benar-benar mengabaikan perubahan emosi Gempa sepenuhnya. Barang kali karena terlampau tau kalau memang sudah tidak ada yang bisa dilakukan lagi selain berharap dan berdoa kakak mereka tercinta bisa melupakan penyesalannya. Untuk ke sekian kalinya, mereka merasa tidak memiliki harapan.
.
.
.
.
.
.
.
Burgundi (Merah)
BBB FF
.
.
.
.
.
.
"Oh?"
Halilintar menatap horor Solar yang senyum-senyum sendiri. Saudaranya yang memang sudah bersinar layaknya lampu, senyum-senyum begitu, membuatnya jadi seperti lampu LED saja. Silau, men. Dan lagi, apa dia tidak salah lihat? Apa benar dia bisa melihat bintang kecil bertebaran di belakang Solar dan juga hidungnya yang panjang seperti pinokio? Buat malu saja.
"Jadi rekan misiku kali ini adalah kakak pertama? Hm, hm, menarik!" katanya sambil mengusap dagu dan tersenyum misterius. "Aku sangat ingin tau apa yang akan terjadi nanti di misi kali ini,"
"Hentikan itu! Apa yang kau harapkan, hah?" tanya Halilintar kesal. Kemudian berdecak pelan karena sang adik malah menjadi-jadi. Sepertinya hari ini adalah hari tersial dalam tahun ini. Oh, tidak, ralat. Maksudnya untuk hampir dua bulan selanjutnya adalah pengalaman tersialnya. Sebab Halilintar akan menjalani misi bersama Solar di Planet Pinaya guna mencari sejumlah informasi tentang masalah bocornya data yang dilaporkan minggu lalu. Yang artinya, selama dua bulan penuh dia harus berhadapan dengan si adik bling-blingnya ini selama 24 jam penuh! Pusing kepala Hali!
Disaat seperti inilah, Halilintar berpikir ternyata Taufan tidak terlalu buruk untuk dijadikan rekan yang bisa diajak kerja sama.
Semenyebalkan dan seberisiknya Taufan, Halilintar lebih memilih menghadapi itu dibanding berduaan bersama si bungsu.
Tidak kuat dia menghadapi sifat narsis dan sok kerennya.
"Jangan cengengesan begitu!" Omel Halilintar. Sungguh, dia sangat jengkel dan ingin sekali keluar dari ruangan ini sekarang juga. "Kau tampak mengerikan dengan cahaya yang ada dibelakangmu itu!"
"Tch, bilang saja iri apa susahnya?" kata Solar kepedean. Narsis sekali kau nak.
Komandan Koko Ci geleng-geleng kepala melihat tingkah laku dua saudara kembar yang tidak pernah akrab ini. Alien berkepala kotak kecil itu kemudian berdehem dan menjelaskan secara singkat misi mereka yang cukup memakan waktu kali ini. Bocornya data di Planet Pinaya penyebabnya masih belum diketahui. Berhubung yang menyimpan semua data adalah super komputer yang jika diretas pun akan sangat sulit dilakukan, rasanya mendekati mustahil ada yang berhasil mencuri data-data itu. Tapi tunggu, berhubung yang hilang adalah data di komputer, bukannya kehadiran mereka berdua malah jadinya tidak nyambung? Mereka bukan ahlinya. Halilintar saja tidak tau menahu soal teknologi. Begitu juga Solar –tidak juga sih. Dia cukup paham secara konsep dasar tapi tidak sampai sejago dan semahadewa Ice. Nah iya! Kenapa bukan Ice saja yang menangani masalah ini?
"Saya rasa mustahil untuk menyerahkan masalah ini ke saudaramu itu," Komandan Koko Ci mendesah lelah. Wajahnya tampak lelah dan frustasi sekali. "Kalian tidak tau, ya? Laksamana Nakila pasti sudah menenggelamkannya ke tugas yang lain –keinginantahuan beliau sangat besar, saya rasa kalian juga tau itu. Dan berhubung beliau sendiri juga tidak akan membantu jika bukan keadaan yang benar-benar terdesak, untuk sekedar meminta tolong lewat email saja juga sangat susah. Sudah pasti tertimbun jauh ke bawah dan akan dibaca dua sampai lima bulan kemudian." Komandan Koko Ci geleng-geleng kepala.
Solar kemudian mendekati Halilintar dan berbisik, "Sepertinya terinspirasi dari kisah nyata. Wajahnya sakit hati sekali." Halilintar pun mengangguk mengiyakan. Jarang-jarang bisa satu pemikiran dengan adik nyentriknya ini.
"Jadi, untuk mempersingkat waktu, kami putuskan untuk melakukan ini." Komandan alien berkepala kotak itu berdehem lalu kembali memberi arahan sebelum dibubarkan untuk bersiap menjalankan tugas.
Ketika di pesawat dalam keadaan siap meluncur, Solar tiba-tiba bertanya. "Seandainya ada kesempatan dalam satu banding sejuta bertemu lagi dengannya, Kak Hali ingin melakukan apa?"
Halilintar mengerutkan dahinya bingung. Tidak biasanya. "Maksudnya?"
Solar berusaha tidak memutar bola matanya. "Ku kira pertanyaanku sudah sangat jelas,"
"Aku tidak paham kenapa kau menanyakan itu," ucap Halilintar. "Itu maksudku,"
"Hm… entah, ya. Hanya ingin tanya saja," kata Solar.
Sayang, Halilintar tidak percaya. "Aku merasakan sesuatu yang mencurigakan,"
"Kau itu menyebalkan juga, ya –tunggu, kau sejatinya memanglah menyebalkan," kata Solar. "Kau," tunjuknya dengan wajah menantang. "Berhenti bersikap menye-menye. Tidak keren! Halilintar, kau benar-benar payah!"
"Kau itu sama sekali tidak konsisten. Sebentar-sebentar panggil 'kakak', sebentar-sebentar panggil nama. Kau yang payah, kepala lampu!"
"Dih, suka-sukaku, dong!" ucap Solar tidak terima. "Tapi, Kak Hali benar-benar payah."
Di kepalanya sudah ada sudut perempatan besar imajiner yang berkedut. Halilintar membuka mulutnya, bermaksud untuk protes bahkan mungkin marah-marah, tapi suaranya tidak bisa keluar ketika Solar menyinggung sesuatu yang membuatnya diam.
"Masa ditinggal begitu saja langsung sedihnya seperti ini. Bukannya kakak sendiri yang membuat dia pergi?"
"Diam kau."
Oh. Solar baru saja menginjak ranjau berbahaya.
Solar inginnya membalas, berbagai rangkaian kata sudah ada dikepalanya. Sudah disiapkan. Tapi ditahan. Tidak tau kenapa, semua kata-kata yang ada dikepalanya menghilang begitu saja. Padahal Solar sendiri juga sudah siap bertengkar. Mau sampai teriak-teriakan juga tidak masalah.
Dia, Solar, ingin sekali marah-marah. Dia ingin sekali mengeluarkan unek-unek yang sudah mengganjal di hati. Ingin sekali dikeluarkan. Target sudah dapat, alasan juga, dan tempat pun demikian tapi kenapa rencana yang sudah disusun ambyar begitu saja? Percuma, dong.
"Kau yang bahkan tidak tau bagaimana perasaanku tidak usah mengkritik," kata Halilintar dingin. Ketahuan sekali menahan marah.
Solar pun diam. Tidak membalas atau menumpahkan minyak supaya api makin liar.
….
Laksamana Nakila cemberut. Suasana hatinya sejak dua hari yang lalu sudah jelek. Ditanya kenapa jawabannya malah "tidak apa-apa" yang semakin mencurigakan. Ice pun hanya mengangkat bahunya masa bodo lalu melanjutkan pekerjaannya seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi, belum ada lima menit dirinya sudah diganggu lagi.
"Kamu tidak penasaran?"
Tuh, kan.
Rasanya déjà vu. Dulu waktu masih ada teman-teman buminya, di markas TAPOPS, Yaya dan Ying kalau marah juga seperti itu. Ternyata, perempuan dari planet dan bagian semesta mana pun sama saja.
"Ice," panggil Laksamana Nakila. Alien perempuan itu sedang malas-malasan di kursi kantornya. "Dapat sesuatu yang menarik?"
"Belum, Laksamana. Saya belum menemukan sesuatu," balas Ice kalem.
Laksamana Nakila bergumam tidak jelas. Sepertinya sudah mulai bosan. "Ice?"
"Kenapa, Laksamana?"
"Sudah cek email? Apa tidak ada sesuatu yang baru di sana?"
"Sudah. Tapi tidak ada perkembangan pesat. Semuanya berjalan lancar, pelan, dan teratur. Tidak seperti kembang api naga yang begitu dinyalakan buru-buru ke atas langit lalu meledak," balas Ice masih kalem. Lalu menguap karena mengantuk.
"Kamu mengantuk?" tanyanya, penuh perhatian. "Mau tidur?"
Ice menggeleng pelan. "Tidak. Nanti saja. Ini belum selesai," katanya.
Laksamana Nakila pun tersenyum kecil. Dari data yang dia dapatkan, banyak yang bilang kalau petugas komunikasi terbaik TAPOPS ini sangatlah pemalas tapi setelah menghabiskan waktu bersama, dia kira hal itu tidaklah benar. Rasa malas memang kadang menyerangnya tapi kalau sudah kerja, Ice sangat produktif dan cekatan. Dia tidak akan berhenti sampai tugasnya tuntas. Atau pun kalau berhenti untuk istirahat, dia punya alaram yang disetel di jam kuasanya sebagai pembatas waktu.
Oh ngomong-ngomog, Laksamana Nakila masih memegang omongannya. Dia juga menjaga asetnya dengan sangat baik. Amato kadang berkunjung. Entah untuk membahas pekerjaan atau memang ingin berkunjung saja sambil melihat satu anaknya yang suka buat khawatir ini.
"Materinya menarik? Wajahmu agak berseri,"
"Saya… baru pertama kali melihat yang seperti ini,"
"Oh? Senang mendengarnya kalau kamu tertarik," ucap Laksamana Nakila. "Lakukan apa pun yang kamu mau, saya beri izin. Senang kalau ada yang menarik perhatianmu lagi. Setelah sekian lama."
….
Solar menyerah. Mau sampai dikerjakan dan dipikirkan berapa kali pun dia tidak sanggup paham. Informasi-informasi yang disediakan di depan matanya tidak mau masuk ke kepala.
"Kau tidak apa?" Ini sungguh sangat jarang terjadi. Halilintar yang mengkhawatirkan adik bungsunya dan Solar yang terlihat frustrasi karena tidak paham suatu informasi.
Solar tidak menjawab. Melainkan membenamkan wajahnya ke meja sambil bergumam tidak jelas. Si jenius dari Boboiboy bersaudara tidak mampu untuk memahami suatu informasi tentang teknologi dan bahasa yang ada di luar angkasa. Jarang sekali terjadi hal seperti ini. Tidak. Bukan berarti Solar tau segalanya dan seajaib yang orang pikir, dia juga perlu waktu untuk memahami situasi dan informasi. Tapi memang biasanya cepat sekali, otaknya sangat encer. Makanya tak heran kalau dia sangat frustrasi. Otaknya bisa saja paham rumusan sulit dan materi berat lain, tapi untuk masalah teknologi dan bahasa yang dipakai di luar angkasa, otaknya menolak.
Apa ini supaya dia tetap memiliki kelemahan? Apa ini supaya membuktikan bahwa ada, setidaknya satu, hal yang tidak bisa Solar pahami?
Apa ini artinya Solar selamanya tidak bisa menjadi yang terterang di bidang pengetahuan?
Halilintar mengerutkan dahinya. Sejak awal dia memang tidak paham dan tidak pernah tertarik jadi biasa saja. Malahan, dia tidak paham dengan ambisi Solar yang ingin paham secara khusus tentang materi rumit itu. Halilintar yang baru dengar penjelasan awalnya saja kepalanya terasa mau pecah apalagi secara khusus ingin mengerti.
Halilintar tidak pernah paham dengan orang pintar.
"Um, apa saudaramu baik-baik saja?" tanya Mei. Sosok alien berwujud hampir seperti manusia namun kakinya seperti seekor kuda dan terdapat antena di kepalanya yang bertugas menjadi pemandu dan penanggung jawab si kembar di Planet Pinaya. Dia juga yang bertanggung jawab memberi informasi dan berita-berita terbaru misi. "Kepalanya berasap. Perlu kubawakan handuk basah?"
"Tidak. Dia tidak apa-apa. Jangan terlalu dipikirkan." Halilintar meminum setengah tehnya dan mengabaikan Solar yang masih ngambek. Dia juga meyakinkan Mei untuk tidak ambil pusing dengan tingkah saudara bling-blingnya. "Berhubung aku memang tidak paham dengan bidang ini, bisa jelaskan secara singkat, padat, dan jelas? Yang bahkan anak kecil pun paham maksudnya,"
"Singkatnya di misi ini, kalian diminta untuk menemukan beberapa tersangka yang diduga melakukan pencurian data dan juga kalian diminta untuk menyelidiki hal-hal janggal yang terjadi sekitar dua minggu sebelum kejadian. Untuk masalah meretas dan hal yang berhubungan dengan teknologi, kami sudah meminta bantuan ahlinya dan sedang dikerjakan juga. Jadi tidak perlu terlalu khawatir," ucap Mei.
Halilintar menghela nafas lega. Untunglah sesuatu yang bisa dia kerjakan.
"Kami juga sudah coba menghubungi saudaramu, si petugas informasi, untuk ikut menangani ini. Tapi sayangnya, sampai sekarang belum ada kabar." Mei menghela nafas lelah. Kelihatan sekali dari raut mukanya dia sangat mengharapkan orang yang dijuluki nomor satu di bidang ini, ikut turun tangan. "Tapi sepertinya besar kemungkinan tidak akan terjadi."
"Memangnya kenapa?" tanya Solar. "Kenapa mustahil? Waktu kejadian kemarin-kemarin yang mirip seperti ini juga masih bisa ditangani, kan?"
"Itu karena semua informasi yang hampir bocor diperlukan Laksamana Nakila. Makanya baru dikirimi email minta tolong pun langsung dikerjakan, tapi ini tidak. Semua data yang ada di komputer maupun yang dalam bentuk kertas, tidak ada yang menarik perhatian Laksamana Nakila. Jadi lumayan susah." Mei pun mendesah lelah. Kantung matanya cukup tebal. Bisa jadi dia sudah melakukan usaha untuk bisa menarik perhatian Laksamana Nakila dengan imbalan tertentu jika mau turun tangan menangani masalah ini. "Aku sudah berkali-kali mengirim email. Tapi kalian tau apa yang dibalas dari sekian banyaknya email yang kukirim?" tanya Mei.
"Tidak. Aku tidak mau tau," jawab Halilintar cepat. Mei menatapnya tidak percaya dan jengkel. "Perempuan itu egois. Dia tidak akan menoleh kalau memang tidak ada yang menarik perhatiannya. Seperti kau harus melakukan sesuatu yang tidak terduga supaya bisa dapat perhatian penuh. Dan memohon-mohon seperti itu, semua orang juga bisa. Rasanya wajar kalau dia sendiri juga mengabaikan masalah besar ini, jika kelakuan yang di dapat seperti itu."
"Jika dilihat dari sudut pandang itu memang ada benarnya. Beliau malah akan semakin tidak peduli jika diteror dengan isi email yang hampir sama," ucap Solar. Mei menatap si bungsu Boboiboy dengan tatapan super jengkel. Tidak menduga Solar memiliki pendapat yang sama dengan si sulung. Ah, tapi kalau dipikir-pikir… mereka 'kan saudara. Kembar pula. Ditambah lagi, sifat mereka yang mirip-mirip tentu saja kadang kala bisa sepemikiran. "Tapi, memangnya tidak ada orang lain yang bisa dimintai tolong? Petugas informasi atau seseorang yang ahli dibidang ini 'kan bukan hanya satu orang?"
'Aku bilang 'orang' padahal sebenarnya kalian juga bukan 'orang'. Ini semakin memusingkan. Kepalaku bisa pecah tinggal di luar angkasa lama-lama,' batin Solar.
"Kalau saja ada, tentunya aku tidak akan menjadi pengemis," balas Mei gusar. Dan menghela nafas lelah. "Segala cara sudah dikerahkan dan belum ada yang berhasil. Bahkan dari sekian banyaknya hacker yang ditugaskan, mereka masih belum mendapatkan biang masalah ini terjadi. Sekalinya dapat link atau situs akarnya langsung terhapus. Semuanya jadi tambah rumit dan membingungkan. Kalian pikir, yang lain tidak panik menghadapi masalah ini?"
"Kami tau. Tapi kenapa kau jadi marah ke kami?"
"Kaliankan saudaranya! Kenapa tidak hubungi dan suruh dia bantu kami?!" Mei akhirnya mengatakan niat aslinya. "Kami meminta kalian berdua untuk ikut andil dalam masalah ini juga sebagai batu loncatan agar bisa membujuk saudara beku kalian itu turun tangan! Kalian saudaranya! Kembar pula! Tidak mungkin permintaan khusus yang keluar dari mulut kalian ditolak mentah-mentah begitu saja, kan?"
Solar merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi. "Hei! Hanya karena kami saudaranya bukan berarti dia akan mendengarkan apa pun yang kami katakan!"
"Tapi setidaknya! Setidaknya, lho! Dia pasti–"
"Mei," panggil Halilintar. Mei mengalihkan atensinya ke si kembar tertua, alisnya terangkat satu penuh kebingungan. "Hal pertama yang kau tau tentang dia pasti adalah orang itu memang sangat patuh. Terlalu patuh sampai-sampai biasa diperbudak dan dimanfaatkan. Kau tidak tau ini, kan? Heh, untuk apa kau tau ini juga? Tapi kuberitau kau, dia memang akan diam dan terus diam, lalu memendam semuanya dan menelannya bulat-bulat seperti makanan sehari-hari yang dia makan. Dan jika kau masih punya otak untuk berpikir lebih jauh kenapa semua pesanmu itu tidak pernah dibalas, itu artinya dia memang tidak merasa harus mengerjakan hal ini. Bukankah kebocoran data yang terjadi juga karena kelalaian kalian sendiri? Dan kau bilang, sebelum-sebelumnya juga pernah terjadi dan dia membantumu terus, kan? Kalau kalian memang masih punya otak bagian kedua, tidakkah terbesit di otak kalian kalau dia sendiri juga jengah dengan masalah yang sama terus?"
"Kak Hali," panggil Solar lirih. Kepalanya di gelengkan pelan, memberi sebuah kode kepada sang kakak agar tutup mulut.
"Kenapa dia mau-maunya diperintahkan oleh kalian yang bisa-bisanya cuma jadi beban? Dan kedua, fakta bahwa kau tau bagaimana menggunakan kami dengan sangat baik adalah yang paling buruk dari pada didiamkan dia disaat genting seperti ini. 'batu loncatan' kau bilang? Menjijikan. Kalian memang pantas diabaikan seperti ini. Kalian ini termasuk kaum intelek, kan? Harusnya kalian bisa berpikir dengan cepat dan tangkap apa maksud dia mengabaikan ribuan pesan permohonan itu. Menjengkelkan. Kenapa pula kau memasang wajah menyebalkan itu? Apa? Kau kesal padaku? Kau kesal pada omonganku? Tapi kenyataannya memang begitu, kan?"
"Kak Hali,"
"Kau dan semua orang yang memakai jasanya sungguh tak berotak! Kau pikir dia apa?! Robot pencari informasi yang bisa dipakai kapan saja?! Berkali-kali mengirimkan email dan pesan berisikan permintaan pencarian data tiap dua puluh menit tak henti-hentinya, sampai-sampai membuat komputernya berdengung tak henti-henti merespon pemberitauan, hingga memaksanya mengurung diri sampai tiga hari… kau tuli atau buta ketika diberi data pribadi dia?"
"Kak!"
"Apa kau tidak lihat kata-kata yang tertera di bagian riwayat kesehatannya! Apa kau tidak segitu pedulinya dengan hal itu?! ADIKKU HARUS DIOPNAME EMPAT BULAN PENUH GARA-GARA KALIAN MEMAKSANYA BEKERJA BERLEBIHAN! DAN BAHKAN SAMPAI MUNTAH DARAH! Dan kau! Mengatakan dengan sombongnya bahwa dia tidak peduli dengan kejadian ini seolah-olah kalian sudah melakukan sesuatu yang berkesan kemudian malah menyalahkan perempuan itu secara tak langsung, dan sekarang mengatakan kalian ingin menggunakan kami sebagai jaminan, dengan kejadiaan yang terjadi sekarang bukankah lebih pantas dikatakan sebagai karma?" Halilintar menggeram. Dia marah. Benar-benar marah. Rasa bencinya pada orang-orang intelek malah makin bertambah. "Jangan bersikap sok berkuasa hanya karena berhasil merekrut kami berdua. Kami hadir juga karena disuruh Komandan Koko Ci. Hanya karena tempat ini memiliki pangkat yang agak tinggi, bukan berarti kalian bisa melakukan semaunya."
"Cukup! Kak Hali–"
"APA?!" Solar kaget. Jantungnya berpacu cepat dan keras. Dia sampai bisa mendengar suara detak jantungnya sendiri. "Jangan menyuruhku yang aneh-aneh, jangan menyuruhku untuk meminta maaf atau hal lainnya!" Halilintar geram. Dia melirik tajam Mei lalu pergi.
Solar menghela nafas sambil melihat punggung kakak sulungnya yang semakin mengecil. "Maaf," katanya. Mei yang masih syok habis dibentak kaget. Wajahnya pucat pasi dan tatapannya penuh rasa takut, Solar pun meringis. "Apa pun yang berhubungan dengan Kak Ice memang masih menjadi topik sensitif. Terutama untuk dia," katanya. "Tapi, aku sendiri tidak tau kalau dia akan semarah itu."
"Ma-maaf,"
Solar mengibaskan tangannya. "Jadi, mari kembali ke topik utama, aku sudah paham. Tapi memang tidak akan bisa membantu di bagian pencarian secara digital. Aku akan mencari informasi dengan bertanya atau memeriksa CCTV. Mungkin ada pencerahan."
"Terima kasih. Aku akan memberitau berita terbaru apa pun itu pada kalian berdua nanti,"
Solar mengucapkan terima kasih dan pergi. Dia tidak menyusul sang kakak, buat apa? Masih marah begitu, di dekati sama saja cari masalah. Solar juga meski yang paling sering dapat masalah sama si sulung tidak akan mau menceburkan diri ke dalam api yang membara. Halilintar itu memang gampang sekali marah. Lalu semenjak si kembar ke lima pergi, Halilintar malah jadi dua kali lebih sensitif. Sejauh ini yang selamat dari amukan hanya Taufan. Iya, aneh sekali. Padahal seingat Solar juga, Taufan yang berada di peringkat pertama sebagai orang yang sering jahil ke Halilintar. Tapi kali ini… tumben-tumbennya.
Positif thinking saja, mungkin mereka memang sedang baikan. Atau Taufannya saja yang terlalu sadar keadaannya makanya aman-aman saja.
….
"Sungguh tidak apa?"
Laksamana Nakila mengangguk untuk ke sekian kalinya. "Saya sudah bilang berkali-kali, kan? Kenapa masih ragu begitu?"
"Tapi anda bilang waktu saya beri tau tentang berita itu pertama kali–"
"Ya sudah, lupakan saja. Tidak masalah, kan? Setelah dipikir lagi, saya ingin melakukan sedikit kebaikan hati pada mereka yang tidak becus mengawasi dan menjaga informasi penting itu. Katakanlah saya sedang terlalu senggang makanya menerima permintaan menyedihkan mereka. Haaah," Ice tidak berkomentar apa-apa. Tapi barusan adalah helaan nafas terpanjang yang pernah dia dengar dari mulut Laksamana Nakila. Dan wajahnya tampak jelas menunjukkan rasa bosan.
"Anda menerima permintaan mereka karena bosan?"
"Supaya mereka bisa diam, tentu saja." Laksamana Nakila membenarkan posisi duduknya di kursi kerjanya. "Kebanyakan email yang masuk juga dari mereka, kan?" Ice tidak menjawab karena faktanya memang begitu. Hampir delapan puluh persen isi email yang masuk berasal dari satu sumber yang isinya juga mirip-mirip. "Dari jarak jauh bisa?"
Ice lalu menggeleng, "Sepertinya tidak. Sumbernya sudah diretas terlalu jauh dan hampir rusak. Mau tidak mau harus ke sana untuk perbaikan."
Laksamana Nakila bergumam tidak jelas dan Ice tetap setia menunggu. "Mereka tidak berguna, benar bukan, Ice? Saya tau, semakin banyak yang kamu ketahui, semakin tinggi pangkatmu, semakin bagus penampilanmu, terdapat sebuah hukum alam yang membuat seseorang lupa bahwa mereka bukanlah apa-apa. Saya benci orang sombong. Kamu tau betul, kan, Ice? Lalu orang-orang itu, selalu meminta tolong ketika sedang terdesak. Tapi tidak pernah melakukan hal yang sama. Tapi," Laksamana Nakila diam sejenak. "Bukankah semua orang ingin selalu dapat keuntungan? Itu hal yang wajar, kan? Bahkan jika mereka melakukan hal kurang ajar begitu kepadaku, itu hal yang wajar karena sudah naluri." Laksamana Nakila menghela nafas.
"Laksamana?"
"Tidak apa," katanya. "Kita kabulkan. Tapi untuk kali ini saja. Jika mereka melakukan hal yang sama nanti, kamu bisa memblok atau apa pun itu agar mereka tidak bisa mengirimkan email-email menyebalkan itu?" Ketika Ice mengangguk, senyum muncul di wajah Laksamana Nakila. Senyum cerah seperti matahari. "Baik. Kita ke sana. Mari kita bantu para makhluk tidak berguna itu sekali lagi."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Oke, cerita ini bakal jadi beberapa chapter. Sampe berapa? Wah, saya juga gk tau. Tapi yang jelas bakal panjang. Wkwkwk… maaf ya, sekalinya lagi mood bikin cerita langsung panjang banget. Gak berasa loh, sumpah. Tau-tau dah panjang aja.
Ya udah ya, moga untuk cerita ini pada suka. Mohon maaf bila ada typo, ya?
Sekian terima kasih.
Mohon di review ya~~
