Ilmuwan Sengklek

Berawal dari perbincangan antara Blaze dan Ice yang berujung Solar menarik sebuah teori mengenai kondisi fisik Ice. Akhirnya, Solar pun menguji teorinya itu dengan bantuan Thorn yang sangat antusias.

Disclaimer dan Author Note:

-BUKAN YAOI, BUKAN SHOUNEN-AI.

-Seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta masing-masing kecuali disebutkan berbeda.

-Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.

-Tidak berkaitan dengan fanfic saya yang lain kecuali disebutkan dalam cerita.

-Timeline dari fanfic ini setelah event Boboiboy The Movie 2

Chapter 1. Teori

Pada suatu pagi yang tenang, dimana semuanya terasa indah, cerah dan ceria ...

Dimana burung-burung kecil tengah bernyanyi, bercuitan dengan riangnya ...

Dimana embun pagi masih terlihat membasahi rerumputan yang luas dan menghijau ...

Dimana Blaze dan Ice tengah bersantai berduaan di rumah yang ditinggali bersama dengan kelima pecahan elemental yang lain...

Saat itu Blaze tengah asyik dengan ponsel miliknya. Kepalanya tertunduk dan tatapan kedua matanya terpaku pada sebuah game yang tengah ia mainkan pada ponselnya. Tidak seperti biasanya, pagi itu Blaze tidak mengenakan rompi armless hitam-merahnya. Ia hanya mengenakan sweater turtleneck merahnya yang jarang terlihat karena tertutup rompi armless-nya.

Berbeda lagi dengan Ice. Pecahan elemental yang satu itu juga tengah menunduk dan menatap layar ponselnya, namun ia bukan sedang memainkan game melainkan membuka-buka halaman media sosial miliknya. Pada saat sedang bersantai seperti itu, Ice juga lebih suka melepas jaket birunya yang ber-hoodie fluff dan lebih senang memakai sweater armless yang mirip dengan milik Blaze namun berbeda warna. Dengan berpakaian armless seperti itu barulah terlihat lengan dan tangan kanan Ice yang seluruhnya terbuat dari es yang sedikit transparan.

Blaze dan Ice sibuk yang sibuk dengan ponselnya masing-masing itu terlihat duduk bersebelahan di atas lantai kamar mereka dengan bersandar pada dua buah bantal beanbag besar. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara kedua pecahan elemen yang sedang sibuk dengan keasyikannya masing-masing. Hanya gumaman Ice yang terkadang terdengar ketika ia membuka-buka halaman media sosialnya, atau dengkusan Blaze setiap kali karakter pilihannya disapu oleh lawannya dalam game yang tengah ia mainkan.

Sebetulnya Blaze dan Ice sedang melewatkan waktu saja. Mereka menunggu Gempa selesai belanja dan memasak sarapan yang merangkap makan siang untuk semua pecahan elemental yang lainnya.

Tak lama berselang dan Blaze meletakkan ponsel miliknya di atas lantai. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya dari kiri ke kanan dan sebaliknya dengan cepat. Terdengarlah bunyi tulang leher Blaze yang menggeretak. "Aw ... pegal juga," keluhnya seraya memijat-mijat lehernya sendiri yang terasa kaku akibat menunduk terlalu lama.

"Makanya jangan keseringan nunduk begitu," celetuk Ice yang memang posisi lehernya tidak terlalu menunduk. "Coba sini kupijit lehermu," ucapnya lagi seraya mengulurkan tangan kanannya ke belakang leher Blaze.

Alih-alih merasa nyaman, Blaze malah bergidik dan melompat kaget. "Hiaaa! Dingin!" cicitnya ketika tangan Ice yang terbuat dari es itu mendarat pada tengkuknya. Bahkan seluruh rambut halus yang berada pada tengkuk dan lengan Blaze serempak berdiri.

Ice tersenyum saja melihat reaksi Blaze yang bergidik dan merinding karena sentuhan tangan es nya. "Maaf, mestinya aku memakai sarung tangan ya?" ucap Ice dengan wajah tanpa dosa.

"Hmmpf ..." Blaze merengut sebal, namun kembali duduk di sebelah penguasa elemental es itu. "Aku ngga tahu apakah tangan esmu itu kutukan atau berkah."

Ice tertawa mendengar komentar Blaze. "Berkah lah, kemarin Taufan bisa membuat es krim di atas tanganku tanpa perlu kulkas dan menunggu lama," ucapnya disela tawa yang lepas. "Hari sebelumnya tangan esku juga berguna untuk mengompres mata Fang yang ditonjok Ying."

"Atau kaki Halilintar yang keseleo dibanting Gempa, ya?" Blaze menambahkan seraya mengamati tangan kanan Ice yang hampir transparan itu. Terdorong rasa penasaran, Blaze mencoba mencolek-colek tangan si penguasa elemental es itu. "Keras, ngga seperti kulit manusia biasa."

"Iya lah." Ice memutar bola matanya ke atas setelah mendengar komentar Blaze yang masih mencolek-colek tangan kanannya yang terbuat dari es itu. "Mana ada es yang empuk, kecuali salju atau es krim."

Blaze pun ikutan tertawa mendengar penjelasan Ice yang mudah dimengerti.

Sejenak Ice mengalihkan perhatiannya pada ponselnya lagi, mencari gosip dan kabar kekinian dari media sosialnya. Bunyi ketukan jari-jemari tangan kanan Ice yang terbuat dari es itu terdengar jelas dari permukaan layar ponsel miliknya.

"Hey Ice ... tangan es mu itu bisa tumbuh kembali kalau rusak, 'kan?" tanya Blaze, memecah keheningan diantaranya dengan Ice.

"Iya ... mungkin? Belum pernah terjadi sih," ucap Ice sembari meletakkan ponsel miliknya di atas lantai. Entah mengapa dia merasa harus menatap tangan kanannya setelah mendengar kata-kata Blaze.

"Seandainya tangan esmu itu betulan rusak karena bertarung ... amit-amit jangan sampai terjadi," Blaze meneguk ludahnya. "Apa yang akan terjadi dengan kita?"

Ice mengerenyitkan dahinya dan menatap pada si penguasa elemental api. "Aku ngga ngerti maksudmu, Blaze."

Blaze berdehem. "Begini ... kita semua memakai powerband di tangan kanan, 'kan?" tanya si penguasa elemen api itu dengan raut muka serius.

"Ya, jadi?"

"Artinya kalau tangan esmu itu patah, rusak atau ... putus." Kembali Blaze bergidik ketika ia membayangkan hal yang ia sebutkan terjadi pada Ice. "Kamu sudah ngga memakai powerband-mu lagi, 'kan? Apa yang akan terjadi dengan BoBoiBoy jika ia menggunakan kuasamu tanpa berpecah? Maksudku, apa jadi kalau BoBoiBoy berubah jadi BoBoiBoy Ice saja lalu tangan esnya putus?"

Pertanyaan Blaze membuat Ice berpikir dan membayangkan apa yang akan terjadi. Masuk akal juga pertanyaan si penguasa elemen api itu kali ini. Berdasarkan pengalaman ratusan kali bertarung melawan musuh-musuhnya, bukan tidak mungkin hal yang dikatakan oleh Blaze itu akan terjadi.

Apalagi pada pertarungan terakhir melawan Retak'ka. Dari tujuh kuasa sampai tersisa dua kuasa saja. Dalam pertarungan sengit seperti itu segala hal bisa terjadi dan Ice masih bersyukur ia masih bisa menang atas Retak'ka dengan ber-fusion dengan Blaze dan Gempa.

Ice dan Blaze bergidik ketika mereka membayangkan tangan kanan Ice yang terbuat dari es itu mengalami kerusakan sampai putus. Yang ada di dalam bayangan mereka adalah Ice terpaksa berubah kembali menjadi BoBoiBoy karena powerbandnya sudah tidak lagi melekat pada tubuhnya. Karena terpaksa berubah kembali menjadi BoBoiBoy dengan tangan Ice yang terputus, terbayanglah oleh kedua pecahan elemen itu ...

BoBoiBoy yang meringis-ringis kesakitan tanpa anggota tubuh yang lengkap. Lebih tepatnya dengan tangan kanan yang terputus dan menyemburkan darah tanpa henti.

"HUAAA! HOROR!" jerit Blaze dan Ice nyaris bersamaan di akhir lamunan mereka.

"Jangan mikir yang begitu, Blaze!" ketus Ice seraya mengelus-elus tangan kanannya yang terbuat dari es, seakan tangannya itu benar-benar mudah pecah. Bahkan terlintas di benak Ice untuk memasang stiker "Fragile, Mudah Pecah" pada lengannya itu.

Blaze terlihat memucat dan bibirnya gemetaran. "Ta-tapi, ka-kalau betulan terjadi. HOROR!" desisnya seraya mengelus-elus lengannya sendiri. "Aku ngga mau tanganku ikutan putus karena tangan esmu patah!" desis Blaze lagi sembari memandangi lengan kanannya sendiri dan lengan kanan Ice.

"Sudah! Jangan dibahas!" ketus Ice sembari menyembunyikan tangan kanannya dari pandangan Blaze sebelum penguasa elemen api itu berpikir aneh-aneh.

Ketukan lembut pada pintu kamar menyelamatkan Ice dari pertanyaan lebih lanjut dari Blaze.

Pintu kamar yang tidak mereka kunci itu terbuka. Terlihatlah kepala Taufan menyembul dari balik daun pintu kamar. "Kalian kenapa teriak-teriak horor?" tanya si penguasa elemen angin itu yang terlihat penasaran akan keributan yang baru saja berlalu di kamar Blaze dan Ice.

"Ah! Ngga ada apa-apa koq. Tadi Ice melihat klip video jumpscare horor di ponselnya," jawab Blaze sembari terkekeh dan menggaruki tengkuknya yang sebetulnya tidak gatal. Dia berharap bahwa gugupnya itu tidak mencurigakan dan menarik perhatian yang tidak perlu dari Taufan.

"Kukira ada apa," dengkus Taufan seraya memutar bola matanya ke atas. Si penguasa elemental angin itu membuka pintu kamar Blaze dan Ice sepenuhnya dan kini berdiri di ambang pintu dengan hoverboard andalannya yang ditenteng setinggi pinggang.

"Ada apa, Fan? Tumben kemari?" tanya Ice.

Taufan menunjuk kepada Blaze. "Kita perlu bantuanmu sebentar, Blaze. Ada serangan alien asing," ucap Taufan.

"Akhirnya!" Blaze langsung tersenyum. Ia segera berdiri dan menyambar rompi armless hitamnya yang berhiaskan motif api merah dari sebuah gantungan. Dengan cepat, Blaze langsung mengenakan rompi miliknya itu. "Siapa saja yang turun tangan?"

"Aku, Halilintar dan kamu," ujar Taufan sebelum meletakkan hoverboardnya yang langsung melayang dengan sendirinya di atas lantai. Si penguasa elemental angin itu meloncat ke atas hoverboard-nya dan mengedikkan kepalanya. "Ayo, Blaze, naik."

"Ayee!" pekik Blaze dengan riangnya sebelum ia naik ke atas hoverboard milik Taufan. untuk mencegah dirinya terjatuh dari atas hoverboard milik penguasa elemental angin itu, Blaze mengaitkan kedua tangannya erat-erat pada pinggang Taufan.

"Sampai nanti, Ice!" Taufan menyempatkan diri untuk melambaikan tangan ditambah senyum lebarnya kepada Ice sebelum membedal hoverboardnya itu keluar dari rumah.

Ice menghela napas panjang sepeninggal Blaze dan Taufan dari kamarnya. Kembali ia memandangi tangan kanannya yang terbuat dari es itu dan memikirkan apa yang tadi ia bayangkan bersama Blaze.

"Apa yang terjadi kalau tanganku benar-benar rusak sampai putus ...?" gumam Ice yang kini seorang diri di dalam kamar. Bayangan yang didasari rasa penasaran itu perlahan bertukar menjadi sebuah kekhawatiran yang benar-benar nyata. Ice bahkan bisa merasakan isi perutnya mulai bergejolak ketika ia merealisasikan kekhawatirannya itu didalam benaknya.

Tidak sanggup lagi Ice berdiam diri dengan kekhawatiran yang berkecamuk. Ia langsung berdiri dan melangkah keluar kamarnya. Dengan langkah yang sedikit tergesa-gesa ia berjalan menuju sebuah kamar lagi yang terletak tidak terlalu jauh dari kamarnya sendiri.

Ice menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. Dia mengehela napas panjang sebelum mengetuk pintu itu. "Solar? Thorn?" panggilnya dengan suara yang agak keras supaya terdengar oleh penghuni kamar itu.

Tak lama pintu itu dibuka.

"Halo Ice." Dengan kedua netra hijau tuanya yang membulat dan ceria, Thorn menyambut tamu yang mengunjungi kamarnya yang berbagi dengan Solar. "Tumben kamu kesini? Tumben juga ngga pakai jaketmu?" tanya Thorn seraya membuka pintu kamarnya lebar-lebar untuk Ice.

"Blaze ada tugas dadakan dengan Taufan dan Halilintar," jawab Ice seraya melangkah masuk ke dalam kamar milik Thorn dan Solar. Netra biru terang Ice melihat Solar yang sedang berada di belakang meja kerjanya yang dipenuhi tabung-tabung pyrex kimia. "Halo Lar," tegur Ice

Solar menggeram seraya menengok ke arah si penguasa elemental es. "S-O-L-A-R, Solar," ucap Solar yang keberatan namanya disingkat-singkat secara sembarangan.

"Solar," Ice langsung mengoreksi. "Kamu lagi sibuk?"

Solar meletakkan sebuah buku tebal yang tengah dibacanya di atas meja kerjanya. "Ngga sih, justru aku lagi santai," jawab Solar seraya mendorong bangku kerjanya dan memutar bangkunya itu sampai ia menghadap Ice.

"Santai? Baca buku setebal itu kamu bilang santai?" tanya Ice sembari mengerenyitkan dahinya.

"Buku ini? Solar menunjuk buku yang ditaruhnya di atas meja. "Itu novel karya Tom Clancy. Kamu mau baca juga?"

Ice menggelengkan kepalanya. "Ngga terima kasih."

"Sayang ... padahal bagus lho. Aku banyak belajar mengenai strategi tempur dari novel itu," ucap Solar seraya melepaskan kacamata model visornya. Ia menggosok kedua matanya yang terlihat sedikit memerah sebelum bertanya kepada si penguasa elemental es, "Tumben kamu ke kamarku, Ice. Ada apa?"

Ice terlebih dahulu duduk di atas ranjang milik Thorn yang kebetulan berada dekat dengannya. "Begini ... tadi aku sama Blaze mendadak kepikiran mengenai tanganku ini." Ice membolak-balikkan tangan kanannya yang terbuat dari es. "Apa yang terjadi kalau tangan esku ini rusak sampai powerband-ku terlepas? Apa yang akan terjadi dengan BoBoiBoy?"

"Hmmm," gumam Solar sembari menganggukkan kepala. Kedua netra peraknya menatap penuh perhatian pada tangan Ice yang hampir transparan itu. "Jujurnya? Aku ngga tahu," ucap Solar seraya mengedikkan bahunya.

Thorn yang sedari tadi diam saja kini ikutan buka suara. "Tanpa powerband bukannya kuasa kita hilang ya?" tanya si pengendali elemen tanaman itu sembari melirik ke arah langit-langit kamarnya.

"Entah, belum pernah terjadi. Tali powerband itu cukup kuat menahan benturan dan serangan, sulit untuk dirusak." Solar menyampaikan fakta yang sudah ia ketahui berdasarkan eksperimennya. "Tapi aku lebih tertarik dengan pemikiranmu, Ice. Karena cuma kamu yang struktur fisiknya berbeda dengan kita semua."

Solar berdiri dari bangku kerjanya. Dia berjalan mendekati Ice yang masih duduk di atas ranjang milik Thorn.

Ice sendiri tidak berkata apa-apa. Hanya netra biru terangnya yang bergerak-gerak mengikuti Solar yang berjalan menuju ke arahnya.

"Aku penasaran ..." Solar mengamit tangan kanan Ice yang terasa dingin. Kemudian si penguasa elemen cahaya itu menengok ke arah Thorn. "Thorn, berapa beratmu?"

Kedua kelopak mata Thorn mengedip cepat. "Sekitar empat puluh kilogram," jawab Thorn yang terdengar heran dengan pertanyaan dari Solar.

"Coba timbang berat badanmu, Ice. Aku mau tahu apakah berat badanmu lebih ringan atau lebih berat dengan tangan seperti itu." Solar menunjuk pada sebuah timbangan badan yang terletak di sudut kamarnya.

Ice yang tidak mengerti tujuan Solar menyuruhnya untuk menimbang berat badan langsung berdiri dan mendekati timbangan yang dimaksud oleh si penguasa elemental cahaya itu. Tanpa keraguan sedikitpun, Ice langsung menjejakkan kakinya satu-persatu di atas timbangan yang dimaksud oleh Solar.

"Hm ... 38 kilogram," ucap Ice seraya membaca angka yang tertera pada timbangan badan milik Solar.

Solar mengambil sebuah papan dari atas meja kerjanya. Di atas papan itu tercantum selembar kertas yang digunakan oleh Solar untuk mencatat data. "Berarti tanganmu esmu ini membuat massa tubuhmu jadi lebih ringan untuk volume yang hampir sama dengan Thorn ya?" tanya Solar seraya mencatat data tubuh Ice.

"Uh? Massa? Volume?" Ice yang kebingungan mendengar istilah yang dipakai Solar hanya menggaruk-garuk kepalanya .

"Masa lupa pelajaran fisika, Ice?" tanya Solar yang kini berada di samping Ice dan mengamati tangan kanan si penguasa elemental es itu.

"Aku sudah lupa," keluh Ice.

"Sama, aku juga sering ngga ngerti," celetuk Thorn yang ikutan mengamati tangan kanan Ice. Dicobanya untuk memegang dan mengangkat tangan si penguasa elemental es itu. "Tapi rasanya lebih ringan daripada tangan orang lain deh."

Ice tidak melihat sebuah seringaian yang melintas cepat bagaikan kilat di wajah Solar. "Aku jadi penasaran," ujar Solar seraya meletakkan tangannya di atas pundak Ice. "Apa yang sebetulnya terjadi kalau tanganmu itu putus ... Apakah akan berdarah? Atau tetap berbentuk es? Atau seperti yang kamu dan blaze bilang?"

Pertanyaan Solar membuat Ice terkejut. Kedua netra biru terangnya membelalak selebar-lebarnya, apalagi setelah ia melihat dan mendengar Solar yang terkekeh-kekeh.

Perlahan tapi pasti, Ice beranjak mundur dari hadapan Solar sebelum akhirnya berbalik badan dan lari tunggang langgang menuju pintu kamar milik Thorn dan Solar.

"Thorn! Tangkap!" perintah Solar seraya menunjuk pada Ice yang berlari.

"Okeee." Thorn tersenyum dengan polosnya dan mengibaskan tangannya di dekat lantai kamarnya. "Akar pengikat!" seru Thorn riang ketika dia merapal jurus andalannya.

Bak anak panah yang melesat dari busurnya, akar-akar menjalar jurus andalan Thorn meluncur dengan cepatnya menuju Ice yang tengah melarikan diri.

Secepat-cepatnya Ice mampu berlari, tetap saja tidak secepat akar menjalar Thorn yang mengejarnya. "Aaaah! Thorn!" jerit Ice ketika jurus akar Thorn mulai membelit tubuhnya.

"Kena!" pekik Thorn dengan riangnya ketika akar menjalarnya berhasil mengejar dan membelit tubuh Ice.

"Huaaa! Thorn!" jerit Ice ketika akar menjalar Thorn membelit tubuh dan kedua lengannya dengan cepat dan erat. "Ja-Jangan dengarkan Solar! Aku lebih tua daripada Solar!"pinta Ice lagi ketika akar Thorn yang sudah mengikat tubuhnya menyeretnya mendekati Solar.

Sebetulnya kesemua pecahan elemental itu seumur dengan penguasa mereka, BoBoiBoy. Namun mereka menganggap urutan waktu dikuasainya elemen itu oleh BoBoiBoy sebagai patokan umur. Karena itulah Halilintar dianggap paling tua, disusul Taufan, Gempa, Thorn, Blaze, Ice, dan terakhir Solar.

"Bekap dia Thorn, biar ngga berisik," perintah Solar sementara ia membuka laci meja kerjanya.

Ice mendelik horor ketika mendengar perintah Solar, apalagi ketika ia melihat akar menjalar milik Thorn mendekati mulutnya. "Thorn?! Jang ... Mmpphhhff!"Kata-kata Ice bertukar menjadi lenguhan ketika arak menjalar Thorn membekap mulutnya.

Apa yang kini berada di tangan Solar membuat Ice meronta sejadi-jadinya dari akar Thorn yang membelit tubuhnya. "NGGGH!" Ice menggelengkan kepalanya ketika ia melihat sebuah suntikan di tangan Solar.

"Kau suka tidur, 'kan Ice?" tanya Solar sembari tersenyum-senyum. Dia mengusap lengan kiri Ice dengan kapas beralkohol. "Nah, ini akan membuatmu tidur." Disertai kekehan setannya Solar menusukkan jarum suntik itu pada lengan Ice dan memompa cairan yang berada dalam tabung suntik itu masuk ke dalam lengan Ice.

"NGH!" Ice mendelik ketika merasakan jarum suntik Solar itu menyengat lengan kirinya. Bahkan air matanya menitik dari sudut netra biru terangnya yang irisnya mengecil karena ketakutan.

"Nah, kita tunggu saja," ujar Solar seraya menarik jarum suntiknya keluar dari lengan kiri Ice.

"Fuah!" Ice mendengus ketika akar menjalar Thorn yang membekap mulutnya terlepas. "Te-tega kau Solar ... Thorn, lepaskan ... aku ...," lirih Ice dengan wajah memelas.

Namun wajah Ice bukan memelas, melainkan pandangan matanya yang mulai berbayang dan mengabur. 'Tolong ... Gempa ... Blaze ... siapa saja ... Tolong,' pinta Ice dalam batinnya ketika ia merasakan kedua kelopak matanya semakin berat dan sulit untuk tetap terbuka.

Perlawanan Ice berakhir ketika kedua kelopak matanya menutup. Hal terakhir yang dilihatnya adalah Solar yang terkekeh setan dan Thorn yang menatapnya dengan wajah polosnya.

"Krrrr ... krrr ..." Dengkuran lembut Ice terdengar ketika ia terlelap dibawah pengaruh obat yang disuntikkan oleh Solar. Si penguasa elemen es itu langsung terkulai ketika akar menjalar Thorn terurai dan melepaskan belitannya.

"Bagus Thorn," puji Solar seraya menepuk-nepuk pundak Thorn.

Mendengar pujian, Thorn langsung terlihat berbinar-binar. "Terima kasih, Solar," ujarnya dengan senyuman khasnya. Lengkap dengan kedua netra hijau tuanya yang membulat dan alis mata yang melengkung ke atas.

"Nah, bersiap untuk operasi, Thorn ... Kita ada pekerjaan."

"Ayeee!" pekik Thorn dengan sangat antusias.

Bersambung.

Terima kasih kepada para pembaca yang sudah bersedia singgah. Bila berkenan bolehlah saya meminta saran, kritik atau tanggapan pembaca pada bagian review untuk peningkatan kualitas fanfic atau chapter yang akan datang.

Sampai jumpa lagi.

"Unleash your imagination"