DAYMARE
Natsume Book of Friends ©Yuki Midorikawa
Chapter 1 : Rahasia yang Terungkap
.
.
.
Hari ini, langit menggelap lebih awal. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Cuaca mendung menghapus keberadaan semburat jingga yang biasa kulihat di angkasa, menggantikannya dengan gumpalan-gumpalan awan hitam yang melaju cepat. Meski begitu, hingga kini hujan belum turun. Hanya angin dingin yang bertiup kencang, menyeruak masuk ke dalam ruangan melalui ventilasi, disertai deru dan geraman yang membuatku mendongak. Tidak, itu bukan deru angin biasa.
"Tahan," titahku seraya mengatupkan telapak tangan, "kita kedatangan tamu."
Benar saja. Sesosok bayangan mendobrak pintu, menyeruak masuk tak tentu arah. Aku mendecih dan seketika pelayan-pelayanku berhamburan, berusaha menyeret bayangan besar itu ke tengah-tengah ruangan; menuju sebuah pentagram yang baru saja kubuat dengan kapur dan percikan darah seekor ayam hitam.
Begitu bayangan itu memasuki lingkaranku, perlahan-lahan wujudnya kembali solid semula, memudahkan siapapun dalam ruangan ini untuk melihatnya.
"Keterlaluan!" gelegarnya. "Kumakan kau, manusia!"
Kulepas kedua tanganku dan menghampirinya. Para pelayan bersiaga di sekelilingku. Bayangan—atau lebih tepatnya sesosok siluman kera legam, mengeluarkan jeritan serta ekspresi menyeramkan seiring diriku mendekat. "Aku tidak takut padamu!" serunya disertai kepulan asap yang mengitari tubuhnya. "Aku bersumpah akan mengeluarkan isi tubuhmu!"
"Ah, maaf atas tidak kesopananku," aku menundukkan kepala, lalu memandang wajah raksasa itu lekat-lekat. "Biar kutebak. Enkou, bukan?"
"Sial! Lepaskan aku!"
"Tentu saja aku akan melepaskanmu," dengan tangan di pinggang, aku berjalan mengitarinya. Enkou ini adalah sesosok siluman yang berwujud seperti kera hitam raksasa dengan hidung merah. Dia adalah mahluk yang sangat kuat, aku tahu itu. Akan tetapi, sekitar dua bulan yang lalu, seorang paranormal terkenal berhasil mengalahkannya dan menyegel kekuatannya untuk dijadikan seekor siluman biasa yang mudah tersinggung dan penuh amarah. "Aku akan melepaskanmu dalam satu syarat: buku persahabatan."
"A—apa?"
"Kau pernah mendengarnya, bukan?"
"Darimana kau tahu!" Enkou mengibas-ngibaskan kedua tangan berbulunya. Namun, kekuatan dari segel pentagram yang biasa kugunakan untuk menahan energi mereka dalam proses interogasi ini bukanlah perkara yang mudah. Dalam waktu singkat, siluman itu sudah terkulai kelelahan. Dia hanya bisa mendesis seraya menatapku tajam. "Kau manusia yang licik, aku tahu itu!"
Kulipat kaki di atas sofa, menatap mahluk di depanku dengan perasaan geli sekaligus takjub. Mata kami bertatapan. Spontan, bibirku menyunggingkan senyum, "Nah, coba ceritakan padaku mengenai buku itu. Aku akan duduk manis dan mendengarkanmu."
"Tidak akan! Kau tidak boleh mengetahuinya! Hanya kami para mahluk halus—"
"Tenang saja, aku tidak berniat mengincarnya karena buku persahabatan itu hanya mitos, bukan? Buku itu tidak benar-benar ada. Kalian para mahlukhalus senang menciptakan rumor yang membuat sensasi—"
"Jaga mulutmu, manusia!" Enkou menggelegar, kembali mendesis. "Buku persahabatan benar-benar ada. Itu adalah sebuah buku sakti mandraguna yang berisi nama-nama siluman. Siapapun yang memegangnya, dia dapat membuat setiap mahluk yang namanya tertulis disana untuk tunduk kepada sang pemilik buku!"
"Oh, ya? Jika buku itu bukan sekadar mitos belaka, kau pasti tahu dimana buku itu berada? Jika kau tidak mengetahuinya, itu sama saja kau dengan para pembual."
"Enak saja! Aku tahu dimana buku itu berada. Ada seorang anak manusia bernama Natsume yang sangat payah. Jika saja Madara tidak bersamanya..." Enkou menggeram, lalu memuntahkan sebuah kobaran api yang dengan sigap, membuatku menyingkir dari sofa. Para pelayan hendak memberinya pelajaran dengan tombak-tombak mereka, namun aku menahannya. "...jika saja Madara tidak bersamanya, akan kumakan anak kurus itu hidup-hidup!"
Kembali aku duduk di sofa, membiarkan para pelayan berdiri di belakangku, "Kau terlihat sangat menginginkannya, ya?"
Enkou mendengus, "Sudah cukup bicaranya. Cepat lepaskan aku!"
Begitu kujentikkan jari, segel pentagram telah menghilang. Enkou melayang dan hendak menerjangku. Namun, yang terjadi selanjutnya, sosok ini tiba-tiba menembus tubuhku dan tersungkur; persis di depan kaki para pelayan. "Sudahlah," ujarku sembari menoleh. "Lihatlah dirimu, Enkou yang Perkasa. Kekuatanmu telah menghilang. Kau tidak bisa lagi menyentuh manusia, apalagi memakannya untuk saat ini."
"Paranormal sial," gerutunya sembari mendesis kepada para pelayan, mencoba bangkit dengan tubuh raksasanya. "Kau punya sesuatu yang bisa melepaskan segel, manusia? Katakanlah itu."
"Ah!" aku bangkit dan bertepuk tangan. "Kau tahu sekali apa yang sedang kuinginkan sekarang. Sebelumnya, aku harus meminta maaf kepadamu karena aku tidak ahli melepas segel. Namun, jika kau membutuhkan sesuatu yang lebih hebat... aku memilikinya."
"Kau memang licik," ujarnya. "Namun, sepertinya aku harus memercayaimu untuk saat ini. Sebagai manusia, kau jauh lebih licik dan cerdik dari semua mahluk yang pernah kutemui. Siapa namamu?"
Salah seorang pelayan menyodorkan secarik kertas putih. Kukeluarkan silet, meneteskan darahku dan menuliskannya di atas sana. Kemudian, kulipat kertas tersebut, menyulutnya dengan pemantik, membakarnya sampai habis dan mengumpulkan abunya di telapak tangan.
"Namaku..." tanpa aba-aba, kutiup abu tersebut ke wajahnya, membuat mahluk ini terguncang dan terbatuk-batuk hebat. Begitu efeknya sudah terlihat, aku tersenyum.
"...namaku Matoba Seiji. Sekarang, patuhilah tuanmu ini!"
Seseorang dengan pakaian serba hitam melesat, bagaikan sebuah bayangan, di jalanan yang sepi. Raungan sirene dan letupan pistol mewarnai suasana, memancing perhatian para penduduk yang seharusnya sudah beristirahat dengan tenang, kini terbangun dengan piyama dan mata terbelalak; seakan-akan tak percaya dengan apa yang sudah terjadi pada malam itu. Di bawah temaram lampu jalan dan sorot lampu mobil polisi, uang-uang dan bubuk-bubuk putih bertebaran di atas aspal. Tidak, itu bukan tepung. Semua orang tahu apa itu.
"Selatan! Mereka lari ke selatan!"
Segerombolan pasukan bersenjata lengkap mengikuti, sedangkan sisanya berjaga-jaga di depan sebuah toko roti milik Yamahisa-san yang terkenal lezat. Tentu semua orang terkejut ketika para polisi berdatangan dan menggerebek toko itu. Para karyawan yang ketakutan dan tak tahu apa-apa bersikap pasrah begitu para polisi menggiring mereka, namun, beberapa karyawan yang rupanya sedang menyembunyikan sesuatu di gudang belakang, segera melakukan perlawanan yang mengakibatkan para polisi harus mengangkat senjata untuk menangkap mereka.
Dor!
"Sial! Meleset!"
"Lupakan itu!" seru rekannya yang lain, masih berlari. "Jangan sampai kehilangan jejak!"
Adegan pengejaran terjadi begitu dramatis. Perlahan, satu per satu karyawan tertangkap. Dengan cepat para polisi mengamankan mereka, menyisakan seorang lagi yang masih berlari di jalanan kota yang sepi. Tiga orang polisi mengejar dan berusaha untuk menembak kaki si buronan.
Dor!
Kembali peluru dilesakkan. Namun, karyawan yang satu ini amatlah cerdik. Dia melompat dan menghindar, bagaikan terbang, membuat ketiga polisi tersebut kewalahan. Mendadak, sebuah angin kencang menerjang para polisi, membuat salah satu dari mereka tumbang lantaran terhantam oleh pipa hydrant. Di saat yang sama, tiba-tiba si buronan terjatuh, tak sadarkan diri di depan sebuah mobil yang terparkir. Si pemilik hanya bisa mengintip dari jendela atas sembari menggigit bibir—takut-takut jika mobilnya dijadikan sasaran peluru.
Tanpa membuang waktu, kedua polisi tersebut segera meringkus si buronan. Senyum kebahagiaan pun merekah di balik helm mereka.
"Kita berhasil—"
Dor!
Saat itu, si buronan hendak membuka matanya. Akan tetapi, tiba-tiba dia tersentak dan mengejutkan kedua polisi yang hendak memborgolnya. Di jendela atas, sang pemilik mobil tidak lagi menggigit bibir, melainkan melongo dengan sekujur tubuh yang bergetar. Di bawah keremangan lampu jalan, salah seorang polisi yang sebelumnya tak sadarkan diri akibat terhantam pipa hydrant, kini berdiri tegap seraya mengenggam sebuah revolver yang ujungnya mengepul. Darah menyiprat, mengenai helm dan pakaian pelindung milik kedua polisi serta mobil yang terparkir. Si buronan tak lagi bergerak, menyisakan darah segar yang terus mengucur dari sebuah lubang di kepala.
"Akio-san! Apa yang—"
Dor! Dor! Dor!
Semua polisi benar-benar dibuat tercengang malam itu. Para buronan, yang sebelumnya sempat melarikan diri dan ditangkap, kini 'dibantai' di dalam mobil oleh polisi yang sama. Para karyawan yang tidak tahu apa-apa memang tidak menjadi sasaran, namun tak sedikit dari mereka yang jatuh pingsan karena shock. Bagaimana tidak? Kejadian berdarah itu terjadi di depan mata mereka sendiri!
Dor!
Tanpa seorangpun ketahui, di balik kelamnya malam itu, seseorang berdiri di dekat tempat kejadian dengan senyum yang mengembang sempurna.
