Jika ini adalah dongeng, maka akan di awali dengan pada suatu hari. Seorang penyihir menatap cermin nya dengan tatapan percaya diri, berjalan-jalan di sekelilingnya.

"Cermin, oh cermin. Siapa manusia paling imut di dunia ini?" ucapnya sembari memutar-mutar tongkat sihirnya.

"Putri Musim Se–"

"Putri Haruki? Lagi?! Bahkan setelah aku pedicure dan perawatan?" Penyihir itu menatap cermin dengan kesal, "Jangan bercanda! Itu tidak mungkin. Memangnya–"

Kata-katanya terpotong ketika cermin menampakkan sosok bertubuh mungil sedang membawa keranjang dan sebuah payung. Penyihir itu seketika merona melihatnya. Namun ia kembali menggeleng.

"T-Tidak mungkin! Dia hanyalah seorang gadis licik. Aku akan membunuhnya dengan cepat."

Setelah berganti pakaian dan memakai jubah, Penyihir itu membawa apel lalu pergi menuju rumah Putri Haruki. Mengetuk-ngetuk pintu dengan sopan sembari menawarkan sebuah apel. Kepala mungilnya seketika muncul di balik pintu.

"Ada perlu apa?"

"OHOK–" ia hampir saja terbentur pintu saking kagetnya. Wajah cantik Putri Haruki seketika berubah raut menjadi panik karena Penyihir yang terbatuk-batuk.

"Kau baik-baik saja? Ingin ke dokter? Ah, apa jangan-jangan kau punya asma? Pengidap breathn't? Bagaimana perasaan mu sekarang."

"Kau berisik, sialan." yang ditanya mendengus sembari menyeka keringatnya.

Melihat keadaan Penyihir yang membaik, netra Putri Haruki seketika melirik apel yang dibawa oleh nya. Tangannya mengambil itu, lalu mengelusnya, membersihkannya dari debu. Bulu mata lentiknya membekukan Penyihir itu, bersamaan dengan wajah tenangnya.

"Apel ini terlihat enak. Kau menjualnya?"

"T-Tidak! Itu untuk ku!" tangannya merebut apel itu dan langsung memakannya tanpa aba-aba. Seketika kepalanya serasa berputar, dan ia kehilangan kesadaran.

"...Tuan penjual apel?"

Mata dan kepalanya terasa berat, samar-samar terlihat sebuah ruangan putih dan rasa hangat di tubuhnya. Ia membuka matanya. Sialnya, tiba-tiba saja ada seseorang yang menimpa tubuhnya dengan wajah hanya berbatas sekian sentimeter lagi. Penyihir itu segera menamparnya dengan keras.

"Ya ampun kau itu kasar sekali," lelaki berambut merah muda itu mengelus pipinya dengan bibir yang mengerucut, "Untung kau cantik."

"Kau siapa ya?" tatapan tajam di arahkan padanya.

"Kau tidak tahu? Aku adalah pangeran di kerajaan ini." Dia tersenyum bangga, "Dan yah, aku datang kesini untuk menggoda Putri Salju."

'... Hah?'

Penyihir itu memalingkan wajahnya, melihat Putri Haruki yang datang dengan sebuah cangkir berisi sesuatu berwarna pucat. Keduanya diam menatap nasib. Dengan senyum kecil, Putri Haruki menawarkan minuman itu kepada mereka. Ingin memaki, Penyihir itu di tahan oleh Pangeran yang tersenyum menenangkan.

"Jangan menolak kebaikan perempuan."

"Oh? Ya sudah cepatlah minum itu." (Baca: Cepatlah mati.)

Dengan mata yang setengah terpejam, Pangeran itu bersiap meminumnya–menghadapi ajalnya. Penyihir itu tersenyum kosong melihat kebodohannya. Namun belum saja sekali teguk, tendangan melayang kearah kepala Pangeran.

"Oi, bodoh. Kau mau bunuh diri ya?" lelaki bertubuh kecil dengan rambut kuning dan topi kerucut menatap jengkel, "Kalau mau mati, jangan di rumah orang dong."

"Jangan begitu kepada tamu," lelaki bersurai hitam dengan topi biru tua menghela nafas di sampingnya.

"Ah, kalian sudah pulang rupanya," Putri Haruki menoleh, "Perkenalkan. Ini adalah para kurcaci."

"Kau itu… Tak bisa membuat teh ya?" Kurcaci Merah mengernyit.

"Bisa kok. Tapi di dapur hanya ada bawang bombai. Jadi aku memasukkan nya."

'Anjir."

Kurcaci Biru tua mendekati, lalu menepuk pundaknya, "Nih. Aku tadi beli teh keluaran baru. Cara membuatnya mudah, dan bisa di dapatkan dimanapun. Termasuk di dalam hutan."

Putri Haruki membalik bungkusnya, "Wah… akhirnya. Aku jadi bisa membuat teh. Terima kasih Teh Goblin Cetar!"

'LAH IKLAN 'TOH?!'

End…?

Omake:

"Gak kepanjangan?" Katai mengernyit, lalu melirik ngeri, "Lagian pas adegan ciuman, Doppo benar-benar seram."

"Itu namanya menghayati, Katai."

"Chuuya juga nendang nya gak pake perasaan ya," Touson menatap lelaki yang terduduk di ujung ruangan dengan sebotol sake.

"Menghayati."

"Palakau."


AN: Berakhir dengan tidak jelas. Maafkan saya, tapi semoga Kak Vir suka ya. Kenapa aku milih buat bikin cerita gak jelas dan receh gini? Aku pengen kakak terus tertawa (bahagia) buat tahun ini dan seterusnya sih. Oke. Semoga suka. Happy Birthday!