Mereka semua berumur lima belas tahun saat pandemi Covid-19 diumumkan. Mendadak semua sekolah diliburkan, semua toko dan kedai ditutup, tak terkecuali Kokotiam Tok Aba, satu-satunya sumber penghasilan keluarga Boboiboy di Pulau Rintis.

Hari jadi yang keenam belas dirayakan (atau lebih tepatnya disyukuri) oleh mereka bertujuh dan Tok Aba di dalam rumah, masih di awal kurva pandemi yang menanjak dengan kecepatan kilat; tak ada keriuhan Taufan dan Blaze yang biasa, tak ada celotehan Duri yang agak tidak biasa, hanya masakan agak istimewa dari Halilintar dan Gempa untuk semuanya dengan bahan seadanya. Biasanya pada hari jadi yang jatuh tanggal tiga belas Maret itu mereka berkunjung ke panti-panti asuhan dan berbagi makanan ramai-ramai, ditambah permainan-permainan dari para pembuat kehebohan yang diorganisir para pengendali situasi.

Tutupnya Kokotiam betul-betul membuat pengeluaran harus dihemat sampai titik esktrem hingga bahkan Ice yang langganan es susu cokelat keliling tiap dua hari harus rela menguranginya jadi tiap dua minggu dan Solar yang hobi belanja jaket di olshop tiap bulan harus puas dengan jaket yang lama untuk beberapa bulan ke depan.

Bulan puasa dan hari raya Idul Fitri pun dilalui tanpa beramah-tamah dengan para tetangga, meski tetap ada ketupat spesial buatan Tok Aba dan salat Id berjemaah di rumah. Ketujuh kembar itu kini menginjak usia tujuh belas dan pandemi belum juga usai. Sama seperti mereka, bahkan si wabah juga berulang tahun; hanya saja yang satu itu jangan diselamati apalagi didoakan biar panjang umur!

Solar si kembar bungsu adalah yang paling gelisah mengetahui sekolah baru akan buka pertengahan tahun, itu pun setelah ujicoba. Tahun depan mereka seharusnya sudah akan menempuh pendidikan tinggi dan itu artinya mereka harus sudah mulai memikirkan apa yang mau dipilih untuk masa depan mereka.

Halilintar si sulung yang garang, yang aslinya pemalu tapi sedikit pemarah, pernah bilang dirinya bercita-cita jadi seorang hakim. Taufan yang supel dan tanggap dalam segala situasi ingin jadi jurnalis. Gempa yang sabar dan telaten mau jadi guru. Blaze yang penuh semangat berencana belajar manajemen bisnis untuk mengembangkan Kokotiam. Ice si pecinta paus dan lautan ingin jadi ahli biologi maritim.

Itu kelima kakaknya. Solar sendiri masih belum memutuskan mau menjadi apa antara fisikawan, analis laboratorium, atau malah dokter, dan merasa bahwa pilih yang mana pun dia akan tetap berjaya karena dia pandai dan percaya diri.

Eh, ngomong-ngomong, sepertinya ada yang terlewat, ya?

Bukan, sih. Solar sengaja tidak menyebutkan apa cita-cita kakaknya yang nomor enam, Duri. Duri tak punya cita-cita, dia hanya tersenyum saja ketika Gempa pernah menanyainya soal masa depan. Bagi Solar, anak seperti Duri tidak punya masa depan.


BoBoiBoy (c) Animonsta Studios

Thorn in the Flesh (c) Roux Marlet

-Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun dari cerita ini-

Alternate Universe, Elemental Siblings


"Terorororo, tororororo~ terorororo, tororororo~ terorere, teroreroret! Susu murni ... n*sional."

Itu susu keliling langganan si Ice, pasti sengaja berhenti di depan rumah karena tentu penjualnya pengin melariskan dagangan dan Ice mestinya sedang menghadapi pertentangan batin. Bisa kena amukan Halilintar kalau Ice beli susu sekarang, karena belum ada dua minggu dari yang terakhir. Solar tak sempat merasa kasihan pada Ice maupun si pedagang susu yang omzetnya pasti juga terjun bebas setahun belakangan, karena dia mendapati Duri di ranjang di bawahnya mulai bernyanyi. Kembar keenam itu menirukan lagu dari kaset si pedagang susu.

"Terorororo, tororororo, terorororo, tororororo, terorere, teroreroret!"
Bahkan selepas bunyi yang orisinil tak kedengaran lagi (pergi dengan putus asa karena si penggemar susu tak keluar rumah), Duri masih bernyanyi. Lantang pula suaranya. Solar yang sedang baca buku fisika di atasnya jadi agak gerah.

Ketujuh kembar itu memang menempati ranjang-ranjang tingkat dalam kamar terpisah. Taufan dengan Gempa, Blaze dengan Ice, dan Duri dengan Solar. Halilintar punya ranjang sendiri tapi dia satu kamar dengan ranjang susun Taufan dan Gempa. Adapun biasanya yang lebih tua menempati ranjang bawah, tapi pada praktiknya itu hanya di kamar Duri dan Solar.

Gempa tak bisa tidur dengan lampu terang padahal Halilintar sering belajar sampai larut malam, sedangkan Taufan bisa tidur dalam kondisi apa pun—mau ada sambaran petir atau gempa bumi atau badai topan, dia bakal tetap pulas, apalagi hanya karena lampu yang dekat sekali dengan posisi orang yang tidur di ranjang atas. Maka Taufan tak keberatan tukar dengan Gempa, dia yang lebih tua yang di atas.

Blaze lebih suka memanjat naik dan melompat turun tempat tidur (dari pertengahan tangga tentunya, bukan dari puncak ranjang setinggi dua meter itu) daripada rutinitas monoton: buka mata, turunkan kaki ke samping ranjang dan sudah bertemu lantai. Tidak asyik, tidak menggugah semangat di pagi hari! Apalagi adik kembarnya, Ice, memang punya moto hidup kebalikan darinya: efisienkan tenaga dan masa sebisa mungkin, kalau tak perlu memanjat tempat tidur, buat apa memanjat? Jadilah mereka juga bertukar, Ice di bawah dan Blaze di atas.

Hanya Duri yang tetap di bawah dan Solar di atas. Tak ada keberatan apa pun, karena Solar biasa tidur memakai eyepatch—Gempa sih sudah pernah coba pakai juga tapi dia bilang kepalanya seperti diikat tali semalaman. Solar bahkan cukup senang tidur di atas karena dia menyimpan sepotong cermin kecil di bawah bantal dan sering mematut diri diam-diam atau mengaplikasikan krim malam. Duri takkan tahu bagaimana caranya adik bungsunya ini bisa berpenampilan tetap rapi dan bersinar meski baru bangun tidur.

Tapi kalaupun Duri tahu soal cermin Solar, dia toh tak mungkin meledek. Solar ragu kakaknya itu paham hubungan antara cermin kecil di bawah bantal dengan bibit narsisme dalam diri si bungsu yang tidak ada pada saudara mereka yang lain.

Itu hanya satu dari sekian aneka rupa ketidakwajaran Duri dan itu tidak mengganggu Solar.

Tapi yang satu ini mengganggu. Solar sedang mencoba belajar untuk kuis fisikanya besok, dia terjebak di dalam kamar, dan Duri memilih saat ini untuk bernyanyi-nyanyi tak jelas. Mana fals pula suaranya. Solar terjebak di dalam kamar karena hari ini Halilintar punya program menyemprot seisi rumah dengan disinfektan sementara Gempa akan bantu mengelap dan mengepel. Si sulung sudah bertitah seusai salat Subuh tadi bahwa selepas sarapan, semua diminta tetap di ranjang masing-masing biar tidak mengganggu pembersihan itu, kecuali Taufan dan Blaze yang memang dapat giliran jasa pesan antar Kokotiam, bersepeda ke rumah-rumah pelanggan. Lebih tepatnya, Halilintar dan Gempa memang sengaja memilih hari di mana kedua pembuat onar itu tidak di rumah seharian. Halilintar akan mulai menyemprot dari kedua kamar di lantai atas, yaitu kamar Blaze dan Ice serta kamar Duri dan Solar. Barulah kamar para sulung bertiga dan kamar Tok Aba di lantai bawah, dapur, kamar mandi, lalu ruang tamu dan teras yang terbuka ke kebun belakang.

Solar mencoba fokus selagi pendengarannya dipenuhi suara Duri yang buruk dan penciumannya samar-samar diliputi aroma alkohol yang menyengat. Dari suaranya yang menginstruksikan Gempa, kedengarannya Halilintar sudah hampir selesai di kamar sebelah. Duri tak kunjung diam juga, maka Solar akhirnya bersuara,

"Diam, dong."

Solar yakin suaranya cukup keras, tapi Duri terus bernyanyi, entah karena tak dengar atau sengaja. Tidak mungkin sengaja, sih, menilik kepribadian Duri yang agak lain itu. Solar mencoba lagi,

"Ish, aku lagi belajar."

"Terorororo, tororororo ..."

Duri masih bernyanyi. Solar habis sabar.

"Wahai. Kakak. Duri. Berhenti. Nyanyi. Bisa?" Solar berucap sekeras mungkin dengan jeda dan tekanan di tiap kata.

Ajaib, Duri betulan berhenti. Solar merasa lega tapi hanya sekejap karena Duri bersuara lagi,

"Solar panggil Duri 'Kakak'?"

Apaan coba? batin Solar, lalu menyuarakan, "Apakah ..."

Terdengar bunyi jedukan keras di bawah Solar disusul keluhan plus sorakan.
"Aduuh ... hore! Akhirnya Duri dipanggil 'Kakak' oleh adik satu-satunya! Duri seorang kakak!"

Solar melongok ke bawah karena kaget dan heran. Barusan rupanya Duri berdiri di tempat tidurnya, pantas saja kepalanya menghantam tingkat. Sekarang dia berjongkok di atas ranjang dengan wajah nyengir bahagia.

Kepala Gempa yang berwajah cemas muncul di pintu, di tangannya ada kain lap. "Barusan ada apa?"

Duri yang menjawab dengan senyuman lebar, "Solar panggil Duri 'Kakak'!"

"Supaya dia jangan berisik, Kak Gempa! Aku lagi belajar," pungkas Solar, agak sebal dengan fakta bahwa dia lahir paling terakhir. Duri dan yang lain hanya beberapa menit lebih awal berjumpa dengan dunia dibanding dirinya!

"Oh begitu. Iya Duri, jangan ganggu Solar belajar. Yang bunyi tadi apa?"

"Kak Duri terbentur kepalanya, banyak tingkah sih," komentar Solar.

"Duri 'kan hanya senang sekali, hehehe. Kapan lagi Solar panggil Duri 'Kakak'?"

Gempa menatap dua adik bungsunya sembari tersenyum mafhum. Interaksi ini sering terjadi dan hampir selalu menyiratkan bahwa Solar tidak sudi jadi yang paling bontot karena Duri tidak seperti kakak baginya. Malah terbalik. Duri adalah yang paling kekanakan di antara mereka semua sementara Solar adalah yang ketiga paling rasional setelah Halilintar dan Gempa, maka dari itu hanya Duri yang tak pernah dipanggil dengan embel-embel 'Kak' oleh Solar.

"Masa sudah umur tujuh belas masih nanyiin lagu tukang susu kayak anak kecil?" lapor Solar pada Gempa.

"Lagu tukang susu?" ulang si kembar nomor tiga.

Solar memutar bola mata. "Itu lho, penjual susu keliling langganannya Kak Ice."

"Oh iya, baru saja lewat ya."

"Habis, lagunya riang gembira," komentar Duri seperti membela diri, tapi suaranya tetap seriang isi kalimatnya.

"Kak Duri mau seperti ini terus?" Solar menyuarakan isi hati yang terpendam. "Mau jadi apa nanti? Pengamen sumbang macam Adu Du dan Probe?"

"Solar …." seloroh Gempa. "Sudahlah. Duri, diam dulu ya, nanyinya nanti saja. Selama penyemprotan belum selesai, Solar harus belajar di atas ranjang."

"Siaaap, Kak Gempa!"

Gempa melempar pandang penuh arti ke si bungsu namun Solar malah melengos. Saat itu terdengar Halilintar memanggilnya, minta disiapkan cairan disinfektan lagi.

"Nah, jadi anak baik ya kalian berdua, ingat pesan Ayah," Gempa menutup pembicaraan, disambut sorakan ceria dari Duri.

Ayah para kembar adalah seorang duta yang sering berpindah tugas dan istrinya senantiasa mengikuti. Terakhir keduanya bertemu dengan ketujuh putranya sudah Lebaran empat tahun silam dan saat itu pun sang ayah selalu mengulangi pesan yang sama, lebih kepada Halilintar, meski dialamatkannya juga pada semuanya: Selain berdikari, kalian semua harus saling menyayangi sebagai saudara.

Mungkin dulu ketika mereka semua masih bocah, polah tingkah Duri tak berbeda bermakna, karena Taufan si nomor dua dan Blaze si nomor empat juga sama saja kelakuannya. Ice dan Solar juga kadang merajuk kalau permintaan mereka tidak terpenuhi. Seiring waktu, karakter dan badan mereka semua bertumbuh dan hanya Duri saja yang ketinggalan jauh dari yang lain, seolah jiwanya masih berumur lima tahun dan terperangkap dalam tubuh yang menjulang menuju dewasa. Tak pernah ada yang mempersoalkan itu di dalam rumah, tapi kadang di sekolah ada yang berbisik-bisik.

"Ei, Duri itu bukannya adiknya si Solar, yang juara olimpiade itu?"

"Adiknya apa kakaknya? Bukannya Solar anak bungsu?"

"Berarti kakaknya? Kelakuan macam adik saja."

"Nggak bisa diam di kelas, kayak anak kecil."

"Saudara kembar pun. Umur mereka bertujuh sama saja semua."

"Kukira Duri itu saudara mereka yang paling kecil. Bukan hanya karena badan paling mungil."

"Macam Halilintar dan Taufan, badan Taufan memang lebih tinggi, tapi kau tahu sendiri aura Halilintar yang mencekam itu. Jelas dia sulungnya."

Solar baru menyadari itu ketika mereka masuk sekolah menengah atas di mana mereka bertujuh dibagi dalam tiga kelas berbeda sesuai minat masing-masing: ilmu alam, ilmu sosial, dan kelas bahasa. Duri di kelas ilmu alam bersama Ice dan Solar, karena dia berminat pada tumbuh-tumbuhan. Halilintar dan Blaze di kelas sosial berkaitan dengan jurusan di pendidikan tinggi yang ingin dicapai sedangkan Taufan dan Gempa mendalami ilmu bahasa. Duri sulit fokus di kelas yang perlu keseriusan dan ketelitian, dia juga kesulitan mengejar pelajaran di luar biologi. Soal fisika, kimia, dan matematika dia harus tanya pada Ice atau Solar, dan begitu pandemi dimulai pada pertengahan mereka di kelas satu, bisik-bisik di kelas tak ada lagi karena semua murid dirumahkan.

Kalau anak SMP masih bertingkah kekanakan, mungkin masih lumrah, karena itu transisi dari masa anak ke masa remaja. Tapi kalau sudah SMA? Persiapan menuju dewasa? Menurut Solar, Duri itu cacat mental, tapi dia tidak pernah menyebutkan istilah itu pada siapa pun. Bisa dihajar Halilintar ia kalau mengatai kakak sendiri. Menurut istilah Gempa yang belajar bahasa, orang seperti Duri disebut difabel: People with different ability.

Tapi Solar belum menemukan apa ability yang tersembunyi dalam kakaknya, Duri. Selama ini Solar menganggap secara harfiah bahwa kakaknya itu adalah duri dalam daging di keluarga mereka. Dengan pupil mata lebar dan bersinar-sinar, Duri itu polos, cengeng, tak bisa berpikir lurus, dan banyak tingkah yang tidak perlu—barangkali Solar perlu mengusulkan pada orang tua mereka agar Duri menjalani tes psikologi dan tes IQ agar bisa mendapat kepastian apa sebetulnya penyakit si nomor enam.

Selama ini kalau Solar belajar di kamar, Duri berkebun di teras belakang. Duri sendiri baru mengerjakan pe-ernya setelah berkebun, saat Solar tidur siang. Jadi tak ada yang merasa terganggu satu sama lain, masing-masing tenggelam dalam asyiknya dunia sendiri-sendiri.

Duri sudah tidak bernyanyi-nyanyi tapi sekarang dia bergerak-gerak sambil tertawa tertahan, entah apa yang sedang dikerjakannya. Ranjang tingkat mereka ikut bergoyang karenanya. Solar melongok dari atas pagar tingkat.

"Duri lagi ngapain, sih?"

Yang ditanya rupanya sedang berbaring tengkurap, melintang di ranjangnya, kedua tangan terjuntai ke bawah sehingga Solar bisa melihat kepala kakaknya itu dari atas. Perlu waktu dua detik bagi Duri untuk menoleh menanggapi pertanyaan barusan, dan dalam dua detik itu Solar menemukan pitak kecil di belakang kepala Duri yang belum pernah dilihatnya.

Solar ingat Gempa pernah cerita bahwa waktu kecil, Duri pernah terbentur kepalanya. Mungkin itu salah satu penyebab perkembangan mental Duri tak selazim orang lain. Mungkin terbenturnya waktu itu cukup gawat sehingga perlu dijahit dan menyebabkan lokasi itu tak ditumbuhi rambut. Nahasnya, yang tahu kronologi kejadian itu hanya Ayah dan Ibu, karena mereka semua masih kecil-kecil dan Gempa pun tahu hanya dari cerita Tok Aba yang diceritai oleh ayah mereka.

"Kok sudah nggak panggil 'Kakak', Solar?" Duri yang mendongak balas bertanya, tapi matanya yang besar itu tidak menunjukkan kekecewaan.

"Ish, ish. Kamu ngapain, kok goyang terus?"

Duri berguling, menunjukkan benda yang dipegangnya dengan riang. "Duri punya koleksi benih baru!"

Mata Solar mempelajari bungkusan paket kecil yang masih utuh itu dengan dahi berkerut. Jadi ini penyebab riang gembiranya Duri yang meluap-luap hari ini? "Pesan online?"

"Hehehe~"

"Eeeh, kok kamu boleh belanja online? Aku 'kan juga mau!" Solar mulai merasa jengkel. Bisa-bisanya Halilintar memberi izin online shopping untuk Duri tapi tidak untuknya?

"Eh?"

"Coba lihat sini!" Solar membungkuk.

"Solar, maksud—"

Kaki Solar tersangkut selimutnya sendiri dan seketika ia menjadi panik. "Waaaah!"

"Solaaaar!"

BRUUUK!


"Phi itu sama dengan tiga koma empat belas. Kecepatan cahaya sama dengan tiga kali sepuluh pangkat delapan meter per detik."

Halilintar dan Gempa saling lirik.

"Sampai kapan dia mau seperti itu?" bisik si sulung.

"Entah. Sampai dokter bilang kepalanya tidak apa-apa, barangkali?" balas Gempa.

"Kepalaku baik-baik saja," Solar bersikukuh, menegaskan bahwa dia mendengar obrolan mereka, lalu melanjutkan rapalannya. Alis sebelah kirinya bertambal perban. Mereka bertiga sedang duduk di ruang tunggu, menanti hasil pemeriksaan Solar paska pertolongan pertama.

"Kamu tadi pingsan," tukas Halilintar.

"Aku kaget lihat darahku sendiri. 'Kan belum pernah. Toh ini sudah dijahit. Pasti tidak apa-apa."

Kedua kakaknya bertukar pandang lagi.

Solar tadi jatuh dari ranjang tingkat, kepala lebih dulu. Dahinya menghantam lantai dengan keras, ajaibnya yang bersangkutan tidak langsung pingsan. Duri menjerit dan menangis sementara Halilintar, Gempa, dan Ice menyerbu ke kamar mereka (Ice datang terakhir, menyeret langkahnya dengan enggan, tentu, tapi dia sama cemasnya).

"Solar!" teriak Halilintar dan Gempa bersamaan.

Solar sudah mendudukkan dirinya sendiri di lantai dan bergumam,

"Apa, sih! Cuma jatuh. Kalian tak perlu seribut ini."

"Solaaaar ..." isak Duri sambil menunjuk, kata-katanya tak sanggup keluar.

"Aku baik saja," balas Solar meski tidak sesungguhnya betul. Dia merasa kepalanya seperti kesemutan, seperti ….

Tes. Tes.

"Solar!" Halilintar meraih bahu si bungsu. Gempa menatap dengan ngeri secuil pecahan kaca di lantai.

"Da-dari mana ..." pertanyaan Ice tidak selesai.

Ketika cairan merah itu menetes ke lengan kaos putihnya, barulah Solar pingsan.


Biasanya Duri menangis seperti bayi sehabis ada kejadian menegangkan. Anehnya, sekarang dia hanya tertegun di atas ranjang. Pecahan cermin milik Solar sudah diamankan oleh Taufan yang tadi buru-buru pulang bersama Blaze yang membantu membersihkan ceceran darah Solar di lantai. Tok Aba masih di kedai dan nanti akan segera menyusul bersepeda motor ke klinik tempat Solar ditangani.

Ice duduk di sisi Duri, sama-sama diam. Tadinya Ice pikir dia akan perlu menenangkan Duri yang menangis, tapi rupanya Duri tak bersuara. Maka dia berdiri, berniat meninggalkan Duri sebentar agar bisa bercerita pada kedua saudara mereka yang baru datang tanpa didengar oleh Duri.

"Kak Ice jangan pergi."

Duri menarik lengan baju Ice, dia seperti akan menangis kali ini. Ice mengurungkan niat.

"Baiklah. Kak Taufan dan Kak Blaze mestinya ke sini lagi setelah beres."

Semenit kemudian, Blaze yang lebih dulu muncul di ambang pintu kamar. "Jadi? Apa yang terjadi?"

"Kak Taufan mana?" tanya Ice.

"Masih buang sampah. Dia bingung caranya buang kaca, jadi mau dikubur di halaman belakang, katanya."

"Sudah selesai, kok." Suara Taufan terdengar serius di belakangnya.

"Oke! Ayo kita masuk," sorak Blaze yang langsung mengambil posisi duduk bersila di depan ranjang Duri.

Taufan memandangi ketiga adiknya. Tampak jelas bahwa Duri adalah saksi mata kejadian itu dan Ice yang kini merangkulnya seperti hendak menyalurkan kekuatan—untuk bisa bercerita apa yang terjadi. Ekspresi Blaze tampak antusias yang tidak pada tempatnya. Taufan menghela napas. Di saat begini, meski tak menyukainya, dia harus bisa berperan seperti Halilintar atau Gempa.

"Jadi tadi Solar jatuh dari ranjang sebelah atas ..." Dia memulai dengan hati-hati, membiarkan Duri meneruskan. Tapi Duri tidak meneruskan. Kembaran keenam itu masih tertegun sambil memeluk bantalnya.

"Solar jatuh, sepertinya kepalanya kena lantai—atau kena kaca—dan berdarah." Akhirnya Ice yang bicara.

"Dari mana kaca itu? Kok bisa ada kaca?" sela Blaze. "Bukan dari kacamatanya?"

Ice menggeleng. "Lensa kacamata Solar 'kan bahannya mika, bukan kaca. Aku dan Kak Gempa juga kaget melihatnya."

"Solar jatuh, kepalanya berdarah," simpul Taufan, "lalu kudengar dari Gempa dia pingsan setelah itu."

Tangis Duri tiba-tiba pecah.

"Huhuhu … Solar jatuh di depan mata Duri … gara-gara Duri …"

Tanpa bicara, Ice mengeratkan rangkulannya dan Blaze berdiri untuk memeluk Duri yang menangis dari sisi satunya. Taufan berjongkok di depannya dan menepuk lutut sang adik.

"Tenang, tenang, Duri sayang, kecelakaan 'kan tidak ada yang tahu," ujar Taufan.

"Kita doakan Solar baik-baik saja," sambung Ice.

"Jadi, kenapa sih Solar bisa jatuh—aww!" Omongan Blaze terhenti karena dia disikut oleh Ice dan dicubit Taufan.

"Duri nggak mau Solar jadi … jadi seperti Duri … huweeeeee."

Saat itu, Ice melihat sesuatu di pojok ranjang Duri.


"Untung sekali lehermu tidak kenapa-kenapa. Kasus jatuh dari ketinggian bisa fatal kalau bikin leher patah. Lain-lain: tidak ada gegar otak, hanya luka kecil saja di alismu."

"Aku bisa mengulangi semua rumus yang pernah diajarkan. Ingatanku baik-baik saja dan otakku juga demikian. Benar 'kan Dok?"

Sang dokter tertawa di balik masker. "Lain kali hati-hati, ya."

"Apa alisku bisa tumbuh lagi?"

"Mungkin tidak bisa."

Solar menghela napas. "Apa di sini bisa sulam alis?"

"Solar, ayo kita pulang," sela Halilintar sebelum Solar betulan minta yang aneh-aneh, mencengkeram bahu si adik bungsu kuat-kuat.

"... ya, Kak." Solar meringis kesakitan di balik maskernya. Kemauan Halilintar itu kuat, sekuat tenaga pada tangannya.

"Terima kasih, Dokter," pamit Gempa yang sudah menyelesaikan administrasi.

"Sama-sama. Lekas sembuh, ya."

Solar mengangguk. Mereka bertiga pun keluar dari ruang tindakan dan berjalan ke teras.

"Solaaar!" Terdengar suara kakek mereka yang tersayang. Pria renta itu setengah berlari dari parkiran klinik ke arah mereka.

"Tok Aba!" balas Solar, merasa tak enak sudah membuat kakeknya cemas.

"Atok jangan lari-lari!" cegah Gempa khawatir. Dia yang kemudian berlari menghampiri sang kakek dan menuntunnya, sementara Halilintar menggandeng—setengah menyeret—Solar.

"Aduh, cucu Atok paling kecil ini, jangan lah kamu sampai cedera kepala kali kedua."

"Kali kedua?" Solar mengernyit. Aduh, dahinya sebelah kiri masih berdenyut nyeri ketika dipakai berpikir.

"Tapi yang kali ini ringan, Tok Aba. Tak akan sampai seperti yang waktu itu," komentar Halilintar, nadanya menenangkan, tapi Solar seperti menangkap penyesalan.

"Apa maksudnya, Kak?" Solar menyerbu Halilintar. "Kepalaku sudah pernah cedera?"

"Solar tidak ingat, ya?" ujar Gempa, tersenyum sedih yang tertutupi karena pakai masker.

Tok Aba memeluk cucunya yang paling kecil itu, yang langsung kaget dan merasa tak nyaman. "Sudahlah. Tidak ingat juga tidak apa-apa. Yang penting Solar sehat."

"Te-terima kasih, Tok," gumam Solar salah tingkah. Jarang-jarang dirinya mau dipeluk, tapi hei, orang ini kakeknya sendiri.

Halilintar memandangi Gempa, dan keduanya sepakat di dalam hati.

Tak mungkin mereka mengharapkan kepala Solar terbentur lagi untuk kembali menjadi Solar yang dulu, 'kan?


"Jadi cuma gara-gara mau lihat paket ini, Solar jatuh?" Mata Blaze melebar menatap bungkusan cokelat di tangan Ice.

"Blaze!" Taufan mendorong bahu adiknya.

"Ini 'kan paket dari Ayah?" Ice bersuara. "Untuk ulang tahun kita yang ketujuh belas bulan lalu?"

Duri mengangguk. "Waktu itu Ayah tulis di surat 'kan, kalau kado untuk Duri menyusul karena sedang dibelikan, jadi datangnya baru bulan ini. Tadi Solar kira Duri dapat ini dari belanja online ..." Suara Duri melirih.

"Sementara Kak Halilintar melarang Solar belanja jaket dan baju online!" seru Blaze mulai mengerti.

"Salah paham," simpul Taufan. "Dan saking salah paham, dia malah jatuh."

"Bukan salah Duri," tukas Blaze berapi-api. "Solar saja yang keburu iri karena salah paham. Dia sendiri yang salah."

"Jangan menyalahkan Solar dulu, Kak Blaze," Ice mengingatkan. "Kita belum dengar cerita dari pihaknya."

"Bukan salah siapa pun!" seru Taufan, terdengar lelah. "Yang penting Solar baik-baik saja. Kupikir dia akan baik-baik saja. Dia sudah pernah mengalami kecelakaan yang lebih parah dari ini."

Mata Duri berkaca-kaca. "Apa Solar akan membenci Duri?"

Ketiga kakaknya kaget mendengarnya.

"Tak mungkin lah! Kenapa kau bisa berpikir begitu?" balas Blaze.

Duri memainkan jari-jarinya. "Dulu 'kan Solar lengket sekali dengan Duri. Sejak kecelakaan itu, Solar tidak pernah main lagi sama Duri, tak mau panggil Duri 'Kakak'. Sekarang, akankah jadi lebih buruk?"


"Popularitas Fang yang secerah bunga matahari? Lawakan macam apa itu?" tanya Solar saat sampai di depan rumah. Fang adalah teman sekelas Solar di jurusan ilmu alam, dia adalah teman mereka bertujuh sejak kecil. Pemuda satu itu memang gila popularitas.

"Ya sudah kalau tetap tidak ingat. Pokoknya, itu kata kuncinya," sahut Halilintar.

"Mungkin Solar akan ingat kalau melihat album foto," usul Gempa. "Ada di kamar Atok, 'kan?"

Tok Aba menyahut, "Ada, ada. Tahun berapa ya waktu itu ...?"

"Tujuh tahun yang lalu, Tok. Gempa ingat di tahun itu juga Ayah dan Ibu datang lagi saat Lebaran."

"Assalamualaikum ..." Halilintar membuka pintu rumah lalu masuk. Tak ada orang di ruang tamu, kelihatannya bahkan di seluruh lantai bawah. "Taufan? Blaze?"

"Ada apa waktu kita umur sepuluh?" desak Solar, tapi dia langsung mendudukkan diri di sofa ruang tamu karena mendadak pusing.

"Solar oke? Kuambilkan minum, ya," ujar Gempa.

"Aku naik dulu," kata Halilintar.

"Cuci tangan dulu, jangan lupa," Tok Aba mengingatkan.

Keduanya menyahut, "Baik, Tok."

Setelah cuci tangan, Halilintar langsung naik ke lantai atas, ke kamar Duri dan Solar. Dia yakin semua sedang berkumpul di situ, dan benar saja.

"Kak Halilintar!" sorak Blaze.

"Solar bagaimana?" tanya Taufan langsung.

"Alisnya sobek, dijahit. Di luar itu, baik-baik saja," jawab Halilintar irit.

Semua yang ada di kamar itu menghela napas lega.

Duri menangis lagi. "Ja-jadi Solar tidak akan membenci Duri, 'kan?"

Halilintar menatap si nomor enam dengan wajah gusar. "Tidak akan. Tak ada lagi yang berubah darinya."

Lima saudara yang berada di dalam kamar masih ingat dengan jelas apa yang terjadi di hari ulang tahun Fang yang kesepuluh, tanggal tiga belas April tujuh tahun lalu. Kejadian yang mengubah Solar secara drastis.


Meski di luar kelihatan tenang, sesungguhnya Solar masih panik bukan kepalang. Rasanya dia masih bisa pingsan lagi kalau teringat tetesan darahnya sendiri di baju tadi. Dia siuman dari pingsannya saat lukanya sedang dijahit, tapi tidak terasa karena sudah diberi bius lokal. Sambil menunggu bersama Halilintar dan Gempa di klinik tadi dia merapalkan segala hal saintifik yang bisa diingatnya untuk meyakinkan diri bahwa otaknya tidak kenapa-kenapa, bahwa dia masih bisa berpikir logis dan sistematis, bahwa jatuh dari ketinggian dua meter dengan kepala lebih dahulu tak akan mengurangi kepandaiannya. Sekarang saat sudah di rumah lagi, dia merasa lelah dan pusing, apalagi setelah mendengar bahwa dirinya sudah pernah mengalami cedera kepala. Kenapa dia tidak ingat? Tok Aba masih menemaninya di ruang tamu setelah mencari sesuatu di kamar sedangkan Gempa ikut naik ke lantai atas.

"Apa yang terjadi tujuh tahun lalu, Tok?" Solar menatap album foto di tangan Tok Aba, lalu wajah kakeknya.

Sang kakek menatap cucunya dengan sendu.

"Kita lihat dulu apa yang terjadi sebelum itu, Solar."


"Cerah sekali hari ini~ Secerah hatiku~"

Solar terkekeh mendengar nyanyian Duri. Mereka duduk di paling belakang dalam sebuah mobil, dengan Ice di sisi mereka yang satu lagi. Taufan, Gempa, dan Blaze di bagian tengah, sedangkan Halilintar di kursi depan di samping Tok Aba yang menyetir mobil sewaan itu. Bagaimana lagi caranya bisa membawa tujuh orang anak ke pusat kota?

"Kenapa pula harus di tengah kota, sih! Sok benar lah Fang itu!" gerutu Blaze. "Sempit duduk bertiga seperti ini, setengah jam lagi!"

"Sudah lah. Sudah baik Fang undang kita semua ke pesta ulang tahunnya," sahut Gempa bijaksana.

"Dia buat kartu undangan berbeda-beda pula! Punyaku warna biru dan ada gambar pusaran anginnya, dong!" seru Taufan bangga.

"Niat betul lah dia untuk jadi populer," komentar Halilintar tanpa menoleh.

Blaze menyambar, "Alaa, bilang saja Kak Halilintar juga suka kartu undangannya, 'kan? Ada gambar petir warna merah dan kartunya hitam, warna kesukaan Kakak."

"Hitam, warna yang suram," imbuh Ice pelan-pelan. Wajah mengantuknya diarahkan ke jendela mobil.

"Kau pun dapat kartu undangan warna merah, 'kan, Blaze?" balas Halilintar, tak menyangkal bahwa dia memang suka kartu undangan Fang.

"Paling bagus kartu aku, lah!" Duri berseru, berhenti dari nyanyiannya tentang hari yang cerah. "Hijau dan bergambar tumbuh-tumbuhan. Go greeeeeen!"

"Eeeeh? Kartu aku yang paling bagus lah, Kak Duri!" sambar Solar. "Putih bersih, hanya ada gambar matahari di tengahnya. Lihat!"

Gempa menahan tawa teringat sesuatu tentang matahari beberapa hari terakhir. Adiknya yang paling kecil itu sangat suka dengan benda besar di sistem tata surya itu. Mungkin benar kata orang, nama adalah pertanda.

"Kau bungkus plastik pula kartu undangannya?" ujar Ice sambil menoleh malas, mendapati kartu undangan putih itu tersimpan rapi dalam sampul plastik.

"Biar tidak kotor, Kak Ice," sahut Solar sambil tersenyum bangga.

"Ya lah, putih 'kan cepat kotor. Makanya Gempa yang suka main tanah tak suka pakai baju putih," gurau Taufan. Gempa yang saat itu memakai kemeja cokelat merengut.

"Jangan lah Solar, buang-buang plastik saja kau ini. Mengotori bumi. Tak baik!" ujar Duri.

"Eeeeh? Begitu ya?" Mata telanjang Solar membelalak memandangi kartunya yang tersampul, dahinya berkerut. "Aku belum banyak baca buku soal bumi, olimpiade kemarin lebih banyak soal tata surya dan galaksi. Maaf ya, Kak Duri."

"Tak apa. Lain kali tak perlu kausampul, ya, Solar!" sahut Duri ceria.

"Baik Kak!" ujar Solar. "Kak Duri memang terbaik!"

"Hampir sampai ini. Sudah siap kado-kado kalian?" Tok Aba bersuara.

"Sudah!" Tujuh suara bocah sepuluh tahun kompak menjawab dengan nada berbeda-beda.

Tok Aba tersenyum sendiri mengingat bahwa dia sedikit demi sedikit menyisihkan uang untuk dipakai ketujuh cucunya membeli kado untuk kawan baik mereka, Fang. Ada delapan barang—iya betul, delapan. Tapi kado kedelapan bukan untuk Fang.

"Dengan ini, popularitas Fang akan secerah bunga matahari!" sorak Duri sambil mengacungkan kadonya.

"Terbaik," komentar Gempa masih geli mengingat seputar kado dari Duri. Mereka memang tidak bersamaan membeli kado dan saling merahasiakan dari yang lain. Tadinya Duri membeli sebuah bantal bundar kuning bergambar matahari untuk Fang, dengan harapan yang mirip, "Semoga popularitas Fang bisa secerah matahari." Rupanya begitu Duri sampai di rumah, masuk kamar sambil membawa bantal matahari itu, Solar di meja belajar langsung merengek dengan manja,

"Lucu! Bagus! Aku mau! Boleh buat aku, Kak Duri?"

Solar tampaknya tidak tahu bantal itu adalah kado yang dipilih Duri untuk Fang. Duri menggaruk pipinya salah tingkah.

"Ehehe … boleh deh, ini buat Solar."

Solar menerima bantal itu sambil melompat kegirangan. "Aku punya bantal matahari!"

Setelahnya Duri kebingungan. Dia jadi tak punya kado untuk Fang. Masa dia minta Tok Aba belikan lagi? Saking bingungnya, Duri sampai mengotori lantai dengan tanah saat memindah pot-pot kecil di ruang tamu ke luar teras sore harinya.

"Duri, hati-hati, tanahnya berceceran," tegur Gempa yang kebetulan baru selesai menyapu halaman.

"Ah iya. Maaf, Kak Gempa," sahut Duri linglung.

Gempa mengernyit. "Kamu kenapa?"

Duri menautkan jari-jemarinya setelah memastikan pot-pot itu aman di tempatnya. "Solar suka kado Duri untuk Fang. Duri jadi tak punya kado untuk Fang," ujarnya polos.

"Memang apa kadonya?"

Duri makin salah tingkah. "Umm, rahasia ya Kak Gempa … Duri belikan bantal matahari."

Keheranan, Gempa bertanya lagi, "Kenapa matahari?"

"Biar popularitas Fang bisa secerah matahari," jawab Duri polos.

Gempa mengerjapkan mata, menahan tawa yang ingin menyembur, sudut bibirnya sudah naik sedikit. "Kau tidak bilang pada Solar bahwa itu kado untuk Fang?"

Duri menggeleng. "Solar terlihat senang sekali. Nanti Solar sedih kalau tahu yang sebenarnya."

Hati Gempa terenyuh. "Coba kita bilang ke Tok Aba baik-baik. Mungkin kita bisa belikan satu lagi benda untuk kado Fang."

Sampai hari ulang tahun Fang tiba pun, Solar tetap tidak tahu-menahu perkara bantal matahari itu. Duri akhirnya membelikan bantal yang mirip sebagai kado untuk Fang, bergambar bunga matahari yang berkelopak kuning dengan warna cokelat di tengahnya. Gempa dan Duri menutup rapat rahasia ini bersama Tok Aba, meski jauh di kemudian hari Gempa menceritakannya pada Halilintar dan Taufan.

Di hari ulang tahun Fang yang tampaknya dihadiri orang sepenjuru Pulau Rintis itu (bukan, bukan murni karena popularitas Fang. Orang tua dan abang Fang, Kaizo, yang punya andil dalam pesta ulang tahun kesepuluh yang dalam tradisi keluarga mereka merupakan usia penting menjelang masa remaja) tak ada yang menduga bahwa akan ada yang celaka. Paviliun di pinggir hutan itu dihiasi lampu-lampu taman dan ada pertunjukan kembang api meski hari siang.

Sambil makan kue, Solar berbinar-binar menyaksikan semua cahaya yang menari-nari itu, terutama yang ada di langit. Di benaknya terlintas sebuah ide brilian. Dia pernah baca buku tentang bahan pembuat kembang api. Panggilan jiwanya untuk bereksperimen muncul ke permukaan.

"Kak Duri, temani Solar ke sana, yuk!"

"Eh?"

"Ke tempat kembang api dinyalakan."

Duri semringah dan berdiri, meninggalkan potongan kue tar di meja. "Ayo, lah!"

Ice yang sedang minum es buah di samping mereka bergumam, "Izin dulu sama Tok Aba atau Kak Gempa ..." Yang dimaksud sedang beramah-tamah dengan orang tua Fang, sementara kakak mereka yang lain sedang bermain bersama Fang sendiri agak jauh dari tempat mereka duduk.

"Sebentar saja kok, Kak Ice. Sebelum mereka tahu, kita sudah akan kembali," balas Solar. "Atau Kak Ice mau ikut?"

Ice menggeleng perlahan. "Aku nonton saja dari sini."

Solar pun menarik tangan Duri dengan bersemangat, menuju pinggir hutan yang terbuka. Mereka menemukan kotak-kotak berserakan, tak ada seorang pun di sana. Tampaknya petugas yang dipesan untuk pertunjukan kembang api sedang istirahat di suatu tempat.

"Solar mau apa?" Duri penasaran melihat adiknya itu mengamat-amati tulisan di tiap kotak.

"Mau bikin kembang api!" sahut Solar tersenyum puas.

Duri membelalak. "Eeeeh? Apa tidak bahaya?"

"Aku pernah baca di buku. Asal hati-hati, tidak bahaya, Kak!"

"Begitu, ya," Duri langsung percaya. Adiknya ini memang selalu ranking satu di kelas. Kalau dia bilang tidak bahaya, tentulah memang tidak bahaya.

"Nah, ada tabung di sini. Kita isi tabungnya dengan … bahan yang ini!" Solar meraih peralatan yang terserak.

Tak terlintas dalam pikiran Duri bahwa harusnya mereka minta izin dahulu, baik tentang kepergian mereka pada Tok Aba maupun kepada pemilik segala alat dan bahan ini. Dia berjongkok sambil tersenyum, mengamati Solar yang kegirangan. Solar seperti sedang menemukan harta karun!

Lima menit berselang, Solar mengacungkan tabung itu seolah baru saja menemukan ramuan baru. "Ini dia! Saksikanlah, Kak Duri!"

Duri agak takut melihat Solar memantik sendiri sebatang korek api di bawah tabung itu lalu menyulutnya ke sumbu.

"Sejak kapan Solar bisa pasang korek api?" tanyanya lugu. Duri saja belum bisa!

"Kak Halilintar pernah ajari." Solar mengamati tabung di tangannya lalu mengangkatnya ke udara. "Sebentar lagi!"

Hening. Api di sumbu telah padam. Duri menelengkan kepala, masih menunggu.

"Heee, kok tidak berhasil, ya?" keluh Solar kecewa. "Aku yakin formulanya benar."

Duri mengernyit melihat kekecewaan Solar. Adiknya itu meletakkan tabung ke tanah lalu membungkuk ke arah kotak serbuk yang menjadi bahan eksperimennya tadi.

"Tak apa lah, Solar. Nanti kita lihat saja Abang tukang kembang apinya beraksi," hibur Duri ceria.

Solar masih merengut, matanya berkaca-kaca. Duri merasa hatinya diiris-iris melihatnya. Dia berdiri dari posisi jongkoknya dan beranjak mendekati Solar.

"Ayo kita kembali," ujarnya. Tapi belum sempat Duri melangkah lebih jauh, sebuah cahaya menyilaukan berkilat dari tabung yang ditinggalkan Solar di tanah. Solar menoleh senang dan segera meraih tabung itu.

Segalanya kemudian terlalu cepat.

Ada ledakan cahaya yang tak terlalu besar, Duri terpaku di tempatnya, dan Solar terlempar ke arah dinding batu di sisi hutan. Kepalanya menghantam batu dengan keras.

Mulut Duri terbuka, mata besarnya tak berkedip. Dia baru menemukan suaranya selepas sekian detik,

"SOLAAAAAR!"

Jeritan Duri mengundang banyak orang datang ke situ. Kaizo, abang Fang yang sudah mahasiswa, adalah yang paling duluan sampai di tempat kejadian sementara Duri yang masih syok tidak bisa bergerak. Tadi ada suara ledakan dan dalam sekali sapuan pandang saja Kaizo paham apa yang baru saja terjadi. Bergegas dihampirinya dinding batu itu di mana Solar terkapar di dekatnya. Kedua mata Solar terpejam, tapi anak yang sebaya dengan adik Kaizo itu mengerang. Tabung di tangannya terguling.

"Adik baik-baik saja?" gumam Kaizo sambil memeriksa Solar. Kelihatannya tak ada darah di mana pun, hanya di tangan dan wajahnya ada bekas hangus sedikit, tapi denyut nadi di lehernya jadi cepat sekali dan anak itu bahkan tidak pingsan.

"Aduuuh," Solar mengerang lagi.

"Apa yang sakit?" Kaizo bertanya, menimbang cara terbaik untuk menggendong anak itu ke tempat aman, sementara lebih banyak lagi orang dewasa yang sampai ke lokasi itu.

"Kepalaku pecah," isak Solar setengah mengerang. Kepalanya memang terasa sakit sekali, seperti balon dipecahkan. Matanya mengerjap terbuka dan sinar matahari yang tepat di atasnya seolah membutakannya. Solar memekik sambil menutup mata kembali. Kaizo mengerutkan dahi melihat itu.

"Solar!" Kedengaran suara Fang, Tok Aba, dan saudara-saudaranya.

"Dia tidak pingsan?"

"Apa yang terjadi?"

Ketegangan bukannya sudah lewat; ini baru saja dimulai. Duri sudah banjir air mata dan tidak bisa berkata apa pun untuk menjawab pertanyaan bertubi-tubi. Gempa memeluknya dan ketika itu sesuatu terjadi pada Solar.

Tubuh anak pecinta matahari itu mendadak kaku, otot-ototnya berkelojotan tak terkendali. Solar kejang!

"Kita bawa dia ke rumah sakit!" seru Kaizo. "Kemungkinan terburuk … epidural hematoma!"

=0=

Ketika Solar membuka mata sekali lagi, dia langsung disambut pelukan erat dari Duri.

"Solaaaar, huhuhu," isak kakaknya itu.

"Siapa," gumam Solar, indera penciumannya menangkap bau disinfektan dan obat-obatan.

"Eh?" Duri terperanjat. "Solar hilang ingatan?"

"Bukan lah, Duri. Siapa yang pasang benda ini di kepalaku?" Solar mendorong Duri menjauh. Keduanya saling menatap, dahi Solar berkerut dalam.

"Benda ini maksudnya?" Duri menunjuk kacamata oranye yang bertengger di sekitar mata Solar.

"Ugh, iya. Dan kenapa lampunya terang sekali? Bisa matikan?"

Duri baru sadar wajah Solar yang mengeriut menunjukkan bahwa dia kesakitan. Buru-buru didekatinya sakelar lampu dan mematikannya. Setelahnya Duri berbalik dan mendapati Solar sedang melotot hampa di atas ranjang perawatan.

"Solar!" Duri mengira Solar akan kejang lagi dan dia segera lari keluar, mencari bantuan. Siapa sangka di hari kedatangan orang tua mereka ini, Solar siuman dan hanya Duri yang menjaganya di sini? Tok Aba dan saudara-saudaranya bagi tugas menjemput ke bandara dan mengurus rumah. Rumah sakit besar ini letaknya dekat rumah Fang, artinya jauh dari rumah mereka sendiri.

Dokter dan perawat bergegas masuk. Duri duduk di luar kamar dan menangis lagi. Kenapa Solar yang baru siuman begitu dingin terhadapnya? Dia memanggil nama Duri tanpa embel-embel 'Kak' barusan. Apakah karena salahnya Solar jadi celaka? Kalau dipikir-pikir lagi, harusnya memang dia sebagai kakak yang menjaga Solar. Tapi dia sendiri malah hanya menyaksikan kecelakaan itu terjadi dan tak bisa berbuat apa-apa.

Seseorang berjas putih menghampiri Duri yang menangis. Rupanya Kaizo, abang Fang. Dia mahasiswa kedokteran yang sedang magang di rumah sakit itu.

"Solar sudah sadar?" tanyanya.

Duri mengangguk. "Solar kenapa?" isaknya polos. Kaizo mengira Duri bertanya tentang apa yang terjadi pada kepalanya.

"Ada yang berdarah di dalam kepalanya dan menghimpit otaknya."

"Di otaknya?" Duri terperangah. Setahunya, otak adalah organ yang sangat penting dan seketika dia merasa lemas. "Apa Solar akan jadi bodoh?"

Kaizo mengernyit. "Tidak, tidak seperti itu."

Duri mendadak ceria kembali. "Alhamdulillah. Solar itu selalu juara kelas! Syukurlah."

"Kerja otak manusia itu bermacam-macam," ujar Kaizo lagi. "Tak hanya kecerdasan, ada juga yang berhubungan dengan saraf penglihatan. Mata Solar sekarang jadi sensitif cahaya."

Duri menatap kebingungan. Kaizo menghela napas, menerjemahkan dalam kalimat yang lebih sederhana,

"Matanya akan sakit kalau melihat cahaya yang terlalu terang."

Duri tersentak. Air matanya mulai menggenang lagi. "Tapi Solar sangat suka matahari ..."

"Kalau ada cahaya yang terlalu terang, dia bisa kejang."

Duri betulan menangis sekarang. Solar tidak boleh menikmati apa yang dia suka! Mimpi buruk macam apa ini?

=0=

Mungkin memang hanya mimpi buruk dan Solar akan segera bangun. Kepalanya yang sebelumnya sangat sakit sekarang terasa amat ringan. Pikirannya terang, seolah dia sanggup melahap soal olimpiade fisika tersulit di dunia saat itu juga. Tapi kenapa cahaya membuat mata dan kepalanya sakit kembali? Dia takut harus hidup dalam gelap.

Dan orang itu … Duri, kakaknya. Solar sebetulnya ingin sekali balas memeluk Duri erat-erat, lega karena masih bisa melihat dan mengingatnya, tapi bergerak sedikit saja membuat kepalanya terasa hampir pecah lagi. Ada pula sorot lampu dan sinar matahari dari jendela di sebelah kirinya, membuat segalanya tambah menyakitkan. Untung ada sebuah topi di kepalanya dan dimiringkannya lidah topi itu ke sebelah kiri depan, memangkas jalur sinar untuk masuk ke matanya yang dipasangi kacamata.

"Apa yang kamu rasakan, Solar?" Seorang dokter bertanya, tampaknya cukup lega bahwa Solar tidak kejang lagi barusan. Anak itu hanya terhenyak menyadari beberapa hal setelah bangun lagi.

Baru dirasainya bahwa kepala di bawah topi itu tak lagi ada rambutnya. Hal mengerikan apa yang terjadi padanya? Yang dia ingat terakhir adalah bicara dengan Ice lalu mengajak Duri bermain di tepi hutan. Setelahnya …?

Solar terlalu takut membayangkan apa yang terjadi. Rasanya ingatan itu melibatkan banyak cahaya berwarna-warni dan itu membuat kepalanya makin sakit. Dia tidak mau mengingat.

"Ini untuk apa?" Solar malah balik bertanya, melepas kacamatanya.

"Pelindung mata," sahut si dokter sambil tersenyum simpul. "Jangan khawatir, kamu terlihat keren dengannya!"

Solar mengernyit nyeri ketika kacamata itu tidak lagi di depan matanya. Buru-buru dipasangnya kembali. "Sakitnya berkurang dengan ini."

"Lensanya khusus sehingga tidak akan mengganggu penglihatan. Ini malah akan melindungimu."

=0=

Kraniotomi, CT scan, epidural hematoma. Tok Aba nyaris pingsan mendengar semua istilah asing itu. Rumah sakit besar itu fasilitasnya lengkap dan sang kakek bersyukur karenanya. CT scan menunjukkan epidural hematoma di kepala Solar, penumpukan darah akibat adanya pembuluh pecah karena benturan. Tumpukan darah itu bisa menggencet otak dan sangat berbahaya, jadi operasi dengan cepat adalah jalan keluarnya. Rambut Solar dicukur habis, dia dibius total dan kraniumnya dibuka, hematoma itu disedot, lalu luka terbuka di batok kepala itu dijahit kembali.

Saat sudah siuman, Tok Aba mendapati Solar banyak diam. Kepalanya ditutupi topi putih kesayangan yang miring ke kiri dan kacamata oranye bertengger di hidungnya. Bahkan saat kedua orang tua mereka yang datang dengan cemas masuk ke ruang rawat, Solar nyaris tak berekspresi.

"Dia bahkan jadi lebih suram daripada Kak Halilintar," komentar Blaze yang mengintip dari luar ketika ayah mereka memeluk Solar.

"Apa?!" seru Halilintar tersinggung, tapi dia khawatir juga. Betulkah Solar yang pintar dan riang itu jadi suram?

Bahkan ketika sudah masuk sekolah lagi dan Fang (yang merasa terlibat bagaimanapun juga) mendekatinya untuk bertanya kabar dengan mengajaknya bermain, Solar menjawab dengan ketus,

"Tak ada waktu buat main, Fang. Aku mau belajar."

Tak ada yang berubah dari kecerdasan akademik Solar. Tapi penampilannya berubah, demikian pula sikapnya. Solar jadi sangat berhati-hati, tak banyak tingkah, dan mementingkan penampilan. Dia setuju komentar dokternya bahwa memakai kacamata malah membuatnya terlihat keren.

Sudah waktunya berhenti jadi anak kecil, demikian pikir Solar yang masih berusia sepuluh tahun. Mari kubur saja semua memori yang menyakitkan dan melangkah ke depan.


Solar menatap gambar-gambar itu. Sulit dipercaya. Banyak foto dirinya dan Duri di teras rumah, di kebun, di taman kota, di sekolah, di pasar, di Kokotiam, pendek kata di mana saja—seolah mereka berdua amplop dan perangko. Apa benar di masa lalu Solar sedekat itu dengan Duri? Kenapa dia tak ingat lagi? Dan kenapa Duri tidak lagi dekat dengannya?

Tok Aba berujar pelan sambil mengusap kepala Solar, "Duri tahu ada yang berubah darimu dan dia menciptakan jarak sendiri. Apa kamu pernah belajar di kamar saat Duri juga di kamar?"

Solar menggeleng. "Dia bikin pe-er saat aku tidur siang."

"Iya, 'kan. Duri tidak mau mengganggumu belajar. Dan lihat itu. Kau ingat bantal matahari satu itu?"

Solar mengamati lekat-lekat foto dirinya yang memeluk bantal kuning di sisi Duri. "Ya, tapi bantal itu pernah dicakar kucing saat dijemur. Sekarang sudah tidak ada lagi."

"Ingat sejarahnya kenapa bantal itu bisa di rumah ini?" Tok Aba terkekeh sedikit.

Solar mengernyit lalu menggeleng sekali lagi. "Tapi Tok Aba, kurasa memang ada sesuatu yang tidak ingin kuingat-ingat."

"Atok akan ceritakan padamu, Solar mau?" tanya Tok Aba lembut. "Kukira umurmu sudah cukup untuk bisa menerimanya. Tapi kalau kau tetap tidak mau mengingatnya juga tidak apa-apa."

Ditanya begitu, Solar malah tambah penasaran. "Cerita saja, Tok. Tak tenang tidurku nanti."

Tok Aba membalik album foto ke halaman berikut. Ada foto mereka bertujuh di depan rumah dengan kado di tangan masing-masing. Pasti Tok Aba yang mengambil gambar itu.

"Ini … saat kita berangkat ke pesta ulang tahun Fang yang kesepuluh?"


"Eh, jangan lah duduk berdekatan begitu! Jaga jarak!"

Seruan Gempa yang baru naik dari lantai bawah membuyarkan kenangan masing-masing.

"Ish, Kak Gempa ini, merusak suasana," gerutu Blaze yang beranjak dari sisi Duri, sementara Ice tak bergeser dari duduknya.

Gempa mengerutkan dahi. "Memangnya kau dan Taufan sudah cuci tangan dan ganti baju sepulang delivery tadi?"

Halilintar tersentak. Dari tadi Taufan menempel-nempel pada lengannya, seolah meminta dukungan—sulit bagi si anak nomor dua yang bertabiat kelewat periang itu untuk berperan sebagai kakak panutan—padahal mesti saudaranya itu penuh kuman habis bepergian. Dua orang yang ditegur Gempa cengengesan.

"Buruan bersih-bersih!" bentak Halilintar sambil mendorong Taufan menjauh. Dia jadi punya alasan untuk tidak berdiri berdempet dengan kembaran yang badannya paling menjulang itu, fakta yang sedikit menjengkelkan buat Halilintar yang kalah tinggi.

"Eh, kalau cuci tangan, tadi sudah, kok. Aku 'kan tadi habis buang sampah," Taufan membela diri. "Kakak sendiri nih, 'kan habis dari klinik! Tempat orang sakit!"

"Aku sudah cuci tangan lah!" Halilintar tidak terima dianggap bawa penyakit.

"Aku pun sudah cuci tangan habis mengelap lantai ini tadi!" balas Blaze tak mau kalah. "Nih, sudah bersih!" disodorkannya kedua telapak tangan ke arah Gempa. "Cling-cling!" tambahnya meyakinkan.

Gempa tertawa setengah hati di balik maskernya. "Ya sudah. Aku percaya kalian sudah cuci tangan. Tapi jaga jarak itu tetap penting. Sudah tidak ada yang pakai masker pun."

"Baik, Kakak Gempa," hanya Taufan yang menyahut patuh, mengambil jarak dengan Halilintar sambil masih menyeringai.

"Jadi?" tuntut Blaze. "Mana Solar?"

"Dia masih di bawah, dengan Tok Aba. Lihat album foto."

Keterangan Gempa membuat semua orang kembali pada kenangan tujuh tahun lalu. Hanya Solar sendiri satu-satunya manusia di rumah itu yang tidak punya kenangan tentang kejadian itu. Atau sebetulnya punya, tapi disimpan dan dikunci di pojokan tak mau disentuh.

"Jadi Atok mau ceritakan pada Solar?" gumam Ice lirih.

"Sepertinya begitu. Tidak mungkin menyembunyikannya dari Solar seumur hidup," sahut Gempa.

"Tidak ada apa pun yang disembunyikan!" cetus Halilintar. "Solar sendiri yang menolak mengingat segalanya. Dia jadi seperti ini sejak kecelakaan waktu itu."

"Bukan karena pengaruh hormon yang terlalu cepat muncul, kah?" celetuk Blaze salah tempat.

"Umur sepuluh belum ada hal macam begitu," tukas Halilintar.

"Lha, Kak Halilintar sendiri, umur sebelas sudah coba pakai pomade rambut, 'kan?" balas Taufan iseng.

"Umur dua belas!" Halilintar mengoreksi sambil menahan malu. Dasar adik sekamarnya ini, mulut ember! Tak perlulah adik-adik yang lain sampai tahu rahasia kerennya ini!

"Sudah, sudah," Gempa menengahi. "Kita tak ada yang tahu apa yang Solar pikirkan waktu itu. Tapi jelas dia memang tidak ingat apa yang terjadi sekitar waktu itu."

"Kak Gempa, sebaiknya Solar nanti tidak memanjat tempat tidur dulu. Biar aku yang di atas, ya?"

Barusan adalah usul Duri.

Gempa langsung menolak, "Jangan." Dia sama saja khawatirnya kalau Duri yang ceroboh menggelinding jatuh dari puncak ranjang.

Halilintar paham maksud Gempa. "Biar Gempa yang tukar dengan Solar saja. Duri tetap di sini, Gempa yang di atasmu, Solar di kamarku."

"Solar tidak suka tidur di lantai bawah," sergah Taufan. "Kamar bawah tidak langsung terkena sinar matahari."

"Oke, begini saja. Solar pindah ke ranjang Duri, aku pindah ke ranjang Solar. Duri tidur di tempatku dulu untuk sementara," usul Gempa.

Duri mengerjapkan mata kebingungan, pikirannya tidak bisa memproses lebih dari satu klausa. "Jadi, Solar tidur di mana?"

"Solar di sini," Blaze menepuk ranjang yang mereka duduki.

"Duri di mana?" tanyanya lagi.

Halilintar menjawab, "Kamu di kamar bawah, di ranjangnya Gempa."

"Lalu Kak Gempa tidur di mana?"

"Aku di atas sini," sahut Gempa sembari tersenyum, menunjuk ranjang Solar.

"Boleh, Kak?" Mata Duri berbinar. "Aku sekamar dengan Kak Halilintar dan Kak Taufan?"

"Tentu saja boleh!" sahut Taufan dengan gembira.

"Jadi Solar tidak akan benci sama Duri, 'kan?"

Semuanya menatap Duri.

"Solar sayang Duri, seperti kita semua," sahut Gempa. "Dia hanya … sedang bingung."

"Kenapa Solar bingung?" tanya Duri tak mengerti.

"Yah, sesuatu yang pelik terjadi di kepalanya. Heran saja itu malah membuatnya jadi makin pintar," jawab Blaze, disambut toyoran dari Halilintar.

"Apa! Kalau aku bisa jadi pintar dengan membenturkan kepalaku, dengan senang hati kulakukan!" Blaze mengerucutkan bibir.

Halilintar menggeram, "Asal ngomong! Otak manusia bukan mainan!"

"Kak Blaze sembarangan," komentar Ice malas. "Kalau malah jadi sebaliknya bagaimana, Kak Blaze?"

Duri meringis. "Seperti Duri misalnya?"

Semua orang di ruangan itu membelalak horor.

"Mana ada, Duri! Jangan bicara seperti itu!" seru Gempa.

"Tapi Duri memang beda dari yang lain, 'kan?" Mata besarnya menatap sang kakak nomor tiga. "Tok Aba bilang Duri pernah luka di kepala waktu masih bayi."


Amato tak habis pikir kenapa hal ini bisa terjadi. Seingatnya ia dan sang istri telah sangat berhati-hati dan menaikkan semua pagar ranjang boks. Bagaimana bisa anak mereka yang belum ada umur satu tahun terjatuh, belakang kepalanya menabrak pinggiran rak alumunium yang tajam itu? Keduanya histeris ketika mendapati Duri tergolek di lantai, ada darah di sana. Tangisannya lemah. Bayi yang lahir di urutan keenam itu kemudian dioperasi, tapi dokter sudah menyampaikan kemungkinan terburuk. Kepala bayi masih lunak, belum berfungsi optimal sebagai pelindung organ di dalamnya. Hasil pemeriksaan MRI dan gelombang otak Duri selanjutnya memang menunjukkan adanya kelainan. Dia adalah yang paling akhir bisa bicara dan berjalan dibandingkan yang lain. Dia paling banyak menangis. Semua orang was-was Duri akan tinggal kelas kalau disekolahkan di sekolah umum, tapi adiknya Solar yang menunjukkan kecerdasan di atas rata-rata sering membantunya belajar.

Bagaimanapun juga, Duri tetap anak mereka. Satu dari anugerah tujuh anak yang luar biasa. Tak ada keluarga yang sempurna, tapi justru melalui kelemahanlah kuasa Tuhan yang sempurna mewujud nyata.


Solar tahu kalau dia naik ke kamar sekarang, ada yang bakal meledeknya habis-habisan. Matanya bengkak sekali habis menangis di pelukan Tok Aba, kacamatanya tak akan bisa menyembunyikan fakta itu.

Tak apa lah. Nanti setelah mandi dan salat, akan ditemuinya Duri dan yang lain.

Tok Aba berkata lagi dengan nada tenang, "Yang patut disyukuri, matamu berangsur membaik dan kamu tidak pernah kejang lagi, Solar."

"Iya Tok. Alhamdulillah," sahut Solar, suaranya masih bergetar. Sesuatu seperti secercah kehangatan matahari terbit di dalam dadanya.

Selama ini dikiranya Duri adalah kecacatan dalam keluarga mereka. Rupanya Solar sendiri juga tak sempurna.


"Duri tidak masalah Duri seperti ini. Tapi Duri nggak mau Solar atau yang lain sedih."

Mata Blaze mendadak berkaca-kaca. Ingus Taufan sudah meleleh ke mana-mana. Halilintar menunduk. Ice memeluk Duri erat-erat.

Gempa ingat dulu pernah bertanya pada Duri waktu mereka membicarakan masa depan.

"Duri, apa cita-citamu?"

Duri hanya menyeringai polos. Solar yang tak sabar menunggu jawaban Duri meninggalkan meja makan duluan, mau belajar untuk olimpiade. Saudara-saudaranya yang lain juga sudah mulai beranjak untuk mengerjakan tugas masing-masing ketika lima menit kemudian Duri menjawab,

"Umm … Duri mau jadi orang yang membahagiakan orang lain!"


Hari menjelang siang dan Halilintar serta Gempa memutuskan menjadwal ulang proyek bersih-bersih mereka ke keesokan harinya. Sudah terlalu siang, mereka semua masih harus mengerjakan pe-er dan menyiapkan makan. Solar rupanya tertidur di sofa, Tok Aba bilang dia harus mandi dulu kalau mau masuk kamar, tapi karena masih pusing akhirnya dia istirahat di situ.

Menjelang salat Zuhur, Duri yang hendak merapikan pot di teras belakang rumah terkejut mendapati seseorang duduk di dekat pintu seolah menunggunya.

"So-solar?" Mata lebarnya membelalak. "Kapan kamu bangun?"

"Baru saja. Ngomong-ngomong, Kak Duri, aku minta maaf," ujar Solar buru-buru sambil mengulurkan tangan.

Duri mengerjap. Solar kembali memanggilnya 'Kak'? Kenapa Solar minta maaf? Buat apa?

"Buat apa?" Pertanyaan itu pun terlontar dengan lugunya. Solar tak tahan lagi. Dia maju ke depan dan memeluk Duri erat-erat.

"Maaf untuk segalanya," bisik Solar dengan seluruh napasnya seolah pengakuan itu begitu berat.

"E-eh?" Duri masih tak paham. Dia lalu teringat paket benih tadi pagi lalu menepuk-nepuk punggung adiknya itu. "Yang penting Solar sehat dan bahagia. Kita serumah sehat dan bahagia. Itu saja cukup buat Duri."

Solar sepertinya sudah menemukan apa ability Duri yang berbeda itu. Hatinya terasa hangat di pelukan sang kakak, barangkali kiasan bahwa hati yang beku bisa mencair itu ada benarnya. Dieratkannya pelukan itu sambil menahan-nahan air mata yang nyaris tumpah lagi.

Duri bisa merasakan bahu kaosnya basah. Tapi ada yang lebih penting dari itu, ditunggunya sampai Solar selesai menangis.

"Umm, Solar?"

"Ya Kak?"

"Sampai kapan kita mau pelukan? Nanti yang lain iri, lho."

Solar tertawa dan melepas pelukannya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak tertawa sebebas itu.

"Oh iya? Pasti pada pengin peluk diriku yang paling ganteng dan kinclong ini?" ujar Solar narsis. Duri balas tertawa karena menurutnya kalimat Solar sungguh lucu.

"Bikin mual," sebuah suara tajam menusuk telinga.

"Kak Halilintar!" sorak Duri.

"Astaga, sudah bangun rupanya si manekin hidup serbaputih ini, ckckck," imbuh Taufan sambil menyeringai.

"Mana ada paling ganteng? Lha wajah kita 'kan sama semua," sahut Gempa kalem.

"Kak Hali lah yang paling ganteng, sudah belajar pakai pom-mmph!" sindiran Blaze dibungkam oleh tangan si sulung dengan ganasnya.

"Cukup sudah nyebar aib orang! Hampir bulan puasa juga!"

"Tak patut, tak patut," komentar Ice. "Tapi aku senang Solar baik saja."

"Ei, Kak Halilintar memang sudah cuci tangan lagi? Kuman di tanganmu masuk ke mulut Kak Blaze, lah," tuding Solar.

Blaze meronta panik sementara Halilintar buru-buru melepaskannya. "Alamak! Koloni kuman sudah masuk ke badanku! Uhuk uhuk, uhuk uhuk! Kak Gempa, aku besok absen dari sekolah online ya, aku demam nih!" Blaze pura-pura dramatis dengan meletakkan tangan di dahi.

"Kalau begitu aku juga mau absen, aku mau tidur seharian besok. Kak Halilintar, sini tanganmu," pinta Ice dengan santainya.

"KALIAN PIKIR TANGANKU SARANG KUMAN?!" Tekanan darah Halilintar mendadak inflasi.

Azan yang berkumandang menyelamatkan Blaze dan Ice dari murka si kakak sulung.


Malam itu, Gempa jadi sekamar dengan Solar, sedangkan Duri dengan Halilintar dan Taufan. Kamar sudah gelap, Gempa masih mempelajari daftar kegiatannya untuk besok di ponsel ketika Solar memanggilnya,

"Kak Gempa."

"Hmm?"

"Kakak belum tidur?"

"Lha, aku masih bisa menyahut, belum lah," kekeh Gempa. Lampu telah dimatikan dan Solar sudah tiduran di ranjang sebelum Gempa naik. Dia mengira Solar sudah terlelap dari tadi. "Maaf ya. Apa sinar ponselku sampai ke bawah?"

"Nggak, kok. Bukan itu, Kak."

"Jadi?"

Solar di ranjang Duri bergerak gelisah. "Tolong jawab dengan jujur ya, Kak. Apa aku menyusahkan kalian?" tanyanya terus terang.

Gempa agak terkejut dengan pertanyaan langsung begitu, tapi dia paham, memang seperti inilah tabiat Solar. Itu satu hal yang tak berubah darinya selain kecerdasannya. Dan Gempa tahu Solar tak suka dusta bersalut gula. Jadi dia menjawab terus terang juga,

"Kamu memang jadi rewel soal fashion sejak kecelakaan itu, Solar. Itu yang menyusahkan, karena bikin bengkak pengeluaran. Tapi tak apa. Kau tetap adikku yang paling pandai meski paling mungil."

"Eh? Tapi badanku lebih tinggi dari Kak Duri!"

Gempa tertawa. Dia ingat waktu pindahan ke ranjang Solar tadi dia harus mengemasi banyak barang di atas situ. Solar menyimpan sekotak krim malam, kapas, pembersih wajah, dan lain-lain di bawah bantalnya. Fakta soal asal cermin kecil yang pecah kini tak perlu dipertanyakan lagi. Narsisme Solar yang suka bersolek itu entah dari mana munculnya, barangkali memang pengaruh hormon seperti pendapat Blaze yang, Gempa pun tahu waktu beres-beres tadi, menyimpan satu pak deodoran beraneka aroma di atas meja.


"Kak Duri~ coba tebak!"

Halilintar, Taufan, dan Duri terkaget-kaget mendapati Solar di pintu kamar mereka. Hari itu adalah hari ketiga sejak Solar jatuh dan Gempa serta Duri bertukar tempat tidur. Perban di dahi Solar sudah dibuka dan mereka semua bisa melihat bahwa alis sebelah kirinya pitak.

"Aku sudah memutuskan," ujar Solar bersemangat, "aku akan jadi dokter bedah saraf sekaligus superstar di masa depan nanti!"

Tiga orang di dalam kamar melongo.

"Lihat ini." Solar menunjukkan secarik kertas bergambar ke arah Duri yang duduk di ranjang. "Aku buat desain jas praktik sekaligus jaket untuk manggung, biar multifungsi."

"Lha, mau jadi dokter, superstar, atau desainer baju, sih?" kikik Taufan dari meja belajarnya.

"Bukannya kamu lihat darah sendiri saja pingsan?" komentar Halilintar tak berperasaan.

"Makanya aku ke sini." Solar tersenyum pongah dengan ide briliannya. "Besok Idul Adha kalau Kak Halilintar ikut penyembelihan hewan kurban, ajak aku ya?"

Si sulung hanya ber-oh dan mengangguk. Latihan biar tahan lihat darah?

"Um," gumam Duri. "Memangnya mata Solar tidak minus ya? 'Kan Solar pakai kacamata. Apa dokter bedah boleh punya mata minus? Nanti salah potong."

Semuanya merinding mendengar keluguan yang mengerikan jika dibayangkan itu.

"Ahaha, Kak Duri, kacamataku ini 'kan netral. Nggak ada minusnya! Mataku sehat, kok. Lagipula untuk bedah saraf nanti pakai mikroskop, supaya yang dibedah jelas dan nggak salah."

"Terbaik lah Solar, jadi dokter itu cita-cita yang mulia," pungkas Taufan sambil mengacungkan jempol.

Solar berbinar-binar. "Oke, aku pergi dulu, para fansku." Dia membuat gerakan kiss-bye tanpa malu-malu dan melesat keluar kamar.

"Idiih!" jerit Halilintar. "Makin norak saja kau Solaaaar!"

Taufan dan Duri tertawa-tawa.


=0=0=0=

Author's Note:

Halo, ini fanfiksi pertama saya di fandom BoBoiBoy! Juga fanfiksi pertama saya di tahun ini! (Yeay!) Menengok document manager, rupanya sudah hampir setahun Roux tidak nulis fanfiksi. Salahkan si pandemi yang ulang tahun, tapi jangan diselamatin yak.

Ide dasar cerita ini muncul dari pengalaman pribadi, dan karakterisasi Duri serta Solar sangat cocok di sini. Roux sendiri bukan Muslim tapi sangat menikmati film animasi BoBoiBoy. Relatable dengan pengalaman pribadi perihal multikulturnya Indonesia dan bagaimanapun, nilai-nilai moralnya terbaiiik~ termasuk di potongan cerita tambahan setelah ini.

Akhir kata, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Terima kasih sudah membaca!

=0=0=0=


EXTENDED ENDING

Taufan tahu dari Gempa perihal asal muasal sebuah cermin ditemukan di TKP jatuhnya Solar. Dia jadi ketiban ide jahil untuk mengerjai si kakak sulung yang kelewat serius tapi sebetulnya baik hati. Pernah dilihatnya Halilintar gemetaran mengusir seekor laba-laba kecil di kamar mandi. Sepertinya kakaknya takut laba-laba selain fobia balon meletup?

Malam itu Taufan hendak melancarkan aksinya. Sang kakak masih menekuni buku pelajarannya, Taufan mengawasi dari ranjang sebelah atas bagaikan elang memburu mangsa. Disiapkannya tarantula mainan yang tersembunyi di bawah bantal. Dia sudah siap melemparkannya ke meja belajar Halilintar ketika sang kakak bicara,

"Mengganggu orang belajar, itu melanggar konvensi internasional hak asasi manusia pasal sebelas ayat tiga puluh dan pantas dijatuhi hukuman mati." Halilintar balik badan dan menyeringai, di tangannya ada sebuah palu milik hakim, wajahnya seram seperti monster ...

"Alamaaaaaaaak!" Taufan menjerit dan terbangun. "Sampai hati kau Halilintar, menghukum mati adik sendiri!"

"Apakah?" Halilintar yang masih duduk di depan meja belajar mendongak keheranan. "Mimpi buruk?"

Taufan melongo dan seketika merasa lega. "Alhamdulillah, cuma mimpi."

Halilintar mendengus dan kembali fokus pada pekerjaannya. Saat itu indera penciuman Taufan menangkap aroma yang asing. "Eh, ini bau apa?" tanyanya.

"Itu, si Duri. Katanya kamar bawah sini banyak nyamuk. Dia pasang rangkaian bunga lavender biar usir nyamuk. Katanya bisa juga buat aromaterapi biar mimpi indah." Halilintar menyeringai kecil. "Tapi mimpi indah itu untuk manusia berhati baik. Jadi, apa yang kamu pikirkan sebelum tidur tadi, Taufan?"

Taufan hanya nyengir salah tingkah, sementara Duri tersenyum dalam tidurnya yang pulas.