Siapalah ia selain bukan siapa-siapa? Hanya namanya saja yang Akutagawa Ryuunosuke, ketika ia lebih seperti raga yang kebetulan dihuni jiwa (tersesat).

Entahlah. Semenjak terbangun dari mimpi yang gelap, dan warna itu menenangkannya ketimbang memaksanya berlari, kalimat tersebut langsung terpampang di depan kesadaran Akutagawa. Seolah-olah menunggui wajahnya, sehingga Akutagawa tidak dapat kabur dari mana pun atau ke mana pun. Akan tetapi, keringat dingin bahkan tak bercucuran mencakar-cakar Akutagawa. Kekagetannya hanyalah fatamorgana di ujung semua ini–terlihat, tetapi sekadar seolah-olah ada.

"Aneh banget. Padahal kemarin tidak terjadi sesuatu yang menyedihkan atau apa pun."

Tubuhnya mendadak berat. Semua yang sudah sesaat, semakin menjadi sementara tatkala Akutagawa menatap langit-langit kamarnya. Mengingat-ingat lagi ia yang hanya begadang tanpa arah, tetapi memiliki obrolan menyenangkan dengan sahabat sesama penulis. Terselip pula seulas curhat yang katanya, rasa-rasanya bisa Akutagawa mengerti. Lalu Akutagawa pun ada mengerjakan tugas yang tergolong mudah, dikumpulkan tepat waktu jua.

Benar-benar tiada yang aneh, seharusnya. Jadi kenapa Akutagawa bangun dengan pemikiran, ia ini bukan siapa-siapa? Tetapi kalau boleh jujur, Akutagawa sendiri merasa itu be–

"Bangun, Ryuu! Nanti kau terlambat ke sekolah. Sarapannya sudah jadi, lho. Makanlah sebelum mendingin."

Suara ibu yang kemungkinan besar dari dapur memecahkan buih-buih lamunan. Melalui ekor matanya dengan posisi masih terbaring, jam menunjukkan pukul tujuh pagi dan sudah berpindah ke satu menit. Akutagawa menghela napas ketika bangun. Roda giginya yang hanya digerakkan tanggung jawab rasa-rasanya semakin malas, untuk pergi ke sekolah ataupun sarapan. Bahkan andaikata bisa,

"Ryuu? Makanya sudah Ibu bilang, kau jangan begadang melulu selama sekolah."

Aku segera ke sana, tak pernah keluar dari mulut Akutagawa. Takut mengecewakan ibunya bahwa ternyata, Ryuu telah menjadi anak aneh. Ia adalah anak yang aneh yang bukannya merekahkan semua yang sudah dicurahkan kepadanya–uang, perhatian mengenai kebutuhan sekolah, makanan enak–menjadi kecemerlangan yang membanggakan, tetapi malah menyedihkan begini seolah-olah orang tuanya itu tiada atau mereka adalah beban yang mustahil mengerti Akutagawa.

"Nanti juga sembuh, 'kan, seperti biasanya?"

Dengan keragu-raguan yang tiada menggenggam keyakinan apa pun, Akutagawa memaksakan diri untuk beranjak. Langsung mengenakan seragamnya tanpa mandi pagi lebih dahulu.


Ningen ni naru no wa hajimete desu

Disclaimer: DMM.

Warning: OOC, typo, akutagawa-centric, dll.

Author tidak mengambil keuntungan apa pun dari fanfic ini. Semata-mata dibuat demi kesenangan pribadi, dan untuk diberikan kepada Ivy.


Hope you like it!


Selai stroberi dioleskan pada roti tawar. Akutagawa melahapnya dengan tidak menikmati, tetapi tetap mengatakan enak tatkala ibu bertanya, melalui senyuman yang terkesan menggelisahkan.

Lagi-lagi hanya entahlah yang terlintas. Sebenar-benarnya pula Akutagawa bahkan kurang bernafsu. Namun, bukan kenyang ketika perutnya belum mengunyah apa-apa. Namun juga Akutagawa tak menganggap jawaban, "Aku tidak lapar" sebagai pilihan, selain pernyataan dari diri sendiri bahwa ia ini memang mengecewakan. Tinggal makan tanpa perlu memasak saja, kata-katanya bermacam-macam sekali.

"Makanmu lama sekali. Ini hanya semudah memasukkan makanan ke dalam mulut. Begitu saja tidak becus."

Apa Akutagawa katakan saja ia kenyang, atau sekalian mengaku kurang enak badan? Lagi pula rotinya sudah habis separuh. Segelas susu yang tersisa pun tinggal Akutagawa teguk cepat-cepat, bukan? Kemudian ia bilang pada ibunya, tidak akan mengecewakan beliau.

"Maaf. Aku sudah kenyang."

"Kenyang katamu? Orang di luar sana ingin makan lebih banyak daripada sepotong roti, tetapi kau malah–"

Susu yang disediakan buru-buru Akutagawa tenggak. Tenggorokannya sampai tersedak dan mengeluarkan batuk-batuk yang menyakitkan. Likuid putihnya bahkan mengalir dari hidung seakan-akan meledak. Tangan ibu yang terulur ke arah pipi Akutagawa, ditepis begitu saja. Mendapati wajah terkejut yang seperti ingin berseru, "Apa-apaan?!", membuat Akutagawa akhirnya keringat dingin. Ia tentu kaget kenapa bisa begini, walaupun

"I-ibu ... maaf, aku benar-benar tidak sengaja, kok. Maksudku Ibu tak perlu menamparku. Jangan buang-buang tenagamu yang berharga untuk anak sepertiku. Tapi kalau boleh berjanji ... aku akan berusaha takkan mengecewakanmu."

Pintu rumah yang dibuka itu seumpama abrakadabra, di mana tahu-tahu menutup dan Akutagawa pergi atau lebih tepatnya, ia semakin ditelan oleh yang tidak bisa ibunya lihat. Beliau sekadar berpikiran bahwa yang pasti, Akutagawa butuh istirahat. Ia pun perlu menceritakan, pucat pada parasnya melihat apa? Menyadari bahwa yang ibu genggam adalah satu-satunya kekhawatiran.

"Ryuu ..."

Dasar anak tidak tahu diuntung.

Mendengar suara ibunya berujar demikian, Akutagawa berhenti berlari bak kesetanan. Peluh demi peluh terjatuh, sewaktu kedua tangannya bertumpu pada lutut yang gemetar, sedangkan punggungnya bersandar di tiang listrik. Lama-kelamaan Akutagawa hanya merasa tiada apa-apa. Tidaklah jelas, apakah ia ini mengantuk setelah sarapan? Ataukah Akutagawa memang merasa terisi, walaupun bukan oleh roti serta susu.

Mungkin sekarang ini, Akutagawa merasakan yang namanya kehampaan. Kehampaan itu mengisi napas, pengelihatan, pendengaran, peraba, indra perasa-nya, hanya belum sempurna yang membuatnya menemukan kesedihan di mana-mana.

Mobil-mobil yang sebatas mengikuti rutinitas pun, dari sanalah Akutagawa bisa menyaksikan dirinya sendiri ditabrak. Terkapar tanpa daya. Mati. Di mana adegan-adegan tersebut terus berputar, tetapi amat sia-sia sebab Akutagawa masih di tepi jalan.

Menjalani kehidupan mendadak membuatnya sedih, sebab dari adegan-adegan tersebut Akutagawa jadi tahu, masih ada ia yang akan terbangun dan entahlah biasa saja, bermuram-muram lagi, atau mungkin bahagia–kenapa pula Akutagawa bisa gembira?

Ketakutan pun memenuhi dirinya. Jadilah setibanya di sekolah Akutagawa bergegas memasuki kelas. Mencari-cari Kikuchi Kan dan Masao Kume yang anehnya, tak di mana-mana padahal sebentar lagi, bel masuk berbunyi.

"Kan ada urusan keluarga, sedangkan Kume demam. Memangnya mereka tidak memberitahumu?" tanya Izumi Kyouka yang berstatus sekretaris. Gawai di tasnya Akutagawa ambil, dan ia menemukan pesan sesuai maksud Kyouka.

"Maaf."

"Perasaanku saja atau wajahmu–?"

Bel masuk berbunyi. Akutagawa langsung duduk di tempatnya yang paling belakang, tanpa mengindahkan dugaan Kyouka. Pelajaran bahasa Jepang yang maju pertama di Kamis ini pun, tidaklah menarik hati Akutagawa. Buku yang terbuka jadi Akutagawa coret-coret dibandingkan ia mencatat. Dari sanalah ide tercetus, bahwa menuliskan sebuah cerita singkat mungkin sedikit memperbaiki dunia muramnya.

Ada seorang anak yang suka menulis. Jika ditanya, apa alasannya melakukan ini? Sesungguhnya ia selalu bingung untuk menjawab, ia belajar mengarang karena kehidupannya membosankan. Di atas kertas setidaknya ia dapat membuat dirinya bersenang-senang dengan menjadi mafia, agen rahasia, presiden, atau penulis itu sendiri, karena ia tak diizinkan orang tuanya.

Di dalam karangan-karangannya juga, setidaknya anak tersebut mempunyai kemampuan yang tidak ia miliki di dunia nyata. Menggunakan kata-kata sim salabim abrakadabra, ia pandai menghitung dan orang tuanya mencintainyabukan anak tetangga yang kerap diceritakan, selalu berpijar seterang matahari; lebih hebat atau perkasa.

Atau jika tidak, ia pandai berbicara di depan umum, berbisnis, kaya raya, apa pun yang sekiranya berguna, karena masih belia pun ia terlalu sadar, kemampuan menulisnya tak dapat berarti apa-apa.

Namun, karena semua itu semata-mata khayalan, pada akhirnya ia hanya menulis, "Aku ini bukan siapa-siapa".

Kehidupannya adalah sulit, ketika ia harus berubah dengan tubuh dan jiwa ini yang amat bebalmembenci masa kini yang tiba-tiba selesai yang padahal kita tak tahu melalui apa; hanya hal-hal buruk yang bisa ia kenang dari masa lalu; sementara masa depan mengerikan. Terlampau dicintai kesedihan-kesedihan yang mana ia baru sedikit bahagia pun, tiba-tiba duka yang sangat besar menghantam kepalanya.

Pensil di genggamannya Akutagawa gelindingkan. Cerita yang ia tulis tidak ia baca lagi, dan saat itulah suara Natsume-sensei–guru bahasa Jepang–akhirnya memasuki pendengaran. Musim semi membuka pintu segala prolog. Terinspirasi dari sana, Natsume-sensei ingin para murid menggubah kisah atau haiku berdasar bunga.

"Ke kantin, yuk."

"Boleh, boleh. Mau jajan apa? Roti yakisoba dengar-dengar lagi diskon, sih."

Keinginan anak-anak kelas sudah mulai menghambur. Tidak pernah jauh-jauh dari kantin, taman sekolah, atau mungkin atap untuk menikmati langit biru. Akutagawa sendiri masih bergeming di kursi. Ia tak tahu laparnya pergi ke mana, tetapi Akutagawa agak enggan menunggunya pulang. Apalagi perasaan melankolis ini yang asal-mulanya sesamar janji, semakin menjadi-jadi sehingga Akutagawa hanya menolak menghambarkan makanannya sendiri.

Absennya eksistensi Kume serta Kan tampaknya mengalikan kegundahan Akutagawa. Kini Akutagawa sangat sadar, pada dasarnya Akutagawa yang sendirian ternyata tiada pandai mengakrabkan diri; tak dapat menjadi, dengan siapa pun dirinya itu ada; selalu pantas dihargai oleh kehangatan.

Kume maupun Kan ternyata amat baik terhadap Akutagawa, walaupun ia sebodoh ini dalam bergaul, ataupun memperlihatkan dirinya sebagai menarik.

Sebenar-benarnya pula, Akutagawa pada akhirnya tidak hanya benar-benar duduk. Namun, ia sengaja mengaku-ngaku demikian entah kepada siapa, karena sewaktu mencoba berbaur Akutagawa menuai gagal semata.

Ia memanggil siapa pun secara acak, kemudian berkata ingin ikut ke kantin, dan awal-awal Akutagawa tentunya disambut baik. Ketiganya sama-sama membeli sandwich telur, karena roti yakisoba yang diskon ludes. Semua masih berlangsung normal, hingga lama-lama Akutagawa dipaksa sadar ia ini lebih banyak mendengarkan, terlalu mendengarkan, diam, tak pernah mengerti apa yang mereka obrolan sampai cekikikan.

Mengobrol ternyata begitu rumit.

Mengobrol bukanlah sekadar mengeluarkan kata-kata, memang, ataupun memahami topiknya dan melontarkan candaan yang tepat atau balasan yang unik. Akutagawa hanya lupa, bahwa yang terpenting dari hubungan antarmanusia adalah menjadi diri sendiri, ataukah orang lain ataukah kebanyakan orang?

Menjadi dirinya sendiri, apakah Akutagawa menarik dan memiliki sesuatu yang dapat membuatnya diakui sebagai Akutagawa Ryuunosuke? Soalnya kalau ia tak mempunyai sesuatu yang cukup, maka pasti sekadar penolakan yang diterimanya.

Sementara menjadi orang lain, itu mudah karena Akutagawa tinggal mencontoh. Namun, apakah ia sanggup mengulangi "topengnya" dalam waktu yang tak dapat ditentukan kapan selesainya? Tiada jaminan Akutagawa bisa melepaskannya usai mengenakannya. Walaupun Akutagawa pikir, bersifat munafik tidak salah-salah amat, tetapi Akutagawa bisa lelah.

Lalu perihal menjadi kebanyakan orang, Akutagawa hanya perlu menjadi orang baik yang keterlaluan baiknya, ringan dalam mengulurkan tangan, diikuti sungkan menolak. Kendatipun yang seperti itu cepat dilupakan, ditinggalkan, hidupnya adalah mati, matinya satu hari saja sementara sisanya pesta–manusia memang harus selalu, paling mencintai sesaat dibandingkan apa pun, ya?

Karena Akutagawa tidak dapat menentukan, jadilah pikirannya semakin sakit dengan mempertegas, "Siapalah ia selain bukan siapa-siapa? Hanya namanya saja yang Akutagawa Ryuunosuke, ketika ia lebih seperti raga yang kebetulan dihuni jiwa (tersesat)."

Kasihan sekali jiwa ini, karena mendapatkan tubuh Akutagawa Ryuunosuke yang perjuangannya malah membawa ia pada dihantui ide, bahwa apa pun yang ia lakukan ujungnya kesia-siaan–mendadak Akutagawa terus mengulangi kemuraman tersebut, di sepanjang perjalanan pulang yang sendirian.

"Rasa-rasanya … kok aku enggak mau pulang, ya?"

Pulang berarti makan malam, mungkin mengerjakan PR dari Natsume-sensei, kemudian tidur. Kenapa manusia mesti mengistirahatkan tubuh dengan tidur? Akutagawa tengah takut, sebab penyebab harinya diisi suara-suara resah, adalah karena Akutagawa mendadak mempermasalahkan segalanya sebelum ia memejamkan mata. Dipusingkan sampai terbawa ke masa sekarang.

Tahu-tahu jua, Akutagawa jadi berhenti di sebuah toko bunga tanpa alasan yang jelas. Ia tak pernah ke sini, sehingga matanya merasai keasingan menusuk-nusuknya yang amat kentara

Pemiliknya yang merupakan seorang ibu-ibu paruh baya menyapa Akutagawa. Keriput tangannya tampak membawa sebuah pot tanaman yang bagi Akutagawa jua, daun-daunnya belum pernah ia lihat sebelum-sebelumnya; asing.

"Tanaman ini bagus, bukan?" Lembut suara itu adalah yang paling jernih untuk hari ini. Anggukan Akutagawa beri sebagai jawaban. Bibirnya mendadak gatal untuk tersenyum.

"Bagus, kok. Namanya apa kalau boleh tahu?"

"Ivy. Sejenis tanaman rambat dan yang kumiliki ini, hanya bisa hidup di pot. Omong-omong kamu tahu soal hanakotoba juga? Dalam hanakotoba, ivy artinya persahabatan, kasih sayang, kesetiaan, atau pernikahan. Benar-benar bunga yang sangat positif, bukan?"

"Saya baru tahu soal itu."

"Bagaimana kalau tanaman ini saya berikan untukmu? Anggaplah hadiah, karena kamu kelihatan kurang bersemangat."

Dihibur orang asing belum pernah menjadi pengalaman Akutagawa. Ivy benar-benar diberikan sambil ibu-ibu itu sedikit menjelaskan, mengenai perawatannya yang sebenarnya sederhana. Mau tak mau Akutagawa pun pulang. Mengenai ibunya pula, ia adalah dirinya yang menyuruh Akutagawa mandi, tetapi Akutagawa spontan menolak, lalu Akutagawa diajak bercanda yang kalau dia malas-malasan, nanti ia menjadi jamur Ryuunosuke.

"Jadi aku sudah baik-baik saja? Kok tiba-tiba banget, ya, padahal tadi aku masih merasa kosong?"

Baik-baik saja yang Akutagawa kecap ini, sepertinya bukan gara-gara diberikan ivy atau ibunya berkelakar. Jika mendung itu tiba-tiba, begitu pun cerah sehingga Akutagawa memutuskan kurang memikirkan, kenapa ia mendadak lega. Namun, kalau Akutagawa diharuskan memakai alasan, maka ia ingin menjawab karena kebetulan sekali, Akutagawa tahu harus menuliskan cerita apa.

(Omong-omong, Akutagawa enggan mengakui ia lega, sebab yang tadi pagi kemungkinan besar hanya halusinasinya. Mengakui bahwa ia sakit jauh lebih sulit, dibandingkan tinggal bersama pikiran-pikiran busuk ini.).

Jadi, dahulu kala terdapat seorang gadis bernama Ivy. Kira-kira pada suatu hari ia berinkarnasi, dan menjadi bunga ivy itu sendiri karena semasa hidupnya, Ivy benci disamakan dengan manusia. Sebagai tumbuhan, ivy berpikir semuanya mungkin lebih baik, apalagi gerakannya mengikuti insting–tak seperti manusia yang rumit akibat putaran emosi– makna dirinya pun semuanya positif, yakni persahabatan, kasih sayang, kesetiaan, atau pernikahan

Namun, ivy yang tinggal di pot tersebut, ternyata malah mati gara-gara yang merawatnya malas menyirami ivy. Bahkan belum sampai setahun ivy bertahan.

Lagi-lagi ivy merasai kebusukan manusia. Padahal seharusnya ia tahu selama manusia nyata, tidak akan ada yang berdampingan ataupun harmonis. Entah tumbuhan atau hewan, menjadi keduanya tetap sangat buruk. Sepanjang manusia hidup maka tiada baik yang bisa diperoleh.

Baru memikirkannya pun Akutagawa lega, karena Akutagawa membenci manusia termasuk dirinya sendiri. Usai mandi dan makan malam, ia tak sabar ingin mencurahkan segala kegalauannya yang terlalu benar untuk dirinya sendiri, tetapi enggan Akutagawa akui saja.

Tamat.

A/N: Buat ivy, semoga kamu tetap suka meski akhirnya, ternyata aku bikin sesuatu yang beda 180 derajat dari semua ide yang kamu kasih. Aku bikin ini dalam rangka membalas kebaikan ivy yang memberikan 9k words buat cerita oc-ku, padahal aku cuma minta 3k. Sayangnya fic ini hanya jadi 2k. Ide-ide yang udah ivy kasih nanti kubikin deh, sampai totalnya 6k aja.

Aku pribadi terinspirasi dari chat kami. Rasanya banyak juga muramnya, makanya fic-nya jadi begini (enggak sih. Emang aku aja suka, apalagi bahasannya soal ginian). Tadinya mau buat event FFA juga, tapi enggak jadi karena kurang banget flower shop!AU-nya. Karena rata2 ide yang ivy kasih itu bener2 aktgw-centric, makanya aku coba bikin akutagawa-centric juga tanpa pair. Awalnya maunya tanaman ivy itu dikasih sama dazai sih, tapi enggak jadi hehe.

Ini enggak penting sih, tapi judulnya aku ambil dari lagu "hand" karya avogado6 di lirik paling pertama. Bahasa jepangnya gak mungkin salah, tapi kemungkinan besar gak nyambung sama isi ceritanya wkwkw.

Thx buat yang udah baca, fav, follow, review, atau numpang lewat doang. Mari bertemu di fanfic lainnya.