Where is He Going?
Disclaimer: DMM.
Warning: OOC, typo, gaje, dll.
Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini, dan semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi.
Satu hari tanpa mengusili Shiga Naoya itu, ibaratnya Dazai Osamu lupa bahwa tubuh tercipta dari tujuh puluh persen air, lalu ia tak minum dan dehidrasi akut karenanya.
Karena gatal-gatalnya Dazai sedemikian frustrasi, sebab ia mana tahu harus menggaruk apa, Sakaguchi Ango sampai menawarkan agar dirinyalah yang diganggu Dazai. Usulan tersebut turut disetujui Oda Sakunosuke, setelah panggung berlogat kansai dengan lawakan garingny gagal menenangkan Dazai. Begitu pun Dan Kazuo yang terlalu lelah terhadap ide cilukba dan memasang wajah-wajah konyol.
"Tapi, kan, tetap aja kalian bukan Shiga-sensei."
"Anggap kami sebagai Shiga-sensei. Lumayan, lho, jadinya ada tiga Shiga-sensei." Sekian lama membiarkan rengekan Dazai uring-uringan, akhirnya Dan ogah mengalah juga. Dazai menatap Dan dengan cemberut yang cukup lama. Melalui ekor matanya, lantas Dan meminta Oda atau Ango menopang dia menggunakan apa pun–pokoknya jangan sampai menyia-nyiakan.
"Oi, Dazai! Rashomon punya si Akutagawa itu epilognya adalah kegagalan. Sudah bikin buku capek-capek, kok ending-nya malah dia buat begitu. Dia kekurangan sesuatu yang LAKIII!"
Di bagian Ango berteriak, "LAKIII!", semuanya dengan kompak menutup telinga. Dazai memandang Ango datar yang terasa parah. Namun, dibandingkan menyadari kegagalannya Ango justru merasa, aktingnya berkelap-kelip. Percaya diri satu miliar persen bahwa Dazai hanya terkesima. Padahal jelas sekali Dazai kebingungan begitu, batin Oda serta Dan.
"Shiga-sensei enggak suka teriak-teriak kayak begitu, ataupun bilang Akutagawa-sensei kekurangan sesuatu yang laki."
"LOH? LOH? LOH? KOK AKU DIANGGAP GAGAL, SIH?! SUDAH IN CHARACTER BANGET PADAHAL. O, IYA , LUPA, DAZAI, KAN, TSUNDERE. JANGAN MALU-MALU SAMA SHIGA-SENSEI YANG SATU INI, DONG." Lewat isyarat sederhana Dan menyuruh Oda menjadi selanjutnya. Bisa-bisa mereka menambah-nambahi sedih, melihat Ango hanya semakin tidak bisa diharapkan.
"Kalau begitu kita makan kari, yuk. Dazai tinggal duduk manis saja nanti. Biar aku yang masak dan mempersiapkan semuanya."
"Jangan kari, dong, itu, mah, khas Odasaku banget," bisik Dan pelan-pelan. Mendengar penolakan tersebut Oda ingin syok, tetapi rasa-rasanya ia tak diberikan satu detik pun untuk sekadar, "Kok gitu?!".
"Oke ... bagaimana kalau kita makan kari india? Atau enggak kari tinta cumi. Atau ... kari biru, mungkin? Bahannya dari air laut kali, ya. Warnanya, kan, biru juga," balas Oda yang dipenuhi kagok. Ketika ditatap sebagai garing secara kompak begitu, Oda malah tertawa-tawa sambil sedikit meminta maaf.
"Aneh, deh. Padahal kalian tinggal bilang Shiga-sensei ke mana. Tiap aku bertanya, pasti kalian membalikkan topik melulu."
Mendadak ketiganya hening seribu basa. Tangan Ango tahu-tahu pula menggenggam kedua bahu Dazai. Matanya menyeriusi iris keemasan Dazai, seolah-olah Dazai jangan lupa bahwa ia ini tak sekadar melihat, melainkan pula akan menyimpan dan pasti pergi lebih jauh dengan mengenang. Apa pun yang terjadi Dazai pasti melewati sesuatu.
"Dengar, Dazai. Sebenarnya soal Shiga ..." Sekilas Dazai meneguk ludah. Atmosfernya benar-benar bukan khas Buraiha yang ceria sekaligus konyol, tetapi tegang sekali macam Ango ingin memberikan nasihat hidup terpenting–melupakannya, mampuslah Dazai. "Apa?" tanya Dazai yang mendadak gugup.
"Soal Shiga ..."
"Apa?"
"Jadi, begini, soal Shiga itu ..."
"Iya?"
"Shiga itu sebenarnya, kami, aku, kalian, kau, Anda, antum, ananda, adinda, kakanda, kandang, kuda, Kunikida ... eh, Kunikida belum dipanggil alkemis."
"YA APA?! LAMA BANGET DAH. KEBURU AKU SAMA AKUTAGAWA-SENSEI MENIKAH." Tiba-tiba Dan pingsan, usai mendengar sesuatu retak di dalam dirinya. Pegangan pada bahu Dazai dilepaskan, supaya Ango bisa mengusap-usap tengkuk. Malah cengengesan di depan Dazai yang sebelas-dua belas dengan kelinci marah.
"Ya ... sebenarnya kami enggak tahu Shiga di mana."
Elipsis menari-nari di atas kepala Dazai. Mengambek besar-besaran kepada Ango membuatnya memutuskan meninggalkan ruang santai. Namun, tetap dicegah oleh Ango yang masih saja cengar-cengir tolol.
"Wajar, dong. Aku itu bukan ayahnya, lho. Dan bukan kakaknya Shiga. Odasaku bukan emaknya Shiga juga. Bahkan, nih, ya, semisal aku jadi ayahnya, aku tetap enggak tahu Shiga di mana. Tahu enggak kenapa?"
"Parah, ih, Ango, enggak sayang anak."
"BUKAN BEGINI CARA MAINNYA, DAZAI. AKU ENGGAK TAHU, KARENA PADA DASARNYA AKU BUKAN AYAH–"
Pintu ditutup keras-keras. Ango hanya tercengang di tempat, selagi Oda panik sana-sini karena Dan pingsan.
Dengan langkah mengentak-entak Dazai meninggalkan ruang santai. Pikirannya yang tak tahu ke mana, tiba-tiba hanya menggiring Dazai pada seisi perpustakaan mahaluas. Kemudian ia celingak-celinguk yang sekadar menemukan Musha yang tampak merenung.
Biasanya Musha pergi dan pulang bersama Shiga–berbekal pemikiran sesederhana itu, Dazai menghampiri Musha dengan setengah berlari, sambil melambai-lambaikan tangan. Napasnya sampai terengah-engah saking ia memaksakan kecepatannya. Akan tetapi walaupun cara Dazai dalam melakukannya cukup berisik, Musha bahkan tidak tertarik untuk minimal memarahi Dazai, padahal ia berlarian di perpustakaan yang tenangnya sakral.
"Musha-sensei? Halo? Musha-sensei?" Tangan Dazai mengibas-ibas di depan wajah Musha. Kursi di samping Musha ditariknya begitu saja–kendatipun Dazai belum dipersilakan duduk–yang secara mengejutkan, ternyata itu dapat memulangkan Musha ke saat ini.
"Shiga! Aku–"
"E-eh ... maaf, Musha-sensei. Tahu begini aku enggak sembarangan duduk." Netra mereka bersinggungan dengan canggung. Akhirnya Musha mengizinkan Dazai, daripada suasana seperti ini bertahan apalagi ia tanpa arti, dan tak mungkin memilikinya.
"Enggak, enggak. Ini salahku, kok, karena melamun. Maaf mengagetkanmu."
"Omong-omong ..." Suara Dazai mendadak sulit dikendalikan. Sedikit-sedikit terantuk, menyebabkan mulutnya terbuka-tertutup tanpa kejelasan; getaran yang tidak bisa bicara. Tenggorokannya bahkan kering kerontang, meskipun sebenarnya belum ada apa-apa di sini, "Musha-sensei kenapa? Wajahmu muram banget, sih."
"Muram, ya? Tetapi begini lebih baik-baik saja, kok. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."
Roda gigi yang entahlah milik siapa Musha selipkan lagi ke saku celana. Kini Musha fokus pada Dazai yang mungkin saja, ia ingin menjadikan sesuatu sebagai kata-kata. Dazai sendiri tetap melompat ke pertanyaan, Shiga-sensei berada di mana? Mengabaikan perihal kenang-kenangan yang terus digenggam oleh awal milik Musha, sampai seolah-olah tanpa batas.
"Sejujurnya aku juga ingin seseorang mencari dia. Apa Dazai ... mau? Maaf kalau terkesan mendadak."
"Mau, kok! Tapi, kan, Musha-sensei juga bisa nyari Shiga-sensei. Kenapa harus minta tolong ke orang lain?" Mungkinkah selama ini Musha terus melanjutkan kesendirian? Begitu sengaja hanya seorang diri, karena caranya Musha adalah agar Shiga teringat pada sebuah sisi yang kosong, lalu ia merindukan pulang. Kembali yang sudah pasti ke samping Musha, kendatipun Shiga lupa siapakah Mush. Karena Musha-lah yang satu-satunya menunggu Shiga.
"Masalahnya kalau aku yang mencarinya, kemungkinan besar aku pasti tahu Shiga ada di mana. Jika Shiga memang berada di tempat yang jauh, dan sudah jelas aku mustahil meraihnya ... aku pasti benar-benar hancur."
"Jujur, sih, aku kurang memahami perkataan Musha-sensei. Namun, aku tetap mau mencari Shiga-sensei, kok, walaupun nanti kita tahu, dia berada di tempat yang sangat jauh. Kalau aku tidak salah menangkap maksud dari Musha-sensei, sih."
"Lupakan saja. Maaf banget aku mendadak melankolis begini. Intinya aku tidak tahu Shiga berada di mana, tetapi kuharap ... Shiga lagi di dapur sekarang ini. Terima kasih telah menemaniku mengobrol."
"Dapur, ya? Oke, deh. Jika Shiga-sensei benar-benar di dapur, nanti kupanggil. Terus juga mungkin ini hanya perasaanku, tetapi Musha-sensei ... rasa-rasanya Musha-sensei terlalu sering mengucapkan maaf, sama gampang banget bilang terima kasih."
"Terima kasih dan maaf itu sangat penting, lho. Lebih baik Dazai banyak-banyak mengucapkannya, sebelum kau berpisah dengan seseorang yang berharga bagimu."
Terima kasih yang karena dia ada, terciptalah kita yang memahami apa itu bertemu, dan dari sanalah mengetahui kita ini bersama; menyenangkan.
Maaf yang karena mereka bertemu juga, segala-galanya pasti selalu menuju perpisahan, tetapi ayo berdoa tidak ada yang cepat-cepat dalam meninggalkan atau tertinggal.
Tentang maaf dan terima kasih itu, bahkan hanyalah dua dari sekian juta ucapan yang pernah terucap. Sedemikian banyak hal selalu ada dan tersampaikan selama kita bersama-sama, walaupun sekadar sunyi yang dipupuk kurang dari lima menit. Sudah berapa topik yang menjelma musim gugur, semi, panas dan dingin, di dalam secangkir obrolan dingin maupun hangat? Pasti jawabannya adalah tak menghitung ataupun terhitung yang mana, kita menjadi sebuah keengganan yang menolak perpisahan.
Kita tidak mengharapkan akhir, apalagi satu hari bersama orang berharga itu seperti selama-lamanya. Seperti selama-lamanya seseorang akan terus berbicara dengannya, malah yakin bahwa memang selama-lamanya, di mana inilah yang membuat Musha sakit. Ia yang jadinya tak mempersiapkan diri dan kurang menghargai obrolan.
Oleh karena itulah Musha menyesal sekali, dan ia ingin mengucapkan lebih banyak terima kasih, maaf, juga kata-kata lainnya kepada Shiga. Jangan sampai hal serupa menemukan Dazai, makanya. Meski kelihatannya Dazai belum mengerti, atau ia ingin membuat Musha jangan berpikir begitu lagi dengan pergi ke dapur. Mendapati harum masakan yang merupakan ikan goreng.
"Ikan bakar! Pasti Shiga-sensei, kan, yang–"
Sepasang obsidian memandang Dazai heran. Tubuhnya jadi membungkuk begitu saja, sewaktu Dazai menyadari yang ia interupsi ternyata adalah Tokuda Shuusei.
"Siang, Sensei! Apa Sensei kelaparan, jadinya menggoreng ikan lagi?" Jam makan siang sudah lewat, soalnya. Praduga dari Dazai itu pertama-tama Shuusei tanggapi, dengan memegangi tengkuk yang agak kaku. Barulah ia sedikit melirik ke belakang yang diikuti oleh Dazai.
"Buat Shimazaki, sih, sebenarnya, karena dia terlambat pulang dari delving juga. Namun, aku malah membuat dua porsi."
"Masa Sensei lupa itu untuk dirimu sendiri?"
"Tidak, Dazai-kun. Porsi satunya lagi memang bukan untuk diriku sendiri. Itu buat Shiga, sih, sesungguhnya. Cuma, ya, ... karena orangnya enggak ada, berarti mubazir, dong."
Sejenak Shuusei menghela napas. Sekalipun akrab tak dapat menggambarkan ia dan Shiga, tetapi Shiga merupakan sosok yang menyenangkan untuk diajak memasak bersama. Mereka selalu tersambung dalam hal baik itu. Shuusei bahkan berani berjanji untuk mengajari Shiga, bagaimanakah caranya membakar ikan supaya bumbunya meresap hingga ke daging.
Pada akhirnya Shuusei hanya ingin menepati janji, tetapi sekarang ini Shiga saja tengah entah di mana. Mata Shuusei yang jadinya menunjukkan, Shiga takkan kembali lagi dan itu bukan seolah-olah.
Dazai lantas mengambil ikan yang sebatas menjadi yang kedua itu. Membawanya pergi dari Shuusei yang bertanya-tanya, mengapa Dazai mendadak kenapa-kenapa? Biarpun ujung-ujungnya Shuusei melupakan saja–ia harus mengantar ini ke kamar Shimazaki Touson, ditambah lagi alkemis belum memanggil Dokter Mori atau Mokichi untuk merawat para bungou.
Sepanjang Dazai berlari-lari sambil membawa ikan tersebut, ia turut membatin perihal Shiga yang sebenarnya, Shiga ini ke mana? Karena Musha, Shuusei, bahkan yang lainnya juga mencemaskan Shiga, di mana kekhawatiran itu lebih berat untuk Musha serta Akutagawa Ryuunosuke.
"Akutagawa-sensei ...!" sapa Dazai ketika mendapati Akutagawa tengah menghadap jendela. Keduanya pernah menyaksikan bintang-bintang di sini, entah itu palsu atau asli. Akutagawa spontan menyunggingkan senyum mendengar suara Dazai yang hangat.
"Siang, Dazai-kun. Sedang mencari tempat yang enak untuk makan ikan, kah?"
"Ehehehe ... bukan seperti itu, sih, Sensei. Rasanya aku ingin membawakannya untuk Shiga-sensei. Apa Akutagawa-sensei sudah tahu Shiga-sensei ke mana?"
Ke mana?
Ke mana Shiga kira-kira pergi, ya ...? Spontan telunjuk Akutagawa mengarah pada langit biru. Dazai mengikutinya sembari menggangguk-angguk, padahal boleh dibilang Dazai tiada memahami apa-apa. Pikiran anak itu sudah kosong sejak Shiga terbakar di dalam buku Hell Screen.
"Bagaimana caranya ke langit, ya?"
"Naik roket, tetapi itu masih sulit untuk sekarang. Bagaimana kalau Dazai-kun menaruh ikannya di bawah langit? Mungkin Shiga-san akan datang."
"Sensei memang genius! Ayo lakukan bersama-sama, Sensei. Dengan begitu Shiga-sensei pasti merasa terharu, dan dia menyesal, lalu aku akan langsung mengisenginya."
Musha memang sedikit-sedikit melakonlis, sedangkan Akutagawa menunjukkan kerapuhannya dengan terus-terusan memandangi langit melalui jendela. Namun, sebenarnya pun Dazai sama seperti mereka. Bedanya adalah Dazai melupakan apa yang terjadi kepada Shiga di Hell Screen, sehingga ia terus berpikiran, Shiga hanya melakukan perjalanan terlalu jauh.
Bukankah justru Dazai adalah yang paling memikirkannya, pada akhirnya? Bisa jadi ia merasa sangat bersalah, karena di hari itu tengah amat lemah mengakibatkannya gagal menyelamatkan Shiga, atau Dazai terlambat menyadari ternyata Shiga pun berharga.
Tetapi mari tidak memikirkan itu. Sudah lama Akutagawa tak berkelakar di bawah langit biru, selain terus menontoninya bersama sendu di sekujur tubuh.
Tamat.
A/N: Ini cuma ide iseng2 sih. meski niatku bikin ini jadi shiga x dazai, karena dari awal dasar idenya emang, "dazai mencari-cari shiga dgn nanya-nanya ke orang lain", tapi kurasa gak afdol kalo gak ada shiga x musha, atau tambahan kayak shiga x shuusei dan shiga x aktgw. latar fic ini ngikutin anime, di mana shiga mengorbankan dirinya demi memurnikan hell screen, dan aktgw di sini masih aktgw taint.
Thx buat yang udah baca fic gaje ini, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. mari bertemu di fanfic lainnya.
